Tubuhku tiba – tiba lunglai begitu aku mendengar kalimat sederhana yang keluar dari bibir wanita itu, “Aku hamil.”
******
“Kamu
sayang kan sama aku?” dia menatapku dengan tatapan lugu yang mampu
menghanyutkan perasaanku.
“Tentu saja.” Jawabku sambil berusaha menyentuhnya, tapi dia
menepis tanganku.
“Kamu bohong.”
“Bohong apa?”
Dia berbalik memunggungiku, “Kalau kamu sayang sama aku kamu
akan mau melakukan itu.”
“Aku sangat sayang sama kamu, tapi aku tidak bisa melakukan
itu.”
“Kenapa?” dia berbalik menatapku. Matanya yang awalnya terlihat
sayu kini tampak mengerikan. Dia menatapku dengan tajam, seakan ingin
menelanjangiku dengan tatapannya itu. Aku bergidik ngeri dan melepaskan
dekapanku.
“Kenapa?” tanyanya lagi, kali ini lebih keras.
Apakah semua lelaki seperti ini? Apakah seks merupakan keharusan
dalam sebuah hubungan? Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, tanpa terasa
air menitik dari ujung – ujung mataku. Aku tidak mau melakukan itu. Aku ingin
menjaga kesucianku sampai hari pernikahan kami nanti.
“Kamu munafik.” Dia bangkit dari kasurku. Aku masih menutup
wajahku dan menangis dalam diam.
“Hei, lihat aku!” dia menarik tanganku dengan kasar, “Kalau kamu
memang tidak mau melakukan itu, sebaiknya kita putus sekarang.”
Aku terhenyak mendengar kata-katanya. Putus?
“Kamu dengar aku kan?” dia membentakku dengan keras. Dia
bukanlah kekasihku. Orang yang berdiri di hadapanku ini bukanlah orang yang aku
cintai.
“Baik, kalau itu memang maumu.” Aku berkata dengan suara yang
bergetar, menahan amarah dan kesedihan yang membuncah di dadaku. Aku tak pernah
menyangka kalau kami akan berpisah dengan cara seperti ini. Dia selalu bilang
kalau kami akan bersama selamanya, tapi ternyata selamanya itu bahkan tak lebih
dari enam bulan.
Kami berpapasan di koridor kampus, tapi dia bersikap biasa saja,
seolah aku adalah makhluk tak kasat mata, makhluk transparan. Dia berjalan
melaluiku sambil tertawa bersama teman – temannya, dia sama sekali tidak
mempedulikan keberadaanku.
Aku menelan ludah lalu melangkah cepat menuju ruang kelasku.
Sebuah tepukan hangat aku rasakan di pundakku, “Aku yakin ini hanya untuk
sementara. Dia pasti akan kembali padamu.” Sahabat baikku berusaha menghiburku.
Ah, dia tidak tahu alasan dibalik perpisahan kami.
Aku mengikuti mata kuliah hari itu dengan kurang bersemangat.
Aku yang dikenal sebagai mahasiswa paling aktif di kelas dengan ip semester
yang selalu di atas 3,5 tiba – tiba saja menjadi mahasiswa pemurung yang duduk
di pojok ruangan. Aku pura – pura sibuk membaca buku tebal yang kubawa, padahal
pikiranku menerawang jauh ke ruangan sebelah di mana pria itu berada.
Apakah aku bisa melupakannya? Dia adalah pacar pertamaku sejak
aku masuk universitas. Kami pertama kali bertemu saat ratam jurusan. Dia dan
teman – temannya mengerjaiku karena aku terlambat tiga puluh menit. Mereka
menyuruhku melakukan hal – hal tidak mengenakkan yang tidak bisa kulupakan
sampai sekarang.
Awalnya aku membencinya karena dialah yang paling bersemangat
mengerjaiku, dia juga yang tertawa paling keras saat aku terpaksa melakukan hal
konyol demi menyenangkan mereka. Saat itu aku berpikir kalau aku akan
membalasnya suatu saat nanti. Tapi, seiring berjalannya waktu dan intensitas
pertemuan kami semakin sering, karena kebetulan dia mengambil mata kuliah
semester satu di kelasku, aku mulai merasakan perasaan yang lain. Bukan benci
lagi, aku mulai menyukainya.
Aku memerhatikannya diam – diam. Aku sengaja duduk di dekatnya
saat dia bergabung dengan kelasku. Aku berusaha menjadi mahasiswa yang aktif
bertanya maupun mengeluarkan pendapat agar bisa menarik perhatiannya. Namun
sepertinya dia tak tertarik dengan mahasiswi pintar, dia, seperti mahasiswa di
kelasku yang lainnya, lebih tertarik dengan mahasiswi cantik dan seksi. Beberapa
kali aku memergokinya memerhatikan mahasiswi cantik yang selalu duduk di
deretan paling depan, tidak jauh dari tempat dudukku.
Mahasiswi itu merupakan idola di kelas kami, bahkan mungkin di
seantero kampus ini. Dia sangat cantik. Rambut panjangnya yang selalu tergerai
dengan lembut sampai pinggang dicat dengan warna cokelat. Bulu matanya sangat
panjang dan lentik, seperti bulu mata boneka. Matanya bulat indah; aku rasa
warna asli bola matanya adalah hitam, tapi dia memakai lensa kontak warna biru
tua. Hidungnya lumayan mancung untuk ukuran gadis Indonesia. Bibir tipisnya
selalu dia lapisi dengan lip gloss berwarna merah muda. Kulitnya putih bagaikan
orang Jepang. Selain itu, dia juga memiliki postur tubuh yang sempurna. Tingginya
sekitar 170 cm dan pinggangnya sangat ramping. Dia selalu menjadi pusat
perhatian di kampus, bukan hanya karena wajahnya yang cantik, tapi juga karena
pakaiannya yang selalu seksi. Sudah beberapa kali dia ditegur ketua jurusan
karena pakaiannya yang tidak sesuai standar kampus.
Aku memerhatikan mahasiswi itu, lalu memperhatikan diriku
sendiri. Bagaimana mungkin pria di sampingku ini akan menyadari kehadiranku
kalau ada gadis secantik bidadari di hadapannya?
Dan akhirnya aku memutuskan untuk mengubah penampilanku. Aku mendaftar sebagai member di sebuah gym kecil di kota itu dan
mulai rutin berolah raga untuk mendapatkan badan yang ideal. Aku juga mulai
berkenalan dengan skin care dan make up.
Tentu
saja perubahan itu tidak drastis dan tidak terjadi dalam sekejap mata seperti
di sinetron-sinetron. Perlu waktu dua tahun bagiku untuk akhirnya bisa menarik
perhatian kakak tingkatku itu.
Iya,
dia mulai menyadari keberadaanku. Apalagi setelah si bidadari kampus memutuskan
untuk pindah universitas.
Suatu
ketika, saat itu dia semester 7, namun mengambil beberapa mata kuliah semester
5 di kelasku, dia menoleh ke arahku di saat yang bersamaan dengan aku menoleh
ke arahnya. Pandangan mata kami bertemu dan kami sama – sama tersenyum, “Hei.”
Dia berbisik pelan.
“Hei.” Balasku.
Berawal dari kata hei, kedekatan kami semakin berlanjut. Dia
meminta nomor hp ku dan kami mulai saling sms dan telepon. Satu minggu
kemudian, dia mengajakku pergi jalan – jalan ke pantai. Di sana, dia mengatakan
kalau dia mencintaiku dan ingin menjadi pacarku. Aku tahu itu terlalu cepat, maksudku,
aku memang sudah menyukainya sejak lama, tapi dia kan baru-baru ini menyadari
keberadaanku? Tapi aku tidak peduli. Aku terlalu bahagia akhirnya bisa
memilikinya, jadi aku tidak mempedulikan apapun lagi.
Air mataku merembes lagi mengenang bagaimana dulu aku berjuang
dengan keras agar bisa memilikinya. Aku tidak rela. Aku masih mencintainya.
Aku berusaha mendekatinya lagi, tapi sepertinya dia sudah
menutup hatinya untukku. Sms ku tidak pernah dibalas, teleponku juga tidak
pernah diangkat. Kalau kami berpapasan di kampus, dia tidak menghindariku, tapi
dia juga tidak mempedulikanku. Kami seperti orang asing yang kebetulan saja
kuliah di universitas yang sama.
Sahabatku senantiasa menghiburku, mengatakan kalau suatu hari
nanti dia akan kembali padaku. Tapi sudah tiga bulan berlalu, dia sama sekali
tidak pernah menghubungiku lagi. Aku benar – benar merindukannya. Aku tidak
tahu harus melakukan apalagi untuk bisa membuatnya kembali ke pelukanku.
Suatu hari aku melihatnya duduk sendiri di kantin kampus. Aku
memberanikan diriku mendekatinya. Aku duduk di sampingnya, sepertinya dia
menyadari kehadiranku, tapi dia tidak bereaksi sedikitpun.
“Hei.” Aku mengucapkan kata pertama yang dia ucapkan padaku
dulu, satu tahun yang lalu.
Dia menoleh ke arahku, tapi sedetik kemudian dia kembali sibuk
menghabiskan nasi gorengnya.
Aku memegang tangannya, “Maafkan aku.”
Dia tidak menepis tanganku, dia tidak melakukan apapun, tidak
mengucapkan sepatah katapun.
“Aku akan melakukan apapun asal kita bisa bersama lagi.”
Dia menatapku dengan pandangan tak percaya.
Aku mengangguk mantap, “Aku tidak sanggup hidup tanpa kamu.” Aku
menggenggam tangannya semakin erat. Mungkin ini adalah keputusan yang sangat
gegabah, tapi saat cinta bicara, logika tidak bisa berbuat apa – apa. Lagipula
di abad 21 ini, melakukan hubungan seks sebelum menikah bukan lagi hal yang
jarang. Aku rasa sebagian besar teman sekelasku sudah pernah melakukannya.
Dia tersenyum. Ah, senyum itu... betapa aku sangat
merindukannya.
“Kamu yakin?”
Aku mengangguk sekali lagi.
“Kalau begitu nanti datang ke kos ku jam tujuh malam. Sekarang
aku harus pergi.” Dia membayar di kasir kantin lalu pergi ke gedung perkuliahan
setelah terlebih dahulu tersenyum manis kepadaku.
Malam itu, tepat jam tujuh, aku berdiri di depan kamar kosnya.
Aku mengetuk pintu perlahan.
Beberapa saat kemudian pintu itu terbuka dan wajah manisnya
terlihat. Dia tersenyum lalu menyuruhku masuk. Dia mencium bibirku begitu aku
masuk ke kamarnya, “Kamu cantik sekali malam ini.” Dia berkata sambil terus
menciumiku.
Aku melingkarkan lenganku di pinggangnya, “Aku merindukanmu.”
Aku memeluk pria yang berbaring di sampingku itu dengan sangat
erat. Aku tidak mau kehilangan dia lagi karena itu rasanya sangat menyakitkan,
“Kamu tidak akan pernah meninggalkan aku lagi kan?” tanyaku sambil mendongak,
melihat wajahnya yang berucuran keringat.
Dia membelai rambutku dengan lembut, “Terima kasih, ya.” Katanya,
tak menjawab pertanyaanku.
“Kamu tidak akan pergi lagi kan?” aku mendesaknya.
“Aku mengantuk. Sebaiknya kita tidur sekarang.” Dia menarikku ke
dekapannya lalu mengecup keningku, “Mimpi indah.”
Hari sudah sangat pagi ketika terdengar ketukan di pintu. Aku
tersentak dari tidurku dan membangunkan kekasihku dengan pelan, “Ada yang
datang.” kataku. Dia menguap beberapa kali lalu bangkit dan memakai pakaiannya.
Akupun memungut pakaianku yang berserakan di lantai dan membawanya ke kamar
mandi.
Aku mengenakan pakaianku lagi dengan perlahan karena aku takut
menimbulkan bunyi berisik yang akan membuat tamu pacarku curiga. Suasana begitu
hening, namun tiba – tiba aku mendengar suara tangisan, wanita! Aku langsung
menghentikan semua kegiatanku dan menempelkan telinga di tembok yang menjadi
pembatas kamar kos dan kamar mandi.
“Kamu kenapa?” aku mendengar pria yang semalam telah merenggut
hartaku paling berharga bertanya kepada tamunya itu.
Pertanyaannya hanya dibalas suara isak tangis yang semakin
keras.
Aku berharapa aku bisa melihat apa yang sedang terjadi, tapi
sayangnya tidak ada lubang di kamar mandi ini yang bisa kupakai untuk
mengintip.
“Jangan seperti anak kecil.”
Tubuhku tiba – tiba lunglai begitu aku mendengar kalimat
sederhana yang keluar dari bibir wanita itu, “Aku hamil.”
Ya Tuhan... Siapa wanita itu? Dia hamil? Siapa yang
menghamilinya? Jangan – jangan... Ah.. Kepalaku terasa sangat berat.
“Lalu?” kekasihku bertanya dengan nada datar seolah wanita yang
menangis itu mengatakan sesuatu yang wajar dan sering terdengar sehari – hari.
“Kamu ayahnya! Kamu harus tanggung jawab!”
Detik itu, kakiku sudah tidak mampu lagi menopang berat tubuhku.
Aku terjatuh di lantai kamar mandi dan menimbulkan suara kecil, tapi sepertinya
wanita itu tidak mendengarnya.
Kekasihku tertawa cukup keras, “Bagaimana aku tahu kalau bayi
yang ada di perutmu itu adalah anakku?”
Plaakk...
“Kamu pikir aku wanita murahan yang tidur dengan sembarang pria?
Aku hanya melakukannya denganmu! Bayi ini adalah anakmu.”
Hening sejenak.
“Kalau begitu,” keheningan itu terpecah suara berat kekasihku,
“gugurkan kandunganmu itu dan jangan pernah menggangguku lagi.”
Aku mendengar bunyi tamparan sekali lagi dan bunyi pintu yang
dibanting dengan sangat keras.
Aku berusaha berdiri dengan berpegangan pada bibir bak mandi.
Kepalaku terasa sangat pusing. Aku membuka pintu kamar mandi lalu berjalan
terhuyung – huyung menemuinya yang sedang duduk di pinggir ranjang, “Siapa
dia?”
Lelaki itu menoleh ke arahku lalu tersenyum, “Bukan siapa –
siapa.”
Kutatap dia dengan tatapan tajam, “Apa benar kamu
menghamilinya?”
“Itu bukan urusanmu.”
“Apa? Bukan urusanku?”
“Aku sudah menyelesaikan urusanku dengannya.”
Air mata semakin deras mengalir membasahi pipiku. Aku sungguh
tidak menyangka pria yang kucintai ini ternyata tidak berperasaan. Bagaimana
mungkin dia bisa mengatakan kalimat itu dengan nada sedatar itu?
Kami berpapasan lagi di koridor kampus. Dia, seperti biasa,
melewatiku begitu saja, sama sekali tak mempedulikanku. Akupun begitu, berusaha
bersikap senatural mungkin, menahan rasa sakit yang luar biasa di dadaku. Aku
menegakkan kepalaku, menatap lurus ke depan sambil memegang perutku yang mulai
membesar.
No comments:
Post a Comment