Monday, December 16, 2019

KARMA



Image courtesy of Thejakartapost

Tak banyak yang berubah dari desa kecil tempatku dilahirkan ini. Hampir semuanya masih sama seperti ketika terakhir kali aku ada di sini, sepuluh tahun yang lalu. Kuhirup udara segar pedesaan yang sudah sangat kurindukan. Hamparan sawah serta bukit menghijau memanjakan mataku yang sudah muak dengan tinggi dan padatnya gedung pencakar langit di Jakarta.

Mobil yang dikemudikan supir pribadiku melaju dengan perlahan karena memang jalan yang kami lalui sangat kecil dan kondisinya sudah rusak parah. Kusandarkan daguku pada jendela mobil yang sengaja kubuka lebar. Kurasakan hembusan angin membelai wajahku, meniup rambut tergeraiku. kupejamkan kedua mataku, membiarkan pikiranku melayang ke masa lalu, ke masa di mana aku masih bersama seseorang di sini, seseorang yang membuatku kembali ke desa kecil ini.



Namanya Ardi, teman dekatku sejak kecil. Kami seumuran dan kebetulan tinggal bersebelahan. Kami selalu pergi dan pulang sekolah bersama, dan karena kami sekelas, kamipun sering belajar dan membuat pr bersama. Kami begitu dekat, saking dekatnya kami tidak menyadari persahabatan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih indah.

Entah kapan perasaan itu mulai tumbuh. Mungkin saat kami mulai memasuki masa remaja, atau mungkin jauh sebelum itu, entahlah. Yang jelas aku mulai memperhatikan penampilanku setiap bertemu dengannya, merasa gugup apabila dia menatap mataku, merasakan perasaan berdebar setiap kulit kami bersentuhan secara tidak sengaja, menikmati getaran aneh yang kurasakan setiap berada di sampingnya. Kuhabiskan siangku bersamanya dan malamku memimpikannya.

Tidak ada kata-kata yang terucap, namun kami sudah semakin dekat. Dia mulai berani memegang tanganku dan mencium keningku, akupun beberapa kali memberikan kecupan mesra di pipinya. Teman-teman mulai menggoda kami, mengatakan kalau kami berpacaran, kami tidak mengiayakan, namun tidak menidakkan juga. Kami bahagia dengan apa yang kami jalani, status tidaklah penting.

Kedekatan itu terus berlanjut sampai kami menginjak bangku SMA kelas satu. Saat itu, hubungan kami sudah lebih serius. Kami sudah biasa memanggil sayang saat tidak ada orang lain di sekitar kami. Dia bahkan pernah tidak sengaja memanggilku sayang di depan beberapa teman perempuanku. Mereka semua tertawa dan menggodaku habis-habisan.

Hari-hari yang kami lalui terasa begitu indah sampai akhirnya suatu ketika sebuah musibah terjadi. Orang tuaku bercerai karena bapakku ketahuan selingkuh. Ibuku langsung mengajukan gugatan cerai dan setelah semuanya selesai, dia mengajakku pergi ke Jakarta. Aku menolak ajakan itu, tapi ibu tidak memedulikan penolakanku. Ibu mengurus kepindahanku dari sekolah tanpa sepengetahuanku, dan dengan terpaksa aku pergi dengannya. Semua terjadi dengan begitu cepat, dan tak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikan semua kekacauan itu.

Malam itu kucurahkan air mataku dalam pelukan Ardi. Aku tak ingin berpisah dengannya, tak  ingin jauh darinya. Kupeluk tubuhnya dengan sangat erat, kubenamkan wajahku di dada bidangnya.

Ardi membelai rambutku dengan lembut, “Naya, udah ya jangan nangis lagi. Kita cuma pisah untuk sementara kok.” bisiknya.

Mendengar kata-katanya, tangisku malah semakin keras.

“Aku sayang kamu.”

Kudongakkan kepalaku, menatap mata beningnya.

Dia mencium keningku.

Aku dan ibuku berangkat ke Jakarta keesokan paginya sekitar jam enam. Ardi tidak mengantarku sampai stasiun karena dia memang tidak tahu kalau kami akan berangkat sepagi itu. Aku takut tidak akan sanggup pergi kalau melihatnya sekali lagi.

Kukuatkan hatiku dan kunaiki kereta bersama ibu. Kuhempaskan tubuhku di tempat duduk di samping  jendela. Kereta mulai bergerak perlahan. Diantara deru mesin, sayu-sayup kudengar seseorang memanggilku. Aku menengok keluar jendela dan kulihat Ardi berlari di sampingku, “Naya... Aku akan menunggumu....”

Air mata meleleh dari kedua mataku, namun bibirku menyunggingkan sebuah senyuman. Kulambaikan tangan kananku ke arahnya dan beberapa saat kemudian dia menghilang dari pandanganku.

Kuusap tetesan air bening di pipiku, “Ardi..” bisikku lirih.

Bulan-bulan pertama di ibu kota merupakan sata-saat terberat dalam hidupku. Ibuku mengontrak sebuah rumah kecil di perumahan pinggir kota. Meskipun berada di pinggiran, perumahan itu sangat ramai. Aku berkenalan dengan beberapa tetangga baru, namun entah kenapa aku tidak merasa nyaman dengan mereka. Mereka sangat berbeda denganku, cara berpakaian, cara bicara, semuanya sangat berbeda. Tak hanya di rumah, akupun merasa kesulitan beradaptasi dengan teman-teman di sekolah baruku. Sekolahku memang bukan sekolah elit, namun penampilan siswa-siswa di sana sangat jauh bila dibandingkan dengan penampilan siswa di sekolahku dulu.

Satu-satunya hal yang membuatku senang adalah kedatangan pak pos yang membawa surat dari kekasihku nun jauh di desa sana. Ardi memang sudah berjanji akan mengirimkanku surat setiap minggu. Surat-surat yang dia kirimkan sangat panjang, bahkan ada yang sampai lima halaman. Dia menceritakan setiap detil yang terjadi dalam hidupnya; makanan apa yang ia makan untuk sarapan, baju apa yang ia kenakan saat menulis surat itu, jam berapa dia bangun pada hari Minggu, berapa kali dia memimpikanku minggu itu. Selain menceritakan tentang dirinya sendiri, dia juga menceritakan tentang teman-teman kami, tentang sekolah, tentang guru-guru kami, dan masih banyak yang lainnya. Terkadang dia juga menyelipkan fotonya, yang langsung kucium, kudekap, kubelai, lalu kupajang di meja samping tempat tidurku.

Tak hanya Ardi, dirikupun rajin mengirimkan surat padanya. Kuceritakan semua kesedihanku karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, kukatakan juga betapa aku sangat merindukannya. Meski terpisah jarak, cinta kami berdua masih sama besarnya, bahkan kerinduan di hati, membuat rasa cinta kami semakin dalam.

Setelah hampir setengah tahun pindah ke Jakarta, kusadari sesuatu terjadi pada ibuku. Ibu bekerja sebagai seorang wartawan di sebuah majalah tak begitu terkenal. Biasanya ia tak pernah begitu peduli dengan penampilannya, ibu bahkan tak punya keperluan make up memadai untuk menunjang penampilannya sebagai pemburu berita. Setiap pagi, ibu berdandan ala kadarnya, hanya bedak tipis dan lipstick cokelat muda favoritenya, rambutnya ia kuncir kuda. Namun pagi itu, dia duduk sedikit lebih lama di depan meja rias.

Kulangkahkan kakiku perlahan ke arahnya, lalu kusentuh pundaknya dari belakang, “Ibu..” ucapku pelan.

Ibu menatap bayanganku dicermin, “Iya, Sayang.” jawabnya sambil tersenyum.

 “Ibu kelihatan beda banget hari ini. Ada apa?”

Ibu membalikkan badannya, wajahnya terlihat sangat cerah, jauh berbeda dari biasanya. Kulihat matanya, dan kedua mata itu menyiratkan kebahagiaan, “Ngga ada apa-apa kok, Nay. Kamu ga siap-siap ke sekolah?”

Sebenarnya aku sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada ibu, namun kuputuskan  untuk tidak memaksanya bercerita. Melihatnya tersenyum seperti itu saja sudah sangat membuatku senang, “Hari ini Naya libur, Bu. Anak-anak kelas 3 pemantapan UN.”

 “Wah kebetulan sekali, hari ini kamu bersih-bersih rumah, ya.” Ibu berdiri dan mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya, “Beli bahan makanan terus masak ya, ibu pulang agak malam.”

 “Okay, Bu.” kataku sambil mengambil uang itu.

Ibu melihat ke arah cermin sekali lagi, membenarkan kerah kemejanya, lalu mengecup keningku, “Jaga rumah ya, Sayang. Ibu berangkat.”

Tak perlu waktu lama bagiku untuk mengetahui apa yang terjadi pada ibu. Sekitar tiga minggu sejak hari itu, ibu pulang ke rumah bersama dua orang; seorang pria yang sepertinya sedikit lebih tua darinya dan seorang gadis remaja yang kurasa seumuran denganku. Ibu terlihat sedikit gugup saat mau berbicara padaku, namun tanpa dia mengucapkan sepatah katapun aku sudah bisa menebak apa yang sedang terjadi. Ternyata pria inilah yang membuat ibuku berubah drastis.

 “Naya..”

Kusunggingkan senyum termanisku, “Naya ngerti kok, Bu.” Aku menoleh ke arah dua tamu kami dan mempersilakan mereka duduk. Awalnya terasa sedikit kaku, namun lama kelamaan kami mulai akrab. Pria itu bernama Om Ahmad, seorang pengusaha tekstil di Jakarta Timur, sedangkan putrinya bernama Karina, seperti dugaanku, dia juga berumur 16 tahun.

Setelah mengobrol sekitar dua jam, mereka berduapun pamit pulang, kami mengantar sampai di depan gerbang. Mataku sedikit melongo melihat mobil yang mereka kendarai karena setahuku mobil itu adalah mobil keluaran terbaru yang harganya sangat fantastis, “Sampai ketemu lagi, Naya.” kata Karina sambil melambaikan tangan.

 “Sampai ketemu lagi.” balasku sambil ikut melambaikan tangan.

Begitu mobil mereka menghilang di tikungan jalan, ibu menatapku dan bertanya, “Bagaimana?”

Sengaja kupasang wajah murung untuk menggoda ibu, “Naya bahagia kalau ibu bahagia.” kata-kata datar mengalir dari bibirku.

Ibu terlihat sedikit terkejut, “Kamu tidak suka mereka.”

Kupalingkan wajahku untuk menghindar dari tatapan ibu.

 “Naya?”

Aku tertawa kecil melihat kepanikan di wajahnya, “Naya cuma bercanda Bu, Naya suka banget sama mereka. Kapan mereka main lagi?”

Ibu menarik napas lega, “Kamu ini ya... Bikin ibu khawatir aja. Lain kali, kita yang akan ke rumah mereka.”

Seperti kata ibu, minggu berikutnya, Om Ahmad dan Karina datang menjemput kami untuk diajak ke rumah mereka. Sungguh tak bisa kusembunyikan rasa takjubku saat sampai di depan rumah- bukan, lebih tepat kukatakan istana- mereka. Bangunan berlantai dua itu sangat megah. Ada dua sendi besar berwarna putih yang menopang balkon di lantai atas. Halamannya pun cukup luas dan tertata dengan rapi. Sebuah kolam ikan dengan air mancur di tengahnya terletak di bagian kiri rumah.

 “Masuk yuk.” Karina menggandeng tanganku dan menuntunku masuk. Kami duduk bercengkrama di ruang tamu layaknya sebuah keluarga. Beberapa saat kemudian Karina mengajakku ke kamarnya, yang mirip seperti kamar putri raja. Kelambu berwarna pink mengelilingi tempat tidurnya, seprai dan bedcovernya juga bercorak pink. Selain itu, ada beberapa boneka besar di atas kasur springbednya.

Kami duduk di sofat dekat jendela sambil mengobrol. Karina bercerita kalau ibunya meninggal saat dia masih bayi. Sejak saat itu dia hanya tinggal bersama om Ahmad dan beberapa orang pembantu. Dari dulu dia ingin punya saudara, tapi ayahnya sepertinya tidak berniat untuk menikah lagi. Begitu tahu tentang hubungan ayahnya dengan ibuku, dia merasa sangat senang. Apalagi saat mengetahui kalau ibuku punya putri seusianya. Selain bercerita tentangnya, Karina juga menanyakan beberapa pertanyan tentangku, “Kamu sudah punya pacar belum, Nay?” Kurasakan pipiku bersemu merah karena malu lalu kuanggukkan kepalaku. Dia memaksaku untuk memberitahunya lebih jauh. Akupun bercerita tentang Ardi, ada kerinduan yang menggebu di dadaku, setiap kata tentang cinta pertamaku itu membuatku semakin merindukannya.

Waktu berlalu dan intensitas kedatangan pak Pos mulai berkurang, karena Ardi mulai sibuk membantu ayahnya di bengkel. Akupun mulai sibuk menyiapkan acara pernikahan ibuku dengan om Ahmad. Meskipun sudah jarang berkirim surat, kami berdua masih memiliki ikatan yang kuat. Jantungku masih berdebar tiap kali membaca surat darinya.

Beberapa bulan sejak kedatangan om Ahmad ke rumah kami untuk yang pertama kalinya,  ibuku akhirnya menikahinya dan kamipun pindah ke rumah megahnya itu. Tidak seperti di sinetron atau dongeng, keluarga tiriku sangat baik. Om Ahmad menganggapku sebagai anak kandungnya, begitu pula Karina yang menyayangiku layaknya saudara sendiri. Aku pindah ke sekolah Karina dan berada di kelas yang sama. Inilah awal mula keretakan hubunganku dengan Ardi.

Aku menerima sebuah surat darinya suatu hari, tak ada yang spesial dengan suratnya itu. Akupun membalasnya seperti biasa. Kuceritakan tentang kepindahanku ke sekolah baru dan bagaimana Karina melakukan make over padaku, bukan hanya pada penampilanku, tapi juga pada sifatku. Sedikit demi sedikit, aku sudah mulai bisa menggunakan bahasa lo-gue. Aku mulai bisa bergaul dengan teman-teman di sana, baik pria maupun wanita.

Sebelumnya malam dan hari mingguku kuhabiskan dengan berdiam diri di rumah, namun kini aku dan Karina selalu punya acara bersama teman-teman yang lain. Terkadang kami pergi nonton film di bioskop, atau belanja di mall, pergi renang, dan bahkan kami juga pernah menyewa sebuah villa di puncak. Villa itu punya kerabat dari salah seorang temanku, jadi kami mendapatkan harga yang sangat murah. Di villa itulah seseorang masuk ke dalam hidupku dan menjadi orang ketiga dalam hubunganku dan Ardi.

Aku tak pernah menduga aku akan sanggup mendua. Awalnya aku berusaha menghindarinya, aku berusaha menjaga hatiku hanya untuk Ardi seorang. Namun lama kelamaan, aku tak bisa menghindar lagi, mulai kuterima kenyataan kalau aku memang memiliki perasaan yang lebih dari sekedar teman kepada Hendri, nama pria itu. Apalagi Karina sangat mendukung kedekatan kami.

Hendri adalah seorang anak kuliahan yang tinggal satu kota denganku. Berpacaran dengannya sedikit menaikkan popularitasku, maklum, tak banyak anak SMA yang punya pacar seorang mahasiswa. Semakin lama, aku semakin tak memedulikan surat yang datang dari Ardi. Yeah, aku masih membaca surat-surat itu, masih membalasnya, namun balasan suratku sangat singkat dan dingin.

Tiga bulan berlalu, hubunganku dan Hendri kandas di tengah jalan karena dia mendua. Hatiku terasa sangat sakit. Akupun kembali mencurahkan perhatianku pada Ardi. Kutulis surat-surat panjang untuknya, kukirimkan foto-foto terbaruku padanya; “Kamu kelihatan tambah cantik sekarang, Nay.” katanya di salah satu suratnya. Kami kembali merasakan kehangatan cinta seperti dulu. Namun kehangatan hubunganku dan Ardi tak berlangsung lama karena bulan berikutnya kembali kutemukan cinta lain. Seperti sebelumnya, hubunganku itupun tak berlangsung lama.
Berganti-ganti kekasih namun tetap mempertahankan Ardi kulakoni selama beberapa  tahun. Sampai suatu hari aku merasa menemukan cinta sejati, cinta yang berbeda dari yang lainnya. Saat itu aku sudah bekerja di perusahaan ayah tiriku. Ya, om Ahmad mempekerjakanku di perusahaannya begitu kutamatkan S1 ku di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Nama pria itu adalah Andika, teman sekantorku. Dalam dirinya, kutemukan sesuatu yang tak pernah ada pada mantan-mantanku, dan saat itu pula kuputuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Ardi. Kukatakan padanya bahwa kisah kami sudah tidak bisa diteruskan. Terus terang saja sangat berat bagiku untuk mengatakan hal itu, namun tak mungkin juga selamanya kumendua darinya.

Ardi tidak menerima keputusanku begitu saja, dia nekat mendatangiku ke Jakarta. Ada sedikit rasa senang karena aku memang merindukannya, namun mengingat kini aku sudah menjadi milik orang lain, kuputuskan untuk menghindar dari Ardi. Sengaja kuminta om Ahmad untuk menugaskanku ke luar kota selama beberapa hari agar aku tak bertemu dengan Ardi. Kuakui, hal itu adalah salah satu hal terjahat yang pernah kulakukan seumur hidupku, tapi mau bagaimana lagi?

Walaupun sudah terang-terangan kujauhi, Ardi masih terus mengirimkanku surat sebulan sekali. Surat-suratnya tetap kubaca, namun tak pernah kubalas. Kata-kata yang dia tulis menyayat hatiku, membuatku merasakan sakit yang mungkin hampir sama besarnya dengan yang ia rasakan.

Aku masih mencintaimu, Naya. Aku masih menunggumu.” Kulipat kembali surat yang dikirim oleh Ardi lalu kutaruh dalam sebuah kotak besar yang sudah hampir penuh dengan suratnya. Kutatap deretan foto di atas meja kamarku, sudah tak ada lagi foto pria desa itu, yang ada hanya fotoku dan Andika.

Hubunganku dan Andika mulai menginjak ke arah yang lebih serius. Sudah beberapa kali kuajak dia main ke rumah. Om Ahmad dan ibu tampaknya menyukainya, “Apa kalian sudah berencana akan menikah?” tanya ibu saat Andika bertandang ke rumah kami.

“Gimana?” desak om Ahmad karena kami berdua diam membisu.

Kupandang kekasihku, raut wajahnya terlihat berubah. “Kenapa?” tanyaku melalui isyarat mata.

“Kami masih ingin fokus pada karir, Om, Tante.” jawabnya.

Orang tuaku tampak kecewa mendengar jawaban Andika, begitu pula diriku.

Keesokan harinya saat makan siang, aku menanyakan hal itu padanya, “Kamu serius kan tentang kita?” tanyaku.

Sendok dan garpu ditangannya berhenti bergerak.

“Sayang?”

I don’t wanna talk about it.

“Kenapa?”

Andika menghentikan aktivitas makannya, dia menatap mataku, “I love you.” ucapnya lirih.

“Terus kenapa?”

“Aku belum siap.”

“Belum siap? Apa lagi sih yang kamu tunggu? Umur kita sudah cukup untuk menikah. Masalah finansial? Karir kita sudah cukup bagus.”

Andika menghela napas dalam, “Ada sesuatu yang kamu tidak tahu tentangku.”

“Apa?”

Pria itu menggeleng.

Please.

Andika tampak sedikit ragu namun akhirnya dia berkata, “Sebenarnya, orang tuaku sudah menjodohkanku dengan seorang gadis pilihan mereka. Naya, maaf aku tidak memberitahukan ini sebelumnya, aku sudah bertunangan.”

Tak dapat kulukiskan dengan kata-kata apa yang kurasakan saat itu. Mulutku sedikit terbuka, namun tak sepatah katapun yang terucap.

“Maaf.”

Pita suaraku masih belum bisa berfungsi.

Please say something.” Andika menggenggam tanganku. “Naya, please... I really love you.

“Terus dia?”

Andika menunduk dan terdiam.

I need time.” Aku berdiri dan berjalan cepat ke ruanganku. Kuambil tas tanganku, “Shin, bilang sama Pak Reza, aku izin pulang duluan ya.” kataku pada Shintia, teman satu ruangan denganku.

“Mba Naya kenapa?”

“Ngga apa-apa kok.”

Kukendarai mobilku dengan perasaan tak menentu. Pikiranku kacau. Tak pernah terbayangkan hal seperti ini akan terjadi. Bagaimana bisa Andika melakukan ini padaku? Dan seketika bayangan Ardi muncul di benakku, apakah ini karma atas perbuatanku padanya?

Andika berusaha menghubungiku berkali-kali, namun tak satupun teleponnya kuangkat atau smsnya kubalas. Hatiku sudah terlanjur sakit. Orang tuaku nampaknya menyadari ada sesuatu yang salah pada diriku. Mau tak mau aku menceritakan semuanya pada mereka. Om Ahmad terlihat sangat marah dan tanpa sepengetahuanku, ia memecat Andika. Tak pernah lagi kulihat sosok pria itu, terakhir kudengar dari seorang teman kalau dia sudah kembali ke kampung halamannya.

Ada luka menganga di hatiku, dan kurasa akan perlu waktu yang sangat lama untuk mengobati luka itu. Aku mengambil cuti selama satu bulan dari kantor. Alih-alih pergi berlibur, kuhabiskan cutiku dengan mengurung diri di kamar. Kubuka dan kubaca semua surat yang Ardi kirimkan untukku, dari surat yang datang di minggu pertamaku di Jakarta hingga surat terakhir yang dia kirimkan dua bulan yang lalu. Ardi, kini saat patah hati lagi, aku kembali memikirkannya. Apakah dia masih mau menerimaku lagi?

Antara sadar dan tidak kutulis sepucuk surat untuk Ardi.

“Terkadang kita perlu kehilangan seseorang sebelum menyadari betapa berharganya seseorang itu dalam hidup kita. Terkadang sebuah hubungan diuji dengan berbagai macam cobaan, hanya untuk membuatnya lebih kuat. Kuakui aku salah telah menyia-nyiakanmu selama ini. Aku telah menyakitimu berkali-kali, namun kamu selalu ada untukku. Dan kini, kusadar tak ada yang lebih berharga di dunia ini dibandingkan cintamu. Ardi, maukah kau menerimaku kembali?”

Kubaca surat itu berkali-kali sebelum akhirnya melipatnya dan memasukkannya ke dalam sebuah amplop putih. Kuberjalan keluar rumah, dan begitu sampai di halaman depan, aku melihat pak pos yang biasa mengantar surat ke tempatku. Sebuah senyum secara refleks muncul di wajahku. Tak pernah sebelumnya aku sebahagia itu menerima surat dari Ardi.

“Terima kasih Pak.” kataku sambil menerima sebuah amplop dari pak pos. Dengan tak sabar kurobek amplop itu, dunia terasa runtuh saat kutahu apa yang ada di dalam amplop itu.  Isi amplop itulah yang membuatku berada di sini sekarang, di desa kelahiranku, di mana cinta pertamaku berada.

“Kita sudah sampai Non.” suara supirku membuyarkan lamunanku.

Aku mengeluarkan cermin dan merapikan riasanku yang sedikit pudar karena air mataku. Pintu mobil terbuka dan aku turun dengan perasaan hampa. Kakiku terasa sangat lunglai, namun kupaksakan untuk melangkah menuju sebuah rumah yang terlihat sedikit lebih besar dibanding terakhir kali kulihat.

Rumah bercat putih itu nampak sangat ramai, beberapa orang menoleh ke arahku, mungkin mereka bertanya-tanya siapakah diriku.  Kupaksakan bibirku tersenyum ke arah mereka. Kuteruskan langkahku menerobos keramaian, dan mataku menangkap sosoknya. Semakin dekat diriku dengan sosok itu, semakin kencang jantungku berdetak. Saat jaraknya hanya setengah meter dariku, kuhentikan langkahku. Mataku menatap ke arahnya, matanyapun begitu. Berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam dadaku, membuatku sesak, membuatku sulit bernapas.

Kubiarkan air mata berjatuhan di pipiku, persetan bila make up-ku berantakan persetan dengan semua orang yang ada di sana. Pandanganku hanya tertuju padanya, begitu pula pikiranku. Hanya ada dia, Ardi.

Dirinyapun tak jauh berbeda denganku, dia berdiri mematung.

Waktu seakan berhenti saat pandangan kami bertemu. Ada sejuta kata yang ingin kukatakan padanya, namun kini saat ia berdiri tepat di depanku, rasanya tak ada satu katapun yang berguna. Kuangkat tangan kananku perlahan dan kuulurkan ke arahnya, dia menyambut tanganku. Ada perasaan seperti tersengat listrik saat kulit kami bersentuhan. Ingin kukatakan selamat kepadanya, namun bibirku tak mampu mengucapakkan kata itu. Aku semakin terisak dan kurasakan kakiku tak mampu lagi menopang berat badanku, tubuhkupun ambruk ke dalam dekapannya, ke dalam dekapan cinta pertamaku yang telah mengucap janji suci dengan wanita lain.

No comments:

Post a Comment