Tuesday, April 21, 2020

Selamat Tinggal Anakku


Bayi mungil itu keletakkan kembali di pasir pantai. Aku berdiri dan berjalan tertatih-tatih. Sayang, penderitaanmu sudah berakhir kan? Ini memang jalan terbaik untukmu. Daripada kau hidup di dunia kejam ini dan masuk neraka, lebih baik aku mengembalikanmu ke surga. Selamat tinggal anakku, ibu mencintaimu...

Image courtesy of Gubgib at Freedigitalphotos

Aku membelai perutku yang sudah sangat membesar. Ada sebuah kehidupan baru di dalamnya. Kehidupan yang tidak kuinginkan, kehidupan yang semestinya tidak pernah ada, tidak di sini, tidak di perut kotorku ini.

Mungkin sebaiknya aku membunuhmu sebelum engkau terlanjur lahir dan menghirup udara pengap di dunia ini. Ya, aku rasa itu adalah yang terbaik. Dosaku sudah banyak, aku tidak mau menambahnya dengan melahirkanmu. Aku tidak mau berbohong padamu saat kau bertanya, “Ibu, kenapa semua orang punya ayah? Di mana ayahku?” aku sendiri tidak tahu ayahmu siapa. Sudah puluhan, bahkan mungkin ratusan pria yang mengencaniku. Aku tidak tahu benih pria mana yang tumbuh di rahimku, “Ibu, hari ini aku diejek lagi di sekolah. Semua orang menertawaiku karena tidak punya ayah. Mereka juga bilang ibu seorang pelacur. Pelacur itu apa, Bu?”

Bagaimana aku akan menjawab pertanyan-pertanyaan yang akan keluar dari bibir mungilmu? Membayangkannya saja sudah membuat kepalaku hampir mau pecah. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkanmu menderita, cukup aku saja yang menanggung semua ini.

Aku bangkit dari dudukku dan melihat sekilas ke arah jam dinding di tembok kamarku, sudah jam dua dini hari. Kota Singaraja yang kecil ini sudah lama terlelap, terlena dalam mimpi.

Sekian menit kemudian aku sudah berada di luar. Aku berjalan sendirian dalam kegelapan malam yang mencekam. Angin malam yang menerpa kulitku membawa rasa dingin yang hampir tak tertahankan. Aku memeluk perutku sambil sesekali membelainya, “Sabarlah, Sayang. Sebentar lagi deritamu akan berakhir.”

Aku terus berjalan, berusaha meyakinkan diriku sendiri kalau ini memang jalan terbaik yang bisa kuambil. Aku harus kuat. Aku tidak boleh mundur.


“Apa kamu bilang? Kamu hamil?” reaksi ayahku saat mengetahui putri tunggalnya hamil tidak jauh berbeda dengan apa yang kuprediksikan. Wajah dan matanya memerah. Caping hidungnya bergerak menandakan dia sedang sangat marah.

Ayah berjalan mendekatiku dan menarik segenggam rambutku dengan keras, “Siapa lelaki itu? Siapa lelaki jahanam yang telah menghamilimu?”

Aku meringis kesakitan tapi aku tidak berkata apapun. Seandainya aku masih punya ibu mungkin ini tidak akan terjadi. Ibu akan membelaku, tapi ibu sudah lama pergi. Bukan mati, orang tuaku bercerai ketika aku masih bayi.

“Jawab!” ayah membentak tepat di telingaku.

Aku masih diam membisu. Bukan hanya karena aku tidak tahu jawabannya, tapi juga karena aku enggan menjawab.

“Apa kamu sudah tuli? Kalau kamu bisa membuka kakimu, kamu juga bisa membuka mulutmu kan?”

Hatiku teriris saat mendengar kalimat ayahku. Rasanya begitu sakit. Dadaku sesak. Begitu ayah melepaskan rambutku, aku langsung jatuh terduduk di lantai. Aku mendekap perutku yang kini menjadi tempat kehidupan bagi seseorang, seorang anak yang tidak berdosa.

“Gugurkan bayi itu.”

Aku mendongak menatap wajah ayahku yang masih merah. Dia serius. Dia ingin aku membunuh bayiku, “Aku tidak mau.” Kataku sambil mengalihkan pandangan ke luar. Hujan turun dengan cukup lebat di luar sana.

“Apa?” ayah menarik rambutku lagi sehingga wajahku terangkat dan aku terpaksa bertatapan mata dengannya, “Kamu tidak mau? Lalu apa yang akan kamu lakukan? Menikah dengan lelaki yang sudah menghamilimu? Di mana? Di mana lelaki itu sekarang?”

“Tidak! Aku akan merawatnya sendiri.”
           
Plaaakkkk....

Sebuah tamparan mendarat dengan keras di pipi kiriku, “Berhenti bermain-main! Apa yang bisa kamu lakukan, hah? Menghidupi dirimu sendiri saja kamu tidak bisa, bagaimana kamu mau menghidupi orang lain? Turuti kata-kataku; gugurkan bayi itu!”

“Aku tidak mau!” teriakku, “Aku tidak mau menuruti kata-katamu! Aku muak hidup denganmu! Aku akan pergi!” aku berdiri dan berlari dengan cepat ke kamarku. Aku mengambil sebuah tas dan memasukkan beberapa helai pakaian dan hal-hal yang mungkin akan kuperlukan. Saat melintasi ruang keluarga aku melihat ayah duduk di sofa sambil menutupi wajahnya. Aku tidak mempedulikannya dan terus berjalan sampai aku tiba di pintu dan membukanya.

“Selangkah saja kamu keluar dari sini, jangan pernah berpikir untuk kembali.”

Aku menoleh ke arah ayahku dan tersenyum sinis, “Aku lebih baik mati daripada harus kembali ke sini.” Aku keluar dan menutup pintu di belakangku dengan sangat keras.

Hujan masih turun dengan lebat, tapi itu tak menghalangiku untuk pergi. Aku menghidupkan motorku dan berkendara dalam guyuran air langit. Aku tidak tahu aku harus pergi ke mana. Aku tidak punya keluarga yang bisa kudatangi, aku juga tidak punya sahabat yang bisa kujadikan tempat berpijak.


Malam semakin dingin dan angin berhembus semakin sering. Aku merapatkan jaketku sambil terus berjalan dengan pikiran yang sesekali kembali ke masa lalu. Uang hasil ‘kerja kerasku’ ternyata lumayan banyak, cukup untuk menyewa sebuah rumah kontrakan kecil yang terletak cukup jauh dari rumah ayahku. Sisa uang itu aku gunakan untuk membeli keperluan sehari-hari.

Awalnya aku begitu bersikeras mempertahankan bayiku, tapi seiring waktu berjalan dan uangku yang semakin menipis, akupun mengubah pikiranku. Apalagi semakin aku memikirkan nasib anakku kelak, semakin aku merasa bersalah.

Kedua mataku terasa perih, cairan hangat menggenang dan kemudian meleleh perlahan di pipiku. Aku mendekap perut besarku dan mempercepat langkahku. Riak ombak mulai sayup-sayup terdengar di kejauhan. Akupun berjalan semakin cepat, setengah berlari. Aku takut kalau pikiranku akan berubah lagi. Aku harus cepat-cepat melakukannya. Semuanya akan berakhir sekarang, Sayang.

Pantai Indah, tempat yang indah. Sayangnya keindahan itu akan segera ternodai oleh darah kotorku. Aku merebahkan tubuhku di pasir dingin yang lembab. Aku mengeluarkan sebuah pil dari kantong jaketku dan segera menelannya. Beberapa saat kemudian aku mulai merasa panas dan sakit yang luar biasa di dalam perutku. Rasanya seperti ususku putus. Mataku terpejam dan aku setengah sadar.

“Ibu.. Ibu... apa yang kau lakukan? Panas Bu, panas....”

Bertahanlah, semua akan segera berakhir.

“Ibu... kulitku terbakar. Aku tidak tahan, Bu.. Aku sakit... Ibu... Ibu....”

Awwwwwwwww...... Aku berteriak dengan keras begitu sesuatu keluar dari tubuhku dan terdengar tangis bayi yang lemah. Aku mengumpulkan segenap tenaga yang masih tersisa dan mengambil orok mungil yang baru saja kukeluarkan secara paksa. Kudekap dia dengan kedua tanganku yang berlumuran darah lalu kucekik lehernya. Air mata semakin deras menitik dari kedua mataku. Aku sudah menjadi seorang pembunuh....

Bayi mungil itu keletakkan kembali di pasir pantai. Aku berdiri dan berjalan tertatih-tatih. Sayang, penderitaanmu sudah berakhir kan? Ini memang jalan terbaik untukmu. Daripada kau hidup di dunia kejam ini dan masuk neraka, lebih baik aku mengembalikanmu ke surga. Selamat tinggal anakku, ibu mencintaimu...


No comments:

Post a Comment