Tuesday, February 11, 2020

Penyesalan


Tubuhku tiba – tiba lunglai begitu aku mendengar kalimat sederhana yang keluar dari bibir wanita itu, “Aku hamil.”
******



image courtesy of rawpixel



“Kamu sayang kan sama aku?” dia menatapku dengan tatapan lugu yang mampu menghanyutkan perasaanku.

“Tentu saja.” Jawabku sambil berusaha menyentuhnya, tapi dia menepis tanganku.

“Kamu bohong.”

“Bohong apa?”

Dia berbalik memunggungiku, “Kalau kamu sayang sama aku kamu akan mau melakukan itu.”

“Aku sangat sayang sama kamu, tapi aku tidak bisa melakukan itu.”

“Kenapa?” dia berbalik menatapku. Matanya yang awalnya terlihat sayu kini tampak mengerikan. Dia menatapku dengan tajam, seakan ingin menelanjangiku dengan tatapannya itu. Aku bergidik ngeri dan melepaskan dekapanku.

“Kenapa?” tanyanya lagi, kali ini lebih keras.

Apakah semua lelaki seperti ini? Apakah seks merupakan keharusan dalam sebuah hubungan? Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, tanpa terasa air menitik dari ujung – ujung mataku. Aku tidak mau melakukan itu. Aku ingin menjaga kesucianku sampai hari pernikahan kami nanti.

“Kamu munafik.” Dia bangkit dari kasurku. Aku masih menutup wajahku dan menangis dalam diam.

“Hei, lihat aku!” dia menarik tanganku dengan kasar, “Kalau kamu memang tidak mau melakukan itu, sebaiknya kita putus sekarang.”

Aku terhenyak mendengar kata-katanya. Putus?

“Kamu dengar aku kan?” dia membentakku dengan keras. Dia bukanlah kekasihku. Orang yang berdiri di hadapanku ini bukanlah orang yang aku cintai.

“Baik, kalau itu memang maumu.” Aku berkata dengan suara yang bergetar, menahan amarah dan kesedihan yang membuncah di dadaku. Aku tak pernah menyangka kalau kami akan berpisah dengan cara seperti ini. Dia selalu bilang kalau kami akan bersama selamanya, tapi ternyata selamanya itu bahkan tak lebih dari enam bulan.



Kami berpapasan di koridor kampus, tapi dia bersikap biasa saja, seolah aku adalah makhluk tak kasat mata, makhluk transparan. Dia berjalan melaluiku sambil tertawa bersama teman – temannya, dia sama sekali tidak mempedulikan keberadaanku.

Aku menelan ludah lalu melangkah cepat menuju ruang kelasku. Sebuah tepukan hangat aku rasakan di pundakku, “Aku yakin ini hanya untuk sementara. Dia pasti akan kembali padamu.” Sahabat baikku berusaha menghiburku. Ah, dia tidak tahu alasan dibalik perpisahan kami.

Aku mengikuti mata kuliah hari itu dengan kurang bersemangat. Aku yang dikenal sebagai mahasiswa paling aktif di kelas dengan ip semester yang selalu di atas 3,5 tiba – tiba saja menjadi mahasiswa pemurung yang duduk di pojok ruangan. Aku pura – pura sibuk membaca buku tebal yang kubawa, padahal pikiranku menerawang jauh ke ruangan sebelah di mana pria itu berada.

Apakah aku bisa melupakannya? Dia adalah pacar pertamaku sejak aku masuk universitas. Kami pertama kali bertemu saat ratam jurusan. Dia dan teman – temannya mengerjaiku karena aku terlambat tiga puluh menit. Mereka menyuruhku melakukan hal – hal tidak mengenakkan yang tidak bisa kulupakan sampai sekarang.

Awalnya aku membencinya karena dialah yang paling bersemangat mengerjaiku, dia juga yang tertawa paling keras saat aku terpaksa melakukan hal konyol demi menyenangkan mereka. Saat itu aku berpikir kalau aku akan membalasnya suatu saat nanti. Tapi, seiring berjalannya waktu dan intensitas pertemuan kami semakin sering, karena kebetulan dia mengambil mata kuliah semester satu di kelasku, aku mulai merasakan perasaan yang lain. Bukan benci lagi, aku mulai menyukainya.

Aku memerhatikannya diam – diam. Aku sengaja duduk di dekatnya saat dia bergabung dengan kelasku. Aku berusaha menjadi mahasiswa yang aktif bertanya maupun mengeluarkan pendapat agar bisa menarik perhatiannya. Namun sepertinya dia tak tertarik dengan mahasiswi pintar, dia, seperti mahasiswa di kelasku yang lainnya, lebih tertarik dengan mahasiswi cantik dan seksi. Beberapa kali aku memergokinya memerhatikan mahasiswi cantik yang selalu duduk di deretan paling depan, tidak jauh dari tempat dudukku.

Mahasiswi itu merupakan idola di kelas kami, bahkan mungkin di seantero kampus ini. Dia sangat cantik. Rambut panjangnya yang selalu tergerai dengan lembut sampai pinggang dicat dengan warna cokelat. Bulu matanya sangat panjang dan lentik, seperti bulu mata boneka. Matanya bulat indah; aku rasa warna asli bola matanya adalah hitam, tapi dia memakai lensa kontak warna biru tua. Hidungnya lumayan mancung untuk ukuran gadis Indonesia. Bibir tipisnya selalu dia lapisi dengan lip gloss berwarna merah muda. Kulitnya putih bagaikan orang Jepang. Selain itu, dia juga memiliki postur tubuh yang sempurna. Tingginya sekitar 170 cm dan pinggangnya sangat ramping. Dia selalu menjadi pusat perhatian di kampus, bukan hanya karena wajahnya yang cantik, tapi juga karena pakaiannya yang selalu seksi. Sudah beberapa kali dia ditegur ketua jurusan karena pakaiannya yang tidak sesuai standar kampus.

Aku memerhatikan mahasiswi itu, lalu memperhatikan diriku sendiri. Bagaimana mungkin pria di sampingku ini akan menyadari kehadiranku kalau ada gadis secantik bidadari di hadapannya?

Dan akhirnya aku memutuskan untuk mengubah penampilanku. Aku mendaftar sebagai member di sebuah gym kecil di kota itu dan mulai rutin berolah raga untuk mendapatkan badan yang ideal. Aku juga mulai berkenalan dengan skin care dan make up.

Tentu saja perubahan itu tidak drastis dan tidak terjadi dalam sekejap mata seperti di sinetron-sinetron. Perlu waktu dua tahun bagiku untuk akhirnya bisa menarik perhatian kakak tingkatku itu.
Iya, dia mulai menyadari keberadaanku. Apalagi setelah si bidadari kampus memutuskan untuk pindah universitas.

Suatu ketika, saat itu dia semester 7, namun mengambil beberapa mata kuliah semester 5 di kelasku, dia menoleh ke arahku di saat yang bersamaan dengan aku menoleh ke arahnya. Pandangan mata kami bertemu dan kami sama – sama tersenyum, “Hei.” Dia berbisik pelan.

“Hei.” Balasku.

Berawal dari kata hei, kedekatan kami semakin berlanjut. Dia meminta nomor hp ku dan kami mulai saling sms dan telepon. Satu minggu kemudian, dia mengajakku pergi jalan – jalan ke pantai. Di sana, dia mengatakan kalau dia mencintaiku dan ingin menjadi pacarku. Aku tahu itu terlalu cepat, maksudku, aku memang sudah menyukainya sejak lama, tapi dia kan baru-baru ini menyadari keberadaanku? Tapi aku tidak peduli. Aku terlalu bahagia akhirnya bisa memilikinya, jadi aku tidak mempedulikan apapun lagi.

Air mataku merembes lagi mengenang bagaimana dulu aku berjuang dengan keras agar bisa memilikinya. Aku tidak rela. Aku masih mencintainya.

Aku berusaha mendekatinya lagi, tapi sepertinya dia sudah menutup hatinya untukku. Sms ku tidak pernah dibalas, teleponku juga tidak pernah diangkat. Kalau kami berpapasan di kampus, dia tidak menghindariku, tapi dia juga tidak mempedulikanku. Kami seperti orang asing yang kebetulan saja kuliah di universitas yang sama.

Sahabatku senantiasa menghiburku, mengatakan kalau suatu hari nanti dia akan kembali padaku. Tapi sudah tiga bulan berlalu, dia sama sekali tidak pernah menghubungiku lagi. Aku benar – benar merindukannya. Aku tidak tahu harus melakukan apalagi untuk bisa membuatnya kembali ke pelukanku.

Suatu hari aku melihatnya duduk sendiri di kantin kampus. Aku memberanikan diriku mendekatinya. Aku duduk di sampingnya, sepertinya dia menyadari kehadiranku, tapi dia tidak bereaksi sedikitpun.

“Hei.” Aku mengucapkan kata pertama yang dia ucapkan padaku dulu, satu tahun yang lalu.

Dia menoleh ke arahku, tapi sedetik kemudian dia kembali sibuk menghabiskan nasi gorengnya.

Aku memegang tangannya, “Maafkan aku.”

Dia tidak menepis tanganku, dia tidak melakukan apapun, tidak mengucapkan sepatah katapun.

“Aku akan melakukan apapun asal kita bisa bersama lagi.”

Dia menatapku dengan pandangan tak percaya.

Aku mengangguk mantap, “Aku tidak sanggup hidup tanpa kamu.” Aku menggenggam tangannya semakin erat. Mungkin ini adalah keputusan yang sangat gegabah, tapi saat cinta bicara, logika tidak bisa berbuat apa – apa. Lagipula di abad 21 ini, melakukan hubungan seks sebelum menikah bukan lagi hal yang jarang. Aku rasa sebagian besar teman sekelasku sudah pernah melakukannya.

Dia tersenyum. Ah, senyum itu... betapa aku sangat merindukannya.

“Kamu yakin?”

Aku mengangguk sekali lagi.
“Kalau begitu nanti datang ke kos ku jam tujuh malam. Sekarang aku harus pergi.” Dia membayar di kasir kantin lalu pergi ke gedung perkuliahan setelah terlebih dahulu tersenyum manis kepadaku.

Malam itu, tepat jam tujuh, aku berdiri di depan kamar kosnya. Aku mengetuk pintu perlahan.

Beberapa saat kemudian pintu itu terbuka dan wajah manisnya terlihat. Dia tersenyum lalu menyuruhku masuk. Dia mencium bibirku begitu aku masuk ke kamarnya, “Kamu cantik sekali malam ini.” Dia berkata sambil terus menciumiku.

Aku melingkarkan lenganku di pinggangnya, “Aku merindukanmu.”



Aku memeluk pria yang berbaring di sampingku itu dengan sangat erat. Aku tidak mau kehilangan dia lagi karena itu rasanya sangat menyakitkan, “Kamu tidak akan pernah meninggalkan aku lagi kan?” tanyaku sambil mendongak, melihat wajahnya yang berucuran keringat.

Dia membelai rambutku dengan lembut, “Terima kasih, ya.” Katanya, tak menjawab pertanyaanku.

“Kamu tidak akan pergi lagi kan?” aku mendesaknya.

“Aku mengantuk. Sebaiknya kita tidur sekarang.” Dia menarikku ke dekapannya lalu mengecup keningku, “Mimpi indah.”

Hari sudah sangat pagi ketika terdengar ketukan di pintu. Aku tersentak dari tidurku dan membangunkan kekasihku dengan pelan, “Ada yang datang.” kataku. Dia menguap beberapa kali lalu bangkit dan memakai pakaiannya. Akupun memungut pakaianku yang berserakan di lantai dan membawanya ke kamar mandi.

Aku mengenakan pakaianku lagi dengan perlahan karena aku takut menimbulkan bunyi berisik yang akan membuat tamu pacarku curiga. Suasana begitu hening, namun tiba – tiba aku mendengar suara tangisan, wanita! Aku langsung menghentikan semua kegiatanku dan menempelkan telinga di tembok yang menjadi pembatas kamar kos dan kamar mandi.

“Kamu kenapa?” aku mendengar pria yang semalam telah merenggut hartaku paling berharga bertanya kepada tamunya itu.

Pertanyaannya hanya dibalas suara isak tangis yang semakin keras.

Aku berharapa aku bisa melihat apa yang sedang terjadi, tapi sayangnya tidak ada lubang di kamar mandi ini yang bisa kupakai untuk mengintip.

“Jangan seperti anak kecil.”

Tubuhku tiba – tiba lunglai begitu aku mendengar kalimat sederhana yang keluar dari bibir wanita itu, “Aku hamil.”

Ya Tuhan... Siapa wanita itu? Dia hamil? Siapa yang menghamilinya? Jangan – jangan... Ah.. Kepalaku terasa sangat berat.

“Lalu?” kekasihku bertanya dengan nada datar seolah wanita yang menangis itu mengatakan sesuatu yang wajar dan sering terdengar sehari – hari.

“Kamu ayahnya! Kamu harus tanggung jawab!”

Detik itu, kakiku sudah tidak mampu lagi menopang berat tubuhku. Aku terjatuh di lantai kamar mandi dan menimbulkan suara kecil, tapi sepertinya wanita itu tidak mendengarnya.

Kekasihku tertawa cukup keras, “Bagaimana aku tahu kalau bayi yang ada di perutmu itu adalah anakku?”

Plaakk...

“Kamu pikir aku wanita murahan yang tidur dengan sembarang pria? Aku hanya melakukannya denganmu! Bayi ini adalah anakmu.”

Hening sejenak.

“Kalau begitu,” keheningan itu terpecah suara berat kekasihku, “gugurkan kandunganmu itu dan jangan pernah menggangguku lagi.”

Aku mendengar bunyi tamparan sekali lagi dan bunyi pintu yang dibanting dengan sangat keras.

Aku berusaha berdiri dengan berpegangan pada bibir bak mandi. Kepalaku terasa sangat pusing. Aku membuka pintu kamar mandi lalu berjalan terhuyung – huyung menemuinya yang sedang duduk di pinggir ranjang, “Siapa dia?”

Lelaki itu menoleh ke arahku lalu tersenyum, “Bukan siapa – siapa.”

Kutatap dia dengan tatapan tajam, “Apa benar kamu menghamilinya?”

“Itu bukan urusanmu.”

“Apa? Bukan urusanku?”

“Aku sudah menyelesaikan urusanku dengannya.”

Air mata semakin deras mengalir membasahi pipiku. Aku sungguh tidak menyangka pria yang kucintai ini ternyata tidak berperasaan. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan kalimat itu dengan nada sedatar itu?



Kami berpapasan lagi di koridor kampus. Dia, seperti biasa, melewatiku begitu saja, sama sekali tak mempedulikanku. Akupun begitu, berusaha bersikap senatural mungkin, menahan rasa sakit yang luar biasa di dadaku. Aku menegakkan kepalaku, menatap lurus ke depan sambil memegang perutku yang mulai membesar.

No comments:

Post a Comment