Monday, May 4, 2020

Kan Kukubur Cinta Ini di Hatiku


She....

“Sebaiknya kita berteman saja mulai sekarang.” dia berkata tanpa melihatku.

Aku tersentak. Apakah aku salah dengar? Dia ingin mengakhiri hubungan kami?

image courtesy of Lifereader

“Aku yakin kamu pasti bisa mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari aku.” Dia pergi menjauh. Selangkah, dua langkah, dia menggerakkan kakinya dengan pandangan lurus ke depan. Berbaliklah.. menolehlah...

Aku jatuh terduduk di lantai coklat di depan kamar kos ku. Suasana kos yang sepi memberikanku keleluasaan untuk menangis tanpa takut mengganggu siapapun. Penghuni kos yang lain sudah pulang semua, aku juga seharusnya sudah ada di rumah bersama keluargaku. Tapi.. dengan bodohnya aku memilih diam di sini. Setelah satu minggu tanpa kabar, dia menghubungiku lagi, mengatakan ada hal penting yang harus dia bicarakan. Aku menunggunya seharian. Aku membersihkan kamarku, merias diriku agar terlihat cantik di depannya. Aku pikir dia sangat merindukanku karena sudah seminggu kami tak bertemu. Tidak kusangka, dia datang untuk mengakhiri hubungan yang sudah kami jalani selama hampir tiga tahun ini.

“Tidak....” aku masuk ke kamarku dan melempar semua yang bisa kulempar. Buku-buku kuliahku beterbangan ke sana kemari. Bantalku hinggap di atas lemari, satunya lagi masuk kamar mandi yang kebetulan pintunya tidak kututup, boneka babi pink yang dia beri padaku saat hari jadi kami yang kedua aku lempar ke lantai dan aku injak – injak dengan kasar. Rasanya sakit sekali.

He....

Baru seminggu aku tak melihatnya, tapi kenapa dia terlihat begitu berbeda? Wajahnya pucat, matanya sembab. Ini salahku.

Tak ada yang tahu betapa aku ingin menariknya ke dekapanku. Dia tidak salah apa-apa, aku yang salah. Ini tidak adil untuknya, tidak adil untukku juga, tapi apa yang bisa kulakukan? Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya mengucapkan kata-kata yang kupikir tak akan pernah kuucapkan, “Sebaiknya kita berteman saja mulai sekarang.” Aku memandang bunga kamboja Jepang yang tumbuh di depan kamarnya. Aku tak punya keberanian untuk menatap matanya.

Dia diam saja. Aku yakin hatinya terluka dan dia punya ribuan kata yang ingin diucapkan. Tapi kedua bibirnya tertutup rapat. Keheningan itu semakin menyiksaku.

“Aku yakin kamu pasti bisa mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari aku.” Aku pergi meninggalkannya. Aku menatap lurus ke depan. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena aku tahu sekali saja aku berbalik menatapnya, pikiranku akan berubah. Tidak, inilah yang terbaik untuk kami. Maafkan aku....

She.....
Aku harus pulang. Aku takut sendiri...

Aku mengambil beberapa potong pakaian dari lemariku dan menjejalkannya dengan sembarangan ke ranselku. Aku kemudian berjalan pelan ke depan cermin. Lihatlah gadis di cermin itu! Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, maskara dan bedaknya luntur akibat air mata yang tak berhenti mengalir dari matanya.

“Aku benci kamu...” aku berteriak sambil meninju cermin itu dengan kuat. Aku merasakan sakit yang luar biasa di ruas – ruas jari tangan kananku. Tapi sakit itu tak seberapa dibandingkan sakit di dadaku. Darah merembes dari luka – luka kecil di sana. Aku meringis lalu menjatuhkan badanku. Aku duduk bersimpuh di depan pecahan cermin yang berserakan di lantai. Aku tak sanggup...

Dengan tenaga seadanya, aku bangkit berdiri. Kakiku bergetar, tapi kupaksa untuk melangkah. Aku mengambil jaket dan ransel lalu memakainya. Helm putihku yang tadi aku lempar dan kini tergeletak di lantai, aku pungut dengan tangan kiri karena tangan kananku rasanya sakit sekali. Aku memakainya, tapi talinya tidak kupasang. Dia yang selalu memasang tali helm ku kalau aku lupa. Ah, sialan! Aku harus berhenti memikirkannya.

Aku mengendarai sepeda motorku dengan cepat. Walaupun jari-jariku terasa sangat perih, aku memaksanya untuk memutar stang motorku. Beberapa kali aku hampir menabrak pembatas jalan, tapi itu tak membuatku mengurangi kecepatan. Jalanan yang berliku dan menanjak juga tak menjadi halangan bagiku.

 Rasa perih di dadaku semakin besar begitu adegan demi adegan kebersamaanku dengan pria itu muncul di otakku. Aku ingat dulu kami sering pergi berboncengan, mengendarai sepeda motor di jalanan sepi menuju pantai di kota kecil tempat kami menuntut ilmu. Aku ingat aku selalu memeluknya dengan erat saat kecepatan motornya sudah jauh melewati batas normal. Aku ingat dia menggenggam kedua tanganku dengan tangan kirinya sambil berkata “Aku sangat mencintaimu.” Aku ingat setelah mendengarkan kata-kata itu, aku menyandarkan kepalaku ke punggung hangatnya dan berkata, “Aku juga sangat mencintaimu.”

Hatiku semakin sakit, lalu kupejamkan mataku perlahan. Menikmati terpaan angin dingin yang seakan menampar wajahku. Tuhan, aku tidak bisa hidup tanpa dia, aku sangat mencintainya. Aku lebih baik mati daripada hidup tanpa dia....

Antara sadar dan tidak, aku merasa hantaman keras mengenai sepeda motorku. Secara refleks aku membuka mata. Kejadian itu begitu cepat; saat mataku terbuka, aku sudah tersungkur ke aspal. Helmku yang talinya tidak terikat, terlepas dari kepalaku dan terpental jauh. Daguku membentur aspal yang kasar. Aku merasakan nyeri yang tak tertahankan di beberapa bagian tubuhku. Lalu semuanya gelap. Sangat gelap. Aku tidak bisa melihat apapun. Apakah ini kematian?


He....
“Mas..”

Bagaimana sekarang keadaannya? Aku takut dia akan melakukan hal – hal bodoh. Apakah keputusan yang aku ambil ini salah?

“Mas?”

Aku memang pria paling bodoh di dunia ini.

“Mas? Kamu sedang memikirkan apa?” Aku merasakan tarikan di lengan kiriku.

“Tidak ada.” Aku menggeleng lemah.

“Aku perhatikan dari tadi kamu diam saja.” Gadis di sebelahku terlihat agak kesal, “Entah kenapa aku merasa hanya badanmu saja di sini, sedangkan hati dan pikiranmu melayang entah ke mana.”

Aku berusaha menyunggingkan senyum, aku sudah menyakiti seorang wanita, aku tidak akan menyakiti siapapun lagi, “Tidak. Aku hanya sedikit mengantuk.”

“Menurutmu cincin ini bagus atau tidak?” dia memperlihatkan sepasang cincin emas kepadaku. Kami memang sedang ada di sebuah toko perhiasan untuk membeli cincin tunangan. Ya, gadis di sebelahku ini adalah calon tunanganku, calon istriku.

“Bagus.” Jawabku singkat.

“Kalau yang ini?” dia memperlihatkan sepasang cincin yang lain. Mereka terlihat sama persis, aku bahkan tidak bisa membedakannya kalau hanya melihat sekilas.

“Bagus juga.”

“Lebih bagus yang mana?”

“Keduanya bagus. Terserah kamu saja.”

“Mas! Ini pertunangan kita, bukan pertunanganku saja!”

Iya, dia benar. Ini adalah pertunangan kami berdua. Aku harus merelakan cintaku demi hal yang lebih penting. Aku tidak bisa mendapatkan keduanya sekaligus.

Akupun memutuskan untuk mengambil cincin yang ditunjukkan lebih dulu oleh calon tunanganku, “Kurasa ini lebih bagus.” Kataku.

Kamipun membeli cincin itu dan segera kembali ke rumah.

Jalanan yang kami lalui sangat sepi karena memang bukan merupakan jalan utama. Aku sengaja memilih jalan ini karena jalan inilah yang biasanya dilalui kekasihku kalau dia pulang kampung. Tidak, dia bukan kekasihku lagi. Mataku terasa perih dan basah, tapi aku berusaha sekuat tenaga membendung air mataku agar tidak tumpah.

Dari kejauhan, aku melihat kerumunan di pinggir jalan. Beberapa orang polisi lalu lintas terlihat berjaga di dekat kerumunan itu.

“Sepertinya ada kecelakaan, Mas.”

Aku memperlambat laju mobilku dan berhenti sekitar satu meter dari sana. Darah terlihat berceceran di mana – mana, “Ada kecelakaan ya, Pak?” tanyaku pada seorang lelaki tua di sana.

“Iya dik, kecelakaan beruntun. Ada sebuah sepeda motor yang menabrak bus dari belakang, lalu sepeda motor lainnya menabrak sepeda motor yang sudah jatuh itu.”

“Mengerikan sekali.” komentar calon tunanganku.

Aku berniat melanjutkan perjalanan kami, tapi tiba – tiba perhatianku tertuju pada sebuah benda putih yang tergeletak di seberang jalan. Hatiku mencelos, seketika tenagaku menguap. Helm itu! Helm itu milikinya!

Pikiranku sangat kacau. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku turun dari mobilku dengan kesadaran yang tidak penuh, “Korbannya sekarang di mana, Pak?” tanyaku pada lelaki tadi.

“Sudah dibawa ke rumah sakit Kerta Usadha.”

“Kenapa, Mas?” calon tunanganku menatapku dengan khawatir.

Aku menaiki mobilku tanpa menjawab pertanyaanya. Pikiranku dipenuhi hal – hal buruk. Ya Tuhan, lindungilah dia.

“Kamu kenapa, Mas?”

“Kita harus ke rumah sakit sekarang.”

“Kamu kenal sama yang kecelakaan itu?”

Aku membisu. Air mata yang sudah kebendung dengan susah payah kini tumpah membasahi pipiku. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri kalau sampai terjadi apa – apa dengannya.

Gadis yang duduk di belakangku terus mengajukan pertanyaan yang membuat kepalaku terasa mau pecah. Betapa aku ingin menurunkannya dan meninggalkannya di sini, tapi aku berusaha menahan emosiku.
           
Begitu tiba di rumah sakit, aku langsung menanyakan seorang perawat yang kutemui di lobi tentang pasien kecelakaan yang baru saja masuk. Kalimat yang mengalir dari bibirnya membuatku tak bisa bergerak. Tubuhku terasa sangat lemas dan kakiku tak mampu menopang berat badanku. aku terjatuh ke lantai. Calon tunanganku terlihat sangat panik. Dia membantuku berdiri dan mendudukkanku di sebuah bangku yang ada di sana.

“Sebenarnya siapa yang kecelakaan, Mas?” tanyanya untuk yang kesekian puluh kalinya.

Pertanyaanya membuat kesadaranku kembali. Aku harus segera menemuinya walaupun ini sudah terlambat. Aku bergerak cepat, setengah berlari menuju kamar mayat rumah sakit ini.

Air mata bercampur dengan keringat membuat wajahku sangat basah, tapi aku tak peduli. Aku menabrak beberapa orang saat berlari, tapi aku juga tak peduli. Yang ada di pikiranku hanya satu, dia...

Udara dingin menyambutku saat aku tiba di depan kamar mayat. Beberapa petugas keluar dari ruangan dingin itu, aku langsung mengutarakan keinginanku. Salah satu petugas itu mengantarku masuk ke dalam. Aroma aneh menyerang hidungku, membuat kepalaku bertambah pusing.

Kami berhenti di dekat sebuah ranjang. Di sana, di atas ranjang itu, gadisku terbujur kaku tertutupi selembar kain putih. Dadanya tak bergerak sama sekali, dia tidak bernafas. Aku mengumpulkan tenaga untuk tidak terjatuh di sana.

Tak ada kata – kata yang keluar dari mulutku. Lidahku kelu, tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Dengan tangan yang gemetaran aku membuka kain putih yang menutupi mayatnya, wajahnya terlihat memucat dengan noda darah yang sudah mengering. Ya Tuhan, baru beberapa jam yang lalu gadis ini ada di dekatku, bernafas. Seandainya aku bisa memutar waktu. Aku tidak akan meninggalkannya saat itu. Aku akan memeluknya, tidak akan pernah kulepaskan.

Aku merasakan sentuhan lembut di tanganku,aku menoleh dan menemukan wajah calon tunanganku “Dia siapa?” tanyanya pelan.

Aku pikir aku tak punya pilihan lain selain menceritakan kejadian sebenarnya, “Dia adalah kekasihku. Kami sudah bersama selama tiga tahun.”

Gadis itu sedikit tersentak, tapi dia tidak berkata apapun, akupun melanjutkan ceritaku, “Orang tuaku tidak setuju dengan hubungan kami karena kami menganut keyakinan yang berbeda. Mereka mendesakku untuk mencari pasangan hidup yang seiman, kamulah yang mereka rasa cocok menjadi menantu mereka.” Aku terdiam sebentar untuk menarik nafas karena dadaku terasa sangat sesak, “Aku menemuinya tadi pagi, memutuskan hubungan kami walaupun aku masih sangat mencintainya.”

“Maafkan aku.” Dia berbisik pelan sambil menggenggam tanganku dengan erat.
“Ini bukan salahmu.” Aku berkata sambil menghapus air mataku. Aku tidak mau terlihat lemah di depannya.

“Aku bisa membatalkan pertunangan ini kalau itu bisa membuat Mas lebih baik.” Katanya. Aku menatap sepasang mata cokelatnya, aku menemukan ketulusan di sana.

Aku menggeleng lemah, “Sebaiknya kita pulang, aku merasa kurang enak badan.” Kututup kembali kain putih itu, seakan menutup lembaran cerita kami. Biarlah cinta ini kukubur di dasar jiwaku, terkubur bersamanya. Semoga saja suatu saat nanti, di kehidupan yang lain, kami dipertemukan kembali.




           


No comments:

Post a Comment