Wednesday, April 8, 2020

Siapa Namamu?


Aku berdiri di depan cermin, memperhatikan dengan malas baju ungu muda berenda putih yang sedang kukenakan. Ini adalah baju keempat yang kucoba malam ini, “Kayaknya aku nggak jadi pergi deh.” kataku pada bayangan wajah sahabatku, Renita, yang terpantul di cermin.

Image courtesy of Hdqwalls

“Nggak boleh. Kamu udah janji mau nemenin aku!” Renita terlihat cemberut.    

“Aku nggak punya baju bagus untuk dipakai!”

“Kamu tu cantik make baju apa aja. Liat nih, lemarimu penuh baju-baju keren. Pake yang mana aja.” Dia mengambil beberapa helai baju dari lemariku.

Sebenarnya ini hanya alasan. Aku malas pergi menonton konser Netral di Gedung Kesenian Gede Manik. Aku lebih memilih diam di kos, tidur-tiduran, facebookan, baca novel, atau apa sajalah, daripada duduk berdesak-desakkan sambil berteriak tidak jelas. Huh.. apa yang harus aku lakukan supaya Renita sadar kalau aku tidak mau pergi?

“Yang merah ini bagus.” Katanya sambil menyodorkan baju you can see merah yang baru aku beli beberapa minggu yang lalu.

“Masak malem-malem pake baju kayak gini?”

“Kalo yang ini gimana?” kali ini dia menyodorkan T-shirt hitam dengan tulisan “Avenged Sevenfold”.

Seingetku ini konsernya Netral, bukan Avenged Sevenfold.

“Aduhhh.... kalo gitu kamu telanjang aja, deh!” bentaknya.

“Nggak usah marah-marah gitu dong.” Aku mengambil kaos lengan panjang berwarna putih. Sebenarnya aku berniat ngambil baju hijau muda yang ada di bawah kaos itu, tapi entah kenapa tanganku mengambil kaos yang putih.

Aku berganti pakaian dengan cepat. Kaos putih itu aku padukan dengan jeans panjang warna hitam, “Nggak make jaket?” tanya Renita.

“Nggak, males. Yuk berangkat!”

Aku dan Renita lalu berjalan ke Gedung Kesenian yang kebetulan jaraknya cuma 300 meter dari kosku. Sampai di sana, suasana sudah sangat ramai.

Tiba-tiba, mataku menangkap sesosok makhluk yang sudah tidak asing lagi bagiku. Iya, itu dia! Walaupun hanya melihat punggungnya secara sekilas, aku bisa merasakan kalau itu memang benar-benar dia! Aku meremas tangan Renita dengan keras, dia menoleh ke arahku, “Apaan sih Nay? Kok tanganku dibejek?”

“Itu dia!”

“Siapa?”

“DIA”

“Eh ni anak, gilanya kumat. Masuk yuk, ntar kita nggak dapet tempat strategis.”

Aku tidak dapat menggerakkan kakiku. Aku ingin berlari, mengejar makhluk itu, tapi kakiku lumpuh mendadak. Renita menyeretku masuk ke dalam gedung sambil mengoceh.

“Duduk sini aja, ya!” Dia duduk di deretan keempat. Tempat duduk di depan kami masih sepi, hanya ada beberapa cowok dari jurusan lain yang terlihat asyik mengobrol. Aku tidak begitu memperhatikan mereka karena mataku sibuk mencari-cari sosok itu.


“Mau nonton sambil berdiri?” Renita menarik tanganku. Aku pun duduk, tapi mataku masih mencari-cari. Ke mana dia?

“Tadi ngeliat siapa, sih?”

Kalau tidak salah dia memakai baju putih dan jeans hitam juga. Mataku langsung menyapu seluruh ruangan yang agak remang dengan mataku, berusaha mencari orang yang memakai baju putih dan celana panjang hitam, berusaha mencari dia.

“Ngeliat hantu, ya? Sampai kamu mendadak jadi gagu kayak gitu?”

Ada seorang cowok dengan pakaian yang sama di dekat panggung, bukan, itu bukan dia. Ada juga yang sedang merokok di pojok gedung, itu juga bukan dia. Aduh.. dia ke mana?

Ada juga cowok yang baru saja masuk, bu... DIA! Itu dia. Dia bersama beberapa cowok berjalan ke arah kami, lalu.... lalu dia duduk tepat di depanku. Dia menyapa cowok-cowok yang sudah duduk di sana, sepertinya mereka satu jurusan! What? Tunggu dulu! Kalau mereka satu jurusan berarti dia kuliah di sini? Dia kuliah di Undiksha juga? Aku dan dia satu univer....

“Woi!” sebuah teriakan masuk ke telingaku, “Kalo kamu emang nggak niat nemenin aku nonton, nggak usah kayak gini dong caranya! Mendingan kita pulang aja dah!”

Aku tersentak, kualihkan pandanganku dari punggungnya ke wajah sahabat baikku sejak SMA. Mukanya merah karena marah, “Jangan... jangan pulang.”

“Kamu kenapa sih, Nay? Kamu denger nggak sih aku ngomong dari tadi?”

“Aku lihat dia, Ren!” kataku, sedikit berteriak untuk mengimbangi bunyi musik yang mulai mengalun.

“Dia dia dia! Dari tadi bilang dia terus, dia siapa, sih?”

Aku menunjuk cowok yang duduk di depanku.

“Siapa dia?” Renita bertanya setelah melihat sekilas orang yang kutunjuk.
           
3 tahun sebelumnya...
Aku adalah seorang siswi SMA di sebuah sekolah swasta favorite di kotaku, SMERTI. Sekolahku sangat besar, ada sekitar 600 siswa di masing-masing angkatan. Setiap angkatan dibagi menjadi 20 kelas yang ditempatkan di 3 lokasi sekolah yang berbeda. Aku menempati gedung sekolah A, gedung inti yang terletak di dekat taman kota. Di sekolah itu aku bertemu banyak teman baru, salah satunya adalah Renita. Kami sangat cepat akrab karena memiliki hobi yang sama, yaitu nonton Dorama Jepang dan dengerin lagu Bahasa Jepang, tapi bukan berarti kami tidak berjiwa nasionalis, ya!

Setahun sekali sekolahku mengadakan SMERTI Sport Vaganza yang diikuti semua siswa SMERTI, yang jumlahnya lebih dari 1.500 orang itu, baik sebagai peserta kegiatan maupun tim hore alias penonton. Aku sebenarnya sangat malas mengikuti acara seperti itu, buang-buang tenaga saja, tapi Renita membujukku, lebih tepatnya memaksaku, untuk ikut. Dia tidak punya sahabat lain selain aku, jadi aku terpaksa menemaninya.

Pertandingan saat itu adalah futsal, kalo tidak salah anak XII IPA berapa gitu melawan anak kelas XII IPS sekian sekian. Aku tidak begitu memperhatikan jalannya pertandingan karena terus terang saja, aku tidak suka futsal. Buat apa memperebutkan satu bola yang kalu sudah didapat, malah ditendang?

Aku sibuk memeriksa homepage facebookku, mencoba melakukan sesuatu untuk menghilangkan rasa bosan.

“GOOOOLLLL” komentator berteriak.

Aku menoleh sekilas ke tengah lapangan, terlihat seorang cowok menaikkan baju yang dia pakai sampai menutupi mukanya. Pasti dia si pencetak gol. Ritual aneh untuk permainan yang aneh. Aku berniat melanjutkan membaca status teman - teman facebook-ku,  saat tiba-tiba cowok yang berhasil memasukkan bola itu menurunkan kaosnya dan memperlihatkan wajah manisnya. Ya Tuhan! Waktu terasa melambat, semuanya bergerak dalam slow motion! Apa benar dia siswa SMERTI? Wajah dan gayanya seperti cowok yang keluar dari komik Jepang! Kulit putih bersih, postur tinggi, rambut acak-acakakan yang keren! Dia tipe cowok yang selama ini aku cari-cari!

Aku meremas tangan Renita yang duduk di sampingku.

“Awww..” dia menjerit dan menarik tangannya dari genggamanku, lalu mencubitku. Sakit! Berarti ini bukan mimpi! Cowok keren di tengah lapangan itu bukan hanya halusinasi!

“Kamu kenapa sih?”

“Itu...” aku menjunjuk cowok yang sudah mencuri hatiku.

“Apa?”

“Dia keren banget.”

“Yang mana?” mendengar kata keren, Renita langsung bersemangat.

“Yang baru aja masukin bola.”

“Iya, keren.”

“Kamu kenal?”

“Nggak.”

Aku memasukkan handphone-ku ke saku baju dan mulai memperhatikan pertandingan dengan serius (baca: memperhatikan cowok itu dengan mata yang tak berkedip). Dia bukan bintang lapangan ternyata. Dia tidak mencetak gol lagi setelah itu, but who cares? Semakin diperhatikan, dia semakin mirip tokoh kartun Jepang. Benar-benar keren!

Sejak kejadian hari itu, aku rajin mencari informasi tentang dia dari teman-temanku, tapi tidak banyak informasi yang aku dapat. Kata seorang temanku, yang bertanding futsal saat itu adalah kelas yang sekolah di gedung C, letaknya lumayan jauh dari gedung sekolahku.

SMERTI Sport Vaganza berlalu, aku sama sekali belum pernah melihatnya lagi. Aku sedih, tapi harapanku tidak mati. Aku jadi sering bolos supaya bisa pergi ke gedung C. Dua hari berturut-turut aku ke sana, tapi hasilnya sangat mengecewakan. Aku sama sekali tidak melihatnya.

Aku sempat putus asa, tapi rasa penasaranku terhadap cowok itu membangkitkan semangatku. Akhirnya di hari ke-3, aku melihatnya! Aku melihat cowok itu lagi! Dia sedang makan di kantin bersama beberapa cowok yang sepertinya pemain futsal juga.

Aku menarik tangan seorang siswa yang kebetulan lewat di sampingku, “Ehh, kamu tau cowok yang di kantin itu nggak?”

“Yang mana?”

“Yang lagi makan bakso.”

“Kan ada banyak cowok yang makan bakso di kantin!”

Aduh! Iya juga, ya. Ada banyak cowok di sana. Aku tidak mungkin menunjuk ke arahnya.

“Yang atlet futsal! Nyetak gol waktu Sport Vaganza!”

“Kayaknya Raka deh. Dia emang jago main futsal.”

Raka! Namanya tidak kalah keren dengan orangnya! Raka Raka Raka!

“Thanks, ya!”

“Iya, sama-sama.”

Siswa itu pergi menuju kantin sementara aku tetap berdiri di bawah pohon cemara sambil melihat Raka. Renita tidak mau menemaniku bolos, karena dia sangat menyukai mata pelajaran hari itu.

Aku melihat beberapa cewek mendekati Raka dan mereka tertawa-tawa! Aduh! Aku cemburu! Mereka tidak boleh mendekati Rakaku!

Aku tetap berdiri di sana sampai lonceng tanda masuk kelas berbunyi. Teman-teman Raka terlihat berlarian masuk kelas, sedangkan dia berjalan perlahan ke arahku! Ke arahku! Slow motion yang kedua terjadi. Apa yang harus aku lakukan? Kalau ini adalah salah satu adegan sinetron, dia pasti akan menabrakku. Iya, dia pasti akan menabrakku sampai aku terjatuh, lalu dia membantuku berdiri dan mata kami bertemu hingga benih-benih cinta muncul di antara kami! Aku tersenyum senang membayangkan hal itu.

Tapi... Dia berlalu begitu saja tanpa sempat menyenggolku sedikit pun. Apa aku transparan? Apa dia tidak melihatku? Aku berbalik, memperhatikan Raka yang berjalan menjauh, pada hitungan ketiga dia akan menoleh ke arahku... satu.... dua... dua seperempat, dua sepertiga, dua setengah..... dia menghilang di balik tembok salah satu ruang kelas.

Kenapa bisa seperti ini? Pasti ada kesalahan teknis!

Aku kembali ke sekolahku dengan kecewa, tapi setidaknya aku sudah tahu namanya. Raka! Raka... indah, manis, keren seperti orangnya.

  
Untunglah jam pertama kosong, Bu Padmi tidak bisa mengajar karena sakit. Aku duduk di kursiku dengan seulas senyum manis, “Gimana Nay? Udah ngeliat dia?”

“Iya!” kataku dengan sedikit berteriak, beberapa siswa menoleh ke arah kami, tapi aku tak peduli, “Namanya Raka!” aku berteriak lagi, lalu aku memeluk Renita.

Dia juga terlihat senang, “Wah, selamat ya! Akhirnya kamu bisa kenalan juga sama dia.”

“Nggak bisa dibilang kenalan sih.”

Renita melepaskan pelukanku, “Terus?”

“Aku nanya seorang murid di sana, katanya nama tu cowok Raka.”

“Yahh nggak seru.”

“Biarin! Yang penting aku udah tau namanya. Oh Raka.... aishiteru...”

“Kenapa nggak ngomong langsung ke orangnya?”

“Yang bener aja! Jangankan bilang suka, ngomong satu huruf aja kayaknya susah banget. Aku tu jadi gila kalo liat dia. Otakku jadi nggak bisa berfungsi dengan baik.”

“Kalo kayak gini susah bisa deket ma dia.”

“Bantuin dong makanya. Aku suka banget ma dia Ren. Tau sendiri kan aku nggak gampang suka ma cowok?” Aku memang bukan tipe orang yang bisa dengan mudah menyukai seseorang. Cowok pencentak gol itu merupakan cowok pertama yang aku sukai.

“Ngirim surat aja, gimana?”

“Ngirim surat?”

“Iya! Kamu kan susah ngomong tuh kalo ada deket ma dia. Tulis aja perasaamu. Terus kasi dia.”

Ide yang agak jadul, tapi tidak ada salahnya dicoba. Akupun mengeluarkan sehelai kertas dari tasku dan mulai menarikan pulpenku di atasnya. Aku bilang kalau aku suka sama dia dan ingin menjadi teman dekatnya (kalau bisa sih menjadi pacarnya, hehe).

Keesokan harinya aku dan Renita pergi ke gedung C lagi. Kami mengintai kantin, tapi sosok Raka tidak kelihatan.

“Eh kamu, sini dong!” Renita memanggil seorang siswi berkaca mata, dari strip dasinya aku tahu kalau dia siswa kelas X.

Cewek itu mendekat, “Ada apa, ya?”

“Tau kelasnya Raka?”

“Raka siapa?”

“Raka siapa namanya, Nay?”

Raka siapa? Aduh! Bodoh! Aku tidak menanyakan nama lengkapnya!

“Raka pemain futsal. Dia nyetak gol waktu Sport Vaganza.”

“Maaf, aku nggak tau.” Cewek itu pun pergi.

Kami sibuk menanyakan beberapa siswa tentang kelasnya Raka, tapi tidak ada yang tahu Raka mana yang kami maksud. Huh.. ada berapa anak yang bernama Raka di sekolah ini, sih? Renita terlihat capek, aku juga. Kami pun kembali ke gedung A dengan tangan kosong. Surat itu masih terbungkus dengan rapi di kantong bajuku.

Keesokan harinya kami ke sana lagi. Kami sudah menyusun strategi untuk mengetahui kelas Raka. Kami akan masuk kelas satu persatu, pura-pura jadi perwakilan OSIS yang mengumumkan kegiatan Tirta Yatra untuk anak-anak kelas dua belas. Untung jumlah kelas dua belas di gedung C tidak banyak, hanya 6 kelas.

Aku sempat ragu dengan rencana gila Renita ini, tapi aku tidak punya pilihan lain.

Kelas pertama yang kami masuki sedang mendapat pelajaran Matematika. Kami memberikan pengumuman dengan terbata-bata, maafkan kami ya Tuhan, kami terpaksa berbohong. Aku melihat ke seluruh ruangan, tidak ada Raka.

Kelas kedua sedang mendapat pelajaran Bahasa Jepang, tidak ada Raka juga.

Kelas ketiga agak ribut, beberapa cowok duduk di depan kelas. Aku dan Renita saling dorong, “Kayaknya ini nggak mungkin kelas Raka, masuk kelas lain aja, yuk!” bisik Renita.

“Bisa aja ini kelasnya Raka.” Aku juga berbisik.

“Coba kelas yang lain aja.”

Aku melihat sekilas ke arah cowok-cowok itu, mereka terlihat agak sangar, kami pun memutuskan untuk memasuki kelas lain.

Kelas keempat, tidak ada Raka. Kelas kelima, tidak ada juga, kelas keenam, kosong, mungkin sedang mendapat pelajaran olah raga. Aku masuk ke kelas itu dan melihat papan administrasinya, tidak ada yang namanya Raka.

“Kayaknya kelas yang tadi itu deh kelasnya Raka.”

“Iya, yakin mau ke sana?”

“Aku takut sih. Tapi aku udah kangen banget ma Raka, temenin ya.” Aku memasang wajah memelasku supaya Renita mau menemaniku. Dia mengangguk. Kami lalu kembali ke kelas ketiga. Cowok-cowok itu sudah tidak ada di sana, syukurlah. Kami melangkahkan kaki dengan perlahan. Di sana! Di dekat pintu! Raka menyender ke tembok dengan kerennya. Dia memakai jaket hitam yang diresleting sampai leher, tangannya dimasukkan ke kantong celana abu-abunya. Kakiku lemas seketika. Aku terhipnotis pesonanya.

Renita menyenggolku, “Ayo, kasi suratnya.”

Aku menarik napas panjang beberapa kali lalu mengambil surat itu dari dalam tas ku, “Temenin.”

“Aku tunggu di sini aja. Ayo dong, kasi dia! Ntar keburu dia masuk!”

Aku bergerak perlahan, mungkin kecepatanku kalah dibandingkan kecepatan siput. Dia di sana, cuma tiga meter dariku. Ayolah Nayla, kapan lagi ada kesempatan seperti ini? Aku mempercepat langkahku, “Hai.”

Dia memandang sekelilingnya, tidak ada siapa-siapa. “Nyari siapa?” dia bertanya. Ya ampun... suaranya sangat lembut!

Aku mendekat lagi sampai jarakku cuma setengah meter darinya. Raka terlihat lebih manis dari dekat dan dia wangi! Aku semakin terpesona olehnya.

“Nyari siapa?” dia mengulang pertanyaannya.

Aku mengulurkan suratku tanpa sepatah katapun. Lidahku kelu, keringat dingin mengalir dari sekujur tubuhku.

Dia mengambil surat itu dari tanganku, “Surat?” tanyanya.

Aku mengangguk cepat.

“Untuk Raka.” Dia membaca tulisan tanganku di amplop. Aku harap tulisanku tidak begitu jelek, “Raka... ada surat untuk kamu.” Dia berteriak ke dalam.

WHAT? APA? NANI? Apa aku tidak salah dengar? Dia manggil Raka? Lalu dia siapa?

Seorang cowok keluar dari kelas, sepertinya dia juga ikut main futsal waktu itu! Oh tidak! Aku salah orang!

Aku segera merebut surat itu dari tangan Raka, eh bukan, cowok yang aku kira namanya Raka, lalu aku berlari kencang ke arah Renita. Aku menarik tangannya menuju tempat parkir. Gila! Ini benar-benar gila dan memalukan! Aku ingin mati saja rasanya!

Hari itu hari terakhir aku masuk ke area gedung C, bukan karena aku berhenti menyukai cowok itu, tapi karena orang tuaku marah-marah mengetahui aku sering bolos.

Lima bulan berlalu. Kakak-kakak kelas dua belas pun tamat. Dia, cowok itu pergi tanpa tahu kalau ada seorang Nayla yang benar-benar menyukainya. Dia pergi begitu saja. Aku bahkan tidak tahu namanya.

Waktu hari pengumuman kelulusan aku berdesak-desakkan bersama siswa-siswa kelas X dan XI yang juga ingin melihat pengumuman itu. Kebetulan pengumumannya hanya dipasang di gedung A.

Kelas XII IPA 16, semuanya lulus. Aku bersusah payah membaca nama-nama siswa yang tertera di sana, ada dua puluh tiga, Raka Aditya adalah salah satunya, tapi jelas itu bukan nama cowok yang aku suka.

Aku keluar dari kerumunan itu dengan wajah menunduk. Aku tidak akan bisa bertemu dia lagi. Tanpa terasa dua tetes air mata menitik dari mataku. Aku merasa sangat sedih.

“Nayla!” Renita belari ke arahku, “Ada dia..”

“Di mana?” aku mengusap air mataku.

“Di depan gerbang!”

Aku segera berlari menuju gerbang. Aku melihatnya. Dia sedang sibuk tanda tangan di baju teman-temannya. Mungkin ini kesempatan terakhirku. Aku harus bicara padanya. Now or never! Aku berjalan perlahan, menahan gejolak di dadaku. Jantungku berdetak semakin cepat. Aku benar-benar gugup.

Akhirnya aku berdiri tepat di depannya. Aku menyodorkan lengan kananku, “Tanda tangan di sini, ya!” Ucapku.

Dia menoleh keheranan, tapi kemudian tersenyum dan mencoret lengan baju putihku. Dia lumayan lama memainkan spidolnya di lengan bajuku. Mungkin dia tidak hanya tanda tangan, tapi juga menulis nama lengkap, alamat facebook, atau bahkan nomor handphone-nya! Aku sangat senang! Tidak ada kata-kata yang bisa melukiskan bagaimana perasaanku saat itu. Setelah dia selesai, aku langsung berlari ke arah Renita tanpa sempat mengucapkan terima kasih.

Aku memeluk Renita, “Aku dapet tanda tangannya!” teriakku.

“Mana?”

Aku menyodorkan lengan kananku padanya.

“Kamu kan bukan kelas 3!” dia berkata perlahan.

“Maksudnya?”

“Dia nggak tanda tangan, dia nulis gitu di bajumu.”

“Apa?” aku langsung melihat hasil coretan cowok itu, iya, benar, bukan tanda tangan. Aku berlari lagi ke gerbang, tapi terlambat, dia sudah pergi. Aku tidak pernah melihatnya lagi sejak hari itu.

Masa-masa SMA ku yang seharusnya penuh tawa, menjadi hambar. Aku merasa sangat kehilangan. Siapa namanya? Siapa nama cowok manis itu?


“Siapa dia?” Renita berteriak di telingaku.

“Cowok yang aku suka.”

“Kamu suka ma cowok? Siapa? Kok nggak pernah bilang?”

“Gedung C.” ucapku lirih.

“Gedung C?” Renita mengulang perkataanku dengan intonasi yang berbeda, “Maksud kamu, cowok yang kamu kira Raka?”

Aku mengangguk.

“Wah! Gila! Kebetulan banget, ya! Kali ini kamu bener-bener harus ngomong ma dia! Kesempatan ini nggak akan datang dua kali!”

Iya, aku harus bicara padanya, “Aku harus ngomong apa?”

“Apa ya?? Hmm... gini aja, pura-pura salah orang. Ntar kamu tanya, ‘hei, Ricky ya?’, gitu, pasti berhasil.”

Otak Renita memang dipenuhi ide-ide gila. Aku tidak yakin akan menuruti kata-katanya. Aku memusatkan perhatian ke punggung makhluk manis yang duduk tepat di depanku ini. Aku merindukannya, aku sungguh merindukannya.

Konser segera dimulai, para personil Netral naik ke atas panggung dan disambut histeris oleh penggemar-penggemar mereka, termasuk Renita. Mereka menyanyikan lagu “Garuda di Dadaku” dan beberapa lagu lain yang asing di telingaku.

Cowok itu tampak asyik menikmati lagu-lagu Netral. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil ikut bernyanyi. Dia terlihat lebih manis, lebih keren.

Tiba-tiba handphone-ku berbunyi, ada panggilan masuk, dari Mama. Aku tidak mungkin nerima telepon di sini, “Aku keluar bentar ya Ren, Mama nelepon.” kataku pada Renita.

Aku pun keluar dari gedung kesenian dan bicara sebentar sama Mama, lalu aku bergegas kembali ke dalam. Alangkah kagetnya aku saat tahu kalau dia sudah tidak ada di sana, “Dia ke mana?”

“Siapa?”

“Siapa lagi kalo bukan dia?”

“Tadi di sini kok, beneran!” Renita terlihat panik. Kami berusaha mencari cowok itu dengan mata kami, tapi dia sudah tidak ada. Dia menghilang!


Aku terduduk dengan lesu. Hilang sudah kesempatan yang sudah lama aku tunggu. Dia pergi lagi seperti waktu itu. Tanpa sempat tahu kalau aku menyukainya, tanpa sempat memberitahuku namanya, “Aku mau pulang, ya!”

“Beneran mau pulang? Konsernya masih seru, nih!”

“Iya. Aku pulang sendiri aja. Maaf ya nggak bisa nemenin nonton.”

“Yakin mau pulang sendiri?”

“Iya, kamu nonton aja.”

Aku pun keluar. Lalu  berjalan di trotoar dengan perlahan. Air mataku menitik lagi, aku sangat kecewa. Aku sudah menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin tidak akan pernah datang lagi. Hey, siapa namamu?

Klik di sini untuk cerita pendek lainnya

No comments:

Post a Comment