“Siapa penulis Cinderella? Siapa penulis Putri Tidur? Aku ingin protes;
hidup bukanlah dongeng! Tak ada hidup bahagia selamanya!” kata-kata itu
tertulis dengan huruf besar yang berantakan di halaman terakhir buku hariannya.
Dia benar, hidup bukanlah sebuah dongeng. Seorang pangeran berkuda putih tidak
akan datang ke kehidupanmu dan jatuh cinta padamu pada pandangan pertama
seperti yang dikisahkan di dongeng-dongeng pengantar tidur. Hidup jauh lebih
rumit dari itu. Menemukan cinta bukanlah hal yang mudah, dan bahkan saat kita
berpikir kita sudah menemukan cinta dalam hidup kita, ternyata cinta itu
hanyalah fatamorgana.
***
Aku
sedang berusaha tidur di atas karpet pada suatu malam yang dingin di bulan
Agustus ketika aku mendengar bunyi langkah kaki mendekatiku. Aku menoleh ke
atas dan aku menemukan dia berdiri dengan kedua kaki kurusnya, “Aku takut.”
Katanya. Saat itu sekitar jam 2, dia seharusnya sudah tidur, tapi di sanalah
ia, berdiri menatapku dengan mata sembab, “Aku ingin tidur denganmu.” Dia
membaringkan tubuh tulang-berbalut-kulitnya di dekatku dan memelukku dari
belakang. Aku yakin dia baru saja terbangun dari mimpi buruknya, mimpi yang tak
pernah membiarkannya merasa aman, mimpi yang membuat matanya selalu merah
karena kekurangan tidur.
Aku
memberikan sedikit kehangatanku padanya. Itulah satu-satunya hal yang bisa
kulakukan. Dia memelukku dengan lebih erat, “Aku sangat takut. Dia sudah dekat.
Malaikat kematian sudah berdiri di ambang pintu. Dia akan menjemputku.” Dia
berbisik di telingaku. Aku harap aku tuli sehingga aku tidak akan bisa mendengar
kata-kata mengerikannya. Aku tak ingin kehilangan dia. Aku belum siap. Aku tak
akan pernah siap.
Aku
merasakan punggungku basah, oh tidak, dia menangis lagi, “Apa yang akan terjadi
padamu kalau aku pergi? Siapa yang akan merawatmu?” dia terus mengucapkan
kata-kata bodoh. Aku muak dengan ketakutan berlebihannya, tapi apa yang bisa
kulakukan? Aku tak punya kemampuan untuk menghiburnya. Aku menarik nafas dalam
dan berusaha untuk tidur. Aku memutuskan untuk tidak mendengarkan ocehan
menyakitkan hatinya.
***
Namanya
Amanda, seorang gadis berumur 18 tahun. Tidak seperti gadis-gadis seusianya
yang penuh dengan keceriaan masa muda, Amandaku adalah seorang gadis tertutup.
Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan tragis beberapa hari sebelum ulang
tahunnya yang ke-17. Dia memutuskan untuk berhenti sekolah dan sejak saat itu
dia menghabiskan hari-harinya bersamaku, hanya bersamaku, sampai suatu hari
perubahan besar terjadi pada hidupnya.
Amanda
yang setelah ditinggal orang tuanya menjadi sorang gadis pendiam, tiba-tiba
berubah drastis. Awalnya aku tidak menyadari perubahan itu, namun suatu hari,
aku melihatnya. Dia duduk di depan meja rias sambil memegang handphone di
telinga kanannya, dia sedang berbicara dengan seseorang! Dan bukan cuma itu,
aku melihatnya memakai make-up! Amandaku sedang berias!
Senyum
senantiasa menghiasi wajah manisnya, tawa renyah terkadang keluar dari kedua
bibir mungilnya. Itu pertama kalinya aku melihat dia sebahagia itu semejak
kepergian kedua orang tuanya. Aku turut bahagia untuknya, tak mengetahui kalau
kebahagiaan kecil itu merupakan gerbang menuju mimpi buruk untuknya, untuk
kami.
“Kamu
sudah di depan?” Amanda terlonjak dari duduknya, “Tunggu sebentar, aku akan ke
sana.” Dia melompat kecil dua kali lalu berlari menuju pintu. Dia merapikan
rambutnya yang sudah sangat rapi sebelum membuka pintu coklat di depannya,
“Hei...”
Pria
di depan pintu mengecup pipi kiri Amanda. Gadis manisku menggandeng tangannya
dan mengajaknya masuk. Aku memperhatikan pria itu dengan seksama dan aku gagal
menemukan alasan kenapa Amandaku bisa menyukainya. Dia memang cukup tampan,
andai saja rambutnya tidak disemir pirang dengan panjang melewati telinganya.
Dia lumayan manis, sayangnya ada tindik hitam di kedua telinganya dan satu
tindik perak di dagunya, tepat di bawah bibirnya. Sebenarnya dia cukup menarik,
asalkan dia menghapus tatto seorang gadis semi telanjang di lengannya. Aku
tidak begitu menyukainya, tapi selama dia bisa membuat Amanda tersenyum, aku
tidak keberatan dengan kehadirannya.
“Browny,
kenalkan, ini pacarku!” Amanda tersenyum ke arahku sambil tetap menggandeng
tangan pria itu.
“Browny?”
pria itu mengernyitkan sebelah alisnya. Bau alkohol menguar saat dia membuka
mulutnya.
“Anjingku.
Dia adalah teman terbaikku.”
“Oh....”
“Ini
pacarku, Zacky. Dia adalah satu-satunya orang yang kumiliki sekarang.” Bibir Amanda
tersenyum, setitik air bening menitik di ujung matanya, namun dia cepat-cepat
menghapusnya, “Ayo kenalan.”
Aku
mengangkat sebelah kaki depanku dengan enggan, namun pria yang bernama Zacky
itu malah mengalihkan pandangannya ke arah sofa, “Duduk yuk.” ajaknya.
Amanda
terlihat sedikit kecewa, namun dia mengangguk dan mereka berduapun duduk di
sofa. Aku tak beranjak dari tempatku, tetap memperhatikan tamu asing ini.
Mereka mengobrol sebentar, lalu pria itu mencondongkan badannya ke arah Amanda.
Dia menjulurkan lidahnya dan menjilat pelipis gadis itu. Amanda menggelinjang
kegelian, mendorong Zacky dengan halus, namun Zacky tak peduli. Dia bahkan
menjilat bagian wajah Amanda yang lain. Dia menempelkan bibirnya dengan paksa,
dan sepertinya Amanda mulai menikmati apa yang pacarnya lakukan, dia memejamkan
matanya. Zacky semakin berani, dia meraba dada Amanda, cukup sudah! Aku tak
tahan lagi!
Aku
berlari ke arah mereka dan menyalak dengan keras, mengusir setan yang merasuki
mereka.
“Browny.”
Amanda tampak gelagapan, dia mengancingkan kembali kancing bajunya yang tadi
sempat dibuka oleh Zacky.
“Hush...
Pergi, anjing sialan!” Zacky mengusirku dengan kasar, “Sayang, kita ke kamarmu
yuk.” Dia beranjak dari sofa sambil menggandeng tangan Amanda.
Aku
menatap gadis kecilku yang kini sudah tumbuh dewasa tanpa kusadari, tolong
jangan rusak dirimu.
Amanda
menoleh ke arahku, “Jangan nakal ya.”
Dia
dan pacarnya berjalan ke arah kamar Amanda. Aku berlari dan menghalangi mereka
sambil terus menyalak. Aku benar-benar tidak menyukai pria ini!
“Browny!”
Amanda membentakku, “Jangan ganggu kami!”
Mereka
masuk ke kamar dan menutup pintu. Aku mengais-ngais pintu dengan cakarku. Aku
memperkeras gonggonganku, namun itu sia-sia. Aku mulai mendengar suara-suara
aneh dari dalam kamar. Suara-suara mengerikan... aku tak sanggup mendengarnya
lagi. Akupun pergi ke dapur dan berusaha mencari makanan. Amanda lupa memberiku
makan karena dia sibuk menelepon pacarnya itu dari pagi.
Waktu terus bergulir, dunia terus
berputar, semakin hari Amandaku semakin berubah. Dia semakin sering pergi
keluar bersama Zacky dan pulang dalam keadaan mabuk. Terkadang aku melihatnya
merokok, menghembuskan asap memuakkan dari bibirnya yang mulai menghitam. Dia
bukan lagi gadis manis yang menyayangiku. Aku tak mengenalnya lagi. Aku tak
tahu siapa gadis yang memakai tank top dan rok mini itu.
Dia
semakin menjauh dariku, benang merah yang dulu menghubungkan kami perlahan
mulai menghilang, tak ada lagi kata-kata manisnya yang membujukku untuk makan,
tak ada lagi usapan lembut di kepala dan punggungku, tak ada lagi snack sebelum
tidur, tak adalagi makanan. Aku harus keluar, mencari makanan sendiri, mengais
tong sampah tetangga. Tak jarang aku dikejar dan dilempari batu oleh anak
kecil-anak kecil nakal di komplek perumahan kami, namum rasa sakit hantaman
batu itu tak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit hatiku. Amanda sudah
benar-benar tak mempedulikanku. Sempat terlintas dalam pikiranku untuk
meninggalkannya, toh dia sudah tidak memerlukanku lagi, namun aku masih
menyayanginya, aku masih memiliki harapan kalau suatu saat nanti dia akan
menyayangiku lagi.
Dan
suatu hari, harapanku terkabul, walau tak sama persis seperti yang
kuinginkan....
Dia
mendekapku, membelai punggungku, membasahinya dengan air mata. Aku berusaha
berbalik, namun dekapannya terlalu erat, sehingga aku tak bisa bergerak,
“Maafkan aku.” Bisiknya.
Hanya
itu yang dia ucapkan, selebihnya dia tertidur dengan tangan yang masih
melingkar di tubuhku.
*****
Zakcy
tak pernah muncul lagi, Amanda juga sudah tidak pernah keluar rumah. Dia
terlihat sangat menyedihkan, jauh lebih menyedihkan dibanding dulu sebelum
kehadiran Zacky.
Aku
tak tahu apa yang terjadi padanya, dia tak pernah bercerita padaku, dia juga
tidak pernah mengatakan apa yang terjadi pada hubungannya dengan Zacky. Aku
harus mengumpulkan kepingan-kepingan puzzle dan menyatukannya
hingga aku menemukan jawaban dari teka-teki ini, namun aku gagal.
Hidup
kami mulai dipenuhi dengan malam-malam gelap tanpa akhir. Tangisan dan teriakan
tengah malam menghantui kami. Dia terlihat sangat ketakutan, sangat rapuh, tak
pernah berhenti berbicara tentang kematian. Kematian? Kenapa Amanda kecilku
selalu berbicara tentang kematian? Kenapa dia bertingkah seolah-olah dia akan
segera mati? Apakah dia sakit? Sakit apa? Kenapa keadaannya semakin bertambah
buruk? Kenapa tubuhnya semakin kurus? Kenapa nafsu makannya semakin berkurang?
Sekarang aku sendiri tak yakin mana yang lebih baik, Amanda yang urakan, atau Amanda
yang penyakitan seperti sekarang.
******
Cahaya
mentari menyeruak masuk ke dalam rumah mungil kami melalui jendela di ruang
tamu. Aku merasa baru tertidur beberapa menit, namun ternyata ini sudah pagi.
Aku berusaha meregangkan otot-ototku, namun genggaman tangan kaku dan dingin
membuatku tak dapat bergerak dengan leluasa. Aku berusaha meloloskan diri dari
depakan tangan dingin itu, aku berdiri dengan keempat kakiku, menghadap seorang
gadis yang semalam menangis, meminta tidur denganku, seorang gadis yang semalam
masih bernapas, namun kini sudah terbaring kaku dengan jantung yang tak lagi
berdetak. Amandaku, Amanda kecilku sudah pergi.....
No comments:
Post a Comment