Wednesday, December 11, 2019

Amanda




“Siapa penulis Cinderella? Siapa penulis Putri Tidur? Aku ingin protes; hidup bukanlah dongeng! Tak ada hidup bahagia selamanya!” kata-kata itu tertulis dengan huruf besar yang berantakan di halaman terakhir buku hariannya. Dia benar, hidup bukanlah sebuah dongeng. Seorang pangeran berkuda putih tidak akan datang ke kehidupanmu dan jatuh cinta padamu pada pandangan pertama seperti yang dikisahkan di dongeng-dongeng pengantar tidur. Hidup jauh lebih rumit dari itu. Menemukan cinta bukanlah hal yang mudah, dan bahkan saat kita berpikir kita sudah menemukan cinta dalam hidup kita, ternyata cinta itu hanyalah fatamorgana.
***
            Aku sedang berusaha tidur di atas karpet pada suatu malam yang dingin di bulan Agustus ketika aku mendengar bunyi langkah kaki mendekatiku. Aku menoleh ke atas dan aku menemukan dia berdiri dengan kedua kaki kurusnya, “Aku takut.” Katanya. Saat itu sekitar jam 2, dia seharusnya sudah tidur, tapi di sanalah ia, berdiri menatapku dengan mata sembab, “Aku ingin tidur denganmu.” Dia membaringkan tubuh tulang-berbalut-kulitnya di dekatku dan memelukku dari belakang. Aku yakin dia baru saja terbangun dari mimpi buruknya, mimpi yang tak pernah membiarkannya merasa aman, mimpi yang membuat matanya selalu merah karena kekurangan tidur.
            Aku memberikan sedikit kehangatanku padanya. Itulah satu-satunya hal yang bisa kulakukan. Dia memelukku dengan lebih erat, “Aku sangat takut. Dia sudah dekat. Malaikat kematian sudah berdiri di ambang pintu. Dia akan menjemputku.” Dia berbisik di telingaku. Aku harap aku tuli sehingga aku tidak akan bisa mendengar kata-kata mengerikannya. Aku tak ingin kehilangan dia. Aku belum siap. Aku tak akan pernah siap.
            Aku merasakan punggungku basah, oh tidak, dia menangis lagi, “Apa yang akan terjadi padamu kalau aku pergi? Siapa yang akan merawatmu?” dia terus mengucapkan kata-kata bodoh. Aku muak dengan ketakutan berlebihannya, tapi apa yang bisa kulakukan? Aku tak punya kemampuan untuk menghiburnya. Aku menarik nafas dalam dan berusaha untuk tidur. Aku memutuskan untuk tidak mendengarkan ocehan menyakitkan hatinya.
            ***
            Namanya Amanda, seorang gadis berumur 18 tahun. Tidak seperti gadis-gadis seusianya yang penuh dengan keceriaan masa muda, Amandaku adalah seorang gadis tertutup. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan tragis beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang ke-17. Dia memutuskan untuk berhenti sekolah dan sejak saat itu dia menghabiskan hari-harinya bersamaku, hanya bersamaku, sampai suatu hari perubahan besar terjadi pada hidupnya.     
            Amanda yang setelah ditinggal orang tuanya menjadi sorang gadis pendiam, tiba-tiba berubah drastis. Awalnya aku tidak menyadari perubahan itu, namun suatu hari, aku melihatnya. Dia duduk di depan meja rias sambil memegang handphone di telinga kanannya, dia sedang berbicara dengan seseorang! Dan bukan cuma itu, aku melihatnya memakai make-up! Amandaku sedang berias!
            Senyum senantiasa menghiasi wajah manisnya, tawa renyah terkadang keluar dari kedua bibir mungilnya. Itu pertama kalinya aku melihat dia sebahagia itu semejak kepergian kedua orang tuanya. Aku turut bahagia untuknya, tak mengetahui kalau kebahagiaan kecil itu merupakan gerbang menuju mimpi buruk untuknya, untuk kami.
            “Kamu sudah di depan?” Amanda terlonjak dari duduknya, “Tunggu sebentar, aku akan ke sana.” Dia melompat kecil dua kali lalu berlari menuju pintu. Dia merapikan rambutnya yang sudah sangat rapi sebelum membuka pintu coklat di depannya, “Hei...”
            Pria di depan pintu mengecup pipi kiri Amanda. Gadis manisku menggandeng tangannya dan mengajaknya masuk. Aku memperhatikan pria itu dengan seksama dan aku gagal menemukan alasan kenapa Amandaku bisa menyukainya. Dia memang cukup tampan, andai saja rambutnya tidak disemir pirang dengan panjang melewati telinganya. Dia lumayan manis, sayangnya ada tindik hitam di kedua telinganya dan satu tindik perak di dagunya, tepat di bawah bibirnya. Sebenarnya dia cukup menarik, asalkan dia menghapus tatto seorang gadis semi telanjang di lengannya. Aku tidak begitu menyukainya, tapi selama dia bisa membuat Amanda tersenyum, aku tidak keberatan dengan kehadirannya.
            “Browny, kenalkan, ini pacarku!” Amanda tersenyum ke arahku sambil tetap menggandeng tangan pria itu.
            “Browny?” pria itu mengernyitkan sebelah alisnya. Bau alkohol menguar saat dia membuka mulutnya.
            “Anjingku. Dia adalah teman terbaikku.”
            “Oh....”
            “Ini pacarku, Zacky. Dia adalah satu-satunya orang yang kumiliki sekarang.” Bibir Amanda tersenyum, setitik air bening menitik di ujung matanya, namun dia cepat-cepat menghapusnya, “Ayo kenalan.”
            Aku mengangkat sebelah kaki depanku dengan enggan, namun pria yang bernama Zacky itu malah mengalihkan pandangannya ke arah sofa, “Duduk yuk.” ajaknya.
            Amanda terlihat sedikit kecewa, namun dia mengangguk dan mereka berduapun duduk di sofa. Aku tak beranjak dari tempatku, tetap memperhatikan tamu asing ini. Mereka mengobrol sebentar, lalu pria itu mencondongkan badannya ke arah Amanda. Dia menjulurkan lidahnya dan menjilat pelipis gadis itu. Amanda menggelinjang kegelian, mendorong Zacky dengan halus, namun Zacky tak peduli. Dia bahkan menjilat bagian wajah Amanda yang lain. Dia menempelkan bibirnya dengan paksa, dan sepertinya Amanda mulai menikmati apa yang pacarnya lakukan, dia memejamkan matanya. Zacky semakin berani, dia meraba dada Amanda, cukup sudah! Aku tak tahan lagi!
            Aku berlari ke arah mereka dan menyalak dengan keras, mengusir setan yang merasuki mereka.
            “Browny.” Amanda tampak gelagapan, dia mengancingkan kembali kancing bajunya yang tadi sempat dibuka oleh Zacky.
            “Hush... Pergi, anjing sialan!” Zacky mengusirku dengan kasar, “Sayang, kita ke kamarmu yuk.” Dia beranjak dari sofa sambil menggandeng tangan Amanda.
            Aku menatap gadis kecilku yang kini sudah tumbuh dewasa tanpa kusadari, tolong jangan rusak dirimu.
            Amanda menoleh ke arahku, “Jangan nakal ya.”
            Dia dan pacarnya berjalan ke arah kamar Amanda. Aku berlari dan menghalangi mereka sambil terus menyalak. Aku benar-benar tidak menyukai pria ini!
            “Browny!” Amanda membentakku, “Jangan ganggu kami!”
            Mereka masuk ke kamar dan menutup pintu. Aku mengais-ngais pintu dengan cakarku. Aku memperkeras gonggonganku, namun itu sia-sia. Aku mulai mendengar suara-suara aneh dari dalam kamar. Suara-suara mengerikan... aku tak sanggup mendengarnya lagi. Akupun pergi ke dapur dan berusaha mencari makanan. Amanda lupa memberiku makan karena dia sibuk menelepon pacarnya itu dari pagi.


         Waktu terus bergulir, dunia terus berputar, semakin hari Amandaku semakin berubah. Dia semakin sering pergi keluar bersama Zacky dan pulang dalam keadaan mabuk. Terkadang aku melihatnya merokok, menghembuskan asap memuakkan dari bibirnya yang mulai menghitam. Dia bukan lagi gadis manis yang menyayangiku. Aku tak mengenalnya lagi. Aku tak tahu siapa gadis yang memakai tank top dan rok mini itu.
            Dia semakin menjauh dariku, benang merah yang dulu menghubungkan kami perlahan mulai menghilang, tak ada lagi kata-kata manisnya yang membujukku untuk makan, tak ada lagi usapan lembut di kepala dan punggungku, tak ada lagi snack sebelum tidur, tak adalagi makanan. Aku harus keluar, mencari makanan sendiri, mengais tong sampah tetangga. Tak jarang aku dikejar dan dilempari batu oleh anak kecil-anak kecil nakal di komplek perumahan kami, namum rasa sakit hantaman batu itu tak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit hatiku. Amanda sudah benar-benar tak mempedulikanku. Sempat terlintas dalam pikiranku untuk meninggalkannya, toh dia sudah tidak memerlukanku lagi, namun aku masih menyayanginya, aku masih memiliki harapan kalau suatu saat nanti dia akan menyayangiku lagi.
            Dan suatu hari, harapanku terkabul, walau tak sama persis seperti yang kuinginkan....
            Dia mendekapku, membelai punggungku, membasahinya dengan air mata. Aku berusaha berbalik, namun dekapannya terlalu erat, sehingga aku tak bisa bergerak, “Maafkan aku.” Bisiknya.
            Hanya itu yang dia ucapkan, selebihnya dia tertidur dengan tangan yang masih melingkar di tubuhku.
*****
            Zakcy tak pernah muncul lagi, Amanda juga sudah tidak pernah keluar rumah. Dia terlihat sangat menyedihkan, jauh lebih menyedihkan dibanding dulu sebelum kehadiran Zacky.
            Aku tak tahu apa yang terjadi padanya, dia tak pernah bercerita padaku, dia juga tidak pernah mengatakan apa yang terjadi pada hubungannya dengan Zacky. Aku harus mengumpulkan kepingan-kepingan puzzle dan menyatukannya hingga aku menemukan jawaban dari teka-teki ini, namun aku gagal.
            Hidup kami mulai dipenuhi dengan malam-malam gelap tanpa akhir. Tangisan dan teriakan tengah malam menghantui kami. Dia terlihat sangat ketakutan, sangat rapuh, tak pernah berhenti berbicara tentang kematian. Kematian? Kenapa Amanda kecilku selalu berbicara tentang kematian? Kenapa dia bertingkah seolah-olah dia akan segera mati? Apakah dia sakit? Sakit apa? Kenapa keadaannya semakin bertambah buruk? Kenapa tubuhnya semakin kurus? Kenapa nafsu makannya semakin berkurang? Sekarang aku sendiri tak yakin mana yang lebih baik, Amanda yang urakan, atau Amanda yang penyakitan seperti sekarang.
******

            Cahaya mentari menyeruak masuk ke dalam rumah mungil kami melalui jendela di ruang tamu. Aku merasa baru tertidur beberapa menit, namun ternyata ini sudah pagi. Aku berusaha meregangkan otot-ototku, namun genggaman tangan kaku dan dingin membuatku tak dapat bergerak dengan leluasa. Aku berusaha meloloskan diri dari depakan tangan dingin itu, aku berdiri dengan keempat kakiku, menghadap seorang gadis yang semalam menangis, meminta tidur denganku, seorang gadis yang semalam masih bernapas, namun kini sudah terbaring kaku dengan jantung yang tak lagi berdetak. Amandaku, Amanda kecilku sudah pergi.....


No comments:

Post a Comment