Bayi mungil itu keletakkan kembali di pasir pantai. Aku
berdiri dan berjalan tertatih-tatih. Sayang, penderitaanmu sudah berakhir kan?
Ini memang jalan terbaik untukmu. Daripada kau hidup di dunia kejam ini dan
masuk neraka, lebih baik aku mengembalikanmu ke surga. Selamat tinggal anakku,
ibu mencintaimu...
Image courtesy of Gubgib at Freedigitalphotos |
Aku membelai perutku yang sudah sangat membesar. Ada sebuah kehidupan baru di dalamnya. Kehidupan yang tidak kuinginkan, kehidupan yang semestinya tidak pernah ada, tidak di sini, tidak di perut kotorku ini.
Mungkin sebaiknya aku membunuhmu
sebelum engkau terlanjur lahir dan menghirup udara pengap di dunia ini. Ya, aku
rasa itu adalah yang terbaik. Dosaku sudah banyak, aku tidak mau menambahnya
dengan melahirkanmu. Aku tidak mau berbohong padamu saat kau bertanya, “Ibu,
kenapa semua orang punya ayah? Di mana ayahku?” aku sendiri tidak tahu ayahmu
siapa. Sudah puluhan, bahkan mungkin ratusan pria yang mengencaniku. Aku tidak
tahu benih pria mana yang tumbuh di rahimku, “Ibu, hari ini aku diejek lagi di
sekolah. Semua orang menertawaiku karena tidak punya ayah. Mereka juga bilang
ibu seorang pelacur. Pelacur itu apa, Bu?”
Bagaimana aku akan menjawab
pertanyan-pertanyaan yang akan keluar dari bibir mungilmu? Membayangkannya saja
sudah membuat kepalaku hampir mau pecah. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa
membiarkanmu menderita, cukup aku saja yang menanggung semua ini.
Aku bangkit dari dudukku dan melihat
sekilas ke arah jam dinding di tembok kamarku, sudah jam dua dini hari. Kota
Singaraja yang kecil ini sudah lama terlelap, terlena dalam mimpi.
Sekian menit kemudian aku sudah berada
di luar. Aku berjalan sendirian dalam kegelapan malam yang mencekam. Angin
malam yang menerpa kulitku membawa rasa dingin yang hampir tak tertahankan. Aku
memeluk perutku sambil sesekali membelainya, “Sabarlah, Sayang. Sebentar lagi
deritamu akan berakhir.”
Aku terus berjalan, berusaha meyakinkan
diriku sendiri kalau ini memang jalan terbaik yang bisa kuambil. Aku harus
kuat. Aku tidak boleh mundur.
“Apa kamu bilang? Kamu hamil?” reaksi
ayahku saat mengetahui putri tunggalnya hamil tidak jauh berbeda dengan apa
yang kuprediksikan. Wajah dan matanya memerah. Caping hidungnya bergerak
menandakan dia sedang sangat marah.
Ayah berjalan mendekatiku dan menarik
segenggam rambutku dengan keras, “Siapa lelaki itu? Siapa lelaki jahanam yang
telah menghamilimu?”
Aku meringis kesakitan tapi aku tidak
berkata apapun. Seandainya aku masih punya ibu mungkin ini tidak akan terjadi.
Ibu akan membelaku, tapi ibu sudah lama pergi. Bukan mati, orang tuaku bercerai
ketika aku masih bayi.
“Jawab!” ayah membentak tepat di
telingaku.
Aku masih diam membisu. Bukan hanya
karena aku tidak tahu jawabannya, tapi juga karena aku enggan menjawab.
“Apa kamu sudah tuli? Kalau kamu bisa
membuka kakimu, kamu juga bisa membuka mulutmu kan?”
Hatiku teriris saat mendengar kalimat
ayahku. Rasanya begitu sakit. Dadaku sesak. Begitu ayah melepaskan rambutku,
aku langsung jatuh terduduk di lantai. Aku mendekap perutku yang kini menjadi
tempat kehidupan bagi seseorang, seorang anak yang tidak berdosa.
“Gugurkan bayi itu.”
Aku mendongak menatap wajah ayahku yang
masih merah. Dia serius. Dia ingin aku membunuh bayiku, “Aku tidak mau.” Kataku
sambil mengalihkan pandangan ke luar. Hujan turun dengan cukup lebat di luar
sana.
“Apa?” ayah menarik rambutku lagi
sehingga wajahku terangkat dan aku terpaksa bertatapan mata dengannya, “Kamu
tidak mau? Lalu apa yang akan kamu lakukan? Menikah dengan lelaki yang sudah
menghamilimu? Di mana? Di mana lelaki itu sekarang?”
“Tidak! Aku akan merawatnya sendiri.”
Plaaakkkk....
Sebuah tamparan mendarat dengan keras
di pipi kiriku, “Berhenti bermain-main! Apa yang bisa kamu lakukan, hah?
Menghidupi dirimu sendiri saja kamu tidak bisa, bagaimana kamu mau menghidupi
orang lain? Turuti kata-kataku; gugurkan bayi itu!”
“Aku tidak mau!” teriakku, “Aku tidak
mau menuruti kata-katamu! Aku muak hidup denganmu! Aku akan pergi!” aku berdiri
dan berlari dengan cepat ke kamarku. Aku mengambil sebuah tas dan memasukkan
beberapa helai pakaian dan hal-hal yang mungkin akan kuperlukan. Saat melintasi
ruang keluarga aku melihat ayah duduk di sofa sambil menutupi wajahnya. Aku
tidak mempedulikannya dan terus berjalan sampai aku tiba di pintu dan
membukanya.
“Selangkah saja kamu keluar dari sini,
jangan pernah berpikir untuk kembali.”
Aku menoleh ke arah ayahku dan
tersenyum sinis, “Aku lebih baik mati daripada harus kembali ke sini.” Aku
keluar dan menutup pintu di belakangku dengan sangat keras.
Hujan masih turun dengan lebat, tapi
itu tak menghalangiku untuk pergi. Aku menghidupkan motorku dan berkendara
dalam guyuran air langit. Aku tidak tahu aku harus pergi ke mana. Aku tidak
punya keluarga yang bisa kudatangi, aku juga tidak punya sahabat yang bisa
kujadikan tempat berpijak.
Malam semakin dingin dan angin
berhembus semakin sering. Aku merapatkan jaketku sambil terus berjalan dengan
pikiran yang sesekali kembali ke masa lalu. Uang hasil ‘kerja kerasku’ ternyata
lumayan banyak, cukup untuk menyewa sebuah rumah kontrakan kecil yang terletak
cukup jauh dari rumah ayahku. Sisa uang itu aku gunakan untuk membeli keperluan
sehari-hari.
Awalnya aku begitu bersikeras
mempertahankan bayiku, tapi seiring waktu berjalan dan uangku yang semakin
menipis, akupun mengubah pikiranku. Apalagi semakin aku memikirkan nasib anakku
kelak, semakin aku merasa bersalah.
Kedua mataku terasa perih, cairan
hangat menggenang dan kemudian meleleh perlahan di pipiku. Aku mendekap perut
besarku dan mempercepat langkahku. Riak ombak mulai sayup-sayup terdengar di
kejauhan. Akupun berjalan semakin cepat, setengah berlari. Aku takut kalau
pikiranku akan berubah lagi. Aku harus cepat-cepat melakukannya. Semuanya akan berakhir sekarang, Sayang.
Pantai Indah, tempat yang indah.
Sayangnya keindahan itu akan segera ternodai oleh darah kotorku. Aku merebahkan
tubuhku di pasir dingin yang lembab. Aku mengeluarkan sebuah pil dari kantong
jaketku dan segera menelannya. Beberapa saat kemudian aku mulai merasa panas
dan sakit yang luar biasa di dalam perutku. Rasanya seperti ususku putus.
Mataku terpejam dan aku setengah sadar.
“Ibu.. Ibu... apa yang kau lakukan?
Panas Bu, panas....”
Bertahanlah, semua akan segera
berakhir.
“Ibu... kulitku terbakar. Aku tidak
tahan, Bu.. Aku sakit... Ibu... Ibu....”
Awwwwwwwww...... Aku berteriak dengan
keras begitu sesuatu keluar dari tubuhku dan terdengar tangis bayi yang lemah.
Aku mengumpulkan segenap tenaga yang masih tersisa dan mengambil orok mungil
yang baru saja kukeluarkan secara paksa. Kudekap dia dengan kedua tanganku yang
berlumuran darah lalu kucekik lehernya. Air mata semakin deras menitik dari
kedua mataku. Aku sudah menjadi seorang pembunuh....
Bayi mungil itu keletakkan kembali di
pasir pantai. Aku berdiri dan berjalan tertatih-tatih. Sayang, penderitaanmu sudah
berakhir kan? Ini memang jalan terbaik untukmu. Daripada kau hidup di dunia
kejam ini dan masuk neraka, lebih baik aku mengembalikanmu ke surga. Selamat tinggal
anakku, ibu mencintaimu...
No comments:
Post a Comment