Masuk UKM MAPALA memang
merupakan keinginanku sejak
dulu. Di SMA-ku tidak ada
SISPALA, jadi aku tidak pernah dapat kesempatan untuk mengenal lebih
jauh tentang kegiatan pencinta alam.
Image courtesy of wallpapercave.com |
Aku dan puluhan mahasiswa baru lainnya berkerumun di dekat gardu tinggi
yang ada di kampus tengah. Kakak-kakak dari MAPALA Loka Samgraha sedang mempromosikan UKM tertua kedua di
Undiksha ini, “Yakin deh, kalian nggak bakalan nyesel ikut MAPALA. Banyak
kegiatan-kegiatan serunya, kayak hiking, trekking, camping, dan diving.” kata seorang cowok berkaca mata, kalau nggak
salah namanya kak Adi.
“Keanggotaan MAPALA berlaku seumur hidup, nggak kayak UKM lainnya. Kalaupun
kalian sudah tamat dari Undiksha, kalian akan tetap menjadi anggota LS.” imbuh
seorang cewek yang berdiri di sampingnya, namanya kak Putri.
Aku tersenyum, membayangkan betapa menyenangkannya menjadi anak MAPALA, bisa
bersatu dengan alam; mendaki gunung, kemah di hutan, dan menyelam di laut-laut
Bali yang keindahan bawah lautnya sudah tidak disangsikan lagi.
“Ada yang bertanya? Kalau mau bertanya sebut nama dan jurusan ya!” suara
kak Adi membuyarkan lamunan indahku.
Aku langsung angkat tangan, “Nama saya Rahayu Metasari, jurusan Pendidikan
Bahasa Inggris. Kak, maaf ya sebelumnya, saya sempet denger MAPALA itu
singkatan dari Mahasiswa Paling Lama, bener nggak sih kak?”
Kak adi tersenyum mendengar pertanyaanku. Senyumnya cukup manis walaupun wajahnya lumayan serem. Rambutnya agak gondrong
dan kulitnya hitam legam, “Jangan percaya, itu cuma gossip. Kalo dulu emang sih
motto anak MAPALA itu “Jangan
sampai kuliah mengganggu organisasi”, tapi sekarang udah berubah. Banyak kok
anak MAPALA yang bisa wisuda tepat waktu dengan IP tinggi.”
Aku lega mendengar jawaban Kak Adi.
“Ada pertanyaan lain?”
Beberapa mahasiswa mengangkat tangan dan bertanya, tapi aku nggak begitu
memperhatikan pertanyaan-pertanyaan mereka, aku sibuk membayangkan
kegiatan-kegiatan yang akan aku lakukan nanti setelah bergabung dengan UKM
MAPALA.
Setelah sesi tanya jawab, seorang anggota MAPALA yang agak chubby berkata, “Nah adik-adik, udah
nggak ada pertanyaan kan? Oh iya, nama kakak Putra Wibisana, panggil aja Wibi.
Ada yang mau nyoba flying fox nggak?”
“MAU......” semua mahasiswa baru angkat tangan.
“Kamu deh, yang nanya pertama tadi.” Kak Wibi menunjukku.
“Saya kak?”
“Iya kamu, siapa nama kamu?”
“Rahayu kak.” Aku seneng banget. Gila... Flying fox gratis! Kapan lagi?!
Akupun berjalan ke arah pohon di pinggir lapangan belakang ditemani kak Wibi, setelah sebelumnya aku
dipasangkan harness.
“Ini aman kan kak?” tanyaku, sedikit ragu melihat tali beridiameter sekitar
2 cm yang diikatkan di pohon.
“Aman donk. Aku aja yang gendut ini udah sering nyoba. Ayo naik.”
Aku memanjat pohon itu dibantu seorang kakak yang lumayan manis. Jaya
Mahendra, aku baca nama yang tertulis di bajunya, “Wah, kamu hebat ya dik.
Nggak banyak lho cewek yang bisa manjat pohon ini.”
Aku hanya tersenyum, Kak Jaya lalu memasang pengait (kalau aku nggak salah
namanya figure of 8 dan delta screwgate). Beberapa saat kemudian dia memberikan
isyarat pada seorang cowok yang ada di ujung tali lagi satunya. Diapun
mendorongku dan aku meluncur perlahan. Gila! Asyik banget! Rasanya
seperti melayang di udara! Beban
selama OKK seakan terbang bersama angin. Tekadku sudah bulat, aku akan ikut
MAPALA!!
*****
Beberapa hari berlalu. Aku mendapat sms dari Kak Jaya kalau MAPALA akan
mengadakan persami (Perkemahan Sabtu Minggu). Aku benar-benar bersemangat. Aku
langsung sms teman-temanku yang juga tertarik untuk bergabung dengan MAPALA, Ernita dan Dewanti. Kamipun langsung
bersiap-siap. Aku memasukkan senter, beberapa potong pakaian, snack, bubur dan
mie instan, dua botol air mineral, perlengkapan mandi, dan sandal cadangan ke
ranselku yang lumayan besar. Dewanti yang suka makan langsung merampok
Alfamart, membeli semua snack kesukaanya. Tasnya penuh dengan makanan-makanan
kurang sehat itu. Sedangkan Ernita membawa mattress untuk alas kami
tidur nanti.
Hari Sabtu yang sudah ditunggupun datang. Kami berjalan menuju secretariat MAPALA
LS yang jaraknya cuma 400 meter dari kos kami. Sampai di sana kami melihat
kakak-kakak MAPALA dan beberapa mahasiswa baru yang sebagian besar tidak
kukenal. Aku menoleh sekeliling, pandanganku berhenti saat aku melihat
seseorang berjaket kulit warna hitam. Aneh sekali, panas – panas seperti ini bias pakai
jaket kulit tebal!
Setelah mendapatkan pengarahan seperlunya, kamipun berangkat dengan
berjalan kaki melewati hamparan sawah yang luas dan hijau serta menyusuri
sungai besar yang airnya sangat jernih. Mataku tak henti-hentinya menatap cowok
berjaket itu. Dia lumayan tinggi dan kuliat wajahnya sangat bersih. Dia sangat
pendiam. Aura misterius menyelimuti cowok itu.
Perjalanannya lumayan melelahkan. Akhirnya setelah satu jam berjalan,
kamipun sampai di areal perkemahan. Beberapa kakak MAPALA sudah terlihat di sana.
“Sekarang kalian dibagi menjadi 3 kelompok.” Kata Kak Wibi. Dia kemudian
membacakan pembagian kelompok, “Kelompok 1 Rian, Andika, Sintia, Nita, dan Rini.
Kelompok 2 Indra, Puri, Ita, Rangga, dan Liana. Kelompok 3 Rahayu, Ernita,
Dewanti, Rahmat, Joko, dan Eka.”
Aku, Ernita, dan Dewanti berteriak senang. Asyik.. kami satu kelompok.
“Sekarang kalian bagi tugas, ada yang membuat bivak dan ada yang masak.”
Kak Wibi memberikan pengarahan.
Aku langsung bergabung bersama kelompokku, ternyata aku sekelompok dengan
cowok misterius itu, namanya Eka. Dia, Joko, dan Rahmat bergegas membangun
bivak, sedangkan aku dan yang lainnya berjuang menghidupkan api dan memasak mie
dan bubur instan yang kami
bawa.
Beberapa jam kemudian, semuanya sudah siap. Makanan kami sudah jadi
dan bivakpun sudah dibangun. Luasnya
kira-kira 3x3 meter, dindingnya terbuat dari ranting-ranting kayu, atapnya daun
pisang, dan alasnya karpet yang dibawa oleh Ernita.
Sekitar jam tujuh kami makan bersama mengelilingi sebuah api unggun besar,
rasanya menyenangkan sekali.
Walaupun makanan kami sederhana, rasanya sangat enak, terlebih Eka duduk di sampingku.
Aku memandanginya diam-diam. Api unggun menerangi sebagian wajahnya. Dia
sangat manis.
Setelah makan, kami tidak langsung tidur. Eka mengeluarkan sebuah gitar dan
mulai memainkannya. Beberapa orang, termasuk aku, bernyanyi mengiringi petikan gitarnya. Dear God! Lagu
kesukaanku!
Malam semakin larut, dingin mulai merasuki tubuh kami. Kamipun langsung
disuruh tidur supaya besok bisa bangun pagi. Masing-masing kelompok tidur
bareng, tidak peduli lelaki atau perempuan, “Kita sekarang di alam. Alam tidak
membeda-bedakan mana cewek mana cowok.” kata Kak Jaya.
Aku dan kelompokku tidur berjejer di dalam bivak. Joko, Rahmat, Eka, aku, Ernita, dan
Dewanti. Aku tidur di samping Eka! Entah kenapa jantungku jadi berdegup
kencang. Rasanya sangat gugup, aku jadi susah memejamkan mata.
Yang lain sudah terlena di alam mimpi, sedangkan aku masih terjaga seratus
persen. Aku tidak bisa tidur!
“Dingin ya?” Eka memecah kesunyian.
Dia bicara sama aku ya?
Aku mengangguk. Bodoh! Mana bisa dia liat kalo aku mengangguk?! “Iya.” jawabku singkat. Singaraja merupakan salah
satu kota paling panas di Bali, tapi ternyata ada ada tempat sedingin ini di Singaraja.
Dia mengulurkan selimutnya ke arahku.
Aku agak ragu. Walau
bagaimanapun dia itu lelaki!
Mana mungkin aku tidur satu
selimut dengan pria asing?
“Pakai aja. Daripada kamu mati kedinginan.” dia tertawa pelan. Ya Tuhan, tawanya lembut sekali! Akupun langsung menarik selimutnya, tapi
aku berusaha sekuat mungkin agar kulitku tidak bersentuhan dengannya.
Aku pikir aku akan bisa
tidur, tapi ternyata tidak.
Jantungku berdegup lebih kencang dan napasku terasa berat. Ayolah Rahayu!
Tidur! Besok harus bangun pagi-pagi!
Keesokan harinya aku dibangunkan Eka, “Bangun Yu, udah pagi.” Katanya.
Aku seketika membuka mataku. Ya ampun, wajahnya manis banget! Akupun
langsung bangun. Lalu,kami
bebaris sesuai kelompok.
“Bagaimana kesan kalian tentang kemah ini?” tanya kak Wibi.
“Seruuu.” kami menjawab
serempak.
“Nah sekarang kalian mandi ya, bau kambing semua.” kak Wibi tertawa. “Cowok mandi di bagian selatan
dan cewek mandi di utara, di balik batu gede itu.” Katanya sambil menunjuk ke
sungai.
Aku dan teman-teman perempuan yang lainpun mengambil perlengkapan mandi dan segera menuju ke balik batu.
Airnya bener-bener sejuk dan jernih. Saat sedang asyik-asyiknya mandi,
tiba-tiba mataku melihat Eka yang berjalan mendekat. Aku secara spontan menutup
dadaku dan berteriak, “Eka, kamu ngapain ke sini?”
Dia terlihat keheranan, “Ya mandilah, ngapain lagi?”
“Tempat mandi cowok kan di selatan!”
Dia tertawa lumayan lama sambil memegang perutnya, beberapa anak lain juga
tertawa, “Pasti kamu ngira aku cowok, ya!” katanya setelah berhenti
tertawa.
Dia melepas jaket kulitnya, “Gini-gini, aku cewek tulen lo!” dia lalu
melepas T-shirt dan celana trainingnya! Gila! Bener-bener gila! Dia beneran perempuan!
“Nggak usah bengong gitu Yu. Emang banyak orang yang ngira aku cowok. Penampilanku
mirip banget ya ma cowok?” dia menceburkan dirinya ke sungai, “Sejuk ya.”
Katanya.
Aku bengong, tidak bisa mengatakan apa-apa. Eka perempuan? Rasanya aku mau pingsan!
No comments:
Post a Comment