Malam itu hujan, gerimis bulan Desember. Aku merasa seperti wanita jalang yang dicampakkan. Aku menangis. Aku malu. Aku terluka. Aku sakit.
*****
image courtesy of jannatul-sarna at touchtalent |
Waktu,
teman terbaikku.. Apa kabar? Sudah lama aku tak bercerita padamu. Maafkan aku
yang membisu, maafkan aku yang tak pernah menikmatimu...
Waktu, bisakah kita kembali ke masa lalu? Aku janji, aku tak
akan mengubah apapun. Aku hanya ingin menyentuh wajahnya sekali lagi, merasakan
indahnya cinta sekali lagi, sebelum kau berhenti, sebelum aku mati.
Hari itu Hari Senin, hari pertama kuliah setelah libur akhir
semester. Semua orang terlihat sibuk membicarakan liburan mereka. Beberapa
mahasiswi di pojok belakang kelasku membicarakan badan mereka yang jadi lebih
gemuk, “Nyesel banget aku makan banyak liburan ini.” Kata Sari, seorang gadis
kurus yang selalu merasa dirinya gendut. Aku yakin dia mengidap anoreksia level
tinggi.
“Aku juga. Lihat nih perutku, penuh lemak!” mahasiswi lain
membalas sambil menepuk-nepuk perutnya. Aku tertawa kecil, mereka lucu.
Cewek-cewek kurus yang akan melakukan apapun untuk menjadi lebih kurus.
Aku menatap dengan nanar sebuah kursi kosong di sampingku. Kursi
itu biasanya diduduki Putri, teman baikku. Dia memutuskan untuk keluar dari
universitas yang nggak begitu keren ini. Seandainya aku adalah dia, aku akan
merasa sangat beruntung, aku tidak perlu duduk di sini, di antara orang-orang
bertopeng cantik untuk menutupi wajah jelek mereka.
“Temen-temen...” Didi, korti kelas ku masuk dengan tergesa-gesa,
“Ada mahasiswa baru, dari Jakarta.” Dia memberikan tekanan yang cukup jelas
pada kata Jakarta.
Beberapa cewek langsung mengambil sisir dan cermin dari tas
mereka, bahkan ada beberapa yang mengoleskan lipgloss pada bibir mereka yang
sebetulnya sudah sangat mengkilat.
Beberapa saat kemudian seorang cowok masuk ke kelas. Woa!!
Apa-apan ini? Cowok Jakarta itu tidak seperti yang dibayangkan. Tidak ada keren-kerennya
sama sekali. Sepertinya kemoderenan Jakarta tidak menyentuhnya.
“Dia beneran dari Jakarta ya?” seorang cewek yang duduk di
belakangku berbisik pada teman di sampingnya.
Aku memandangnya, dia berjalan ke arahku, apa yang sedang dia
lakukan? Dia duduk. Oh, bodoh! Kursinya Putri adalah satu-satunya kursi kosong
di kelas ini.
Tidak ada yang bicara dengannya hari itu. Tidak ada yang bicara
dengannya hari berikutnya. Dia tidak mengatakan apapun selain “Hadir” setiap
kali dosen memanggil namanya. Awalnya aku sama sekali tak peduli, tapi lama-lama
aku merasa tertarik pada alien itu. Dia menyembunyikan sesuatu dibalik kacamata
tebalnya. Aku berharap bisa mengintip ke matanya. Aku ingin tahu rahasianya.
“Hei.” Aku bicara padanya untuk yang pertama kali di hari ketiga
kuliah.
Dia menoleh sebentar ke arahku, tapi kemudian dia sibuk dengan
buku Developmental Psychology’nya lagi. Sialan! Dia mengabaikanku! Aku
menunduk, berusaha menyembunyikan wajah merahku.
“Hey.” Aku mendengar sebuah suara, suaranya. Aku menatapnya,
sedikit terkejut. Ya Tuhan, dia perlu waktu satu menit hanya untuk mengatakan
hei!
“Namamu siapa?” Gila! Pertanyaan apa itu? Aku duduk di samping
cowok ini sudah tiga hari dan sekarang aku menanyakan namanya?!
“Tirta.” Jawabnya singkat.
“Nama yang bagus.” Ahhh.. kok aku bisa ngomong gitu?
Oh waktu... aku belum selesai. Mari kembali lagi ke masa lalu.
Kau boleh melewati hari-hari saat aku berusaha mendekatinya, tapi tolong bawa
aku kembali lagi ke masa saat lengannya memelukku, saat bibirnya mengecupku.
“Kamu tinggal di mana?” kataku suatu sore. Dia sedang duduk di
atas rumput hijau di taman kota dan aku berbaring di pangkuannya.
“Kenapa nanyain itu?”
“Aku cuma mau tahu. Kenapa kamu menyembunyikan identitasmu?
Siapa kamu sebenarnya?”
“Kamu akan tahu saat waktunya tepat.” Dia selalu memberikan
jawaban yang sama atas pertanyaan-pertanyaanku. Dia sangat misterius, tapi
mungkin itulah alasan aku menyukainya. Aku memintanya menjadi pacarku. Dia
tidak menerima, tapi tidak juga menolak. Aku tak tahu hubungan apa yang sedang
kami jalani.
“Kamu cinta kan ma aku?”
“Apa itu penting?”
“Tentu aja!” Aku hampir berteriak. Aku bangun dan duduk di
depannya. Dia menatapku dan aku melepaskan kacamatanya. Sepasang mata yang
indah itu seakan menghipnotisku. Aku rela melakukan apa saja untuk bisa masuk
ke dalamnya dan mengetahui apa yang sebenarnya Tirta sembunyikan, “Apa ini
cinta yang bertepuk sebelah tangan? Apa aku bagimu?”
“Kamu adalah mawar merah.”
“Itu nggak menjawab pertanyaanku!”
“Aku takut menyentuhmu. Aku ingin memetikmu, tapi itu akan
menghancurkanmu. Kamu seharusnya menjauh dari aku!”
“Jangan pake khiasan-khiasan atau metafora tingkat dewa! Aku
hanya perlu kepastian apakah kamu merasakan hal yang sama atau tidak.”
Dia memelukku, dan seperti biasa, aku meleleh di pelukannya.
Oh waktu... Itu adalah hubungan teraneh sekaligus terindah yang
pernah aku jalani. Tirta.... dia adalah cowok misteriusku, cintaku, alasanku
bernafas. Dia adalah segala yang kuperlukan. Aku tahu dia menyembunyikan
sesuatu dariku, tapi dia berjanji akan menceritakan semuanya. Saat waktunya
tepat....
12 Desember 2011, hari ulang tahunku yang ke-22. Tirta tidak
membuat pesta kejutan. Dia tidak memberikan hadiah. Dia bahkan tidak tahu itu
adalah hari ulang tahunku! Aku menyuruhnya datang ke kosku. Aku sudah membeli
sebuah kue kecil di toko kue dekat kampus.
Dia datang jam 7 tepat. Aku menyambutnya dengan sebuah senyuman.
“Kue apa ini?” tanyanya.
“Hari ini aku ulang tahun.”
“Kok nggak bilang-bilang?” dia mengecup keningku, “Selamat ulang
tahun.”
Selamat ulang tahun? Hanya itu? Dia nggak bilang I love you? Ahh
sudahlah, itulah Tirtaku...
Aku memeluknya, bibirku mencari bibirnya, lidah kami bertemu.
Aku tidak tahu setan apa yang merasukiku. Aku hanya tahu betapa aku
menginginkannya saat itu. Nafas berat kami saling bersahutan. Aku melepaskan
dua kancing atas bajuku,”Aku cinta kamu Tirta.” aku berbisik di telinganya,
berusaha melepaskan T-shirt merahnya.
“Tidak!” tiba-tiba Tirta berhenti menciumku, “Aku nggak bisa
ngelakuin ini!” dia pergi, berlari keluar, meninggalkanku dalam kebingungan.
Malam itu hujan, gerimis bulan Desember. Aku merasa seperti
wanita jalang yang dicampakkan. Aku menangis. Aku malu. Aku terluka. Aku sakit.
Waktu, bisakah kamu percaya itu? Oh, tentu saja. Kamu di sana.
Kamu menyaksikan betapa aku terluka akibat ditinggalkan begitu saja. Itu adalah
hari yang paling kusesali seumur hidupku. Aku mengutuk hari itu! Hari ulang
tahun paling buruk yang pernah kulalui.
Esoknya aku berangkat sangat pagi ke kampus. Aku duduk di
kursiku dan menatap kursi Tirta. Aku tidak tahu harus melakukan apa, mungkin
aku harus bersikap biasa, seolah kejadian semalam hanya ilusi, tapi itu nyata!
Dia menolakku!
Satu persatu temanku mulai datang, tapi Tirta tidak muncul juga.
Aku merasa sangat khawatir. Aku resah.
“Nay..” seseorang memanggilku.
“Didi?”
“Ada surat buat kamu, dari Tirta.”
Aku langsung merenggut surat berwarna putih itu dari tangan Didi
tanpa sempat mengucapkan terimakasih.
“Naya, ini adalah waktu yang udah lama kamu tunggu. Waktu yang
tepat.
Seperti apa yang pernah aku bilang, kamu adalah mawar yang bisa
saja aku rusak. Seharusnya kamu menjauhiku Nay, seharusnya aku juga menjaga
jarak darimu, tapi aku nggak bisa. Aku cinta kamu. Aku benar-benar mencintaimu,
tapi betapapun besarnya cintaku, itu nggak akan bisa mengubah kenyataan kalau
aku bukan cowok yang tepat untukmu.
Aku adalah pencandu narkoba, aku adalah penggila seks bebas.”
Aku tersentak. Dia cuma bercanda kan?
“Mungkin kamu nggak percaya, tapi itulah kenyataannya. Aku
menderita HIV, karena itu aku pergi meninggalkan Jakarta. Aku mengubah
penampilanku. Aku ingin meninggalkan dunia kelamku dan memulai hidup baru, tapi
penyakit jahanam ini menghantuiku kemanapun aku pergi. Apa yang bisa aku
lakukan Nay?
Seharusnya aku memberitahumu sejak awal, tapi aku juga merasa
takut kehilanganmu. Terimakasih karena kamu sudah mengajarkan arti cinta yang
sebenarnya padaku. Maaf atas semua yang pernah aku lakukan. Lupakan aku Naya,
semoga kamu selalu hidup bahagia. Aku mencintamu.”
Aku menangis tanpa suara, hanya air mataku yang berlinang
menandakan kesedihanku yang mendalam. Kenapa harus seperti ini?
Waktu, kau tahukan aku berusaha mencarinya ke mana-mana. Aku
menanyakan alamatnya di staf TU fakultasku, aku pergi ke alamat itu, tapi dia
tidak ada. Tirta, cowok misteriusku, menghilang bagai ditelan bumi. Dia pergi.
Oh waktu, akankah kau pertemukan kami kembali?
Desk organizers are a very Direct CNC important necessity for any home workplace desk. You must make sure that|be certain that|ensure that} your little pens, paper clips, flash drives and all your different bits and bobs don’t get misplaced. This 3D printing concept is the simple resolution for all your stationery organization woes.
ReplyDelete