Aku berdiri di
depan cermin, memperhatikan dengan malas baju ungu muda berenda putih yang
sedang kukenakan. Ini adalah baju keempat yang kucoba malam ini, “Kayaknya aku
nggak jadi pergi deh.” kataku pada bayangan wajah sahabatku, Renita, yang
terpantul di cermin.
Image courtesy of Hdqwalls |
“Nggak boleh. Kamu
udah janji mau nemenin aku!” Renita terlihat cemberut.
“Aku nggak punya
baju bagus untuk dipakai!”
“Kamu tu cantik
make baju apa aja. Liat nih, lemarimu penuh baju-baju keren. Pake yang mana
aja.” Dia mengambil beberapa helai baju dari lemariku.
Sebenarnya ini
hanya alasan. Aku malas pergi menonton konser Netral di Gedung Kesenian Gede
Manik. Aku lebih memilih diam di kos, tidur-tiduran, facebookan, baca novel, atau apa sajalah, daripada duduk berdesak-desakkan
sambil berteriak tidak jelas. Huh.. apa yang harus aku lakukan supaya Renita
sadar kalau aku tidak mau pergi?
“Yang merah ini
bagus.” Katanya sambil menyodorkan baju you
can see merah yang baru aku beli beberapa minggu yang lalu.
“Masak malem-malem
pake baju kayak gini?”
“Kalo yang ini
gimana?” kali ini dia menyodorkan T-shirt hitam dengan tulisan “Avenged
Sevenfold”.
“Seingetku ini konsernya Netral, bukan Avenged Sevenfold.”
“Aduhhh.... kalo
gitu kamu telanjang aja, deh!” bentaknya.
“Nggak usah
marah-marah gitu dong.” Aku mengambil
kaos lengan panjang berwarna putih. Sebenarnya aku berniat ngambil baju hijau
muda yang ada di bawah kaos itu, tapi entah kenapa tanganku mengambil kaos yang
putih.
Aku berganti
pakaian dengan cepat. Kaos putih itu aku padukan dengan jeans panjang warna
hitam, “Nggak make jaket?” tanya Renita.
“Nggak, males. Yuk
berangkat!”
Aku dan Renita
lalu berjalan ke Gedung Kesenian yang kebetulan jaraknya cuma 300 meter dari
kosku. Sampai di sana, suasana sudah sangat ramai.
Tiba-tiba, mataku
menangkap sesosok makhluk yang sudah tidak asing lagi bagiku. Iya, itu dia!
Walaupun hanya melihat punggungnya secara sekilas, aku bisa merasakan kalau itu
memang benar-benar dia! Aku meremas tangan Renita dengan keras, dia menoleh ke
arahku, “Apaan sih Nay? Kok tanganku dibejek?”
“Itu dia!”
“Siapa?”
“DIA”
“Eh ni anak,
gilanya kumat. Masuk yuk, ntar kita nggak dapet tempat strategis.”
Aku tidak dapat
menggerakkan kakiku. Aku ingin berlari, mengejar makhluk itu, tapi kakiku
lumpuh mendadak. Renita menyeretku masuk ke dalam gedung sambil mengoceh.
“Duduk sini aja, ya!” Dia duduk di
deretan keempat. Tempat duduk di depan kami masih sepi, hanya ada beberapa
cowok dari jurusan lain yang terlihat asyik mengobrol. Aku tidak begitu memperhatikan mereka
karena mataku sibuk mencari-cari sosok itu.
“Mau nonton sambil
berdiri?” Renita menarik tanganku. Aku pun duduk, tapi mataku masih
mencari-cari. Ke mana dia?
“Tadi ngeliat
siapa, sih?”
Kalau tidak salah dia
memakai baju putih dan jeans hitam
juga. Mataku langsung menyapu
seluruh ruangan yang agak remang dengan mataku, berusaha mencari orang yang
memakai baju putih dan celana panjang hitam, berusaha mencari dia.
“Ngeliat hantu, ya?
Sampai kamu mendadak jadi
gagu kayak gitu?”
Ada seorang cowok
dengan pakaian yang sama di dekat panggung, bukan, itu bukan dia. Ada juga yang
sedang merokok di pojok gedung, itu juga bukan dia. Aduh.. dia ke mana?
Ada juga cowok
yang baru saja masuk, bu... DIA! Itu dia. Dia bersama beberapa cowok berjalan
ke arah kami, lalu.... lalu dia duduk tepat di depanku. Dia menyapa cowok-cowok
yang sudah duduk di sana, sepertinya mereka satu jurusan! What? Tunggu dulu! Kalau mereka satu jurusan berarti dia kuliah di
sini? Dia kuliah di Undiksha juga? Aku dan dia satu univer....
“Woi!” sebuah
teriakan masuk ke telingaku, “Kalo kamu emang nggak niat nemenin aku nonton,
nggak usah kayak gini dong caranya!
Mendingan kita pulang aja dah!”
Aku tersentak,
kualihkan pandanganku dari punggungnya ke wajah sahabat baikku sejak SMA.
Mukanya merah karena marah, “Jangan... jangan pulang.”
“Kamu kenapa sih, Nay? Kamu denger nggak sih aku ngomong dari tadi?”
“Aku lihat dia, Ren!” kataku, sedikit berteriak untuk mengimbangi bunyi musik yang mulai
mengalun.
“Dia dia dia! Dari
tadi bilang dia terus, dia siapa, sih?”
Aku menunjuk cowok
yang duduk di depanku.
“Siapa dia?”
Renita bertanya setelah melihat sekilas orang yang kutunjuk.
3 tahun sebelumnya...
Aku adalah seorang
siswi SMA di sebuah sekolah swasta favorite di kotaku, SMERTI. Sekolahku sangat
besar, ada sekitar 600 siswa di masing-masing angkatan. Setiap angkatan dibagi
menjadi 20 kelas yang ditempatkan di 3 lokasi sekolah yang berbeda. Aku menempati
gedung sekolah A, gedung inti yang terletak di dekat taman kota. Di sekolah itu
aku bertemu banyak teman baru, salah satunya adalah Renita. Kami sangat cepat
akrab karena memiliki hobi yang sama, yaitu nonton Dorama Jepang dan dengerin lagu Bahasa Jepang, tapi bukan berarti
kami tidak berjiwa
nasionalis, ya!
Setahun sekali
sekolahku mengadakan SMERTI Sport Vaganza
yang diikuti semua siswa SMERTI, yang jumlahnya lebih dari 1.500 orang itu,
baik sebagai peserta kegiatan maupun tim hore alias penonton. Aku sebenarnya
sangat malas mengikuti acara seperti itu, buang-buang tenaga saja, tapi Renita
membujukku, lebih tepatnya memaksaku, untuk ikut. Dia tidak punya sahabat lain
selain aku, jadi aku terpaksa menemaninya.
Pertandingan saat
itu adalah futsal, kalo tidak salah anak XII IPA berapa gitu melawan anak kelas
XII IPS sekian sekian. Aku tidak begitu memperhatikan jalannya pertandingan
karena terus terang saja, aku tidak suka futsal. Buat apa memperebutkan satu
bola yang kalu sudah didapat, malah ditendang?
Aku sibuk memeriksa
homepage facebookku, mencoba melakukan
sesuatu untuk menghilangkan rasa bosan.
“GOOOOLLLL”
komentator berteriak.
Aku menoleh
sekilas ke tengah lapangan, terlihat seorang cowok menaikkan baju yang dia pakai
sampai menutupi mukanya. Pasti dia si pencetak gol. Ritual aneh untuk permainan
yang aneh. Aku berniat melanjutkan membaca status teman - teman facebook-ku, saat tiba-tiba cowok yang berhasil memasukkan
bola itu menurunkan kaosnya dan memperlihatkan wajah manisnya. Ya Tuhan! Waktu
terasa melambat, semuanya bergerak dalam slow
motion! Apa benar dia siswa SMERTI? Wajah dan gayanya seperti cowok yang
keluar dari komik Jepang! Kulit putih bersih, postur tinggi, rambut
acak-acakakan yang keren! Dia tipe cowok yang selama ini aku cari-cari!
Aku meremas tangan
Renita yang duduk di sampingku.
“Awww..” dia
menjerit dan menarik tangannya dari genggamanku, lalu mencubitku. Sakit!
Berarti ini bukan mimpi! Cowok keren di tengah lapangan itu bukan hanya
halusinasi!
“Kamu kenapa sih?”
“Itu...” aku
menjunjuk cowok yang sudah mencuri hatiku.
“Apa?”
“Dia keren
banget.”
“Yang mana?”
mendengar kata keren, Renita langsung bersemangat.
“Yang baru aja
masukin bola.”
“Iya, keren.”
“Kamu kenal?”
“Nggak.”
Aku memasukkan handphone-ku ke saku baju dan mulai
memperhatikan pertandingan dengan serius (baca: memperhatikan cowok itu dengan
mata yang tak berkedip). Dia bukan bintang lapangan ternyata. Dia tidak mencetak gol lagi setelah itu, but who cares?
Semakin diperhatikan, dia semakin mirip tokoh kartun Jepang. Benar-benar keren!
Sejak kejadian
hari itu, aku rajin mencari informasi tentang dia dari teman-temanku, tapi tidak
banyak informasi yang aku dapat. Kata seorang temanku, yang bertanding futsal
saat itu adalah kelas yang sekolah di gedung C, letaknya lumayan jauh dari
gedung sekolahku.
SMERTI Sport Vaganza berlalu, aku sama sekali
belum pernah melihatnya lagi. Aku sedih, tapi harapanku tidak mati. Aku jadi
sering bolos supaya bisa pergi ke gedung C. Dua hari berturut-turut aku ke sana,
tapi hasilnya sangat mengecewakan. Aku sama sekali tidak melihatnya.
Aku sempat putus
asa, tapi rasa penasaranku terhadap cowok itu membangkitkan semangatku.
Akhirnya di hari ke-3, aku melihatnya! Aku melihat cowok itu lagi! Dia sedang
makan di kantin bersama beberapa cowok yang sepertinya pemain futsal juga.
Aku menarik tangan
seorang siswa yang kebetulan lewat di sampingku, “Ehh, kamu tau cowok yang di
kantin itu nggak?”
“Yang mana?”
“Yang lagi makan
bakso.”
“Kan ada banyak
cowok yang makan bakso di kantin!”
Aduh! Iya juga, ya.
Ada banyak cowok di sana. Aku tidak mungkin menunjuk ke arahnya.
“Yang atlet
futsal! Nyetak gol waktu Sport Vaganza!”
“Kayaknya Raka deh.
Dia emang jago main futsal.”
Raka! Namanya tidak
kalah keren dengan orangnya! Raka Raka Raka!
“Thanks, ya!”
“Iya, sama-sama.”
Siswa itu pergi
menuju kantin sementara aku tetap berdiri di bawah pohon cemara sambil melihat
Raka. Renita tidak mau menemaniku bolos, karena dia sangat menyukai mata
pelajaran hari itu.
Aku melihat beberapa
cewek mendekati Raka dan mereka tertawa-tawa! Aduh! Aku cemburu! Mereka tidak
boleh mendekati Rakaku!
Aku tetap berdiri
di sana sampai lonceng tanda masuk kelas berbunyi. Teman-teman Raka terlihat
berlarian masuk kelas, sedangkan dia berjalan perlahan ke arahku! Ke arahku! Slow motion yang kedua terjadi. Apa yang
harus aku lakukan? Kalau ini adalah salah satu adegan sinetron, dia pasti akan
menabrakku. Iya, dia pasti akan menabrakku sampai aku terjatuh, lalu dia
membantuku berdiri dan mata kami bertemu hingga benih-benih cinta muncul
di antara kami! Aku tersenyum senang membayangkan hal itu.
Tapi... Dia
berlalu begitu saja tanpa sempat menyenggolku sedikit pun. Apa aku transparan? Apa
dia tidak melihatku? Aku berbalik, memperhatikan Raka yang berjalan menjauh, pada
hitungan ketiga dia akan menoleh ke arahku... satu.... dua... dua seperempat,
dua sepertiga, dua setengah..... dia menghilang di balik tembok salah satu
ruang kelas.
Kenapa bisa
seperti ini? Pasti ada kesalahan teknis!
Aku kembali ke sekolahku
dengan kecewa, tapi setidaknya aku sudah tahu namanya. Raka! Raka... indah,
manis, keren seperti orangnya.
Untunglah jam
pertama kosong, Bu Padmi tidak bisa mengajar karena sakit. Aku duduk di kursiku
dengan seulas senyum manis, “Gimana Nay? Udah ngeliat dia?”
“Iya!” kataku
dengan sedikit berteriak, beberapa siswa menoleh ke arah kami, tapi aku tak
peduli, “Namanya Raka!” aku berteriak lagi, lalu aku memeluk Renita.
Dia juga terlihat
senang, “Wah, selamat ya! Akhirnya kamu bisa kenalan juga sama dia.”
“Nggak bisa
dibilang kenalan sih.”
Renita melepaskan
pelukanku, “Terus?”
“Aku nanya seorang
murid di sana, katanya nama tu cowok Raka.”
“Yahh nggak seru.”
“Biarin! Yang
penting aku udah tau namanya. Oh Raka.... aishiteru...”
“Kenapa nggak ngomong
langsung ke orangnya?”
“Yang bener aja!
Jangankan bilang suka, ngomong satu huruf aja kayaknya susah banget. Aku tu
jadi gila kalo liat dia. Otakku jadi nggak bisa berfungsi dengan baik.”
“Kalo kayak gini
susah bisa deket ma dia.”
“Bantuin dong makanya.
Aku suka banget ma dia Ren. Tau sendiri kan aku nggak gampang suka ma cowok?” Aku
memang bukan tipe orang yang bisa dengan mudah menyukai seseorang. Cowok
pencentak gol itu merupakan cowok pertama yang aku sukai.
“Ngirim surat aja,
gimana?”
“Ngirim surat?”
“Iya! Kamu kan
susah ngomong tuh kalo ada deket ma dia. Tulis aja perasaamu. Terus kasi dia.”
Ide yang agak
jadul, tapi tidak ada salahnya dicoba. Akupun mengeluarkan sehelai kertas dari
tasku dan mulai menarikan pulpenku di atasnya. Aku bilang kalau aku suka sama
dia dan ingin menjadi teman dekatnya (kalau bisa sih menjadi pacarnya, hehe).
Keesokan harinya
aku dan Renita pergi ke gedung C lagi. Kami mengintai kantin, tapi sosok Raka tidak
kelihatan.
“Eh kamu, sini dong!” Renita memanggil
seorang siswi berkaca mata, dari strip dasinya aku tahu kalau dia siswa kelas X.
Cewek itu
mendekat, “Ada apa, ya?”
“Tau kelasnya
Raka?”
“Raka siapa?”
“Raka siapa
namanya, Nay?”
Raka siapa? Aduh!
Bodoh! Aku tidak menanyakan nama lengkapnya!
“Raka pemain
futsal. Dia nyetak gol waktu Sport
Vaganza.”
“Maaf, aku nggak
tau.” Cewek itu pun pergi.
Kami sibuk
menanyakan beberapa siswa tentang kelasnya Raka, tapi tidak ada yang tahu Raka
mana yang kami maksud. Huh.. ada berapa anak yang bernama Raka di sekolah ini, sih?
Renita terlihat capek, aku juga. Kami pun kembali ke gedung A dengan tangan
kosong. Surat itu masih terbungkus dengan rapi di kantong bajuku.
Keesokan harinya
kami ke sana lagi. Kami sudah menyusun strategi untuk mengetahui kelas Raka. Kami
akan masuk kelas satu persatu, pura-pura jadi perwakilan OSIS yang mengumumkan
kegiatan Tirta Yatra untuk anak-anak kelas dua belas. Untung jumlah kelas dua
belas di gedung C tidak banyak, hanya 6 kelas.
Aku sempat ragu
dengan rencana gila Renita ini, tapi aku tidak punya pilihan lain.
Kelas pertama yang
kami masuki sedang mendapat pelajaran Matematika. Kami memberikan pengumuman
dengan terbata-bata, maafkan kami ya Tuhan, kami terpaksa berbohong. Aku
melihat ke seluruh ruangan, tidak ada Raka.
Kelas kedua sedang
mendapat pelajaran Bahasa Jepang, tidak ada Raka juga.
Kelas ketiga agak
ribut, beberapa cowok duduk di depan kelas. Aku dan Renita saling dorong,
“Kayaknya ini nggak mungkin kelas Raka, masuk kelas lain aja, yuk!” bisik
Renita.
“Bisa aja ini
kelasnya Raka.” Aku juga berbisik.
“Coba kelas yang
lain aja.”
Aku melihat
sekilas ke arah cowok-cowok itu, mereka terlihat agak sangar, kami pun
memutuskan untuk memasuki kelas lain.
Kelas keempat, tidak
ada Raka. Kelas kelima, tidak ada juga, kelas keenam, kosong, mungkin sedang
mendapat pelajaran olah raga. Aku masuk ke kelas itu dan melihat papan
administrasinya, tidak ada yang namanya Raka.
“Kayaknya kelas
yang tadi itu deh kelasnya Raka.”
“Iya, yakin mau ke
sana?”
“Aku takut sih.
Tapi aku udah kangen banget ma Raka, temenin ya.” Aku memasang wajah memelasku
supaya Renita mau menemaniku. Dia mengangguk. Kami lalu kembali ke kelas
ketiga. Cowok-cowok itu sudah tidak ada di sana, syukurlah. Kami melangkahkan
kaki dengan perlahan. Di sana! Di dekat pintu! Raka menyender ke tembok dengan kerennya.
Dia memakai jaket hitam yang diresleting sampai leher, tangannya dimasukkan ke
kantong celana abu-abunya. Kakiku lemas seketika. Aku terhipnotis pesonanya.
Renita
menyenggolku, “Ayo, kasi suratnya.”
Aku menarik napas
panjang beberapa kali lalu mengambil surat itu dari dalam tas ku, “Temenin.”
“Aku tunggu di
sini aja. Ayo dong, kasi dia! Ntar keburu dia masuk!”
Aku bergerak
perlahan, mungkin kecepatanku kalah dibandingkan kecepatan siput. Dia di sana,
cuma tiga meter dariku. Ayolah Nayla, kapan lagi ada kesempatan seperti ini?
Aku mempercepat langkahku, “Hai.”
Dia memandang
sekelilingnya, tidak ada siapa-siapa. “Nyari siapa?” dia bertanya. Ya ampun...
suaranya sangat lembut!
Aku mendekat lagi
sampai jarakku cuma setengah meter darinya. Raka terlihat lebih manis dari dekat
dan dia wangi! Aku semakin terpesona olehnya.
“Nyari siapa?” dia
mengulang pertanyaannya.
Aku mengulurkan
suratku tanpa sepatah katapun. Lidahku kelu, keringat dingin mengalir dari
sekujur tubuhku.
Dia mengambil
surat itu dari tanganku, “Surat?” tanyanya.
Aku mengangguk
cepat.
“Untuk Raka.” Dia
membaca tulisan tanganku di amplop. Aku harap tulisanku tidak begitu jelek,
“Raka... ada surat untuk kamu.” Dia berteriak ke dalam.
WHAT? APA? NANI? Apa aku tidak salah dengar? Dia
manggil Raka? Lalu dia siapa?
Seorang cowok
keluar dari kelas, sepertinya dia juga ikut main futsal waktu itu! Oh tidak!
Aku salah orang!
Aku segera merebut
surat itu dari tangan Raka, eh bukan, cowok yang aku kira namanya Raka, lalu
aku berlari kencang ke arah Renita. Aku menarik tangannya menuju tempat parkir.
Gila! Ini benar-benar gila dan memalukan! Aku ingin mati saja rasanya!
Hari itu hari
terakhir aku masuk ke area gedung C, bukan karena aku berhenti menyukai cowok
itu, tapi karena orang tuaku marah-marah mengetahui aku sering bolos.
Lima bulan
berlalu. Kakak-kakak kelas dua belas pun tamat. Dia, cowok itu pergi tanpa tahu
kalau ada seorang Nayla yang benar-benar menyukainya. Dia pergi begitu saja.
Aku bahkan tidak tahu namanya.
Waktu hari
pengumuman kelulusan aku berdesak-desakkan bersama siswa-siswa kelas X dan XI
yang juga ingin melihat pengumuman itu. Kebetulan pengumumannya hanya dipasang
di gedung A.
Kelas XII IPA 16,
semuanya lulus. Aku bersusah payah membaca nama-nama siswa yang tertera di
sana, ada dua puluh tiga, Raka Aditya adalah salah satunya, tapi jelas itu
bukan nama cowok yang aku suka.
Aku keluar dari
kerumunan itu dengan wajah menunduk. Aku tidak akan bisa bertemu dia lagi.
Tanpa terasa dua tetes air mata menitik dari mataku. Aku merasa sangat sedih.
“Nayla!” Renita
belari ke arahku, “Ada dia..”
“Di mana?” aku
mengusap air mataku.
“Di depan
gerbang!”
Aku segera berlari
menuju gerbang. Aku melihatnya. Dia sedang sibuk tanda tangan di baju teman-temannya.
Mungkin ini kesempatan terakhirku. Aku harus bicara padanya. Now or never! Aku berjalan perlahan,
menahan gejolak di dadaku. Jantungku berdetak semakin cepat. Aku benar-benar
gugup.
Akhirnya aku
berdiri tepat di depannya. Aku menyodorkan lengan kananku, “Tanda tangan di
sini, ya!” Ucapku.
Dia menoleh
keheranan, tapi kemudian tersenyum dan mencoret lengan baju putihku. Dia
lumayan lama memainkan spidolnya di lengan bajuku. Mungkin dia tidak hanya
tanda tangan, tapi juga menulis nama lengkap, alamat facebook, atau bahkan nomor handphone-nya!
Aku sangat senang! Tidak ada kata-kata yang bisa melukiskan bagaimana
perasaanku saat itu. Setelah dia selesai, aku langsung berlari ke arah Renita
tanpa sempat mengucapkan terima kasih.
Aku memeluk
Renita, “Aku dapet tanda tangannya!” teriakku.
“Mana?”
Aku menyodorkan
lengan kananku padanya.
“Kamu kan bukan
kelas 3!” dia berkata perlahan.
“Maksudnya?”
“Dia nggak tanda
tangan, dia nulis gitu di bajumu.”
“Apa?” aku
langsung melihat hasil coretan cowok itu, iya, benar, bukan tanda tangan. Aku
berlari lagi ke gerbang, tapi terlambat, dia sudah pergi. Aku tidak pernah
melihatnya lagi sejak hari itu.
Masa-masa SMA ku
yang seharusnya penuh tawa, menjadi hambar. Aku merasa sangat kehilangan. Siapa
namanya? Siapa nama cowok manis itu?
“Siapa dia?”
Renita berteriak di telingaku.
“Cowok yang aku
suka.”
“Kamu suka ma
cowok? Siapa? Kok nggak pernah bilang?”
“Gedung C.” ucapku
lirih.
“Gedung C?” Renita
mengulang perkataanku dengan intonasi yang berbeda, “Maksud kamu, cowok yang
kamu kira Raka?”
Aku mengangguk.
“Wah! Gila!
Kebetulan banget, ya! Kali ini kamu bener-bener harus ngomong ma dia! Kesempatan
ini nggak akan datang dua kali!”
Iya, aku harus bicara
padanya, “Aku harus ngomong apa?”
“Apa ya?? Hmm...
gini aja, pura-pura salah orang. Ntar kamu tanya, ‘hei, Ricky ya?’, gitu, pasti
berhasil.”
Otak Renita memang
dipenuhi ide-ide gila. Aku tidak yakin akan menuruti kata-katanya. Aku
memusatkan perhatian ke punggung makhluk manis yang duduk tepat di depanku ini. Aku merindukannya, aku sungguh merindukannya.
Konser segera dimulai,
para personil Netral naik ke atas panggung dan disambut histeris oleh
penggemar-penggemar mereka, termasuk Renita. Mereka menyanyikan lagu “Garuda di
Dadaku” dan beberapa lagu lain yang asing di telingaku.
Cowok itu tampak
asyik menikmati lagu-lagu Netral. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
ikut bernyanyi. Dia terlihat lebih manis, lebih keren.
Tiba-tiba handphone-ku berbunyi, ada panggilan
masuk, dari Mama. Aku tidak mungkin nerima telepon di sini, “Aku keluar bentar
ya Ren, Mama nelepon.” kataku pada Renita.
Aku pun keluar
dari gedung kesenian dan bicara sebentar sama Mama, lalu aku bergegas kembali
ke dalam. Alangkah kagetnya aku saat tahu kalau dia sudah tidak ada di sana,
“Dia ke mana?”
“Siapa?”
“Siapa lagi kalo
bukan dia?”
“Tadi di sini kok,
beneran!” Renita terlihat panik. Kami berusaha mencari cowok itu dengan mata
kami, tapi dia sudah tidak ada. Dia menghilang!
Aku terduduk
dengan lesu. Hilang sudah kesempatan yang sudah lama aku tunggu. Dia pergi lagi
seperti waktu itu. Tanpa sempat tahu kalau aku menyukainya, tanpa sempat memberitahuku
namanya, “Aku mau pulang, ya!”
“Beneran mau
pulang? Konsernya masih seru, nih!”
“Iya. Aku pulang
sendiri aja. Maaf ya nggak bisa nemenin nonton.”
“Yakin mau pulang
sendiri?”
“Iya, kamu nonton
aja.”
Aku pun keluar.
Lalu berjalan di trotoar dengan
perlahan. Air mataku menitik lagi, aku sangat kecewa. Aku sudah menyia-nyiakan
kesempatan yang mungkin tidak akan pernah datang lagi. Hey, siapa namamu?
No comments:
Post a Comment