Image courtesy of Thejakartapost |
Tak banyak yang berubah dari desa kecil tempatku
dilahirkan ini. Hampir semuanya masih sama seperti ketika terakhir kali aku ada
di sini, sepuluh tahun yang lalu. Kuhirup udara segar pedesaan yang sudah
sangat kurindukan. Hamparan sawah serta bukit menghijau memanjakan mataku yang
sudah muak dengan tinggi dan padatnya gedung pencakar langit di Jakarta.
Mobil yang dikemudikan supir pribadiku melaju dengan
perlahan karena memang jalan yang kami lalui sangat kecil dan kondisinya sudah
rusak parah. Kusandarkan daguku pada jendela mobil yang sengaja kubuka lebar.
Kurasakan hembusan angin membelai wajahku, meniup rambut tergeraiku. kupejamkan
kedua mataku, membiarkan pikiranku melayang ke masa lalu, ke masa di mana aku
masih bersama seseorang di sini, seseorang yang membuatku kembali ke desa kecil
ini.
Namanya Ardi, teman dekatku sejak kecil. Kami seumuran
dan kebetulan tinggal bersebelahan. Kami selalu pergi dan pulang sekolah
bersama, dan karena kami sekelas, kamipun sering belajar dan membuat pr
bersama. Kami begitu dekat, saking dekatnya kami tidak menyadari persahabatan
itu berubah menjadi sesuatu yang lebih indah.
Entah kapan perasaan itu mulai tumbuh. Mungkin saat kami
mulai memasuki masa remaja, atau mungkin jauh sebelum itu, entahlah. Yang jelas
aku mulai memperhatikan penampilanku setiap bertemu dengannya, merasa gugup
apabila dia menatap mataku, merasakan perasaan berdebar setiap kulit kami bersentuhan
secara tidak sengaja, menikmati getaran aneh yang kurasakan setiap berada di
sampingnya. Kuhabiskan siangku bersamanya dan malamku memimpikannya.
Tidak ada kata-kata yang terucap, namun kami sudah
semakin dekat. Dia mulai berani memegang tanganku dan mencium keningku, akupun
beberapa kali memberikan kecupan mesra di pipinya. Teman-teman mulai menggoda
kami, mengatakan kalau kami berpacaran, kami tidak mengiayakan, namun tidak
menidakkan juga. Kami bahagia dengan apa yang kami jalani, status tidaklah
penting.
Kedekatan itu terus berlanjut sampai kami menginjak
bangku SMA kelas satu. Saat itu, hubungan kami sudah lebih serius. Kami sudah
biasa memanggil sayang saat tidak ada orang lain di sekitar kami. Dia bahkan
pernah tidak sengaja memanggilku sayang di depan beberapa teman perempuanku.
Mereka semua tertawa dan menggodaku habis-habisan.
Hari-hari yang kami lalui terasa begitu indah sampai
akhirnya suatu ketika sebuah musibah terjadi. Orang tuaku bercerai karena
bapakku ketahuan selingkuh. Ibuku langsung mengajukan gugatan cerai dan setelah
semuanya selesai, dia mengajakku pergi ke Jakarta. Aku menolak ajakan itu, tapi
ibu tidak memedulikan penolakanku. Ibu mengurus kepindahanku dari sekolah tanpa
sepengetahuanku, dan dengan terpaksa aku pergi dengannya. Semua terjadi dengan
begitu cepat, dan tak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikan semua
kekacauan itu.
Malam itu kucurahkan air mataku dalam pelukan Ardi. Aku tak ingin berpisah dengannya, tak
ingin jauh darinya. Kupeluk tubuhnya
dengan sangat erat, kubenamkan wajahku di dada bidangnya.
Ardi membelai rambutku dengan lembut, “Naya, udah ya
jangan nangis lagi. Kita cuma pisah untuk sementara kok.” bisiknya.
Mendengar kata-katanya, tangisku malah semakin keras.
“Aku sayang kamu.”
Kudongakkan kepalaku, menatap mata beningnya.
Dia mencium keningku.
Aku dan ibuku berangkat ke Jakarta keesokan paginya
sekitar jam enam. Ardi tidak mengantarku sampai stasiun karena dia memang tidak
tahu kalau kami akan berangkat sepagi itu. Aku takut tidak akan sanggup pergi
kalau melihatnya sekali lagi.
Kukuatkan hatiku dan kunaiki kereta bersama ibu. Kuhempaskan
tubuhku di tempat duduk di samping
jendela. Kereta mulai bergerak perlahan. Diantara deru mesin, sayu-sayup
kudengar seseorang memanggilku. Aku menengok keluar jendela dan kulihat Ardi berlari
di sampingku, “Naya... Aku akan menunggumu....”
Air mata meleleh dari kedua mataku, namun bibirku
menyunggingkan sebuah senyuman. Kulambaikan tangan kananku ke arahnya dan
beberapa saat kemudian dia menghilang dari pandanganku.
Kuusap tetesan air bening di pipiku, “Ardi..” bisikku
lirih.
Bulan-bulan pertama di ibu kota merupakan sata-saat
terberat dalam hidupku. Ibuku mengontrak sebuah rumah kecil di perumahan
pinggir kota. Meskipun berada di pinggiran, perumahan itu sangat ramai. Aku
berkenalan dengan beberapa tetangga baru, namun entah kenapa aku tidak merasa
nyaman dengan mereka. Mereka sangat berbeda denganku, cara berpakaian, cara
bicara, semuanya sangat berbeda. Tak hanya di rumah, akupun merasa kesulitan
beradaptasi dengan teman-teman di sekolah baruku. Sekolahku memang bukan
sekolah elit, namun penampilan siswa-siswa di sana sangat jauh bila
dibandingkan dengan penampilan siswa di sekolahku dulu.
Satu-satunya hal yang membuatku senang adalah
kedatangan pak pos yang membawa surat dari kekasihku nun jauh di desa sana.
Ardi memang sudah berjanji akan mengirimkanku surat setiap minggu. Surat-surat
yang dia kirimkan sangat panjang, bahkan ada yang sampai lima halaman. Dia
menceritakan setiap detil yang terjadi dalam hidupnya; makanan apa yang ia
makan untuk sarapan, baju apa yang ia kenakan saat menulis surat itu, jam
berapa dia bangun pada hari Minggu, berapa kali dia memimpikanku minggu itu.
Selain menceritakan tentang dirinya sendiri, dia juga menceritakan tentang
teman-teman kami, tentang sekolah, tentang guru-guru kami, dan masih banyak
yang lainnya. Terkadang dia juga menyelipkan fotonya, yang langsung kucium,
kudekap, kubelai, lalu kupajang di meja samping tempat tidurku.
Tak hanya Ardi, dirikupun rajin mengirimkan surat
padanya. Kuceritakan semua kesedihanku karena tidak mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru, kukatakan juga betapa aku sangat merindukannya. Meski
terpisah jarak, cinta kami berdua masih sama besarnya, bahkan kerinduan di
hati, membuat rasa cinta kami semakin dalam.
Setelah hampir setengah tahun pindah ke Jakarta,
kusadari sesuatu terjadi pada ibuku. Ibu bekerja sebagai seorang wartawan di
sebuah majalah tak begitu terkenal. Biasanya ia tak pernah begitu peduli dengan
penampilannya, ibu bahkan tak punya keperluan make up memadai untuk menunjang penampilannya sebagai pemburu
berita. Setiap pagi, ibu berdandan ala kadarnya, hanya bedak tipis dan lipstick cokelat muda favoritenya,
rambutnya ia kuncir kuda. Namun pagi itu, dia duduk sedikit lebih lama di depan
meja rias.
Kulangkahkan kakiku perlahan ke arahnya, lalu kusentuh
pundaknya dari belakang, “Ibu..” ucapku pelan.
Ibu menatap bayanganku dicermin, “Iya, Sayang.”
jawabnya sambil tersenyum.
“Ibu kelihatan beda
banget hari ini. Ada apa?”
Ibu membalikkan badannya, wajahnya terlihat sangat
cerah, jauh berbeda dari biasanya. Kulihat matanya, dan kedua mata itu
menyiratkan kebahagiaan, “Ngga ada apa-apa kok, Nay. Kamu ga siap-siap ke
sekolah?”
Sebenarnya aku sangat penasaran dengan apa yang
terjadi pada ibu, namun kuputuskan untuk
tidak memaksanya bercerita. Melihatnya tersenyum seperti itu saja sudah sangat
membuatku senang, “Hari ini Naya libur, Bu. Anak-anak kelas 3 pemantapan UN.”
“Wah kebetulan
sekali, hari ini kamu bersih-bersih rumah, ya.” Ibu berdiri dan mengeluarkan
beberapa lembar uang dari sakunya, “Beli bahan makanan terus masak ya, ibu
pulang agak malam.”
“Okay, Bu.”
kataku sambil mengambil uang itu.
Ibu melihat ke arah cermin sekali lagi, membenarkan
kerah kemejanya, lalu mengecup keningku, “Jaga rumah ya, Sayang. Ibu
berangkat.”
Tak perlu waktu lama bagiku untuk mengetahui apa yang
terjadi pada ibu. Sekitar tiga minggu sejak hari itu, ibu pulang ke rumah
bersama dua orang; seorang pria yang sepertinya sedikit lebih tua darinya dan
seorang gadis remaja yang kurasa seumuran denganku. Ibu terlihat sedikit gugup
saat mau berbicara padaku, namun tanpa dia mengucapkan sepatah katapun aku
sudah bisa menebak apa yang sedang terjadi. Ternyata pria inilah yang membuat
ibuku berubah drastis.
“Naya..”
Kusunggingkan senyum termanisku, “Naya ngerti kok,
Bu.” Aku menoleh ke arah dua tamu kami dan mempersilakan mereka duduk. Awalnya
terasa sedikit kaku, namun lama kelamaan kami mulai
akrab. Pria itu bernama Om Ahmad, seorang pengusaha tekstil di Jakarta Timur,
sedangkan putrinya bernama Karina, seperti dugaanku, dia juga berumur 16 tahun.
Setelah mengobrol sekitar dua jam, mereka berduapun
pamit pulang, kami mengantar sampai di depan gerbang. Mataku sedikit melongo
melihat mobil yang mereka kendarai karena setahuku mobil itu adalah mobil
keluaran terbaru yang harganya sangat fantastis, “Sampai ketemu lagi, Naya.”
kata Karina sambil melambaikan tangan.
“Sampai ketemu
lagi.” balasku sambil ikut melambaikan tangan.
Begitu mobil mereka menghilang di tikungan jalan, ibu
menatapku dan bertanya, “Bagaimana?”
Sengaja kupasang wajah murung untuk
menggoda ibu, “Naya bahagia kalau ibu bahagia.” kata-kata datar mengalir dari
bibirku.
Ibu terlihat sedikit terkejut, “Kamu tidak suka
mereka.”
Kupalingkan wajahku untuk menghindar dari tatapan ibu.
“Naya?”
Aku tertawa kecil melihat kepanikan di wajahnya, “Naya
cuma bercanda Bu, Naya suka banget sama mereka. Kapan mereka main lagi?”
Ibu menarik napas lega, “Kamu ini ya... Bikin ibu
khawatir aja. Lain kali, kita yang akan ke rumah mereka.”
Seperti kata ibu, minggu berikutnya, Om Ahmad dan
Karina datang menjemput kami untuk diajak ke rumah mereka. Sungguh tak bisa
kusembunyikan rasa takjubku saat sampai di depan rumah- bukan, lebih tepat
kukatakan istana- mereka. Bangunan berlantai dua itu sangat megah. Ada dua
sendi besar berwarna putih yang menopang balkon di lantai atas. Halamannya pun
cukup luas dan tertata dengan rapi. Sebuah kolam ikan dengan air mancur di
tengahnya terletak di bagian kiri rumah.
“Masuk yuk.”
Karina menggandeng tanganku dan menuntunku masuk. Kami duduk bercengkrama di
ruang tamu layaknya sebuah keluarga. Beberapa saat kemudian Karina mengajakku
ke kamarnya, yang mirip seperti kamar putri raja. Kelambu berwarna pink
mengelilingi tempat tidurnya, seprai dan bedcovernya
juga bercorak pink. Selain itu, ada beberapa boneka besar di atas kasur springbednya.
Kami duduk di sofat dekat jendela sambil mengobrol. Karina
bercerita kalau ibunya meninggal saat dia masih bayi. Sejak saat itu dia hanya tinggal
bersama om Ahmad dan beberapa orang pembantu. Dari dulu dia ingin punya
saudara, tapi ayahnya sepertinya tidak berniat untuk menikah lagi. Begitu tahu
tentang hubungan ayahnya dengan ibuku, dia merasa sangat senang. Apalagi saat
mengetahui kalau ibuku punya putri seusianya. Selain bercerita tentangnya,
Karina juga menanyakan beberapa pertanyan tentangku, “Kamu sudah punya pacar
belum, Nay?” Kurasakan pipiku bersemu merah karena malu lalu kuanggukkan
kepalaku. Dia memaksaku untuk memberitahunya lebih jauh. Akupun bercerita
tentang Ardi, ada kerinduan yang menggebu di dadaku, setiap kata tentang cinta
pertamaku itu membuatku semakin merindukannya.
Waktu berlalu dan intensitas kedatangan pak Pos mulai
berkurang, karena Ardi mulai sibuk membantu ayahnya di bengkel. Akupun mulai
sibuk menyiapkan acara pernikahan ibuku dengan om Ahmad. Meskipun sudah jarang
berkirim surat, kami berdua masih memiliki ikatan yang kuat. Jantungku masih
berdebar tiap kali membaca surat darinya.
Beberapa bulan sejak kedatangan om Ahmad ke rumah kami
untuk yang pertama kalinya, ibuku
akhirnya menikahinya dan kamipun pindah ke rumah megahnya itu. Tidak seperti di
sinetron atau dongeng, keluarga tiriku sangat baik. Om Ahmad menganggapku
sebagai anak kandungnya, begitu pula Karina yang menyayangiku layaknya saudara
sendiri. Aku pindah ke sekolah Karina dan berada di kelas yang sama. Inilah
awal mula keretakan hubunganku dengan Ardi.
Aku menerima sebuah surat darinya suatu hari, tak ada
yang spesial dengan suratnya itu. Akupun membalasnya seperti biasa. Kuceritakan
tentang kepindahanku ke sekolah baru dan bagaimana Karina melakukan make over padaku, bukan hanya pada
penampilanku, tapi juga pada sifatku. Sedikit demi sedikit, aku sudah mulai
bisa menggunakan bahasa lo-gue. Aku
mulai bisa bergaul dengan teman-teman di sana, baik pria maupun wanita.
Sebelumnya malam dan hari mingguku kuhabiskan dengan
berdiam diri di rumah, namun kini aku dan Karina selalu punya acara bersama
teman-teman yang lain. Terkadang kami pergi nonton film di bioskop, atau
belanja di mall, pergi renang, dan bahkan kami juga pernah menyewa sebuah villa
di puncak. Villa itu punya kerabat dari salah seorang temanku, jadi kami
mendapatkan harga yang sangat murah. Di villa itulah seseorang masuk ke dalam
hidupku dan menjadi orang ketiga dalam hubunganku dan Ardi.
Aku tak pernah menduga aku akan sanggup mendua.
Awalnya aku berusaha menghindarinya, aku berusaha menjaga hatiku hanya untuk
Ardi seorang. Namun lama kelamaan, aku tak bisa menghindar lagi, mulai kuterima
kenyataan kalau aku memang memiliki perasaan yang lebih dari sekedar teman
kepada Hendri, nama pria itu. Apalagi Karina sangat mendukung kedekatan kami.
Hendri adalah seorang anak kuliahan yang tinggal satu
kota denganku. Berpacaran dengannya sedikit menaikkan popularitasku, maklum,
tak banyak anak SMA yang punya pacar
seorang mahasiswa. Semakin lama, aku semakin tak memedulikan surat yang datang
dari Ardi. Yeah, aku masih membaca
surat-surat itu, masih membalasnya, namun balasan suratku sangat singkat dan
dingin.
Tiga bulan berlalu, hubunganku dan Hendri kandas di
tengah jalan karena dia mendua. Hatiku terasa sangat sakit. Akupun kembali mencurahkan perhatianku pada Ardi. Kutulis surat-surat
panjang untuknya, kukirimkan foto-foto terbaruku padanya; “Kamu kelihatan
tambah cantik sekarang, Nay.” katanya di salah satu suratnya. Kami kembali
merasakan kehangatan cinta seperti dulu. Namun kehangatan hubunganku dan Ardi
tak berlangsung lama karena bulan berikutnya kembali kutemukan cinta lain. Seperti
sebelumnya, hubunganku itupun tak berlangsung lama.
Berganti-ganti kekasih namun tetap mempertahankan Ardi
kulakoni selama beberapa tahun. Sampai
suatu hari aku merasa menemukan cinta sejati, cinta yang berbeda dari yang
lainnya. Saat itu aku sudah bekerja di perusahaan ayah tiriku. Ya, om Ahmad
mempekerjakanku di perusahaannya begitu kutamatkan S1 ku di sebuah perguruan
tinggi swasta di Jakarta. Nama pria itu adalah Andika, teman sekantorku. Dalam
dirinya, kutemukan sesuatu yang tak pernah ada pada mantan-mantanku, dan saat
itu pula kuputuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Ardi. Kukatakan padanya
bahwa kisah kami sudah tidak bisa diteruskan. Terus terang saja sangat berat
bagiku untuk mengatakan hal itu, namun tak mungkin juga selamanya kumendua
darinya.
Ardi tidak menerima keputusanku begitu saja, dia nekat
mendatangiku ke Jakarta. Ada sedikit rasa senang karena aku memang merindukannya,
namun mengingat kini aku sudah menjadi milik orang lain, kuputuskan untuk
menghindar dari Ardi. Sengaja kuminta om Ahmad untuk menugaskanku ke luar kota
selama beberapa hari agar aku tak bertemu dengan Ardi. Kuakui, hal itu adalah
salah satu hal terjahat yang pernah kulakukan seumur hidupku, tapi mau
bagaimana lagi?
Walaupun sudah terang-terangan kujauhi, Ardi masih
terus mengirimkanku surat sebulan sekali. Surat-suratnya tetap kubaca, namun
tak pernah kubalas. Kata-kata yang dia tulis menyayat hatiku, membuatku
merasakan sakit yang mungkin hampir sama besarnya dengan yang ia rasakan.
“Aku masih
mencintaimu, Naya. Aku masih menunggumu.” Kulipat kembali surat yang
dikirim oleh Ardi lalu kutaruh dalam sebuah kotak besar yang sudah hampir penuh dengan suratnya. Kutatap deretan foto di
atas meja kamarku, sudah tak ada lagi foto pria desa itu, yang ada hanya fotoku
dan Andika.
Hubunganku dan Andika mulai menginjak ke arah yang
lebih serius. Sudah beberapa kali kuajak dia main ke rumah. Om Ahmad dan ibu
tampaknya menyukainya, “Apa kalian sudah berencana akan menikah?” tanya ibu
saat Andika bertandang ke rumah kami.
“Gimana?” desak om Ahmad karena kami berdua diam
membisu.
Kupandang kekasihku, raut wajahnya terlihat berubah.
“Kenapa?” tanyaku melalui isyarat mata.
“Kami masih ingin fokus pada karir, Om, Tante.”
jawabnya.
Orang tuaku tampak kecewa mendengar jawaban Andika, begitu
pula diriku.
Keesokan harinya saat makan siang, aku menanyakan hal
itu padanya, “Kamu serius kan tentang kita?” tanyaku.
Sendok dan garpu ditangannya berhenti bergerak.
“Sayang?”
“I don’t wanna
talk about it.”
“Kenapa?”
Andika menghentikan aktivitas makannya, dia menatap
mataku, “I love you.” ucapnya lirih.
“Terus kenapa?”
“Aku belum siap.”
“Belum siap? Apa lagi sih yang kamu tunggu? Umur kita
sudah cukup untuk menikah. Masalah finansial? Karir kita sudah cukup bagus.”
Andika menghela napas dalam, “Ada sesuatu yang kamu
tidak tahu tentangku.”
“Apa?”
Pria itu menggeleng.
“Please.”
Andika tampak sedikit ragu namun akhirnya dia berkata,
“Sebenarnya, orang tuaku sudah menjodohkanku dengan seorang gadis pilihan
mereka. Naya, maaf aku tidak memberitahukan ini sebelumnya, aku sudah
bertunangan.”
Tak dapat kulukiskan dengan kata-kata apa yang kurasakan
saat itu. Mulutku sedikit terbuka, namun tak sepatah katapun yang terucap.
“Maaf.”
Pita suaraku masih belum bisa berfungsi.
“Please say
something.” Andika menggenggam tanganku. “Naya, please... I really love you.”
“Terus dia?”
Andika menunduk dan terdiam.
“I need time.”
Aku berdiri dan berjalan cepat ke ruanganku. Kuambil tas tanganku, “Shin,
bilang sama Pak Reza, aku izin pulang duluan ya.” kataku pada Shintia, teman
satu ruangan denganku.
“Mba Naya kenapa?”
“Ngga apa-apa kok.”
Kukendarai mobilku dengan perasaan tak menentu.
Pikiranku kacau. Tak pernah terbayangkan hal seperti ini akan terjadi.
Bagaimana bisa Andika melakukan ini padaku? Dan seketika bayangan Ardi muncul
di benakku, apakah ini karma atas perbuatanku padanya?
Andika berusaha menghubungiku berkali-kali, namun tak
satupun teleponnya kuangkat atau smsnya kubalas. Hatiku sudah terlanjur sakit.
Orang tuaku nampaknya menyadari ada sesuatu yang salah pada diriku. Mau tak mau
aku menceritakan semuanya pada mereka. Om Ahmad terlihat sangat marah dan tanpa
sepengetahuanku, ia memecat Andika. Tak pernah lagi kulihat sosok pria itu,
terakhir kudengar dari seorang teman kalau dia sudah kembali ke kampung
halamannya.
Ada luka menganga di hatiku, dan kurasa akan perlu
waktu yang sangat lama untuk mengobati luka itu. Aku mengambil cuti selama satu
bulan dari kantor. Alih-alih pergi berlibur, kuhabiskan cutiku dengan mengurung
diri di kamar. Kubuka dan kubaca semua surat yang Ardi kirimkan untukku, dari
surat yang datang di minggu pertamaku di Jakarta hingga surat terakhir yang dia
kirimkan dua bulan yang lalu. Ardi, kini saat patah hati lagi, aku kembali
memikirkannya. Apakah dia masih mau menerimaku lagi?
Antara sadar dan tidak kutulis sepucuk surat untuk
Ardi.
“Terkadang kita perlu kehilangan seseorang sebelum
menyadari betapa berharganya seseorang itu dalam hidup kita. Terkadang sebuah
hubungan diuji dengan berbagai macam cobaan, hanya untuk membuatnya lebih kuat.
Kuakui aku salah telah menyia-nyiakanmu selama ini. Aku telah menyakitimu
berkali-kali, namun kamu selalu ada untukku. Dan kini, kusadar tak ada yang
lebih berharga di dunia ini dibandingkan cintamu. Ardi, maukah kau menerimaku
kembali?”
Kubaca surat itu berkali-kali sebelum akhirnya
melipatnya dan memasukkannya ke dalam sebuah amplop putih. Kuberjalan keluar
rumah, dan begitu sampai di halaman depan, aku melihat pak pos yang biasa
mengantar surat ke tempatku. Sebuah senyum secara refleks muncul di wajahku.
Tak pernah sebelumnya aku sebahagia itu menerima surat dari Ardi.
“Terima kasih Pak.” kataku sambil menerima sebuah
amplop dari pak pos. Dengan tak sabar kurobek amplop itu, dunia terasa runtuh
saat kutahu apa yang ada di dalam amplop itu. Isi amplop itulah yang membuatku berada di
sini sekarang, di desa kelahiranku, di mana cinta pertamaku berada.
“Kita sudah sampai Non.” suara supirku membuyarkan
lamunanku.
Aku mengeluarkan cermin dan merapikan riasanku yang
sedikit pudar karena air mataku. Pintu mobil terbuka dan aku turun dengan
perasaan hampa. Kakiku terasa sangat lunglai, namun kupaksakan untuk melangkah
menuju sebuah rumah yang terlihat sedikit lebih besar dibanding terakhir kali
kulihat.
Rumah bercat putih itu nampak sangat ramai, beberapa
orang menoleh ke arahku, mungkin mereka bertanya-tanya siapakah diriku. Kupaksakan bibirku tersenyum ke arah mereka.
Kuteruskan langkahku menerobos keramaian, dan mataku menangkap sosoknya.
Semakin dekat diriku dengan sosok itu, semakin kencang jantungku berdetak. Saat
jaraknya hanya setengah meter dariku, kuhentikan langkahku. Mataku menatap ke
arahnya, matanyapun begitu. Berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam dadaku,
membuatku sesak, membuatku sulit bernapas.
Kubiarkan air mata berjatuhan di pipiku, persetan bila
make up-ku berantakan persetan dengan
semua orang yang ada di sana. Pandanganku hanya tertuju padanya, begitu pula
pikiranku. Hanya ada dia, Ardi.
Dirinyapun tak jauh berbeda denganku, dia berdiri mematung.
Waktu seakan berhenti saat pandangan kami bertemu. Ada
sejuta kata yang ingin kukatakan padanya, namun kini saat ia berdiri tepat di
depanku, rasanya tak ada satu katapun yang berguna. Kuangkat tangan kananku
perlahan dan kuulurkan ke arahnya, dia menyambut tanganku. Ada perasaan seperti
tersengat listrik saat kulit kami bersentuhan. Ingin kukatakan selamat
kepadanya, namun bibirku tak mampu mengucapakkan kata itu. Aku semakin terisak
dan kurasakan kakiku tak mampu lagi menopang berat badanku, tubuhkupun ambruk
ke dalam dekapannya, ke dalam dekapan cinta pertamaku yang telah mengucap janji
suci dengan wanita lain.
No comments:
Post a Comment