Mimpi
itu lagi. Mimpi yang sama datang berulang-ulang kali. Seorang wanita muda
dengan pakaian robek, badan penuh memar dan luka, kaki dan tangan terikat
rantai, berteriak minta tolong. Siapa wanita itu? Wajahnya asing, tapi ntah
kenapa aku merasa ada hubungan dengannya. Ya, pasti ada hubungan antara kami,
kalau tidak, bagaimana mungkin dia datang ke mimpiku hampir setiap malam? Aku
harus tahu siapa wanita itu sebenarnya, aku tidak bisa terus-terusan
membiarkannya mengganggu tidurku.
Image courtesy of bustle.com |
Aku
turun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju cermin besar yang
menempel di tembok kamar. Wajah yang kulihat di cermin itu sangat sayu, keringat
menbanjiri kulit pucatnya. Ah.. tak seharusnya gadis 15 tahun berpenampilan
seperti ini.
“Sukreni, ayo sarapan.” terdengar
suara nenek memanggilku. Akupun bergegas mencuci muka lalu menghampiri nenekku
di dapur. Nenek adalah orang yang aneh. Kalau di rumah hanya ada kami berdua,
nenek bersikap sangat baik padaku, tapi kalau ada kakek, sikap nenek berubah
180°, nenek menjadi dingin kepadaku dan terlihat sangat ketakutan. Aku juga
takut pada kakek. Wajahnya galak dan beliau sama sekali tak pernah menganggapku
ada. Aku seakan makhluk tak terlihat yang tak berarti apa-apa. Kakek tdak
pernah berbicara sepatah katapun padaku. Aku rasa karena aku adalah peyebab
kematian kedua orang tuaku.
Nenek
bilang ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku dan ayah bunuh diri beberapa
hari kemudian. Aku anak pembawa sial, wajar saja kakek membenciku, tapi aku tak
pernah minta dilahirkan. Aku akan memilih tidak pernah lahir ke dunia ini andai
saja aku tahu kalau kelahiranku hanya akan menjadi malapetaka bagi keluarga
ini.
“Kenapa
bengong? Ayo makan, nenek masak makanan kesukaanmu.” nenek mengambil beberapa
sendok nasi goreng dan menaruhnya di piringku.
“Nek?”
“Ya?”
“Ibuku seperti apa?”
Nenek
tampak terkejut mendengar pertanyaanku, “Kamu kan punya fotonya.” ucapnya
setelah terdiam beberapa saat.
“Iya,
tapi maksudku ...”
“Sudah-sudah. Jangan banyak
nanya. Cepat makan!”
Begitulah, setiap kali aku
bertanya tentang ibu atau ayahku, nenek selalu menghindar. Tak banyak yang aku
tahu tentang orang tuaku, hanya foto dan nama. Foto mereka hanya ada satu, saat
pernikahan.
Aku
menatap wajah nenekku, kesedihan menyelimuti wajahnya yang mulai berkeriput
itu. Aku lalu menyendok nasi goreng dan memasukkannya ke mulutku, “Nasi
gorengnya enak, Nek.” aku memaksakan senyum di bibirku. Nenek juga ikut
tersenyum dan kamipun makan dengan lahap. Hm.. betapa damainya rumah ini tanpa
kakek.
Aku dan nenek duduk berdua di
ruang keluarga menonton acara musik. Aku tidak begitu menikmati acara itu
karena aku tidak suka musik. Hidupku gelap dan sunyi, tak ada warna, tak ada
musik, hanya kegelapan, hanya kesunyian. Tiba-tiba pikiranku kembali ke wanita
dalam mimpi itu. Siapa dia sebenarnya? Apa aku harus menanyakannya pada nenek?
“Sukreni.” suara nenek mengejutkanku.
“Iya Nek?”
“Akhir-akhir ini nenek lihat
kamu sering bengong. Ada apa? Ada masalah di sekolah?”
“Nggak
Nek, aku...” aku ragu, haruskah aku cerita?
“Kamu
kenapa? Cerita sama nenek.”
“Aku
takut Nek.” aku membenamkan wajahku di pangkuan nenek dan kupeluk pingganngnya
dengan erat. Air mata yang selama ini kutahan dengan sekuat tenaga berhamburan
keluar membasahi rok panjang nenekku. Aku benar-benar takut. Bayangan wajah
wanita itu berkelebat memenuhi kepalaku,”Tolong.... Tolong.. Tolong..”
jeritannya memekakkan gendang telingaku. Aku sudah tidak kuat. Aku harus
melakukan apa?
“Kamu
kenapa Sukreni? Ayo cerita.”
“Sri..”
sebuah suara menggelegar di dalam ruangan, suara kakekku. Aku langsung duduk tegak
kembali dan mengusap air mataku, “buatkan aku kopi, cepat!” perintahnya.
Keesokan harinya setelah
pulang sekolah, aku melihat nenek duduk di ruang keluarga sambil membuka
lembaran-lembaran sebuah buku yang sepertinya merupakan album foto usang,
“Nenek..” kataku sambil duduk di sampingnya. Nenek sangat terkejut melihatku
yang tiba-tiba sudah duduk di sana. Beliau langsung menyembunyikan album foto
itu.
“Apa
itu, Nek?”
“Bukan
apa-apa. Cepat ganti baju. Nenek sudah menyiapkan makan siang.”
Aku
menggelengkan kepalaku, “Apa yang nenek sembunyikan? Tolong Nek, aku ingin tau.
Apa yang sebenarnya nenek liat?”
“Ini
bukan urusanmu. Cepat ganti baju.”
“Ini
pasti urusanku Nek! Apa nenek tau hampir setiap malam aku nggak bisa tidur
karena terus dihantui mimpi buruk? Di mimpiku aku melihat seorang wanita yang
berteriak minta tolong. Apa nenek tau sesuatu tentang hal ini? Aku udah capek
Nek.” air mataku berhamburan keluar lagi seperti kemarin, tapi kali ini aku tak
memeluk nenekku.
“Apa
yang sebenarnya Nenek sembunyikan? Aku berhak tau Nek, aku udah dewasa.”
“Sukreni..” ucap nenekku
dengan pelan.
Hanya
tangisku yang menjawab ucapan nenek.
“Mungkin
sudah saatnya kamu tau kenyataannya. Sebenarnya ibumu...” nenek menyeka air
mata yang membasahi bagian bawah matanya, “Ibumu adalah seorang wanita yang
sangat baik. Dia adalah anak nenek satu-satunya. Nenek sangat menyayanginya
karena dia begitu ramah, penurut, rajin, manis, dan ceria, tapi suatu hari
terjadi malapetaka. Dia...” air mata nenek merembes lagi.
“Ibuku
kenapa Nek?” tanyaku tak sabar.
“Hentikan
Sri!” terdengar suara kakek di belakangku. Aku menoleh, benar saja, kakek
berdiri dengan tegapnya, wajahnya menunjukkan kebengisan, “Masuk ke kamar,
Sukreni!” teriaknya.
Kakek..
Kakek bicara padaku? Walaupun hanya empat kata yang diucapkan dengan kasar, tapi
dia bicara padauk!
“Cepat
masuk ke kamar!” bentaknya lagi, kali ini lebih keras.
Tanpa
berkata apa-apa, aku langsung berlari ke, tunggu dulu, aku harus mendengar apa
yang mereka bicarakan. Aku harus tahu apa yang mereka sembunyikan selama
ini. Akupun memutuskan untuk mengintip mereka melalui sebuah lubang di tembok
penyekat antara ruang keluarga dan dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Rumah
kami memang sangat luas dan kamarku terletak paling jauh di belakang.
Aku
melihat kakek berdiri sambil berkacak pinggang dan nenek sesenggukan di sofa.
Aku memasang kedua telingaku dengan baik. Aku tidak ingin kelewatan satu
katapun. Kakek melangkah ke dekat nenekku dan menarik rambutnya, “Apa kamu
sadar apa yang baru saja kamu hampir lakukan?”
Nenek
meringis kesakitan, tapi beliau tidak mengatakan apapun.
“Ini
peringatan pertama dan terakhir untuk kamu, Sri! Jangan sampai aku melihatmu
melakukan hal yang sama, atau kamu tidak akan pernah melihat anak itu lagi.”
Aku
terkesiap, apa yang kakek bicarakan? Anak itu? Maksudnya aku?
“Tapi
Yah, Sukreni sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Nenek menatap ke arah
kakek.
Sebuah
tamparan mendarat di pipi nenekku. Keras sekali. Darahku mendidih melihat semua
itu.
“Aku
tidak main-main Sri! Sekali lagi kamu lakukan itu, aku tidak akan ragu-ragu
untuk menyingkirkannya.” kakek menarik rambut nenekku sekali lagi, “Cam kan
itu!” beliau lalu keluar rumah dan menutup pintu depan dengan sangat keras.
Tubuhku lunglai. Rasa
penasaranku semakin besar.
Beberapa menit kemudian, aku
menghampiri nenekku, pura-pura baru keluar dari kamar.
“Nenek!
Nenek kenapa?”
“Tidak
apa-apa, Sayang. Cepat makan dan kembali ke kamar, sebelum kakek pulang.”
“Maafkan
aku ya, Nek.”
“Ini
bukan salahmu. Cepat makan.” kamipun beranjak ke dapur dan makan dalam diam.
Selesai
makan nenek langsung kembali ke kamarnya, aku juga ingin masuk ke kamarku, tapi
saat melintasi ruang keluarga, mataku tertuju pada album foto yang tergeletak
di sofa. Kurasa kakek tidak melihatnya dan nenek lupa kalau tadi beliau melihat-lihat
album foto itu. Akupun mengambilnya dan berlari ke kamar. Sampai di kamar aku
mengunci pintu.
Tiba-tiba
aku gemetaran. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pori-pori kulitku.
Angin mendesir perlahan, bagaimana bisa ada angin? Pintu dan jendela sudah
kututup semua! Aku bergidik ketakutan, tapi segera kutepis rasa takut tak
beralasan itu. Akupun langsung membuka halaman pertama album foto itu.
“Keluarga
Wijaya Kusuma 1975-1985” terlihat tulisan tangan yang sangat rapi, itu bukan
tulisan tangan nenekku, dan aku yakin itu bukan juga tulisan tangan kakekku.
Aku membuka halaman berikutnya. Ada dua buah foto. Yang satu terdiri dari tiga
orang, kakek, nenek, dan seorang bayi mungil. Foto yang satunya lagi seorang
gadis kecil yang sedang tersenyum. “Aku berumur 6 tahun” begitu bunyi tulisan
yang terdapat di bawah foto itu, foto ibuku.
Aku
membalik halaman demi halaman, semakin banyak foto lama yang kulihat. Hanya ada
wajah kakek, nenek, dan ibuku, tapi ada sesuatu yang janggal. Wajah Ibu waktu
kecil sama sekali tidak mirip dengan wajah ibu di foto pernikahan.
Angin mendesir lagi,
terdengar bunyi “tek tek tek”. Aku melihat ke sekeliling kamar dan betapa
terkejutnya aku saat melihat cermin besar di tembok kamarku berguncang dengan
cepat. Semakin lama guncangannya semakin cepat. Hawa dingin menyusup ke tubuhku
sampai ke sumsum tulang. Aku seakan terpaku, tak bisa bergerak. Mulutku
menganga dan tubuhku bergetar hebat. Entah berapa lama aku berada dalam situasi
yang mencekam itu hingga cermin itu berhenti berguncang. Aku mengumpulkan
segenap keberanianku dan aku melangkah perlahan mendekati cermin.
Aku
tak melihat bayangan wajahku di cermin. Yang kulihat adalah sebuah ruangan
asing yang rasanya aku kenal. Kamarku! Ya kamarku, tapi dekorasinya sangat
berbeda dan hal yang lebih aneh lagi adalah warnanya hitam putih! Bukan warna
tembok! Tapi warna semuanya. Hitam dan putih! Aku melihat tanganku, warnanya
masih cokelat. Aku melihat baju dan rokku, warnanya putih dan abu-abu. Aku
masih berwarna, tapi yang lainnya hitam putih! Aku tak bisa memalingkan wajahku
dari cermin. Aku seakan terhipnotis, tersihir. Aku tak bisa bergerak. Oh
Tuhan.. Ini pasti mimpi. Rasanya sangat mengerikan. Aku ketakutan. Aku ingin
menjerit. Aku ingin berteriak. Oh nenek, tolong aku.
Aku berusaha memejamkan
mataku, tapi tak bisa. Seseorang, atau sesuatu ingin aku menyaksikan semua yang
terjadi melalui cermin besar ini. Apa yang kulihat benar-benar mengerikan.
Kamar yang sangat berantakan. Tak ada tempat tidur, hanya sehelai tikar pandan,
tanpa bantal, tanpa selimut.
“Ayah..” tiba-tiba aku
mendengar sebuah suara. Aku bergidik. Membayangkan ada orang di kamar pengap
itu. Aku menyesuaikan posisi badanku supaya bisa melihat ke sudut lain ruangan
itu. Ya Tuhan! Wanita itu! Wanita yang selalu muncul di mimpiku! Pakain sobek.
Wajah penuh memar dan luka. Kaki dan tangan terikat rantai.
“Ayah, lepaskan aku.” wanita
itu berteriak.
“Diam!” suara kakekku! Aku
berusaha sekuat tenaga untuk menoleh, tapi usahaku sia-sia. Tubuhku kaku.
Cermin itu memaksaku untuk tak mengalihkan pandangan darinya. Aku benar-benar
tersiksa.
“Ayah... Kenapa Ayah tega
melakukan ini padaku? Aku anakmu, Yah.”
Anak?
Anak kakek? Nenek bilang mereka cuma punya satu anak, ibuku, lalu siapa wanita
ini?
“Aku
yang seharusnya bertanya, kenapa kamu tega melakukan ini padaku. Kamu tahu
perbuatanmu itu sudah mencoreng nama baik keluarga!”
“Tapi
aku mencintainya, Yah.”
“Cinta?!
Tau apa kamu tentang cinta? Sekarang kamu liat sendiri kan. Ke mana laki-laki
jahanam itu? Kenapa dia tidak menolongmu hah? Kenapa dia tidak membebaskanmu
dari ikatanku? Kenapa dia kabur?” kakek meludah di samping wanita itu.
Wanita itu menangis. Air mata
tampak mengalir di pipinya yang kotor dan penuh memar bekas tamparan dan
pukulan, “Itu karena..” dia tersendat. Aku yakin dia akan mengusap pipinya yang
basah andai saja tangannya tak terikat, “Itu karena Ayah telah membunuhnya.” dia
bicara sambil menunduk.
Membunuh? Apa? Kakekku
pembunuh?
Kakek terdiam beberapa saat.
Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.
“Ayah.. Aku mohon lepaskan
aku. Tidakkah Ayah kasihan sama Sukreni? Dia tidak bisa terus-terusan dikurung
di sini.”
AKU??!! Ada apa sebenarnya
ini? Mimpi.. Ya, ini pasti mimpi. Aku menggerakkan kepalaku lagi, berusaha
menyingkir dari cermin sialan itu, tapi tidak bisa. Sial!
“Baiklah
kalau Ayah tidak mau melepaskanku, tapi setidaknya, tolong lepaskan Sukreni.
Dia tidak tau apa-apa. Dia tidak berdosa, Yah. Biar aku saja yang menanggung
semua yang telah kulakukan. Tolong bebaskan dan jaga dia, biar bagaimanapun,
dia itu cucu Ayah.”
Aku melihat kakek menjambak
rambut wanita itu, “Dia bukan cucuku, setan!” kakek lalu menghantamkan
kepalanya bertubi-tubi ke tembok. Darah muncrat mengenai baju dan celana kakek.
Wanita itu memejamkan matanya dan di saat yang bersamaan terdengar tangisan
bayi. AKU! Bayi itu aku!
“Asih...” kakek mengguncang
tubuh wanita malang itu, “Asih..” teriaknya lagi. Mata kakek tampak basah,
“Maafkan Ayah.” Kakek memeluknya, tapi tak lama. Kakek lalu keluar ruangan.
Aku
masih belum bisa bergerak. Peristiwa ini membuatku gila. Jadi wanita itu ibuku?
Bayi yang menangis itu aku? Berarti foto pernikahan orang tuaku foto palsu? Tidak,
tidak, ini pasti hanya mimpi.
Beberapa
saat kemudian pintu terbuka. Kakek datang dengan linggis, pasir, semen, ember,
dan alat pertukangan yang lain. Apa yang akan kakek lakukan?
Kakek
berjalan ke arahku berdiri. Aku kembali ketakutan. Apa dia mau membunuhku?
Tidak!
Kakek berjalan tepat melintasiku, menembusku! Lalu kakek menggunakan linggis
untuk membuat lubang di tembok di depanku. Cermin itu tidak ada di sana. Hanya
aku yang bisa melihat cermin itu. Hanya aku dan cermin itu yang ada tapi seakan
tak ada. Aku pusing. Aku ingin pingsan. Seandainya ini dunia nyata, pasti aku
sudah pingsan dari tadi, tapi ada sesuatu yang membuat mataku tetap terbuka
lebar.
Kakek
terus menggali tanpa kenal lelah. Lubang yang dibuatpun sudah cukup besar.
Kakek berjalan ke arah wanita itu,- aku tak akan memanggilnya Ibu, karena ini
hanya mimpi!-, menggendongnya, dan menaruhnya di lubang. Kemudian kakek menutup
mayat itu dengan balok kayu dan menguburnya dengan campuran semen.
Aku
melihat semua itu tanpa bisa melakukan apapun. Otakku buntu. Aku ingin segera
bangun dari mimpi mengerikan ini.
Kakek keluar ruangan lagi.
Beliau sama sekali tak mempedulikan si bayi yang terus-terusan menangis. Entah
karena haus atau karena tahu ibunya sudah meninggal. Betapa aku ingin
menenangkan bayi itu, seandainya aku bisa bergerak. Cermin terkutuk! Apa yang
kau lakukan padaku?
Aku melihat
kakek masuk ruangan dengan sebuah cermin besar di tangannya. Cermin itu! Cermin
berukuran 1 x 2 meter yang menempel di tembok kamarku. Kakek memang memiliki
badan yang kekar jadi beliau bisa dengan mudah membawa dan menempelkan cermin
itu di tembok. Menutupi bekas lubang kuburan seorang wanita.
Kakek
menembusku sekali lagi dan beranjak menuju bayi itu, “Diam! Atau aku akan membuatmu
menyusul ibumu yang jalang itu!”
Merekapun
keluar ruangan. Kakek menutup pintu kamar dengan keras, begitu kerasnya sampai
aku terlonjak.
Mimpi.... Ternyata itu memang
hanya mimpi. Aku merasakan seragam sekolahku basah karena keringat. Aku pasti
ketiduran saat melihat-lihat foto itu. Aku mimpi aneh seperti itu pasti karena
aku marah sama kakek yang telah menampar nenek. Kakekku tidak mungkin membunuh.
Aku mengusap keringat di
pelipis dan dahiku lalu akupun turun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya aku
saat melihat cermin besar yang ada di tembok pecah menjadi serpihan-serpihan
kecil yang berserakan di lantai. Apa yang selama ini ditutupi oleh cermin itu
terlihat dengan jelas. Bekas lubang! Itu bukan mimpi. Oh...
Tiba-tiba angin berdesir
lagi. Jendela yang kuyakin sudah kukunci terbuka lebar dan terantuk-antuk
karena angin. Ketakutan merasukiku lagi. Tubuhku lemas. Keringat membasahi
dahi, pelipis, dan sekujur tubuhku. Aku menatap bekas lubang itu dan sesuatu
muncul dari dalamnya. Seorang wanita cantik, kulitnya bersih, tak ada memar,
tak ada luka, ibuku.
“Sukreni...” dia berbisik
perlahan, suaranya merdu, tangannya melambai ke arahku.
Aku tanpa ragu mendekatinya.
Inilah ibuku, wanita yang selalu muncul di mimpiku.
“Ibu...” aku berusaha
memeluknya, tapi aku memeluk angin. Akupun mundur beberapa langkah dan
memperhatikan wajahnya yang menyiratkan kesedihan.
“Tolong bebaskan Ibu, Nak.”
“Membebaskan Ibu, bagaimana
caranya?”
“Ibu tidak akan pernah tenang
sebelum mayat ibu diupacarai dengan layak.”
“Ibu.... Aku masih bingung.
Apa yang sebenarnya terjadi?”
Ibuku tersenyum, senyum manis
itu menghiasi wajah pucatnya, “Apa yang baru saja kamu lihat adalah kenyataan,
anakku.” Tiba-tiba ibuku berubah. Pakaian putihnya berubah menjadi pakian
sobek-sobek, wajahnya menjadi penuh memar dan luka, tangan dan kakinya terikat,
“Cepat lepaskan Ibu, Nak. Tolong... Tolong.. Tolong ibu..”
“Ibu............” aku
menjerit. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih di tempat tidur. Aku baru saja
bangun dari tidur. Mimpi dalam mimpi. Aku bisa gila.
“Sukreni, kamu kenapa?” kata
nenek yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.
“Nenek..”
aku langsung turun dari tempat tidur dan mendekap nenekku dengan erat. Air mata
bercucuran dari kedua mataku, beradu dengan keringat.
“Kamu
mimpi buruk?” nenek membelai kepalaku dengan lembut, “Tenang, nenek di sini.
Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”
Aku
melepaskan pelukanku dan kea rah lemari dan mengambil tongkat kasti. Aku
kemudian melangkah menuju cermin besar itu.
“Kamu mau ngapain, Sukreni?”
nenek memegang tanganku, aku menepis tangannya.
Aku
tidak tahu dari mana datangnya kekuatan yang menggebu ini. Aku memukul cermin
itu dengan sekuat tenaga. Satu pukulan saja, cermin itu hancur
berkeping-keping.
“Sukreni!”
nenek menjerit, lalu menarik tubuhku menjauh dari serpihan kaca itu, “Apa yang
kamu lakukan?”
“Mengungkap
kebenaran.” Kataku sambil menunjuk tembok tempat cermin itu menempel
sebelumnya.
Nenekku
menangis, aku juga. Tak ada kata yang mampu melukiskan perasaan kami saat itu.
Aku benar-benar terpukul. Kakek telah membunuh kedua orang tuaku, tapi beliau
mengatakan aku yang menyebabkan mereka meninggal. Kakek sudah mebuatku hidup
dalam bayang-bayang penyesalan, dan nenek.. ah.. aku tak bisa menyalahkan
nenek. Nenek sudah begitu baik padaku dan beliau terpaksa berbohong demi
menyelamatkan jiwaku dari kakek.
“Maafkan
Nenek.” aku merasakan tangan nenek mendekap tubuhku.
“Di
mana pembunuh itu?” aku menepis kedua tangan nenek dan aku menatap wajahnya.
“Kakek
belum pulang dari tadi siang.”
“Kita
harus menghubungi polisi Nek, kita tidak bisa membiarkan pembunuh itu tinggal
bersama kita.”
“Tapi
nenek takut.”
“Apa
yang nenek takutkan?”
Nenek
diam tak menjawab.
“Kita
harus segera pergi dari sini Nek.” Aku menarik tangan nenekku lalu kami berlari
ke ruang keluarga. Aku langsung menelepon kantor polisi dan menceritakan
semuanya secara singkat. Setelah itu kami keluar.
“Kita
mau ke mana?”
“Ke
rumah tetangga. Kita harus bersembunyi sampai polisi datang. Kalau kakek bisa
membunuh ibu pasti kakek juga bisa membunuh kita.” aku berjalan tanpa menoleh
ke arah nenek yang mengikut di belakangku. Langkahku terhenti saat tiba-tiba
aku melihat kakek berjalan ke arah kami.
“Mau
ke mana kamu, Sri?”
Tubuhku
bergetar menahan gejolak kebencian dan kemarahan.
“Jawab!”
bentak kakek.
“Jangan
bentak nenekku lagi!” aku berteriak. Kebencian dan kemarahan itu bersatu
membentuk keberanian.
“Aku
tak bicara padamu.”
“Aku
juga sebenarnya tak sudi bicara dengan pembunuh sepertimu!”
“Apa
kamu bilang?”
“Aku
sudah tahu semuanya!”
Kakek
melotot ke arah nenekku, “Berani-beraninya kamu melanggar perintahku. Kakek
berjalan mendekati nenek.
Aku
merentangkan kedua tanganku, “Bukan nenek yang memberi tahuku, tapi ibu!”
“Apa?”
“Ibu
selalu datang ke mimpiku minta tolong. Kenapa kakek tega melakukan itu? Kenapa
kakek membunuh orang tuaku?”
“Kalau
tahu seperti ini, aku pasti juga membunuhmu dari dulu.”
“Bunuh
saja aku!” nenek berteriak. Aku menoleh tak percaya ke arah nenek, “Bunuh saja
aku! Aku sudah muak hidup denganmu! Kamu telah tega membunuh anak kita
satu-satunya. Kamu bukan manusia, Atmaja! Kamu setan!”
“Apa
kamu bilang?” Kakek terlihat sangat marah, kedua matanya melotot seakan mau
keluar dari tempatnya. Kakek berjalan mendekati nenek dan menghempaskan
tubuhku. Aku terjatuh ke bebatuan kering yang menggores kulitku. Rasanya sakit
sekali.
“Aku
seharusnya sudah membunuhmu dari dulu.” Aku mendengar kakek berteriak. Aku
segera menoleh. Kakek mencekik nenekku hingga tubuh nenek terangkat beberapa
senti dari tanah.
“Hentikan...”
aku berteriak, menahan sakit di siku dan telapak tanganku. Aku berlari ke arah
mereka dan kudorong kakek dengan sekuat tenaga. Kakek melepaskan nenek dan
berbalik ke arahku. Wajah kakek benar-benar menakutkan.
Aku mengatur
nafasku, hidungku bekerja ekstra untuk memasukkan banyak oksigen ke paru-paru.
Waktu terasa melambat. Kakek menyeringai, “Kamu akan segera menyusul orang
tuamu.” Katanya sambil berjalan mendekat.
Aku
melangkah mundur dan kakiku tersandung batu. Aku terjerembab.
“Akan
kukirim kau ke neraka.” Tangan kakek menggapai leherku. Aku menepis
tangan-tangan kokoh itu sekuat tenaga, tapi sia-sia.
“Jangan
bergerak!” seseorang berteriak. Aku menoleh, polisi.
Dua orang polisi langsung
membekuk kakekku dan memborgol tangannya. Aku dan nenekpun segera dilarikan ke
rumah sakit. Untung nyawa nenek bisa diselamatkan.
Esoknya
aku pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Aku menceritakan
semuanya. Polisi terlihat kurang percaya dengan ceritaku. Kamipun ke rumahku
untuk melihat lubang itu.
Seorang
petugas menggali tembok itu. Satu jam kemudiam linggisnya beradu dengan balok
kayu. Diapun menarik balok kayu tersebut dan terlihatlah kerangka manusia,
kerangka ibuku. Aku tak bisa menahan air mata yang meleleh di pipiku.
*****
Sehari kemudian nenek sudah
bisa dibawa pulang. Kami mendengar kabar kalau kakek terancam dipenjara seumur
hidup. Aku sungguh bersyukur.
“Nek,
kita bebaskan ibu ya.” Kataku saat kami berdua duduk di ruang keluarga.
Nenek
mengangguk perlahan. Akupun menghubungi keluarga jauh dan beberapa orang
tetangga.
Kami
mulai mempersiapkan upacara pengabenan untuk ibu.
“Selamat
jalan Ibu.. Semoga ibu tenang di sana.” kataku saat tulang belulang ibu
dikremasi. Nenek mendekap tubuhku dengan erat, akupun membalas dekapan nenek.
Mimpi
itu lagi. Mimpi yang sama datang berulang-ulang kali. Seorang wanita muda
dengan pakaian robek, badan penuh memar dan luka, kaki dan tangan terikat
rantai, berteriak minta tolong. Siapa wanita itu? Wajahnya asing, tapi ntah
kenapa aku merasa ada hubungan dengannya. Ya, pasti ada hubungan antara kami,
kalau tidak, bagaimana mungkin dia datang ke mimpiku hampir setiap malam? Aku
harus tahu siapa wanita itu sebenarnya, aku tidak bisa terus-terusan
membiarkannya mengganggu tidurku.
Aku
turun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju cermin besar yang
menempeldi tembok kamar. Wajah yang kulihat di cermin itu sangat sayu, keringat
menbanjiri kulit pucatnya. Ah.. tak seharusnya gadis 15 tahun berpenampilan
seperti ini.
“Sukreni, ayo sarapan.” terdengar
suara nenek memanggilku. Akupun bergegas mencuci muka lalu menghampiri nenekku
di dapur. Nenek adalah orang yang aneh. Kalau di rumah hanya ada kami berdua,
nenek bersikap sangat baik padaku, tapi kalau ada kakek, sikap nenek berubah
180°, nenek menjadi dingin kepadaku dan terlihat sangat ketakutan. Aku juga
takut pada kakek. Wajahnya galak dan beliau sama sekali tak pernah menganggapku
ada. Aku seakan makhluk tak terlihat yang tak berarti apa-apa. Kakek tdak
pernah berbicara sepatah katapun padaku. Aku rasa karena aku adalah peyebab
kematian kedua orang tuaku.
Nenek
bilang ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku dan ayah bunuh diri beberapa
hari kemudian. Aku anak pembawa sial, wajar saja kakek membenciku, tapi aku tak
pernah minta dilahirkan. Aku akan memilih tidak pernah lahir ke dunia ini andai
saja aku tahu kalau kelahiranku hanya akan menjadi malapetaka bagi keluarga
ini.
“Kenapa
bengong? Ayo makan, nenek masak makanan kesukaanmu.” nenek mengambil beberapa
sendok nasi goreng dan menaruhnya di piringku.
“Nek?”
“Ya?”
“Ibuku seperti apa?”
Nenek
tampak terkejut mendengar pertanyaanku, “Kamu kan punya fotonya.” ucapnya
setelah terdiam beberapa saat.
“Iya,
tapi maksudku ...”
“Sudah-sudah. Jangan banyak
nanya. Cepat makan!”
Begitulah, setiap kali aku
bertanya tentang ibu atau ayahku, nenek selalu menghindar. Tak banyak yang aku
tahu tentang orang tuaku, hanya foto dan nama. Foto mereka hanya ada satu, saat
pernikahan.
Aku
menatap wajah nenekku, kesedihan menyelimuti wajahnya yang mulai berkeriput
itu. Aku lalu menyendok nasi goreng dan memasukkannya ke mulutku, “Nasi
gorengnya enak, Nek.” aku memaksakan senyum di bibirku. Nenek juga ikut
tersenyum dan kamipun makan dengan lahap. Hm.. betapa damainya rumah ini tanpa
kakek.
Aku dan nenek duduk berdua di
ruang keluarga menonton acara musik. Aku tidak begitu menikmati acara itu
karena aku tidak suka musik. Hidupku gelap dan sunyi, tak ada warna, tak ada
musik, hanya kegelapan, hanya kesunyian. Tiba-tiba pikiranku kembali ke wanita
dalam mimpi itu. Siapa dia sebenarnya? Apa aku harus menanyakannya pada nenek?
“Sukreni.” suara nenek mengejutkanku.
“Iya Nek?”
“Akhir-akhir ini nenek lihat
kamu sering bengong. Ada apa? Ada masalah di sekolah?”
“Nggak
Nek, aku...” aku ragu, haruskah aku cerita?
“Kamu
kenapa? Cerita sama nenek.”
“Aku
takut Nek.” aku membenamkan wajahku di pangkuan nenek dan kupeluk pingganngnya
dengan erat. Air mata yang selama ini kutahan dengan sekuat tenaga berhamburan
keluar membasahi rok panjang nenekku. Aku benar-benar takut. Bayangan wajah
wanita itu berkelebat memenuhi kepalaku,”Tolong.... Tolong.. Tolong..”
jeritannya memekakkan gendang telingaku. Aku sudah tidak kuat. Aku harus
melakukan apa?
“Kamu
kenapa Sukreni? Ayo cerita.”
“Sri..”
sebuah suara menggelegar di dalam ruangan, suara kakekku. Aku langsung duduk tegak
kembali dan mengusap air mataku, “buatkan aku kopi, cepat!” perintahnya.
Keesokan harinya setelah
pulang sekolah, aku melihat nenek duduk di ruang keluarga sambil membuka
lembaran-lembaran sebuah buku yang sepertinya merupakan album foto usang,
“Nenek..” kataku sambil duduk di sampingnya. Nenek sangat terkejut melihatku
yang tiba-tiba sudah duduk di sana. Beliau langsung menyembunyikan album foto
itu.
“Apa
itu, Nek?”
“Bukan
apa-apa. Cepat ganti baju. Nenek sudah menyiapkan makan siang.”
Aku
menggelengkan kepalaku, “Apa yang nenek sembunyikan? Tolong Nek, aku ingin tau.
Apa yang sebenarnya nenek liat?”
“Ini
bukan urusanmu. Cepat ganti baju.”
“Ini
pasti urusanku Nek! Apa nenek tau hampir setiap malam aku nggak bisa tidur
karena terus dihantui mimpi buruk? Di mimpiku aku melihat seorang wanita yang
berteriak minta tolong. Apa nenek tau sesuatu tentang hal ini? Aku udah capek
Nek.” air mataku berhamburan keluar lagi seperti kemarin, tapi kali ini aku tak
memeluk nenekku.
“Apa
yang sebenarnya Nenek sembunyikan? Aku berhak tau Nek, aku udah dewasa.”
“Sukreni..” ucap nenekku
dengan pelan.
Hanya
tangisku yang menjawab ucapan nenek.
“Mungkin
sudah saatnya kamu tau kenyataannya. Sebenarnya ibumu...” nenek menyeka air
mata yang membasahi bagian bawah matanya, “Ibumu adalah seorang wanita yang
sangat baik. Dia adalah anak nenek satu-satunya. Nenek sangat menyayanginya
karena dia begitu ramah, penurut, rajin, manis, dan ceria, tapi suatu hari
terjadi malapetaka. Dia...” air mata nenek merembes lagi.
“Ibuku
kenapa Nek?” tanyaku tak sabar.
“Hentikan
Sri!” terdengar suara kakek di belakangku. Aku menoleh, benar saja, kakek
berdiri dengan tegapnya, wajahnya menunjukkan kebengisan, “Masuk ke kamar,
Sukreni!” teriaknya.
Kakek..
Kakek bicara padaku? Walaupun hanya empat kata yang diucapkan dengan kasar, tapi
dia bicara padauk!
“Cepat
masuk ke kamar!” bentaknya lagi, kali ini lebih keras.
Tanpa
berkata apa-apa, aku langsung berlari ke, tunggu dulu, aku harus mendengar apa
yang mereka bicarakan. Aku harus tahu apa yang mereka sembunyikan selama
ini. Akupun memutuskan untuk mengintip mereka melalui sebuah lubang di tembok
penyekat antara ruang keluarga dan dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Rumah
kami memang sangat luas dan kamarku terletak paling jauh di belakang.
Aku
melihat kakek berdiri sambil berkacak pinggang dan nenek sesenggukan di sofa.
Aku memasang kedua telingaku dengan baik. Aku tidak ingin kelewatan satu
katapun. Kakek melangkah ke dekat nenekku dan menarik rambutnya, “Apa kamu
sadar apa yang baru saja kamu hampir lakukan?”
Nenek
meringis kesakitan, tapi beliau tidak mengatakan apapun.
“Ini
peringatan pertama dan terakhir untuk kamu, Sri! Jangan sampai aku melihatmu
melakukan hal yang sama, atau kamu tidak akan pernah melihat anak itu lagi.”
Aku
terkesiap, apa yang kakek bicarakan? Anak itu? Maksudnya aku?
“Tapi
Yah, Sukreni sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Nenek menatap ke arah
kakek.
Sebuah
tamparan mendarat di pipi nenekku. Keras sekali. Darahku mendidih melihat semua
itu.
“Aku
tidak main-main Sri! Sekali lagi kamu lakukan itu, aku tidak akan ragu-ragu
untuk menyingkirkannya.” kakek menarik rambut nenekku sekali lagi, “Cam kan
itu!” beliau lalu keluar rumah dan menutup pintu depan dengan sangat keras.
Tubuhku lunglai. Rasa
penasaranku semakin besar.
Beberapa menit kemudian, aku
menghampiri nenekku, pura-pura baru keluar dari kamar.
“Nenek!
Nenek kenapa?”
“Tidak
apa-apa, Sayang. Cepat makan dan kembali ke kamar, sebelum kakek pulang.”
“Maafkan
aku ya, Nek.”
“Ini
bukan salahmu. Cepat makan.” kamipun beranjak ke dapur dan makan dalam diam.
Selesai
makan nenek langsung kembali ke kamarnya, aku juga ingin masuk ke kamarku, tapi
saat melintasi ruang keluarga, mataku tertuju pada album foto yang tergeletak
di sofa. Kurasa kakek tidak melihatnya dan nenek lupa kalau tadi beliau melihat-lihat
album foto itu. Akupun mengambilnya dan berlari ke kamar. Sampai di kamar aku
mengunci pintu.
Tiba-tiba
aku gemetaran. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pori-pori kulitku.
Angin mendesir perlahan, bagaimana bisa ada angin? Pintu dan jendela sudah
kututup semua! Aku bergidik ketakutan, tapi segera kutepis rasa takut tak
beralasan itu. Akupun langsung membuka halaman pertama album foto itu.
“Keluarga
Wijaya Kusuma 1975-1985” terlihat tulisan tangan yang sangat rapi, itu bukan
tulisan tangan nenekku, dan aku yakin itu bukan juga tulisan tangan kakekku.
Aku membuka halaman berikutnya. Ada dua buah foto. Yang satu terdiri dari tiga
orang, kakek, nenek, dan seorang bayi mungil. Foto yang satunya lagi seorang
gadis kecil yang sedang tersenyum. “Aku berumur 6 tahun” begitu bunyi tulisan
yang terdapat di bawah foto itu, foto ibuku.
Aku
membalik halaman demi halaman, semakin banyak foto lama yang kulihat. Hanya ada
wajah kakek, nenek, dan ibuku, tapi ada sesuatu yang janggal. Wajah Ibu waktu
kecil sama sekali tidak mirip dengan wajah ibu di foto pernikahan.
Angin mendesir lagi,
terdengar bunyi “tek tek tek”. Aku melihat ke sekeliling kamar dan betapa
terkejutnya aku saat melihat cermin besar di tembok kamarku berguncang dengan
cepat. Semakin lama guncangannya semakin cepat. Hawa dingin menyusup ke tubuhku
sampai ke sumsum tulang. Aku seakan terpaku, tak bisa bergerak. Mulutku
menganga dan tubuhku bergetar hebat. Entah berapa lama aku berada dalam situasi
yang mencekam itu hingga cermin itu berhenti berguncang. Aku mengumpulkan
segenap keberanianku dan aku melangkah perlahan mendekati cermin.
Aku
tak melihat bayangan wajahku di cermin. Yang kulihat adalah sebuah ruangan
asing yang rasanya aku kenal. Kamarku! Ya kamarku, tapi dekorasinya sangat
berbeda dan hal yang lebih aneh lagi adalah warnanya hitam putih! Bukan warna
tembok! Tapi warna semuanya. Hitam dan putih! Aku melihat tanganku, warnanya
masih cokelat. Aku melihat baju dan rokku, warnanya putih dan abu-abu. Aku
masih berwarna, tapi yang lainnya hitam putih! Aku tak bisa memalingkan wajahku
dari cermin. Aku seakan terhipnotis, tersihir. Aku tak bisa bergerak. Oh
Tuhan.. Ini pasti mimpi. Rasanya sangat mengerikan. Aku ketakutan. Aku ingin
menjerit. Aku ingin berteriak. Oh nenek, tolong aku.
Aku berusaha memejamkan
mataku, tapi tak bisa. Seseorang, atau sesuatu ingin aku menyaksikan semua yang
terjadi melalui cermin besar ini. Apa yang kulihat benar-benar mengerikan.
Kamar yang sangat berantakan. Tak ada tempat tidur, hanya sehelai tikar pandan,
tanpa bantal, tanpa selimut.
“Ayah..” tiba-tiba aku
mendengar sebuah suara. Aku bergidik. Membayangkan ada orang di kamar pengap
itu. Aku menyesuaikan posisi badanku supaya bisa melihat ke sudut lain ruangan
itu. Ya Tuhan! Wanita itu! Wanita yang selalu muncul di mimpiku! Pakain sobek.
Wajah penuh memar dan luka. Kaki dan tangan terikat rantai.
“Ayah, lepaskan aku.” wanita
itu berteriak.
“Diam!” suara kakekku! Aku
berusaha sekuat tenaga untuk menoleh, tapi usahaku sia-sia. Tubuhku kaku.
Cermin itu memaksaku untuk tak mengalihkan pandangan darinya. Aku benar-benar
tersiksa.
“Ayah... Kenapa Ayah tega
melakukan ini padaku? Aku anakmu, Yah.”
Anak?
Anak kakek? Nenek bilang mereka cuma punya satu anak, ibuku, lalu siapa wanita
ini?
“Aku
yang seharusnya bertanya, kenapa kamu tega melakukan ini padaku. Kamu tahu
perbuatanmu itu sudah mencoreng nama baik keluarga!”
“Tapi
aku mencintainya, Yah.”
“Cinta?!
Tau apa kamu tentang cinta? Sekarang kamu liat sendiri kan. Ke mana laki-laki
jahanam itu? Kenapa dia tidak menolongmu hah? Kenapa dia tidak membebaskanmu
dari ikatanku? Kenapa dia kabur?” kakek meludah di samping wanita itu.
Wanita itu menangis. Air mata
tampak mengalir di pipinya yang kotor dan penuh memar bekas tamparan dan
pukulan, “Itu karena..” dia tersendat. Aku yakin dia akan mengusap pipinya yang
basah andai saja tangannya tak terikat, “Itu karena Ayah telah membunuhnya.” dia
bicara sambil menunduk.
Membunuh? Apa? Kakekku
pembunuh?
Kakek terdiam beberapa saat.
Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.
“Ayah.. Aku mohon lepaskan
aku. Tidakkah Ayah kasihan sama Sukreni? Dia tidak bisa terus-terusan dikurung
di sini.”
AKU??!! Ada apa sebenarnya
ini? Mimpi.. Ya, ini pasti mimpi. Aku menggerakkan kepalaku lagi, berusaha
menyingkir dari cermin sialan itu, tapi tidak bisa. Sial!
“Baiklah
kalau Ayah tidak mau melepaskanku, tapi setidaknya, tolong lepaskan Sukreni.
Dia tidak tau apa-apa. Dia tidak berdosa, Yah. Biar aku saja yang menanggung
semua yang telah kulakukan. Tolong bebaskan dan jaga dia, biar bagaimanapun,
dia itu cucu Ayah.”
Aku melihat kakek menjambak
rambut wanita itu, “Dia bukan cucuku, setan!” kakek lalu menghantamkan
kepalanya bertubi-tubi ke tembok. Darah muncrat mengenai baju dan celana kakek.
Wanita itu memejamkan matanya dan di saat yang bersamaan terdengar tangisan
bayi. AKU! Bayi itu aku!
“Asih...” kakek mengguncang
tubuh wanita malang itu, “Asih..” teriaknya lagi. Mata kakek tampak basah,
“Maafkan Ayah.” Kakek memeluknya, tapi tak lama. Kakek lalu keluar ruangan.
Aku
masih belum bisa bergerak. Peristiwa ini membuatku gila. Jadi wanita itu ibuku?
Bayi yang menangis itu aku? Berarti foto pernikahan orang tuaku foto palsu? Tidak,
tidak, ini pasti hanya mimpi.
Beberapa
saat kemudian pintu terbuka. Kakek datang dengan linggis, pasir, semen, ember,
dan alat pertukangan yang lain. Apa yang akan kakek lakukan?
Kakek
berjalan ke arahku berdiri. Aku kembali ketakutan. Apa dia mau membunuhku?
Tidak!
Kakek berjalan tepat melintasiku, menembusku! Lalu kakek menggunakan linggis
untuk membuat lubang di tembok di depanku. Cermin itu tidak ada di sana. Hanya
aku yang bisa melihat cermin itu. Hanya aku dan cermin itu yang ada tapi seakan
tak ada. Aku pusing. Aku ingin pingsan. Seandainya ini dunia nyata, pasti aku
sudah pingsan dari tadi, tapi ada sesuatu yang membuat mataku tetap terbuka
lebar.
Kakek
terus menggali tanpa kenal lelah. Lubang yang dibuatpun sudah cukup besar.
Kakek berjalan ke arah wanita itu,- aku tak akan memanggilnya Ibu, karena ini
hanya mimpi!-, menggendongnya, dan menaruhnya di lubang. Kemudian kakek menutup
mayat itu dengan balok kayu dan menguburnya dengan campuran semen.
Aku
melihat semua itu tanpa bisa melakukan apapun. Otakku buntu. Aku ingin segera
bangun dari mimpi mengerikan ini.
Kakek keluar ruangan lagi.
Beliau sama sekali tak mempedulikan si bayi yang terus-terusan menangis. Entah
karena haus atau karena tahu ibunya sudah meninggal. Betapa aku ingin
menenangkan bayi itu, seandainya aku bisa bergerak. Cermin terkutuk! Apa yang
kau lakukan padaku?
Aku melihat
kakek masuk ruangan dengan sebuah cermin besar di tangannya. Cermin itu! Cermin
berukuran 1 x 2 meter yang menempel di tembok kamarku. Kakek memang memiliki
badan yang kekar jadi beliau bisa dengan mudah membawa dan menempelkan cermin
itu di tembok. Menutupi bekas lubang kuburan seorang wanita.
Kakek
menembusku sekali lagi dan beranjak menuju bayi itu, “Diam! Atau aku akan membuatmu
menyusul ibumu yang jalang itu!”
Merekapun
keluar ruangan. Kakek menutup pintu kamar dengan keras, begitu kerasnya sampai
aku terlonjak.
Mimpi.... Ternyata itu memang
hanya mimpi. Aku merasakan seragam sekolahku basah karena keringat. Aku pasti
ketiduran saat melihat-lihat foto itu. Aku mimpi aneh seperti itu pasti karena
aku marah sama kakek yang telah menampar nenek. Kakekku tidak mungkin membunuh.
Aku mengusap keringat di
pelipis dan dahiku lalu akupun turun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya aku
saat melihat cermin besar yang ada di tembok pecah menjadi serpihan-serpihan
kecil yang berserakan di lantai. Apa yang selama ini ditutupi oleh cermin itu
terlihat dengan jelas. Bekas lubang! Itu bukan mimpi. Oh...
Tiba-tiba angin berdesir
lagi. Jendela yang kuyakin sudah kukunci terbuka lebar dan terantuk-antuk
karena angin. Ketakutan merasukiku lagi. Tubuhku lemas. Keringat membasahi
dahi, pelipis, dan sekujur tubuhku. Aku menatap bekas lubang itu dan sesuatu
muncul dari dalamnya. Seorang wanita cantik, kulitnya bersih, tak ada memar,
tak ada luka, ibuku.
“Sukreni...” dia berbisik
perlahan, suaranya merdu, tangannya melambai ke arahku.
Aku tanpa ragu mendekatinya.
Inilah ibuku, wanita yang selalu muncul di mimpiku.
“Ibu...” aku berusaha
memeluknya, tapi aku memeluk angin. Akupun mundur beberapa langkah dan
memperhatikan wajahnya yang menyiratkan kesedihan.
“Tolong bebaskan Ibu, Nak.”
“Membebaskan Ibu, bagaimana
caranya?”
“Ibu tidak akan pernah tenang
sebelum mayat ibu diupacarai dengan layak.”
“Ibu.... Aku masih bingung.
Apa yang sebenarnya terjadi?”
Ibuku tersenyum, senyum manis
itu menghiasi wajah pucatnya, “Apa yang baru saja kamu lihat adalah kenyataan,
anakku.” Tiba-tiba ibuku berubah. Pakaian putihnya berubah menjadi pakian
sobek-sobek, wajahnya menjadi penuh memar dan luka, tangan dan kakinya terikat,
“Cepat lepaskan Ibu, Nak. Tolong... Tolong.. Tolong ibu..”
“Ibu............” aku
menjerit. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih di tempat tidur. Aku baru saja
bangun dari tidur. Mimpi dalam mimpi. Aku bisa gila.
“Sukreni, kamu kenapa?” kata
nenek yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.
“Nenek..”
aku langsung turun dari tempat tidur dan mendekap nenekku dengan erat. Air mata
bercucuran dari kedua mataku, beradu dengan keringat.
“Kamu
mimpi buruk?” nenek membelai kepalaku dengan lembut, “Tenang, nenek di sini.
Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”
Aku
melepaskan pelukanku dan kea rah lemari dan mengambil tongkat kasti. Aku
kemudian melangkah menuju cermin besar itu.
“Kamu mau ngapain, Sukreni?”
nenek memegang tanganku, aku menepis tangannya.
Aku
tidak tahu dari mana datangnya kekuatan yang menggebu ini. Aku memukul cermin
itu dengan sekuat tenaga. Satu pukulan saja, cermin itu hancur
berkeping-keping.
“Sukreni!”
nenek menjerit, lalu menarik tubuhku menjauh dari serpihan kaca itu, “Apa yang
kamu lakukan?”
“Mengungkap
kebenaran.” Kataku sambil menunjuk tembok tempat cermin itu menempel
sebelumnya.
Nenekku
menangis, aku juga. Tak ada kata yang mampu melukiskan perasaan kami saat itu.
Aku benar-benar terpukul. Kakek telah membunuh kedua orang tuaku, tapi beliau
mengatakan aku yang menyebabkan mereka meninggal. Kakek sudah mebuatku hidup
dalam bayang-bayang penyesalan, dan nenek.. ah.. aku tak bisa menyalahkan
nenek. Nenek sudah begitu baik padaku dan beliau terpaksa berbohong demi
menyelamatkan jiwaku dari kakek.
“Maafkan
Nenek.” aku merasakan tangan nenek mendekap tubuhku.
“Di
mana pembunuh itu?” aku menepis kedua tangan nenek dan aku menatap wajahnya.
“Kakek
belum pulang dari tadi siang.”
“Kita
harus menghubungi polisi Nek, kita tidak bisa membiarkan pembunuh itu tinggal
bersama kita.”
“Tapi
nenek takut.”
“Apa
yang nenek takutkan?”
Nenek
diam tak menjawab.
“Kita
harus segera pergi dari sini Nek.” Aku menarik tangan nenekku lalu kami berlari
ke ruang keluarga. Aku langsung menelepon kantor polisi dan menceritakan
semuanya secara singkat. Setelah itu kami keluar.
“Kita
mau ke mana?”
“Ke
rumah tetangga. Kita harus bersembunyi sampai polisi datang. Kalau kakek bisa
membunuh ibu pasti kakek juga bisa membunuh kita.” aku berjalan tanpa menoleh
ke arah nenek yang mengikut di belakangku. Langkahku terhenti saat tiba-tiba
aku melihat kakek berjalan ke arah kami.
“Mau
ke mana kamu, Sri?”
Tubuhku
bergetar menahan gejolak kebencian dan kemarahan.
“Jawab!”
bentak kakek.
“Jangan
bentak nenekku lagi!” aku berteriak. Kebencian dan kemarahan itu bersatu
membentuk keberanian.
“Aku
tak bicara padamu.”
“Aku
juga sebenarnya tak sudi bicara dengan pembunuh sepertimu!”
“Apa
kamu bilang?”
“Aku
sudah tahu semuanya!”
Kakek
melotot ke arah nenekku, “Berani-beraninya kamu melanggar perintahku. Kakek
berjalan mendekati nenek.
Aku
merentangkan kedua tanganku, “Bukan nenek yang memberi tahuku, tapi ibu!”
“Apa?”
“Ibu
selalu datang ke mimpiku minta tolong. Kenapa kakek tega melakukan itu? Kenapa
kakek membunuh orang tuaku?”
“Kalau
tahu seperti ini, aku pasti juga membunuhmu dari dulu.”
“Bunuh
saja aku!” nenek berteriak. Aku menoleh tak percaya ke arah nenek, “Bunuh saja
aku! Aku sudah muak hidup denganmu! Kamu telah tega membunuh anak kita
satu-satunya. Kamu bukan manusia, Atmaja! Kamu setan!”
“Apa
kamu bilang?” Kakek terlihat sangat marah, kedua matanya melotot seakan mau
keluar dari tempatnya. Kakek berjalan mendekati nenek dan menghempaskan
tubuhku. Aku terjatuh ke bebatuan kering yang menggores kulitku. Rasanya sakit
sekali.
“Aku
seharusnya sudah membunuhmu dari dulu.” Aku mendengar kakek berteriak. Aku
segera menoleh. Kakek mencekik nenekku hingga tubuh nenek terangkat beberapa
senti dari tanah.
“Hentikan...”
aku berteriak, menahan sakit di siku dan telapak tanganku. Aku berlari ke arah
mereka dan kudorong kakek dengan sekuat tenaga. Kakek melepaskan nenek dan
berbalik ke arahku. Wajah kakek benar-benar menakutkan.
Aku mengatur
nafasku, hidungku bekerja ekstra untuk memasukkan banyak oksigen ke paru-paru.
Waktu terasa melambat. Kakek menyeringai, “Kamu akan segera menyusul orang
tuamu.” Katanya sambil berjalan mendekat.
Aku
melangkah mundur dan kakiku tersandung batu. Aku terjerembab.
“Akan
kukirim kau ke neraka.” Tangan kakek menggapai leherku. Aku menepis
tangan-tangan kokoh itu sekuat tenaga, tapi sia-sia.
“Jangan
bergerak!” seseorang berteriak. Aku menoleh, polisi.
Dua orang polisi langsung
membekuk kakekku dan memborgol tangannya. Aku dan nenekpun segera dilarikan ke
rumah sakit. Untung nyawa nenek bisa diselamatkan.
Esoknya
aku pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Aku menceritakan
semuanya. Polisi terlihat kurang percaya dengan ceritaku. Kamipun ke rumahku
untuk melihat lubang itu.
Seorang
petugas menggali tembok itu. Satu jam kemudiam linggisnya beradu dengan balok
kayu. Diapun menarik balok kayu tersebut dan terlihatlah kerangka manusia,
kerangka ibuku. Aku tak bisa menahan air mata yang meleleh di pipiku.
*****
Sehari kemudian nenek sudah
bisa dibawa pulang. Kami mendengar kabar kalau kakek terancam dipenjara seumur
hidup. Aku sungguh bersyukur.
“Nek,
kita bebaskan ibu ya.” Kataku saat kami berdua duduk di ruang keluarga.
Nenek
mengangguk perlahan. Akupun menghubungi keluarga jauh dan beberapa orang
tetangga.
Kami
mulai mempersiapkan upacara pengabenan untuk ibu.
“Selamat
jalan Ibu.. Semoga ibu tenang di sana.” kataku saat tulang belulang ibu
dikremasi. Nenek mendekap tubuhku dengan erat, akupun membalas dekapan nenek.
Mimpi
itu lagi. Mimpi yang sama datang berulang-ulang kali. Seorang wanita muda
dengan pakaian robek, badan penuh memar dan luka, kaki dan tangan terikat
rantai, berteriak minta tolong. Siapa wanita itu? Wajahnya asing, tapi ntah
kenapa aku merasa ada hubungan dengannya. Ya, pasti ada hubungan antara kami,
kalau tidak, bagaimana mungkin dia datang ke mimpiku hampir setiap malam? Aku
harus tahu siapa wanita itu sebenarnya, aku tidak bisa terus-terusan
membiarkannya mengganggu tidurku.
Aku
turun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju cermin besar yang
menempeldi tembok kamar. Wajah yang kulihat di cermin itu sangat sayu, keringat
menbanjiri kulit pucatnya. Ah.. tak seharusnya gadis 15 tahun berpenampilan
seperti ini.
“Sukreni, ayo sarapan.” terdengar
suara nenek memanggilku. Akupun bergegas mencuci muka lalu menghampiri nenekku
di dapur. Nenek adalah orang yang aneh. Kalau di rumah hanya ada kami berdua,
nenek bersikap sangat baik padaku, tapi kalau ada kakek, sikap nenek berubah
180°, nenek menjadi dingin kepadaku dan terlihat sangat ketakutan. Aku juga
takut pada kakek. Wajahnya galak dan beliau sama sekali tak pernah menganggapku
ada. Aku seakan makhluk tak terlihat yang tak berarti apa-apa. Kakek tdak
pernah berbicara sepatah katapun padaku. Aku rasa karena aku adalah peyebab
kematian kedua orang tuaku.
Nenek
bilang ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku dan ayah bunuh diri beberapa
hari kemudian. Aku anak pembawa sial, wajar saja kakek membenciku, tapi aku tak
pernah minta dilahirkan. Aku akan memilih tidak pernah lahir ke dunia ini andai
saja aku tahu kalau kelahiranku hanya akan menjadi malapetaka bagi keluarga
ini.
“Kenapa
bengong? Ayo makan, nenek masak makanan kesukaanmu.” nenek mengambil beberapa
sendok nasi goreng dan menaruhnya di piringku.
“Nek?”
“Ya?”
“Ibuku seperti apa?”
Nenek
tampak terkejut mendengar pertanyaanku, “Kamu kan punya fotonya.” ucapnya
setelah terdiam beberapa saat.
“Iya,
tapi maksudku ...”
“Sudah-sudah. Jangan banyak
nanya. Cepat makan!”
Begitulah, setiap kali aku
bertanya tentang ibu atau ayahku, nenek selalu menghindar. Tak banyak yang aku
tahu tentang orang tuaku, hanya foto dan nama. Foto mereka hanya ada satu, saat
pernikahan.
Aku
menatap wajah nenekku, kesedihan menyelimuti wajahnya yang mulai berkeriput
itu. Aku lalu menyendok nasi goreng dan memasukkannya ke mulutku, “Nasi
gorengnya enak, Nek.” aku memaksakan senyum di bibirku. Nenek juga ikut
tersenyum dan kamipun makan dengan lahap. Hm.. betapa damainya rumah ini tanpa
kakek.
Aku dan nenek duduk berdua di
ruang keluarga menonton acara musik. Aku tidak begitu menikmati acara itu
karena aku tidak suka musik. Hidupku gelap dan sunyi, tak ada warna, tak ada
musik, hanya kegelapan, hanya kesunyian. Tiba-tiba pikiranku kembali ke wanita
dalam mimpi itu. Siapa dia sebenarnya? Apa aku harus menanyakannya pada nenek?
“Sukreni.” suara nenek mengejutkanku.
“Iya Nek?”
“Akhir-akhir ini nenek lihat
kamu sering bengong. Ada apa? Ada masalah di sekolah?”
“Nggak
Nek, aku...” aku ragu, haruskah aku cerita?
“Kamu
kenapa? Cerita sama nenek.”
“Aku
takut Nek.” aku membenamkan wajahku di pangkuan nenek dan kupeluk pingganngnya
dengan erat. Air mata yang selama ini kutahan dengan sekuat tenaga berhamburan
keluar membasahi rok panjang nenekku. Aku benar-benar takut. Bayangan wajah
wanita itu berkelebat memenuhi kepalaku,”Tolong.... Tolong.. Tolong..”
jeritannya memekakkan gendang telingaku. Aku sudah tidak kuat. Aku harus
melakukan apa?
“Kamu
kenapa Sukreni? Ayo cerita.”
“Sri..”
sebuah suara menggelegar di dalam ruangan, suara kakekku. Aku langsung duduk tegak
kembali dan mengusap air mataku, “buatkan aku kopi, cepat!” perintahnya.
Keesokan harinya setelah
pulang sekolah, aku melihat nenek duduk di ruang keluarga sambil membuka
lembaran-lembaran sebuah buku yang sepertinya merupakan album foto usang,
“Nenek..” kataku sambil duduk di sampingnya. Nenek sangat terkejut melihatku
yang tiba-tiba sudah duduk di sana. Beliau langsung menyembunyikan album foto
itu.
“Apa
itu, Nek?”
“Bukan
apa-apa. Cepat ganti baju. Nenek sudah menyiapkan makan siang.”
Aku
menggelengkan kepalaku, “Apa yang nenek sembunyikan? Tolong Nek, aku ingin tau.
Apa yang sebenarnya nenek liat?”
“Ini
bukan urusanmu. Cepat ganti baju.”
“Ini
pasti urusanku Nek! Apa nenek tau hampir setiap malam aku nggak bisa tidur
karena terus dihantui mimpi buruk? Di mimpiku aku melihat seorang wanita yang
berteriak minta tolong. Apa nenek tau sesuatu tentang hal ini? Aku udah capek
Nek.” air mataku berhamburan keluar lagi seperti kemarin, tapi kali ini aku tak
memeluk nenekku.
“Apa
yang sebenarnya Nenek sembunyikan? Aku berhak tau Nek, aku udah dewasa.”
“Sukreni..” ucap nenekku
dengan pelan.
Hanya
tangisku yang menjawab ucapan nenek.
“Mungkin
sudah saatnya kamu tau kenyataannya. Sebenarnya ibumu...” nenek menyeka air
mata yang membasahi bagian bawah matanya, “Ibumu adalah seorang wanita yang
sangat baik. Dia adalah anak nenek satu-satunya. Nenek sangat menyayanginya
karena dia begitu ramah, penurut, rajin, manis, dan ceria, tapi suatu hari
terjadi malapetaka. Dia...” air mata nenek merembes lagi.
“Ibuku
kenapa Nek?” tanyaku tak sabar.
“Hentikan
Sri!” terdengar suara kakek di belakangku. Aku menoleh, benar saja, kakek
berdiri dengan tegapnya, wajahnya menunjukkan kebengisan, “Masuk ke kamar,
Sukreni!” teriaknya.
Kakek..
Kakek bicara padaku? Walaupun hanya empat kata yang diucapkan dengan kasar, tapi
dia bicara padauk!
“Cepat
masuk ke kamar!” bentaknya lagi, kali ini lebih keras.
Tanpa
berkata apa-apa, aku langsung berlari ke, tunggu dulu, aku harus mendengar apa
yang mereka bicarakan. Aku harus tahu apa yang mereka sembunyikan selama
ini. Akupun memutuskan untuk mengintip mereka melalui sebuah lubang di tembok
penyekat antara ruang keluarga dan dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Rumah
kami memang sangat luas dan kamarku terletak paling jauh di belakang.
Aku
melihat kakek berdiri sambil berkacak pinggang dan nenek sesenggukan di sofa.
Aku memasang kedua telingaku dengan baik. Aku tidak ingin kelewatan satu
katapun. Kakek melangkah ke dekat nenekku dan menarik rambutnya, “Apa kamu
sadar apa yang baru saja kamu hampir lakukan?”
Nenek
meringis kesakitan, tapi beliau tidak mengatakan apapun.
“Ini
peringatan pertama dan terakhir untuk kamu, Sri! Jangan sampai aku melihatmu
melakukan hal yang sama, atau kamu tidak akan pernah melihat anak itu lagi.”
Aku
terkesiap, apa yang kakek bicarakan? Anak itu? Maksudnya aku?
“Tapi
Yah, Sukreni sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Nenek menatap ke arah
kakek.
Sebuah
tamparan mendarat di pipi nenekku. Keras sekali. Darahku mendidih melihat semua
itu.
“Aku
tidak main-main Sri! Sekali lagi kamu lakukan itu, aku tidak akan ragu-ragu
untuk menyingkirkannya.” kakek menarik rambut nenekku sekali lagi, “Cam kan
itu!” beliau lalu keluar rumah dan menutup pintu depan dengan sangat keras.
Tubuhku lunglai. Rasa
penasaranku semakin besar.
Beberapa menit kemudian, aku
menghampiri nenekku, pura-pura baru keluar dari kamar.
“Nenek!
Nenek kenapa?”
“Tidak
apa-apa, Sayang. Cepat makan dan kembali ke kamar, sebelum kakek pulang.”
“Maafkan
aku ya, Nek.”
“Ini
bukan salahmu. Cepat makan.” kamipun beranjak ke dapur dan makan dalam diam.
Selesai
makan nenek langsung kembali ke kamarnya, aku juga ingin masuk ke kamarku, tapi
saat melintasi ruang keluarga, mataku tertuju pada album foto yang tergeletak
di sofa. Kurasa kakek tidak melihatnya dan nenek lupa kalau tadi beliau melihat-lihat
album foto itu. Akupun mengambilnya dan berlari ke kamar. Sampai di kamar aku
mengunci pintu.
Tiba-tiba
aku gemetaran. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pori-pori kulitku.
Angin mendesir perlahan, bagaimana bisa ada angin? Pintu dan jendela sudah
kututup semua! Aku bergidik ketakutan, tapi segera kutepis rasa takut tak
beralasan itu. Akupun langsung membuka halaman pertama album foto itu.
“Keluarga
Wijaya Kusuma 1975-1985” terlihat tulisan tangan yang sangat rapi, itu bukan
tulisan tangan nenekku, dan aku yakin itu bukan juga tulisan tangan kakekku.
Aku membuka halaman berikutnya. Ada dua buah foto. Yang satu terdiri dari tiga
orang, kakek, nenek, dan seorang bayi mungil. Foto yang satunya lagi seorang
gadis kecil yang sedang tersenyum. “Aku berumur 6 tahun” begitu bunyi tulisan
yang terdapat di bawah foto itu, foto ibuku.
Aku
membalik halaman demi halaman, semakin banyak foto lama yang kulihat. Hanya ada
wajah kakek, nenek, dan ibuku, tapi ada sesuatu yang janggal. Wajah Ibu waktu
kecil sama sekali tidak mirip dengan wajah ibu di foto pernikahan.
Angin mendesir lagi,
terdengar bunyi “tek tek tek”. Aku melihat ke sekeliling kamar dan betapa
terkejutnya aku saat melihat cermin besar di tembok kamarku berguncang dengan
cepat. Semakin lama guncangannya semakin cepat. Hawa dingin menyusup ke tubuhku
sampai ke sumsum tulang. Aku seakan terpaku, tak bisa bergerak. Mulutku
menganga dan tubuhku bergetar hebat. Entah berapa lama aku berada dalam situasi
yang mencekam itu hingga cermin itu berhenti berguncang. Aku mengumpulkan
segenap keberanianku dan aku melangkah perlahan mendekati cermin.
Aku
tak melihat bayangan wajahku di cermin. Yang kulihat adalah sebuah ruangan
asing yang rasanya aku kenal. Kamarku! Ya kamarku, tapi dekorasinya sangat
berbeda dan hal yang lebih aneh lagi adalah warnanya hitam putih! Bukan warna
tembok! Tapi warna semuanya. Hitam dan putih! Aku melihat tanganku, warnanya
masih cokelat. Aku melihat baju dan rokku, warnanya putih dan abu-abu. Aku
masih berwarna, tapi yang lainnya hitam putih! Aku tak bisa memalingkan wajahku
dari cermin. Aku seakan terhipnotis, tersihir. Aku tak bisa bergerak. Oh
Tuhan.. Ini pasti mimpi. Rasanya sangat mengerikan. Aku ketakutan. Aku ingin
menjerit. Aku ingin berteriak. Oh nenek, tolong aku.
Aku berusaha memejamkan
mataku, tapi tak bisa. Seseorang, atau sesuatu ingin aku menyaksikan semua yang
terjadi melalui cermin besar ini. Apa yang kulihat benar-benar mengerikan.
Kamar yang sangat berantakan. Tak ada tempat tidur, hanya sehelai tikar pandan,
tanpa bantal, tanpa selimut.
“Ayah..” tiba-tiba aku
mendengar sebuah suara. Aku bergidik. Membayangkan ada orang di kamar pengap
itu. Aku menyesuaikan posisi badanku supaya bisa melihat ke sudut lain ruangan
itu. Ya Tuhan! Wanita itu! Wanita yang selalu muncul di mimpiku! Pakain sobek.
Wajah penuh memar dan luka. Kaki dan tangan terikat rantai.
“Ayah, lepaskan aku.” wanita
itu berteriak.
“Diam!” suara kakekku! Aku
berusaha sekuat tenaga untuk menoleh, tapi usahaku sia-sia. Tubuhku kaku.
Cermin itu memaksaku untuk tak mengalihkan pandangan darinya. Aku benar-benar
tersiksa.
“Ayah... Kenapa Ayah tega
melakukan ini padaku? Aku anakmu, Yah.”
Anak?
Anak kakek? Nenek bilang mereka cuma punya satu anak, ibuku, lalu siapa wanita
ini?
“Aku
yang seharusnya bertanya, kenapa kamu tega melakukan ini padaku. Kamu tahu
perbuatanmu itu sudah mencoreng nama baik keluarga!”
“Tapi
aku mencintainya, Yah.”
“Cinta?!
Tau apa kamu tentang cinta? Sekarang kamu liat sendiri kan. Ke mana laki-laki
jahanam itu? Kenapa dia tidak menolongmu hah? Kenapa dia tidak membebaskanmu
dari ikatanku? Kenapa dia kabur?” kakek meludah di samping wanita itu.
Wanita itu menangis. Air mata
tampak mengalir di pipinya yang kotor dan penuh memar bekas tamparan dan
pukulan, “Itu karena..” dia tersendat. Aku yakin dia akan mengusap pipinya yang
basah andai saja tangannya tak terikat, “Itu karena Ayah telah membunuhnya.” dia
bicara sambil menunduk.
Membunuh? Apa? Kakekku
pembunuh?
Kakek terdiam beberapa saat.
Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.
“Ayah.. Aku mohon lepaskan
aku. Tidakkah Ayah kasihan sama Sukreni? Dia tidak bisa terus-terusan dikurung
di sini.”
AKU??!! Ada apa sebenarnya
ini? Mimpi.. Ya, ini pasti mimpi. Aku menggerakkan kepalaku lagi, berusaha
menyingkir dari cermin sialan itu, tapi tidak bisa. Sial!
“Baiklah
kalau Ayah tidak mau melepaskanku, tapi setidaknya, tolong lepaskan Sukreni.
Dia tidak tau apa-apa. Dia tidak berdosa, Yah. Biar aku saja yang menanggung
semua yang telah kulakukan. Tolong bebaskan dan jaga dia, biar bagaimanapun,
dia itu cucu Ayah.”
Aku melihat kakek menjambak
rambut wanita itu, “Dia bukan cucuku, setan!” kakek lalu menghantamkan
kepalanya bertubi-tubi ke tembok. Darah muncrat mengenai baju dan celana kakek.
Wanita itu memejamkan matanya dan di saat yang bersamaan terdengar tangisan
bayi. AKU! Bayi itu aku!
“Asih...” kakek mengguncang
tubuh wanita malang itu, “Asih..” teriaknya lagi. Mata kakek tampak basah,
“Maafkan Ayah.” Kakek memeluknya, tapi tak lama. Kakek lalu keluar ruangan.
Aku
masih belum bisa bergerak. Peristiwa ini membuatku gila. Jadi wanita itu ibuku?
Bayi yang menangis itu aku? Berarti foto pernikahan orang tuaku foto palsu? Tidak,
tidak, ini pasti hanya mimpi.
Beberapa
saat kemudian pintu terbuka. Kakek datang dengan linggis, pasir, semen, ember,
dan alat pertukangan yang lain. Apa yang akan kakek lakukan?
Kakek
berjalan ke arahku berdiri. Aku kembali ketakutan. Apa dia mau membunuhku?
Tidak!
Kakek berjalan tepat melintasiku, menembusku! Lalu kakek menggunakan linggis
untuk membuat lubang di tembok di depanku. Cermin itu tidak ada di sana. Hanya
aku yang bisa melihat cermin itu. Hanya aku dan cermin itu yang ada tapi seakan
tak ada. Aku pusing. Aku ingin pingsan. Seandainya ini dunia nyata, pasti aku
sudah pingsan dari tadi, tapi ada sesuatu yang membuat mataku tetap terbuka
lebar.
Kakek
terus menggali tanpa kenal lelah. Lubang yang dibuatpun sudah cukup besar.
Kakek berjalan ke arah wanita itu,- aku tak akan memanggilnya Ibu, karena ini
hanya mimpi!-, menggendongnya, dan menaruhnya di lubang. Kemudian kakek menutup
mayat itu dengan balok kayu dan menguburnya dengan campuran semen.
Aku
melihat semua itu tanpa bisa melakukan apapun. Otakku buntu. Aku ingin segera
bangun dari mimpi mengerikan ini.
Kakek keluar ruangan lagi.
Beliau sama sekali tak mempedulikan si bayi yang terus-terusan menangis. Entah
karena haus atau karena tahu ibunya sudah meninggal. Betapa aku ingin
menenangkan bayi itu, seandainya aku bisa bergerak. Cermin terkutuk! Apa yang
kau lakukan padaku?
Aku melihat
kakek masuk ruangan dengan sebuah cermin besar di tangannya. Cermin itu! Cermin
berukuran 1 x 2 meter yang menempel di tembok kamarku. Kakek memang memiliki
badan yang kekar jadi beliau bisa dengan mudah membawa dan menempelkan cermin
itu di tembok. Menutupi bekas lubang kuburan seorang wanita.
Kakek
menembusku sekali lagi dan beranjak menuju bayi itu, “Diam! Atau aku akan membuatmu
menyusul ibumu yang jalang itu!”
Merekapun
keluar ruangan. Kakek menutup pintu kamar dengan keras, begitu kerasnya sampai
aku terlonjak.
Mimpi.... Ternyata itu memang
hanya mimpi. Aku merasakan seragam sekolahku basah karena keringat. Aku pasti
ketiduran saat melihat-lihat foto itu. Aku mimpi aneh seperti itu pasti karena
aku marah sama kakek yang telah menampar nenek. Kakekku tidak mungkin membunuh.
Aku mengusap keringat di
pelipis dan dahiku lalu akupun turun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya aku
saat melihat cermin besar yang ada di tembok pecah menjadi serpihan-serpihan
kecil yang berserakan di lantai. Apa yang selama ini ditutupi oleh cermin itu
terlihat dengan jelas. Bekas lubang! Itu bukan mimpi. Oh...
Tiba-tiba angin berdesir
lagi. Jendela yang kuyakin sudah kukunci terbuka lebar dan terantuk-antuk
karena angin. Ketakutan merasukiku lagi. Tubuhku lemas. Keringat membasahi
dahi, pelipis, dan sekujur tubuhku. Aku menatap bekas lubang itu dan sesuatu
muncul dari dalamnya. Seorang wanita cantik, kulitnya bersih, tak ada memar,
tak ada luka, ibuku.
“Sukreni...” dia berbisik
perlahan, suaranya merdu, tangannya melambai ke arahku.
Aku tanpa ragu mendekatinya.
Inilah ibuku, wanita yang selalu muncul di mimpiku.
“Ibu...” aku berusaha
memeluknya, tapi aku memeluk angin. Akupun mundur beberapa langkah dan
memperhatikan wajahnya yang menyiratkan kesedihan.
“Tolong bebaskan Ibu, Nak.”
“Membebaskan Ibu, bagaimana
caranya?”
“Ibu tidak akan pernah tenang
sebelum mayat ibu diupacarai dengan layak.”
“Ibu.... Aku masih bingung.
Apa yang sebenarnya terjadi?”
Ibuku tersenyum, senyum manis
itu menghiasi wajah pucatnya, “Apa yang baru saja kamu lihat adalah kenyataan,
anakku.” Tiba-tiba ibuku berubah. Pakaian putihnya berubah menjadi pakian
sobek-sobek, wajahnya menjadi penuh memar dan luka, tangan dan kakinya terikat,
“Cepat lepaskan Ibu, Nak. Tolong... Tolong.. Tolong ibu..”
“Ibu............” aku
menjerit. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih di tempat tidur. Aku baru saja
bangun dari tidur. Mimpi dalam mimpi. Aku bisa gila.
“Sukreni, kamu kenapa?” kata
nenek yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.
“Nenek..”
aku langsung turun dari tempat tidur dan mendekap nenekku dengan erat. Air mata
bercucuran dari kedua mataku, beradu dengan keringat.
“Kamu
mimpi buruk?” nenek membelai kepalaku dengan lembut, “Tenang, nenek di sini.
Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”
Aku
melepaskan pelukanku dan kea rah lemari dan mengambil tongkat kasti. Aku
kemudian melangkah menuju cermin besar itu.
“Kamu mau ngapain, Sukreni?”
nenek memegang tanganku, aku menepis tangannya.
Aku
tidak tahu dari mana datangnya kekuatan yang menggebu ini. Aku memukul cermin
itu dengan sekuat tenaga. Satu pukulan saja, cermin itu hancur
berkeping-keping.
“Sukreni!”
nenek menjerit, lalu menarik tubuhku menjauh dari serpihan kaca itu, “Apa yang
kamu lakukan?”
“Mengungkap
kebenaran.” Kataku sambil menunjuk tembok tempat cermin itu menempel
sebelumnya.
Nenekku
menangis, aku juga. Tak ada kata yang mampu melukiskan perasaan kami saat itu.
Aku benar-benar terpukul. Kakek telah membunuh kedua orang tuaku, tapi beliau
mengatakan aku yang menyebabkan mereka meninggal. Kakek sudah mebuatku hidup
dalam bayang-bayang penyesalan, dan nenek.. ah.. aku tak bisa menyalahkan
nenek. Nenek sudah begitu baik padaku dan beliau terpaksa berbohong demi
menyelamatkan jiwaku dari kakek.
“Maafkan
Nenek.” aku merasakan tangan nenek mendekap tubuhku.
“Di
mana pembunuh itu?” aku menepis kedua tangan nenek dan aku menatap wajahnya.
“Kakek
belum pulang dari tadi siang.”
“Kita
harus menghubungi polisi Nek, kita tidak bisa membiarkan pembunuh itu tinggal
bersama kita.”
“Tapi
nenek takut.”
“Apa
yang nenek takutkan?”
Nenek
diam tak menjawab.
“Kita
harus segera pergi dari sini Nek.” Aku menarik tangan nenekku lalu kami berlari
ke ruang keluarga. Aku langsung menelepon kantor polisi dan menceritakan
semuanya secara singkat. Setelah itu kami keluar.
“Kita
mau ke mana?”
“Ke
rumah tetangga. Kita harus bersembunyi sampai polisi datang. Kalau kakek bisa
membunuh ibu pasti kakek juga bisa membunuh kita.” aku berjalan tanpa menoleh
ke arah nenek yang mengikut di belakangku. Langkahku terhenti saat tiba-tiba
aku melihat kakek berjalan ke arah kami.
“Mau
ke mana kamu, Sri?”
Tubuhku
bergetar menahan gejolak kebencian dan kemarahan.
“Jawab!”
bentak kakek.
“Jangan
bentak nenekku lagi!” aku berteriak. Kebencian dan kemarahan itu bersatu
membentuk keberanian.
“Aku
tak bicara padamu.”
“Aku
juga sebenarnya tak sudi bicara dengan pembunuh sepertimu!”
“Apa
kamu bilang?”
“Aku
sudah tahu semuanya!”
Kakek
melotot ke arah nenekku, “Berani-beraninya kamu melanggar perintahku. Kakek
berjalan mendekati nenek.
Aku
merentangkan kedua tanganku, “Bukan nenek yang memberi tahuku, tapi ibu!”
“Apa?”
“Ibu
selalu datang ke mimpiku minta tolong. Kenapa kakek tega melakukan itu? Kenapa
kakek membunuh orang tuaku?”
“Kalau
tahu seperti ini, aku pasti juga membunuhmu dari dulu.”
“Bunuh
saja aku!” nenek berteriak. Aku menoleh tak percaya ke arah nenek, “Bunuh saja
aku! Aku sudah muak hidup denganmu! Kamu telah tega membunuh anak kita
satu-satunya. Kamu bukan manusia, Atmaja! Kamu setan!”
“Apa
kamu bilang?” Kakek terlihat sangat marah, kedua matanya melotot seakan mau
keluar dari tempatnya. Kakek berjalan mendekati nenek dan menghempaskan
tubuhku. Aku terjatuh ke bebatuan kering yang menggores kulitku. Rasanya sakit
sekali.
“Aku
seharusnya sudah membunuhmu dari dulu.” Aku mendengar kakek berteriak. Aku
segera menoleh. Kakek mencekik nenekku hingga tubuh nenek terangkat beberapa
senti dari tanah.
“Hentikan...”
aku berteriak, menahan sakit di siku dan telapak tanganku. Aku berlari ke arah
mereka dan kudorong kakek dengan sekuat tenaga. Kakek melepaskan nenek dan
berbalik ke arahku. Wajah kakek benar-benar menakutkan.
Aku mengatur
nafasku, hidungku bekerja ekstra untuk memasukkan banyak oksigen ke paru-paru.
Waktu terasa melambat. Kakek menyeringai, “Kamu akan segera menyusul orang
tuamu.” Katanya sambil berjalan mendekat.
Aku
melangkah mundur dan kakiku tersandung batu. Aku terjerembab.
“Akan
kukirim kau ke neraka.” Tangan kakek menggapai leherku. Aku menepis
tangan-tangan kokoh itu sekuat tenaga, tapi sia-sia.
“Jangan
bergerak!” seseorang berteriak. Aku menoleh, polisi.
Dua orang polisi langsung
membekuk kakekku dan memborgol tangannya. Aku dan nenekpun segera dilarikan ke
rumah sakit. Untung nyawa nenek bisa diselamatkan.
Esoknya
aku pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Aku menceritakan
semuanya. Polisi terlihat kurang percaya dengan ceritaku. Kamipun ke rumahku
untuk melihat lubang itu.
Seorang
petugas menggali tembok itu. Satu jam kemudiam linggisnya beradu dengan balok
kayu. Diapun menarik balok kayu tersebut dan terlihatlah kerangka manusia,
kerangka ibuku. Aku tak bisa menahan air mata yang meleleh di pipiku.
*****
Sehari kemudian nenek sudah
bisa dibawa pulang. Kami mendengar kabar kalau kakek terancam dipenjara seumur
hidup. Aku sungguh bersyukur.
“Nek,
kita bebaskan ibu ya.” Kataku saat kami berdua duduk di ruang keluarga.
Nenek
mengangguk perlahan. Akupun menghubungi keluarga jauh dan beberapa orang
tetangga.
Kami
mulai mempersiapkan upacara pengabenan untuk ibu.
“Selamat
jalan Ibu.. Semoga ibu tenang di sana.” kataku saat tulang belulang ibu
dikremasi. Nenek mendekap tubuhku dengan erat, akupun membalas dekapan nenek.
Mimpi
itu lagi. Mimpi yang sama datang berulang-ulang kali. Seorang wanita muda
dengan pakaian robek, badan penuh memar dan luka, kaki dan tangan terikat
rantai, berteriak minta tolong. Siapa wanita itu? Wajahnya asing, tapi ntah
kenapa aku merasa ada hubungan dengannya. Ya, pasti ada hubungan antara kami,
kalau tidak, bagaimana mungkin dia datang ke mimpiku hampir setiap malam? Aku
harus tahu siapa wanita itu sebenarnya, aku tidak bisa terus-terusan
membiarkannya mengganggu tidurku.
Aku
turun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju cermin besar yang
menempeldi tembok kamar. Wajah yang kulihat di cermin itu sangat sayu, keringat
menbanjiri kulit pucatnya. Ah.. tak seharusnya gadis 15 tahun berpenampilan
seperti ini.
“Sukreni, ayo sarapan.” terdengar
suara nenek memanggilku. Akupun bergegas mencuci muka lalu menghampiri nenekku
di dapur. Nenek adalah orang yang aneh. Kalau di rumah hanya ada kami berdua,
nenek bersikap sangat baik padaku, tapi kalau ada kakek, sikap nenek berubah
180°, nenek menjadi dingin kepadaku dan terlihat sangat ketakutan. Aku juga
takut pada kakek. Wajahnya galak dan beliau sama sekali tak pernah menganggapku
ada. Aku seakan makhluk tak terlihat yang tak berarti apa-apa. Kakek tdak
pernah berbicara sepatah katapun padaku. Aku rasa karena aku adalah peyebab
kematian kedua orang tuaku.
Nenek
bilang ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku dan ayah bunuh diri beberapa
hari kemudian. Aku anak pembawa sial, wajar saja kakek membenciku, tapi aku tak
pernah minta dilahirkan. Aku akan memilih tidak pernah lahir ke dunia ini andai
saja aku tahu kalau kelahiranku hanya akan menjadi malapetaka bagi keluarga
ini.
“Kenapa
bengong? Ayo makan, nenek masak makanan kesukaanmu.” nenek mengambil beberapa
sendok nasi goreng dan menaruhnya di piringku.
“Nek?”
“Ya?”
“Ibuku seperti apa?”
Nenek
tampak terkejut mendengar pertanyaanku, “Kamu kan punya fotonya.” ucapnya
setelah terdiam beberapa saat.
“Iya,
tapi maksudku ...”
“Sudah-sudah. Jangan banyak
nanya. Cepat makan!”
Begitulah, setiap kali aku
bertanya tentang ibu atau ayahku, nenek selalu menghindar. Tak banyak yang aku
tahu tentang orang tuaku, hanya foto dan nama. Foto mereka hanya ada satu, saat
pernikahan.
Aku
menatap wajah nenekku, kesedihan menyelimuti wajahnya yang mulai berkeriput
itu. Aku lalu menyendok nasi goreng dan memasukkannya ke mulutku, “Nasi
gorengnya enak, Nek.” aku memaksakan senyum di bibirku. Nenek juga ikut
tersenyum dan kamipun makan dengan lahap. Hm.. betapa damainya rumah ini tanpa
kakek.
Aku dan nenek duduk berdua di
ruang keluarga menonton acara musik. Aku tidak begitu menikmati acara itu
karena aku tidak suka musik. Hidupku gelap dan sunyi, tak ada warna, tak ada
musik, hanya kegelapan, hanya kesunyian. Tiba-tiba pikiranku kembali ke wanita
dalam mimpi itu. Siapa dia sebenarnya? Apa aku harus menanyakannya pada nenek?
“Sukreni.” suara nenek mengejutkanku.
“Iya Nek?”
“Akhir-akhir ini nenek lihat
kamu sering bengong. Ada apa? Ada masalah di sekolah?”
“Nggak
Nek, aku...” aku ragu, haruskah aku cerita?
“Kamu
kenapa? Cerita sama nenek.”
“Aku
takut Nek.” aku membenamkan wajahku di pangkuan nenek dan kupeluk pingganngnya
dengan erat. Air mata yang selama ini kutahan dengan sekuat tenaga berhamburan
keluar membasahi rok panjang nenekku. Aku benar-benar takut. Bayangan wajah
wanita itu berkelebat memenuhi kepalaku,”Tolong.... Tolong.. Tolong..”
jeritannya memekakkan gendang telingaku. Aku sudah tidak kuat. Aku harus
melakukan apa?
“Kamu
kenapa Sukreni? Ayo cerita.”
“Sri..”
sebuah suara menggelegar di dalam ruangan, suara kakekku. Aku langsung duduk tegak
kembali dan mengusap air mataku, “buatkan aku kopi, cepat!” perintahnya.
Keesokan harinya setelah
pulang sekolah, aku melihat nenek duduk di ruang keluarga sambil membuka
lembaran-lembaran sebuah buku yang sepertinya merupakan album foto usang,
“Nenek..” kataku sambil duduk di sampingnya. Nenek sangat terkejut melihatku
yang tiba-tiba sudah duduk di sana. Beliau langsung menyembunyikan album foto
itu.
“Apa
itu, Nek?”
“Bukan
apa-apa. Cepat ganti baju. Nenek sudah menyiapkan makan siang.”
Aku
menggelengkan kepalaku, “Apa yang nenek sembunyikan? Tolong Nek, aku ingin tau.
Apa yang sebenarnya nenek liat?”
“Ini
bukan urusanmu. Cepat ganti baju.”
“Ini
pasti urusanku Nek! Apa nenek tau hampir setiap malam aku nggak bisa tidur
karena terus dihantui mimpi buruk? Di mimpiku aku melihat seorang wanita yang
berteriak minta tolong. Apa nenek tau sesuatu tentang hal ini? Aku udah capek
Nek.” air mataku berhamburan keluar lagi seperti kemarin, tapi kali ini aku tak
memeluk nenekku.
“Apa
yang sebenarnya Nenek sembunyikan? Aku berhak tau Nek, aku udah dewasa.”
“Sukreni..” ucap nenekku
dengan pelan.
Hanya
tangisku yang menjawab ucapan nenek.
“Mungkin
sudah saatnya kamu tau kenyataannya. Sebenarnya ibumu...” nenek menyeka air
mata yang membasahi bagian bawah matanya, “Ibumu adalah seorang wanita yang
sangat baik. Dia adalah anak nenek satu-satunya. Nenek sangat menyayanginya
karena dia begitu ramah, penurut, rajin, manis, dan ceria, tapi suatu hari
terjadi malapetaka. Dia...” air mata nenek merembes lagi.
“Ibuku
kenapa Nek?” tanyaku tak sabar.
“Hentikan
Sri!” terdengar suara kakek di belakangku. Aku menoleh, benar saja, kakek
berdiri dengan tegapnya, wajahnya menunjukkan kebengisan, “Masuk ke kamar,
Sukreni!” teriaknya.
Kakek..
Kakek bicara padaku? Walaupun hanya empat kata yang diucapkan dengan kasar, tapi
dia bicara padauk!
“Cepat
masuk ke kamar!” bentaknya lagi, kali ini lebih keras.
Tanpa
berkata apa-apa, aku langsung berlari ke, tunggu dulu, aku harus mendengar apa
yang mereka bicarakan. Aku harus tahu apa yang mereka sembunyikan selama
ini. Akupun memutuskan untuk mengintip mereka melalui sebuah lubang di tembok
penyekat antara ruang keluarga dan dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Rumah
kami memang sangat luas dan kamarku terletak paling jauh di belakang.
Aku
melihat kakek berdiri sambil berkacak pinggang dan nenek sesenggukan di sofa.
Aku memasang kedua telingaku dengan baik. Aku tidak ingin kelewatan satu
katapun. Kakek melangkah ke dekat nenekku dan menarik rambutnya, “Apa kamu
sadar apa yang baru saja kamu hampir lakukan?”
Nenek
meringis kesakitan, tapi beliau tidak mengatakan apapun.
“Ini
peringatan pertama dan terakhir untuk kamu, Sri! Jangan sampai aku melihatmu
melakukan hal yang sama, atau kamu tidak akan pernah melihat anak itu lagi.”
Aku
terkesiap, apa yang kakek bicarakan? Anak itu? Maksudnya aku?
“Tapi
Yah, Sukreni sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Nenek menatap ke arah
kakek.
Sebuah
tamparan mendarat di pipi nenekku. Keras sekali. Darahku mendidih melihat semua
itu.
“Aku
tidak main-main Sri! Sekali lagi kamu lakukan itu, aku tidak akan ragu-ragu
untuk menyingkirkannya.” kakek menarik rambut nenekku sekali lagi, “Cam kan
itu!” beliau lalu keluar rumah dan menutup pintu depan dengan sangat keras.
Tubuhku lunglai. Rasa
penasaranku semakin besar.
Beberapa menit kemudian, aku
menghampiri nenekku, pura-pura baru keluar dari kamar.
“Nenek!
Nenek kenapa?”
“Tidak
apa-apa, Sayang. Cepat makan dan kembali ke kamar, sebelum kakek pulang.”
“Maafkan
aku ya, Nek.”
“Ini
bukan salahmu. Cepat makan.” kamipun beranjak ke dapur dan makan dalam diam.
Selesai
makan nenek langsung kembali ke kamarnya, aku juga ingin masuk ke kamarku, tapi
saat melintasi ruang keluarga, mataku tertuju pada album foto yang tergeletak
di sofa. Kurasa kakek tidak melihatnya dan nenek lupa kalau tadi beliau melihat-lihat
album foto itu. Akupun mengambilnya dan berlari ke kamar. Sampai di kamar aku
mengunci pintu.
Tiba-tiba
aku gemetaran. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pori-pori kulitku.
Angin mendesir perlahan, bagaimana bisa ada angin? Pintu dan jendela sudah
kututup semua! Aku bergidik ketakutan, tapi segera kutepis rasa takut tak
beralasan itu. Akupun langsung membuka halaman pertama album foto itu.
“Keluarga
Wijaya Kusuma 1975-1985” terlihat tulisan tangan yang sangat rapi, itu bukan
tulisan tangan nenekku, dan aku yakin itu bukan juga tulisan tangan kakekku.
Aku membuka halaman berikutnya. Ada dua buah foto. Yang satu terdiri dari tiga
orang, kakek, nenek, dan seorang bayi mungil. Foto yang satunya lagi seorang
gadis kecil yang sedang tersenyum. “Aku berumur 6 tahun” begitu bunyi tulisan
yang terdapat di bawah foto itu, foto ibuku.
Aku
membalik halaman demi halaman, semakin banyak foto lama yang kulihat. Hanya ada
wajah kakek, nenek, dan ibuku, tapi ada sesuatu yang janggal. Wajah Ibu waktu
kecil sama sekali tidak mirip dengan wajah ibu di foto pernikahan.
Angin mendesir lagi,
terdengar bunyi “tek tek tek”. Aku melihat ke sekeliling kamar dan betapa
terkejutnya aku saat melihat cermin besar di tembok kamarku berguncang dengan
cepat. Semakin lama guncangannya semakin cepat. Hawa dingin menyusup ke tubuhku
sampai ke sumsum tulang. Aku seakan terpaku, tak bisa bergerak. Mulutku
menganga dan tubuhku bergetar hebat. Entah berapa lama aku berada dalam situasi
yang mencekam itu hingga cermin itu berhenti berguncang. Aku mengumpulkan
segenap keberanianku dan aku melangkah perlahan mendekati cermin.
Aku
tak melihat bayangan wajahku di cermin. Yang kulihat adalah sebuah ruangan
asing yang rasanya aku kenal. Kamarku! Ya kamarku, tapi dekorasinya sangat
berbeda dan hal yang lebih aneh lagi adalah warnanya hitam putih! Bukan warna
tembok! Tapi warna semuanya. Hitam dan putih! Aku melihat tanganku, warnanya
masih cokelat. Aku melihat baju dan rokku, warnanya putih dan abu-abu. Aku
masih berwarna, tapi yang lainnya hitam putih! Aku tak bisa memalingkan wajahku
dari cermin. Aku seakan terhipnotis, tersihir. Aku tak bisa bergerak. Oh
Tuhan.. Ini pasti mimpi. Rasanya sangat mengerikan. Aku ketakutan. Aku ingin
menjerit. Aku ingin berteriak. Oh nenek, tolong aku.
Aku berusaha memejamkan
mataku, tapi tak bisa. Seseorang, atau sesuatu ingin aku menyaksikan semua yang
terjadi melalui cermin besar ini. Apa yang kulihat benar-benar mengerikan.
Kamar yang sangat berantakan. Tak ada tempat tidur, hanya sehelai tikar pandan,
tanpa bantal, tanpa selimut.
“Ayah..” tiba-tiba aku
mendengar sebuah suara. Aku bergidik. Membayangkan ada orang di kamar pengap
itu. Aku menyesuaikan posisi badanku supaya bisa melihat ke sudut lain ruangan
itu. Ya Tuhan! Wanita itu! Wanita yang selalu muncul di mimpiku! Pakain sobek.
Wajah penuh memar dan luka. Kaki dan tangan terikat rantai.
“Ayah, lepaskan aku.” wanita
itu berteriak.
“Diam!” suara kakekku! Aku
berusaha sekuat tenaga untuk menoleh, tapi usahaku sia-sia. Tubuhku kaku.
Cermin itu memaksaku untuk tak mengalihkan pandangan darinya. Aku benar-benar
tersiksa.
“Ayah... Kenapa Ayah tega
melakukan ini padaku? Aku anakmu, Yah.”
Anak?
Anak kakek? Nenek bilang mereka cuma punya satu anak, ibuku, lalu siapa wanita
ini?
“Aku
yang seharusnya bertanya, kenapa kamu tega melakukan ini padaku. Kamu tahu
perbuatanmu itu sudah mencoreng nama baik keluarga!”
“Tapi
aku mencintainya, Yah.”
“Cinta?!
Tau apa kamu tentang cinta? Sekarang kamu liat sendiri kan. Ke mana laki-laki
jahanam itu? Kenapa dia tidak menolongmu hah? Kenapa dia tidak membebaskanmu
dari ikatanku? Kenapa dia kabur?” kakek meludah di samping wanita itu.
Wanita itu menangis. Air mata
tampak mengalir di pipinya yang kotor dan penuh memar bekas tamparan dan
pukulan, “Itu karena..” dia tersendat. Aku yakin dia akan mengusap pipinya yang
basah andai saja tangannya tak terikat, “Itu karena Ayah telah membunuhnya.” dia
bicara sambil menunduk.
Membunuh? Apa? Kakekku
pembunuh?
Kakek terdiam beberapa saat.
Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.
“Ayah.. Aku mohon lepaskan
aku. Tidakkah Ayah kasihan sama Sukreni? Dia tidak bisa terus-terusan dikurung
di sini.”
AKU??!! Ada apa sebenarnya
ini? Mimpi.. Ya, ini pasti mimpi. Aku menggerakkan kepalaku lagi, berusaha
menyingkir dari cermin sialan itu, tapi tidak bisa. Sial!
“Baiklah
kalau Ayah tidak mau melepaskanku, tapi setidaknya, tolong lepaskan Sukreni.
Dia tidak tau apa-apa. Dia tidak berdosa, Yah. Biar aku saja yang menanggung
semua yang telah kulakukan. Tolong bebaskan dan jaga dia, biar bagaimanapun,
dia itu cucu Ayah.”
Aku melihat kakek menjambak
rambut wanita itu, “Dia bukan cucuku, setan!” kakek lalu menghantamkan
kepalanya bertubi-tubi ke tembok. Darah muncrat mengenai baju dan celana kakek.
Wanita itu memejamkan matanya dan di saat yang bersamaan terdengar tangisan
bayi. AKU! Bayi itu aku!
“Asih...” kakek mengguncang
tubuh wanita malang itu, “Asih..” teriaknya lagi. Mata kakek tampak basah,
“Maafkan Ayah.” Kakek memeluknya, tapi tak lama. Kakek lalu keluar ruangan.
Aku
masih belum bisa bergerak. Peristiwa ini membuatku gila. Jadi wanita itu ibuku?
Bayi yang menangis itu aku? Berarti foto pernikahan orang tuaku foto palsu? Tidak,
tidak, ini pasti hanya mimpi.
Beberapa
saat kemudian pintu terbuka. Kakek datang dengan linggis, pasir, semen, ember,
dan alat pertukangan yang lain. Apa yang akan kakek lakukan?
Kakek
berjalan ke arahku berdiri. Aku kembali ketakutan. Apa dia mau membunuhku?
Tidak!
Kakek berjalan tepat melintasiku, menembusku! Lalu kakek menggunakan linggis
untuk membuat lubang di tembok di depanku. Cermin itu tidak ada di sana. Hanya
aku yang bisa melihat cermin itu. Hanya aku dan cermin itu yang ada tapi seakan
tak ada. Aku pusing. Aku ingin pingsan. Seandainya ini dunia nyata, pasti aku
sudah pingsan dari tadi, tapi ada sesuatu yang membuat mataku tetap terbuka
lebar.
Kakek
terus menggali tanpa kenal lelah. Lubang yang dibuatpun sudah cukup besar.
Kakek berjalan ke arah wanita itu,- aku tak akan memanggilnya Ibu, karena ini
hanya mimpi!-, menggendongnya, dan menaruhnya di lubang. Kemudian kakek menutup
mayat itu dengan balok kayu dan menguburnya dengan campuran semen.
Aku
melihat semua itu tanpa bisa melakukan apapun. Otakku buntu. Aku ingin segera
bangun dari mimpi mengerikan ini.
Kakek keluar ruangan lagi.
Beliau sama sekali tak mempedulikan si bayi yang terus-terusan menangis. Entah
karena haus atau karena tahu ibunya sudah meninggal. Betapa aku ingin
menenangkan bayi itu, seandainya aku bisa bergerak. Cermin terkutuk! Apa yang
kau lakukan padaku?
Aku melihat
kakek masuk ruangan dengan sebuah cermin besar di tangannya. Cermin itu! Cermin
berukuran 1 x 2 meter yang menempel di tembok kamarku. Kakek memang memiliki
badan yang kekar jadi beliau bisa dengan mudah membawa dan menempelkan cermin
itu di tembok. Menutupi bekas lubang kuburan seorang wanita.
Kakek
menembusku sekali lagi dan beranjak menuju bayi itu, “Diam! Atau aku akan membuatmu
menyusul ibumu yang jalang itu!”
Merekapun
keluar ruangan. Kakek menutup pintu kamar dengan keras, begitu kerasnya sampai
aku terlonjak.
Mimpi.... Ternyata itu memang
hanya mimpi. Aku merasakan seragam sekolahku basah karena keringat. Aku pasti
ketiduran saat melihat-lihat foto itu. Aku mimpi aneh seperti itu pasti karena
aku marah sama kakek yang telah menampar nenek. Kakekku tidak mungkin membunuh.
Aku mengusap keringat di
pelipis dan dahiku lalu akupun turun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya aku
saat melihat cermin besar yang ada di tembok pecah menjadi serpihan-serpihan
kecil yang berserakan di lantai. Apa yang selama ini ditutupi oleh cermin itu
terlihat dengan jelas. Bekas lubang! Itu bukan mimpi. Oh...
Tiba-tiba angin berdesir
lagi. Jendela yang kuyakin sudah kukunci terbuka lebar dan terantuk-antuk
karena angin. Ketakutan merasukiku lagi. Tubuhku lemas. Keringat membasahi
dahi, pelipis, dan sekujur tubuhku. Aku menatap bekas lubang itu dan sesuatu
muncul dari dalamnya. Seorang wanita cantik, kulitnya bersih, tak ada memar,
tak ada luka, ibuku.
“Sukreni...” dia berbisik
perlahan, suaranya merdu, tangannya melambai ke arahku.
Aku tanpa ragu mendekatinya.
Inilah ibuku, wanita yang selalu muncul di mimpiku.
“Ibu...” aku berusaha
memeluknya, tapi aku memeluk angin. Akupun mundur beberapa langkah dan
memperhatikan wajahnya yang menyiratkan kesedihan.
“Tolong bebaskan Ibu, Nak.”
“Membebaskan Ibu, bagaimana
caranya?”
“Ibu tidak akan pernah tenang
sebelum mayat ibu diupacarai dengan layak.”
“Ibu.... Aku masih bingung.
Apa yang sebenarnya terjadi?”
Ibuku tersenyum, senyum manis
itu menghiasi wajah pucatnya, “Apa yang baru saja kamu lihat adalah kenyataan,
anakku.” Tiba-tiba ibuku berubah. Pakaian putihnya berubah menjadi pakian
sobek-sobek, wajahnya menjadi penuh memar dan luka, tangan dan kakinya terikat,
“Cepat lepaskan Ibu, Nak. Tolong... Tolong.. Tolong ibu..”
“Ibu............” aku
menjerit. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih di tempat tidur. Aku baru saja
bangun dari tidur. Mimpi dalam mimpi. Aku bisa gila.
“Sukreni, kamu kenapa?” kata
nenek yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.
“Nenek..”
aku langsung turun dari tempat tidur dan mendekap nenekku dengan erat. Air mata
bercucuran dari kedua mataku, beradu dengan keringat.
“Kamu
mimpi buruk?” nenek membelai kepalaku dengan lembut, “Tenang, nenek di sini.
Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”
Aku
melepaskan pelukanku dan kea rah lemari dan mengambil tongkat kasti. Aku
kemudian melangkah menuju cermin besar itu.
“Kamu mau ngapain, Sukreni?”
nenek memegang tanganku, aku menepis tangannya.
Aku
tidak tahu dari mana datangnya kekuatan yang menggebu ini. Aku memukul cermin
itu dengan sekuat tenaga. Satu pukulan saja, cermin itu hancur
berkeping-keping.
“Sukreni!”
nenek menjerit, lalu menarik tubuhku menjauh dari serpihan kaca itu, “Apa yang
kamu lakukan?”
“Mengungkap
kebenaran.” Kataku sambil menunjuk tembok tempat cermin itu menempel
sebelumnya.
Nenekku
menangis, aku juga. Tak ada kata yang mampu melukiskan perasaan kami saat itu.
Aku benar-benar terpukul. Kakek telah membunuh kedua orang tuaku, tapi beliau
mengatakan aku yang menyebabkan mereka meninggal. Kakek sudah mebuatku hidup
dalam bayang-bayang penyesalan, dan nenek.. ah.. aku tak bisa menyalahkan
nenek. Nenek sudah begitu baik padaku dan beliau terpaksa berbohong demi
menyelamatkan jiwaku dari kakek.
“Maafkan
Nenek.” aku merasakan tangan nenek mendekap tubuhku.
“Di
mana pembunuh itu?” aku menepis kedua tangan nenek dan aku menatap wajahnya.
“Kakek
belum pulang dari tadi siang.”
“Kita
harus menghubungi polisi Nek, kita tidak bisa membiarkan pembunuh itu tinggal
bersama kita.”
“Tapi
nenek takut.”
“Apa
yang nenek takutkan?”
Nenek
diam tak menjawab.
“Kita
harus segera pergi dari sini Nek.” Aku menarik tangan nenekku lalu kami berlari
ke ruang keluarga. Aku langsung menelepon kantor polisi dan menceritakan
semuanya secara singkat. Setelah itu kami keluar.
“Kita
mau ke mana?”
“Ke
rumah tetangga. Kita harus bersembunyi sampai polisi datang. Kalau kakek bisa
membunuh ibu pasti kakek juga bisa membunuh kita.” aku berjalan tanpa menoleh
ke arah nenek yang mengikut di belakangku. Langkahku terhenti saat tiba-tiba
aku melihat kakek berjalan ke arah kami.
“Mau
ke mana kamu, Sri?”
Tubuhku
bergetar menahan gejolak kebencian dan kemarahan.
“Jawab!”
bentak kakek.
“Jangan
bentak nenekku lagi!” aku berteriak. Kebencian dan kemarahan itu bersatu
membentuk keberanian.
“Aku
tak bicara padamu.”
“Aku
juga sebenarnya tak sudi bicara dengan pembunuh sepertimu!”
“Apa
kamu bilang?”
“Aku
sudah tahu semuanya!”
Kakek
melotot ke arah nenekku, “Berani-beraninya kamu melanggar perintahku. Kakek
berjalan mendekati nenek.
Aku
merentangkan kedua tanganku, “Bukan nenek yang memberi tahuku, tapi ibu!”
“Apa?”
“Ibu
selalu datang ke mimpiku minta tolong. Kenapa kakek tega melakukan itu? Kenapa
kakek membunuh orang tuaku?”
“Kalau
tahu seperti ini, aku pasti juga membunuhmu dari dulu.”
“Bunuh
saja aku!” nenek berteriak. Aku menoleh tak percaya ke arah nenek, “Bunuh saja
aku! Aku sudah muak hidup denganmu! Kamu telah tega membunuh anak kita
satu-satunya. Kamu bukan manusia, Atmaja! Kamu setan!”
“Apa
kamu bilang?” Kakek terlihat sangat marah, kedua matanya melotot seakan mau
keluar dari tempatnya. Kakek berjalan mendekati nenek dan menghempaskan
tubuhku. Aku terjatuh ke bebatuan kering yang menggores kulitku. Rasanya sakit
sekali.
“Aku
seharusnya sudah membunuhmu dari dulu.” Aku mendengar kakek berteriak. Aku
segera menoleh. Kakek mencekik nenekku hingga tubuh nenek terangkat beberapa
senti dari tanah.
“Hentikan...”
aku berteriak, menahan sakit di siku dan telapak tanganku. Aku berlari ke arah
mereka dan kudorong kakek dengan sekuat tenaga. Kakek melepaskan nenek dan
berbalik ke arahku. Wajah kakek benar-benar menakutkan.
Aku mengatur
nafasku, hidungku bekerja ekstra untuk memasukkan banyak oksigen ke paru-paru.
Waktu terasa melambat. Kakek menyeringai, “Kamu akan segera menyusul orang
tuamu.” Katanya sambil berjalan mendekat.
Aku
melangkah mundur dan kakiku tersandung batu. Aku terjerembab.
“Akan
kukirim kau ke neraka.” Tangan kakek menggapai leherku. Aku menepis
tangan-tangan kokoh itu sekuat tenaga, tapi sia-sia.
“Jangan
bergerak!” seseorang berteriak. Aku menoleh, polisi.
Dua orang polisi langsung
membekuk kakekku dan memborgol tangannya. Aku dan nenekpun segera dilarikan ke
rumah sakit. Untung nyawa nenek bisa diselamatkan.
Esoknya
aku pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Aku menceritakan
semuanya. Polisi terlihat kurang percaya dengan ceritaku. Kamipun ke rumahku
untuk melihat lubang itu.
Seorang
petugas menggali tembok itu. Satu jam kemudiam linggisnya beradu dengan balok
kayu. Diapun menarik balok kayu tersebut dan terlihatlah kerangka manusia,
kerangka ibuku. Aku tak bisa menahan air mata yang meleleh di pipiku.
*****
Sehari kemudian nenek sudah
bisa dibawa pulang. Kami mendengar kabar kalau kakek terancam dipenjara seumur
hidup. Aku sungguh bersyukur.
“Nek,
kita bebaskan ibu ya.” Kataku saat kami berdua duduk di ruang keluarga.
Nenek
mengangguk perlahan. Akupun menghubungi keluarga jauh dan beberapa orang
tetangga.
Kami
mulai mempersiapkan upacara pengabenan untuk ibu.
“Selamat
jalan Ibu.. Semoga ibu tenang di sana.” kataku saat tulang belulang ibu
dikremasi. Nenek mendekap tubuhku dengan erat, akupun membalas dekapan nenek.
Mimpi
itu lagi. Mimpi yang sama datang berulang-ulang kali. Seorang wanita muda
dengan pakaian robek, badan penuh memar dan luka, kaki dan tangan terikat
rantai, berteriak minta tolong. Siapa wanita itu? Wajahnya asing, tapi ntah
kenapa aku merasa ada hubungan dengannya. Ya, pasti ada hubungan antara kami,
kalau tidak, bagaimana mungkin dia datang ke mimpiku hampir setiap malam? Aku
harus tahu siapa wanita itu sebenarnya, aku tidak bisa terus-terusan
membiarkannya mengganggu tidurku.
Aku
turun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju cermin besar yang
menempeldi tembok kamar. Wajah yang kulihat di cermin itu sangat sayu, keringat
menbanjiri kulit pucatnya. Ah.. tak seharusnya gadis 15 tahun berpenampilan
seperti ini.
“Sukreni, ayo sarapan.” terdengar
suara nenek memanggilku. Akupun bergegas mencuci muka lalu menghampiri nenekku
di dapur. Nenek adalah orang yang aneh. Kalau di rumah hanya ada kami berdua,
nenek bersikap sangat baik padaku, tapi kalau ada kakek, sikap nenek berubah
180°, nenek menjadi dingin kepadaku dan terlihat sangat ketakutan. Aku juga
takut pada kakek. Wajahnya galak dan beliau sama sekali tak pernah menganggapku
ada. Aku seakan makhluk tak terlihat yang tak berarti apa-apa. Kakek tdak
pernah berbicara sepatah katapun padaku. Aku rasa karena aku adalah peyebab
kematian kedua orang tuaku.
Nenek
bilang ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku dan ayah bunuh diri beberapa
hari kemudian. Aku anak pembawa sial, wajar saja kakek membenciku, tapi aku tak
pernah minta dilahirkan. Aku akan memilih tidak pernah lahir ke dunia ini andai
saja aku tahu kalau kelahiranku hanya akan menjadi malapetaka bagi keluarga
ini.
“Kenapa
bengong? Ayo makan, nenek masak makanan kesukaanmu.” nenek mengambil beberapa
sendok nasi goreng dan menaruhnya di piringku.
“Nek?”
“Ya?”
“Ibuku seperti apa?”
Nenek
tampak terkejut mendengar pertanyaanku, “Kamu kan punya fotonya.” ucapnya
setelah terdiam beberapa saat.
“Iya,
tapi maksudku ...”
“Sudah-sudah. Jangan banyak
nanya. Cepat makan!”
Begitulah, setiap kali aku
bertanya tentang ibu atau ayahku, nenek selalu menghindar. Tak banyak yang aku
tahu tentang orang tuaku, hanya foto dan nama. Foto mereka hanya ada satu, saat
pernikahan.
Aku
menatap wajah nenekku, kesedihan menyelimuti wajahnya yang mulai berkeriput
itu. Aku lalu menyendok nasi goreng dan memasukkannya ke mulutku, “Nasi
gorengnya enak, Nek.” aku memaksakan senyum di bibirku. Nenek juga ikut
tersenyum dan kamipun makan dengan lahap. Hm.. betapa damainya rumah ini tanpa
kakek.
Aku dan nenek duduk berdua di
ruang keluarga menonton acara musik. Aku tidak begitu menikmati acara itu
karena aku tidak suka musik. Hidupku gelap dan sunyi, tak ada warna, tak ada
musik, hanya kegelapan, hanya kesunyian. Tiba-tiba pikiranku kembali ke wanita
dalam mimpi itu. Siapa dia sebenarnya? Apa aku harus menanyakannya pada nenek?
“Sukreni.” suara nenek mengejutkanku.
“Iya Nek?”
“Akhir-akhir ini nenek lihat
kamu sering bengong. Ada apa? Ada masalah di sekolah?”
“Nggak
Nek, aku...” aku ragu, haruskah aku cerita?
“Kamu
kenapa? Cerita sama nenek.”
“Aku
takut Nek.” aku membenamkan wajahku di pangkuan nenek dan kupeluk pingganngnya
dengan erat. Air mata yang selama ini kutahan dengan sekuat tenaga berhamburan
keluar membasahi rok panjang nenekku. Aku benar-benar takut. Bayangan wajah
wanita itu berkelebat memenuhi kepalaku,”Tolong.... Tolong.. Tolong..”
jeritannya memekakkan gendang telingaku. Aku sudah tidak kuat. Aku harus
melakukan apa?
“Kamu
kenapa Sukreni? Ayo cerita.”
“Sri..”
sebuah suara menggelegar di dalam ruangan, suara kakekku. Aku langsung duduk tegak
kembali dan mengusap air mataku, “buatkan aku kopi, cepat!” perintahnya.
Keesokan harinya setelah
pulang sekolah, aku melihat nenek duduk di ruang keluarga sambil membuka
lembaran-lembaran sebuah buku yang sepertinya merupakan album foto usang,
“Nenek..” kataku sambil duduk di sampingnya. Nenek sangat terkejut melihatku
yang tiba-tiba sudah duduk di sana. Beliau langsung menyembunyikan album foto
itu.
“Apa
itu, Nek?”
“Bukan
apa-apa. Cepat ganti baju. Nenek sudah menyiapkan makan siang.”
Aku
menggelengkan kepalaku, “Apa yang nenek sembunyikan? Tolong Nek, aku ingin tau.
Apa yang sebenarnya nenek liat?”
“Ini
bukan urusanmu. Cepat ganti baju.”
“Ini
pasti urusanku Nek! Apa nenek tau hampir setiap malam aku nggak bisa tidur
karena terus dihantui mimpi buruk? Di mimpiku aku melihat seorang wanita yang
berteriak minta tolong. Apa nenek tau sesuatu tentang hal ini? Aku udah capek
Nek.” air mataku berhamburan keluar lagi seperti kemarin, tapi kali ini aku tak
memeluk nenekku.
“Apa
yang sebenarnya Nenek sembunyikan? Aku berhak tau Nek, aku udah dewasa.”
“Sukreni..” ucap nenekku
dengan pelan.
Hanya
tangisku yang menjawab ucapan nenek.
“Mungkin
sudah saatnya kamu tau kenyataannya. Sebenarnya ibumu...” nenek menyeka air
mata yang membasahi bagian bawah matanya, “Ibumu adalah seorang wanita yang
sangat baik. Dia adalah anak nenek satu-satunya. Nenek sangat menyayanginya
karena dia begitu ramah, penurut, rajin, manis, dan ceria, tapi suatu hari
terjadi malapetaka. Dia...” air mata nenek merembes lagi.
“Ibuku
kenapa Nek?” tanyaku tak sabar.
“Hentikan
Sri!” terdengar suara kakek di belakangku. Aku menoleh, benar saja, kakek
berdiri dengan tegapnya, wajahnya menunjukkan kebengisan, “Masuk ke kamar,
Sukreni!” teriaknya.
Kakek..
Kakek bicara padaku? Walaupun hanya empat kata yang diucapkan dengan kasar, tapi
dia bicara padauk!
“Cepat
masuk ke kamar!” bentaknya lagi, kali ini lebih keras.
Tanpa
berkata apa-apa, aku langsung berlari ke, tunggu dulu, aku harus mendengar apa
yang mereka bicarakan. Aku harus tahu apa yang mereka sembunyikan selama
ini. Akupun memutuskan untuk mengintip mereka melalui sebuah lubang di tembok
penyekat antara ruang keluarga dan dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Rumah
kami memang sangat luas dan kamarku terletak paling jauh di belakang.
Aku
melihat kakek berdiri sambil berkacak pinggang dan nenek sesenggukan di sofa.
Aku memasang kedua telingaku dengan baik. Aku tidak ingin kelewatan satu
katapun. Kakek melangkah ke dekat nenekku dan menarik rambutnya, “Apa kamu
sadar apa yang baru saja kamu hampir lakukan?”
Nenek
meringis kesakitan, tapi beliau tidak mengatakan apapun.
“Ini
peringatan pertama dan terakhir untuk kamu, Sri! Jangan sampai aku melihatmu
melakukan hal yang sama, atau kamu tidak akan pernah melihat anak itu lagi.”
Aku
terkesiap, apa yang kakek bicarakan? Anak itu? Maksudnya aku?
“Tapi
Yah, Sukreni sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Nenek menatap ke arah
kakek.
Sebuah
tamparan mendarat di pipi nenekku. Keras sekali. Darahku mendidih melihat semua
itu.
“Aku
tidak main-main Sri! Sekali lagi kamu lakukan itu, aku tidak akan ragu-ragu
untuk menyingkirkannya.” kakek menarik rambut nenekku sekali lagi, “Cam kan
itu!” beliau lalu keluar rumah dan menutup pintu depan dengan sangat keras.
Tubuhku lunglai. Rasa
penasaranku semakin besar.
Beberapa menit kemudian, aku
menghampiri nenekku, pura-pura baru keluar dari kamar.
“Nenek!
Nenek kenapa?”
“Tidak
apa-apa, Sayang. Cepat makan dan kembali ke kamar, sebelum kakek pulang.”
“Maafkan
aku ya, Nek.”
“Ini
bukan salahmu. Cepat makan.” kamipun beranjak ke dapur dan makan dalam diam.
Selesai
makan nenek langsung kembali ke kamarnya, aku juga ingin masuk ke kamarku, tapi
saat melintasi ruang keluarga, mataku tertuju pada album foto yang tergeletak
di sofa. Kurasa kakek tidak melihatnya dan nenek lupa kalau tadi beliau melihat-lihat
album foto itu. Akupun mengambilnya dan berlari ke kamar. Sampai di kamar aku
mengunci pintu.
Tiba-tiba
aku gemetaran. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pori-pori kulitku.
Angin mendesir perlahan, bagaimana bisa ada angin? Pintu dan jendela sudah
kututup semua! Aku bergidik ketakutan, tapi segera kutepis rasa takut tak
beralasan itu. Akupun langsung membuka halaman pertama album foto itu.
“Keluarga
Wijaya Kusuma 1975-1985” terlihat tulisan tangan yang sangat rapi, itu bukan
tulisan tangan nenekku, dan aku yakin itu bukan juga tulisan tangan kakekku.
Aku membuka halaman berikutnya. Ada dua buah foto. Yang satu terdiri dari tiga
orang, kakek, nenek, dan seorang bayi mungil. Foto yang satunya lagi seorang
gadis kecil yang sedang tersenyum. “Aku berumur 6 tahun” begitu bunyi tulisan
yang terdapat di bawah foto itu, foto ibuku.
Aku
membalik halaman demi halaman, semakin banyak foto lama yang kulihat. Hanya ada
wajah kakek, nenek, dan ibuku, tapi ada sesuatu yang janggal. Wajah Ibu waktu
kecil sama sekali tidak mirip dengan wajah ibu di foto pernikahan.
Angin mendesir lagi,
terdengar bunyi “tek tek tek”. Aku melihat ke sekeliling kamar dan betapa
terkejutnya aku saat melihat cermin besar di tembok kamarku berguncang dengan
cepat. Semakin lama guncangannya semakin cepat. Hawa dingin menyusup ke tubuhku
sampai ke sumsum tulang. Aku seakan terpaku, tak bisa bergerak. Mulutku
menganga dan tubuhku bergetar hebat. Entah berapa lama aku berada dalam situasi
yang mencekam itu hingga cermin itu berhenti berguncang. Aku mengumpulkan
segenap keberanianku dan aku melangkah perlahan mendekati cermin.
Aku
tak melihat bayangan wajahku di cermin. Yang kulihat adalah sebuah ruangan
asing yang rasanya aku kenal. Kamarku! Ya kamarku, tapi dekorasinya sangat
berbeda dan hal yang lebih aneh lagi adalah warnanya hitam putih! Bukan warna
tembok! Tapi warna semuanya. Hitam dan putih! Aku melihat tanganku, warnanya
masih cokelat. Aku melihat baju dan rokku, warnanya putih dan abu-abu. Aku
masih berwarna, tapi yang lainnya hitam putih! Aku tak bisa memalingkan wajahku
dari cermin. Aku seakan terhipnotis, tersihir. Aku tak bisa bergerak. Oh
Tuhan.. Ini pasti mimpi. Rasanya sangat mengerikan. Aku ketakutan. Aku ingin
menjerit. Aku ingin berteriak. Oh nenek, tolong aku.
Aku berusaha memejamkan
mataku, tapi tak bisa. Seseorang, atau sesuatu ingin aku menyaksikan semua yang
terjadi melalui cermin besar ini. Apa yang kulihat benar-benar mengerikan.
Kamar yang sangat berantakan. Tak ada tempat tidur, hanya sehelai tikar pandan,
tanpa bantal, tanpa selimut.
“Ayah..” tiba-tiba aku
mendengar sebuah suara. Aku bergidik. Membayangkan ada orang di kamar pengap
itu. Aku menyesuaikan posisi badanku supaya bisa melihat ke sudut lain ruangan
itu. Ya Tuhan! Wanita itu! Wanita yang selalu muncul di mimpiku! Pakain sobek.
Wajah penuh memar dan luka. Kaki dan tangan terikat rantai.
“Ayah, lepaskan aku.” wanita
itu berteriak.
“Diam!” suara kakekku! Aku
berusaha sekuat tenaga untuk menoleh, tapi usahaku sia-sia. Tubuhku kaku.
Cermin itu memaksaku untuk tak mengalihkan pandangan darinya. Aku benar-benar
tersiksa.
“Ayah... Kenapa Ayah tega
melakukan ini padaku? Aku anakmu, Yah.”
Anak?
Anak kakek? Nenek bilang mereka cuma punya satu anak, ibuku, lalu siapa wanita
ini?
“Aku
yang seharusnya bertanya, kenapa kamu tega melakukan ini padaku. Kamu tahu
perbuatanmu itu sudah mencoreng nama baik keluarga!”
“Tapi
aku mencintainya, Yah.”
“Cinta?!
Tau apa kamu tentang cinta? Sekarang kamu liat sendiri kan. Ke mana laki-laki
jahanam itu? Kenapa dia tidak menolongmu hah? Kenapa dia tidak membebaskanmu
dari ikatanku? Kenapa dia kabur?” kakek meludah di samping wanita itu.
Wanita itu menangis. Air mata
tampak mengalir di pipinya yang kotor dan penuh memar bekas tamparan dan
pukulan, “Itu karena..” dia tersendat. Aku yakin dia akan mengusap pipinya yang
basah andai saja tangannya tak terikat, “Itu karena Ayah telah membunuhnya.” dia
bicara sambil menunduk.
Membunuh? Apa? Kakekku
pembunuh?
Kakek terdiam beberapa saat.
Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.
“Ayah.. Aku mohon lepaskan
aku. Tidakkah Ayah kasihan sama Sukreni? Dia tidak bisa terus-terusan dikurung
di sini.”
AKU??!! Ada apa sebenarnya
ini? Mimpi.. Ya, ini pasti mimpi. Aku menggerakkan kepalaku lagi, berusaha
menyingkir dari cermin sialan itu, tapi tidak bisa. Sial!
“Baiklah
kalau Ayah tidak mau melepaskanku, tapi setidaknya, tolong lepaskan Sukreni.
Dia tidak tau apa-apa. Dia tidak berdosa, Yah. Biar aku saja yang menanggung
semua yang telah kulakukan. Tolong bebaskan dan jaga dia, biar bagaimanapun,
dia itu cucu Ayah.”
Aku melihat kakek menjambak
rambut wanita itu, “Dia bukan cucuku, setan!” kakek lalu menghantamkan
kepalanya bertubi-tubi ke tembok. Darah muncrat mengenai baju dan celana kakek.
Wanita itu memejamkan matanya dan di saat yang bersamaan terdengar tangisan
bayi. AKU! Bayi itu aku!
“Asih...” kakek mengguncang
tubuh wanita malang itu, “Asih..” teriaknya lagi. Mata kakek tampak basah,
“Maafkan Ayah.” Kakek memeluknya, tapi tak lama. Kakek lalu keluar ruangan.
Aku
masih belum bisa bergerak. Peristiwa ini membuatku gila. Jadi wanita itu ibuku?
Bayi yang menangis itu aku? Berarti foto pernikahan orang tuaku foto palsu? Tidak,
tidak, ini pasti hanya mimpi.
Beberapa
saat kemudian pintu terbuka. Kakek datang dengan linggis, pasir, semen, ember,
dan alat pertukangan yang lain. Apa yang akan kakek lakukan?
Kakek
berjalan ke arahku berdiri. Aku kembali ketakutan. Apa dia mau membunuhku?
Tidak!
Kakek berjalan tepat melintasiku, menembusku! Lalu kakek menggunakan linggis
untuk membuat lubang di tembok di depanku. Cermin itu tidak ada di sana. Hanya
aku yang bisa melihat cermin itu. Hanya aku dan cermin itu yang ada tapi seakan
tak ada. Aku pusing. Aku ingin pingsan. Seandainya ini dunia nyata, pasti aku
sudah pingsan dari tadi, tapi ada sesuatu yang membuat mataku tetap terbuka
lebar.
Kakek
terus menggali tanpa kenal lelah. Lubang yang dibuatpun sudah cukup besar.
Kakek berjalan ke arah wanita itu,- aku tak akan memanggilnya Ibu, karena ini
hanya mimpi!-, menggendongnya, dan menaruhnya di lubang. Kemudian kakek menutup
mayat itu dengan balok kayu dan menguburnya dengan campuran semen.
Aku
melihat semua itu tanpa bisa melakukan apapun. Otakku buntu. Aku ingin segera
bangun dari mimpi mengerikan ini.
Kakek keluar ruangan lagi.
Beliau sama sekali tak mempedulikan si bayi yang terus-terusan menangis. Entah
karena haus atau karena tahu ibunya sudah meninggal. Betapa aku ingin
menenangkan bayi itu, seandainya aku bisa bergerak. Cermin terkutuk! Apa yang
kau lakukan padaku?
Aku melihat
kakek masuk ruangan dengan sebuah cermin besar di tangannya. Cermin itu! Cermin
berukuran 1 x 2 meter yang menempel di tembok kamarku. Kakek memang memiliki
badan yang kekar jadi beliau bisa dengan mudah membawa dan menempelkan cermin
itu di tembok. Menutupi bekas lubang kuburan seorang wanita.
Kakek
menembusku sekali lagi dan beranjak menuju bayi itu, “Diam! Atau aku akan membuatmu
menyusul ibumu yang jalang itu!”
Merekapun
keluar ruangan. Kakek menutup pintu kamar dengan keras, begitu kerasnya sampai
aku terlonjak.
Mimpi.... Ternyata itu memang
hanya mimpi. Aku merasakan seragam sekolahku basah karena keringat. Aku pasti
ketiduran saat melihat-lihat foto itu. Aku mimpi aneh seperti itu pasti karena
aku marah sama kakek yang telah menampar nenek. Kakekku tidak mungkin membunuh.
Aku mengusap keringat di
pelipis dan dahiku lalu akupun turun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya aku
saat melihat cermin besar yang ada di tembok pecah menjadi serpihan-serpihan
kecil yang berserakan di lantai. Apa yang selama ini ditutupi oleh cermin itu
terlihat dengan jelas. Bekas lubang! Itu bukan mimpi. Oh...
Tiba-tiba angin berdesir
lagi. Jendela yang kuyakin sudah kukunci terbuka lebar dan terantuk-antuk
karena angin. Ketakutan merasukiku lagi. Tubuhku lemas. Keringat membasahi
dahi, pelipis, dan sekujur tubuhku. Aku menatap bekas lubang itu dan sesuatu
muncul dari dalamnya. Seorang wanita cantik, kulitnya bersih, tak ada memar,
tak ada luka, ibuku.
“Sukreni...” dia berbisik
perlahan, suaranya merdu, tangannya melambai ke arahku.
Aku tanpa ragu mendekatinya.
Inilah ibuku, wanita yang selalu muncul di mimpiku.
“Ibu...” aku berusaha
memeluknya, tapi aku memeluk angin. Akupun mundur beberapa langkah dan
memperhatikan wajahnya yang menyiratkan kesedihan.
“Tolong bebaskan Ibu, Nak.”
“Membebaskan Ibu, bagaimana
caranya?”
“Ibu tidak akan pernah tenang
sebelum mayat ibu diupacarai dengan layak.”
“Ibu.... Aku masih bingung.
Apa yang sebenarnya terjadi?”
Ibuku tersenyum, senyum manis
itu menghiasi wajah pucatnya, “Apa yang baru saja kamu lihat adalah kenyataan,
anakku.” Tiba-tiba ibuku berubah. Pakaian putihnya berubah menjadi pakian
sobek-sobek, wajahnya menjadi penuh memar dan luka, tangan dan kakinya terikat,
“Cepat lepaskan Ibu, Nak. Tolong... Tolong.. Tolong ibu..”
“Ibu............” aku
menjerit. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih di tempat tidur. Aku baru saja
bangun dari tidur. Mimpi dalam mimpi. Aku bisa gila.
“Sukreni, kamu kenapa?” kata
nenek yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.
“Nenek..”
aku langsung turun dari tempat tidur dan mendekap nenekku dengan erat. Air mata
bercucuran dari kedua mataku, beradu dengan keringat.
“Kamu
mimpi buruk?” nenek membelai kepalaku dengan lembut, “Tenang, nenek di sini.
Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”
Aku
melepaskan pelukanku dan kea rah lemari dan mengambil tongkat kasti. Aku
kemudian melangkah menuju cermin besar itu.
“Kamu mau ngapain, Sukreni?”
nenek memegang tanganku, aku menepis tangannya.
Aku
tidak tahu dari mana datangnya kekuatan yang menggebu ini. Aku memukul cermin
itu dengan sekuat tenaga. Satu pukulan saja, cermin itu hancur
berkeping-keping.
“Sukreni!”
nenek menjerit, lalu menarik tubuhku menjauh dari serpihan kaca itu, “Apa yang
kamu lakukan?”
“Mengungkap
kebenaran.” Kataku sambil menunjuk tembok tempat cermin itu menempel
sebelumnya.
Nenekku
menangis, aku juga. Tak ada kata yang mampu melukiskan perasaan kami saat itu.
Aku benar-benar terpukul. Kakek telah membunuh kedua orang tuaku, tapi beliau
mengatakan aku yang menyebabkan mereka meninggal. Kakek sudah mebuatku hidup
dalam bayang-bayang penyesalan, dan nenek.. ah.. aku tak bisa menyalahkan
nenek. Nenek sudah begitu baik padaku dan beliau terpaksa berbohong demi
menyelamatkan jiwaku dari kakek.
“Maafkan
Nenek.” aku merasakan tangan nenek mendekap tubuhku.
“Di
mana pembunuh itu?” aku menepis kedua tangan nenek dan aku menatap wajahnya.
“Kakek
belum pulang dari tadi siang.”
“Kita
harus menghubungi polisi Nek, kita tidak bisa membiarkan pembunuh itu tinggal
bersama kita.”
“Tapi
nenek takut.”
“Apa
yang nenek takutkan?”
Nenek
diam tak menjawab.
“Kita
harus segera pergi dari sini Nek.” Aku menarik tangan nenekku lalu kami berlari
ke ruang keluarga. Aku langsung menelepon kantor polisi dan menceritakan
semuanya secara singkat. Setelah itu kami keluar.
“Kita
mau ke mana?”
“Ke
rumah tetangga. Kita harus bersembunyi sampai polisi datang. Kalau kakek bisa
membunuh ibu pasti kakek juga bisa membunuh kita.” aku berjalan tanpa menoleh
ke arah nenek yang mengikut di belakangku. Langkahku terhenti saat tiba-tiba
aku melihat kakek berjalan ke arah kami.
“Mau
ke mana kamu, Sri?”
Tubuhku
bergetar menahan gejolak kebencian dan kemarahan.
“Jawab!”
bentak kakek.
“Jangan
bentak nenekku lagi!” aku berteriak. Kebencian dan kemarahan itu bersatu
membentuk keberanian.
“Aku
tak bicara padamu.”
“Aku
juga sebenarnya tak sudi bicara dengan pembunuh sepertimu!”
“Apa
kamu bilang?”
“Aku
sudah tahu semuanya!”
Kakek
melotot ke arah nenekku, “Berani-beraninya kamu melanggar perintahku. Kakek
berjalan mendekati nenek.
Aku
merentangkan kedua tanganku, “Bukan nenek yang memberi tahuku, tapi ibu!”
“Apa?”
“Ibu
selalu datang ke mimpiku minta tolong. Kenapa kakek tega melakukan itu? Kenapa
kakek membunuh orang tuaku?”
“Kalau
tahu seperti ini, aku pasti juga membunuhmu dari dulu.”
“Bunuh
saja aku!” nenek berteriak. Aku menoleh tak percaya ke arah nenek, “Bunuh saja
aku! Aku sudah muak hidup denganmu! Kamu telah tega membunuh anak kita
satu-satunya. Kamu bukan manusia, Atmaja! Kamu setan!”
“Apa
kamu bilang?” Kakek terlihat sangat marah, kedua matanya melotot seakan mau
keluar dari tempatnya. Kakek berjalan mendekati nenek dan menghempaskan
tubuhku. Aku terjatuh ke bebatuan kering yang menggores kulitku. Rasanya sakit
sekali.
“Aku
seharusnya sudah membunuhmu dari dulu.” Aku mendengar kakek berteriak. Aku
segera menoleh. Kakek mencekik nenekku hingga tubuh nenek terangkat beberapa
senti dari tanah.
“Hentikan...”
aku berteriak, menahan sakit di siku dan telapak tanganku. Aku berlari ke arah
mereka dan kudorong kakek dengan sekuat tenaga. Kakek melepaskan nenek dan
berbalik ke arahku. Wajah kakek benar-benar menakutkan.
Aku mengatur
nafasku, hidungku bekerja ekstra untuk memasukkan banyak oksigen ke paru-paru.
Waktu terasa melambat. Kakek menyeringai, “Kamu akan segera menyusul orang
tuamu.” Katanya sambil berjalan mendekat.
Aku
melangkah mundur dan kakiku tersandung batu. Aku terjerembab.
“Akan
kukirim kau ke neraka.” Tangan kakek menggapai leherku. Aku menepis
tangan-tangan kokoh itu sekuat tenaga, tapi sia-sia.
“Jangan
bergerak!” seseorang berteriak. Aku menoleh, polisi.
Dua orang polisi langsung
membekuk kakekku dan memborgol tangannya. Aku dan nenekpun segera dilarikan ke
rumah sakit. Untung nyawa nenek bisa diselamatkan.
Esoknya
aku pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Aku menceritakan
semuanya. Polisi terlihat kurang percaya dengan ceritaku. Kamipun ke rumahku
untuk melihat lubang itu.
Seorang
petugas menggali tembok itu. Satu jam kemudiam linggisnya beradu dengan balok
kayu. Diapun menarik balok kayu tersebut dan terlihatlah kerangka manusia,
kerangka ibuku. Aku tak bisa menahan air mata yang meleleh di pipiku.
*****
Sehari kemudian nenek sudah
bisa dibawa pulang. Kami mendengar kabar kalau kakek terancam dipenjara seumur
hidup. Aku sungguh bersyukur.
“Nek,
kita bebaskan ibu ya.” Kataku saat kami berdua duduk di ruang keluarga.
Nenek
mengangguk perlahan. Akupun menghubungi keluarga jauh dan beberapa orang
tetangga.
Kami
mulai mempersiapkan upacara pengabenan untuk ibu.
“Selamat
jalan Ibu.. Semoga ibu tenang di sana.” kataku saat tulang belulang ibu
dikremasi. Nenek mendekap tubuhku dengan erat, akupun membalas dekapan nenek.
Mimpi
itu lagi. Mimpi yang sama datang berulang-ulang kali. Seorang wanita muda
dengan pakaian robek, badan penuh memar dan luka, kaki dan tangan terikat
rantai, berteriak minta tolong. Siapa wanita itu? Wajahnya asing, tapi ntah
kenapa aku merasa ada hubungan dengannya. Ya, pasti ada hubungan antara kami,
kalau tidak, bagaimana mungkin dia datang ke mimpiku hampir setiap malam? Aku
harus tahu siapa wanita itu sebenarnya, aku tidak bisa terus-terusan
membiarkannya mengganggu tidurku.
Aku
turun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju cermin besar yang
menempeldi tembok kamar. Wajah yang kulihat di cermin itu sangat sayu, keringat
menbanjiri kulit pucatnya. Ah.. tak seharusnya gadis 15 tahun berpenampilan
seperti ini.
“Sukreni, ayo sarapan.” terdengar
suara nenek memanggilku. Akupun bergegas mencuci muka lalu menghampiri nenekku
di dapur. Nenek adalah orang yang aneh. Kalau di rumah hanya ada kami berdua,
nenek bersikap sangat baik padaku, tapi kalau ada kakek, sikap nenek berubah
180°, nenek menjadi dingin kepadaku dan terlihat sangat ketakutan. Aku juga
takut pada kakek. Wajahnya galak dan beliau sama sekali tak pernah menganggapku
ada. Aku seakan makhluk tak terlihat yang tak berarti apa-apa. Kakek tdak
pernah berbicara sepatah katapun padaku. Aku rasa karena aku adalah peyebab
kematian kedua orang tuaku.
Nenek
bilang ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku dan ayah bunuh diri beberapa
hari kemudian. Aku anak pembawa sial, wajar saja kakek membenciku, tapi aku tak
pernah minta dilahirkan. Aku akan memilih tidak pernah lahir ke dunia ini andai
saja aku tahu kalau kelahiranku hanya akan menjadi malapetaka bagi keluarga
ini.
“Kenapa
bengong? Ayo makan, nenek masak makanan kesukaanmu.” nenek mengambil beberapa
sendok nasi goreng dan menaruhnya di piringku.
“Nek?”
“Ya?”
“Ibuku seperti apa?”
Nenek
tampak terkejut mendengar pertanyaanku, “Kamu kan punya fotonya.” ucapnya
setelah terdiam beberapa saat.
“Iya,
tapi maksudku ...”
“Sudah-sudah. Jangan banyak
nanya. Cepat makan!”
Begitulah, setiap kali aku
bertanya tentang ibu atau ayahku, nenek selalu menghindar. Tak banyak yang aku
tahu tentang orang tuaku, hanya foto dan nama. Foto mereka hanya ada satu, saat
pernikahan.
Aku
menatap wajah nenekku, kesedihan menyelimuti wajahnya yang mulai berkeriput
itu. Aku lalu menyendok nasi goreng dan memasukkannya ke mulutku, “Nasi
gorengnya enak, Nek.” aku memaksakan senyum di bibirku. Nenek juga ikut
tersenyum dan kamipun makan dengan lahap. Hm.. betapa damainya rumah ini tanpa
kakek.
Aku dan nenek duduk berdua di
ruang keluarga menonton acara musik. Aku tidak begitu menikmati acara itu
karena aku tidak suka musik. Hidupku gelap dan sunyi, tak ada warna, tak ada
musik, hanya kegelapan, hanya kesunyian. Tiba-tiba pikiranku kembali ke wanita
dalam mimpi itu. Siapa dia sebenarnya? Apa aku harus menanyakannya pada nenek?
“Sukreni.” suara nenek mengejutkanku.
“Iya Nek?”
“Akhir-akhir ini nenek lihat
kamu sering bengong. Ada apa? Ada masalah di sekolah?”
“Nggak
Nek, aku...” aku ragu, haruskah aku cerita?
“Kamu
kenapa? Cerita sama nenek.”
“Aku
takut Nek.” aku membenamkan wajahku di pangkuan nenek dan kupeluk pingganngnya
dengan erat. Air mata yang selama ini kutahan dengan sekuat tenaga berhamburan
keluar membasahi rok panjang nenekku. Aku benar-benar takut. Bayangan wajah
wanita itu berkelebat memenuhi kepalaku,”Tolong.... Tolong.. Tolong..”
jeritannya memekakkan gendang telingaku. Aku sudah tidak kuat. Aku harus
melakukan apa?
“Kamu
kenapa Sukreni? Ayo cerita.”
“Sri..”
sebuah suara menggelegar di dalam ruangan, suara kakekku. Aku langsung duduk tegak
kembali dan mengusap air mataku, “buatkan aku kopi, cepat!” perintahnya.
Keesokan harinya setelah
pulang sekolah, aku melihat nenek duduk di ruang keluarga sambil membuka
lembaran-lembaran sebuah buku yang sepertinya merupakan album foto usang,
“Nenek..” kataku sambil duduk di sampingnya. Nenek sangat terkejut melihatku
yang tiba-tiba sudah duduk di sana. Beliau langsung menyembunyikan album foto
itu.
“Apa
itu, Nek?”
“Bukan
apa-apa. Cepat ganti baju. Nenek sudah menyiapkan makan siang.”
Aku
menggelengkan kepalaku, “Apa yang nenek sembunyikan? Tolong Nek, aku ingin tau.
Apa yang sebenarnya nenek liat?”
“Ini
bukan urusanmu. Cepat ganti baju.”
“Ini
pasti urusanku Nek! Apa nenek tau hampir setiap malam aku nggak bisa tidur
karena terus dihantui mimpi buruk? Di mimpiku aku melihat seorang wanita yang
berteriak minta tolong. Apa nenek tau sesuatu tentang hal ini? Aku udah capek
Nek.” air mataku berhamburan keluar lagi seperti kemarin, tapi kali ini aku tak
memeluk nenekku.
“Apa
yang sebenarnya Nenek sembunyikan? Aku berhak tau Nek, aku udah dewasa.”
“Sukreni..” ucap nenekku
dengan pelan.
Hanya
tangisku yang menjawab ucapan nenek.
“Mungkin
sudah saatnya kamu tau kenyataannya. Sebenarnya ibumu...” nenek menyeka air
mata yang membasahi bagian bawah matanya, “Ibumu adalah seorang wanita yang
sangat baik. Dia adalah anak nenek satu-satunya. Nenek sangat menyayanginya
karena dia begitu ramah, penurut, rajin, manis, dan ceria, tapi suatu hari
terjadi malapetaka. Dia...” air mata nenek merembes lagi.
“Ibuku
kenapa Nek?” tanyaku tak sabar.
“Hentikan
Sri!” terdengar suara kakek di belakangku. Aku menoleh, benar saja, kakek
berdiri dengan tegapnya, wajahnya menunjukkan kebengisan, “Masuk ke kamar,
Sukreni!” teriaknya.
Kakek..
Kakek bicara padaku? Walaupun hanya empat kata yang diucapkan dengan kasar, tapi
dia bicara padauk!
“Cepat
masuk ke kamar!” bentaknya lagi, kali ini lebih keras.
Tanpa
berkata apa-apa, aku langsung berlari ke, tunggu dulu, aku harus mendengar apa
yang mereka bicarakan. Aku harus tahu apa yang mereka sembunyikan selama
ini. Akupun memutuskan untuk mengintip mereka melalui sebuah lubang di tembok
penyekat antara ruang keluarga dan dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Rumah
kami memang sangat luas dan kamarku terletak paling jauh di belakang.
Aku
melihat kakek berdiri sambil berkacak pinggang dan nenek sesenggukan di sofa.
Aku memasang kedua telingaku dengan baik. Aku tidak ingin kelewatan satu
katapun. Kakek melangkah ke dekat nenekku dan menarik rambutnya, “Apa kamu
sadar apa yang baru saja kamu hampir lakukan?”
Nenek
meringis kesakitan, tapi beliau tidak mengatakan apapun.
“Ini
peringatan pertama dan terakhir untuk kamu, Sri! Jangan sampai aku melihatmu
melakukan hal yang sama, atau kamu tidak akan pernah melihat anak itu lagi.”
Aku
terkesiap, apa yang kakek bicarakan? Anak itu? Maksudnya aku?
“Tapi
Yah, Sukreni sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Nenek menatap ke arah
kakek.
Sebuah
tamparan mendarat di pipi nenekku. Keras sekali. Darahku mendidih melihat semua
itu.
“Aku
tidak main-main Sri! Sekali lagi kamu lakukan itu, aku tidak akan ragu-ragu
untuk menyingkirkannya.” kakek menarik rambut nenekku sekali lagi, “Cam kan
itu!” beliau lalu keluar rumah dan menutup pintu depan dengan sangat keras.
Tubuhku lunglai. Rasa
penasaranku semakin besar.
Beberapa menit kemudian, aku
menghampiri nenekku, pura-pura baru keluar dari kamar.
“Nenek!
Nenek kenapa?”
“Tidak
apa-apa, Sayang. Cepat makan dan kembali ke kamar, sebelum kakek pulang.”
“Maafkan
aku ya, Nek.”
“Ini
bukan salahmu. Cepat makan.” kamipun beranjak ke dapur dan makan dalam diam.
Selesai
makan nenek langsung kembali ke kamarnya, aku juga ingin masuk ke kamarku, tapi
saat melintasi ruang keluarga, mataku tertuju pada album foto yang tergeletak
di sofa. Kurasa kakek tidak melihatnya dan nenek lupa kalau tadi beliau melihat-lihat
album foto itu. Akupun mengambilnya dan berlari ke kamar. Sampai di kamar aku
mengunci pintu.
Tiba-tiba
aku gemetaran. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pori-pori kulitku.
Angin mendesir perlahan, bagaimana bisa ada angin? Pintu dan jendela sudah
kututup semua! Aku bergidik ketakutan, tapi segera kutepis rasa takut tak
beralasan itu. Akupun langsung membuka halaman pertama album foto itu.
“Keluarga
Wijaya Kusuma 1975-1985” terlihat tulisan tangan yang sangat rapi, itu bukan
tulisan tangan nenekku, dan aku yakin itu bukan juga tulisan tangan kakekku.
Aku membuka halaman berikutnya. Ada dua buah foto. Yang satu terdiri dari tiga
orang, kakek, nenek, dan seorang bayi mungil. Foto yang satunya lagi seorang
gadis kecil yang sedang tersenyum. “Aku berumur 6 tahun” begitu bunyi tulisan
yang terdapat di bawah foto itu, foto ibuku.
Aku
membalik halaman demi halaman, semakin banyak foto lama yang kulihat. Hanya ada
wajah kakek, nenek, dan ibuku, tapi ada sesuatu yang janggal. Wajah Ibu waktu
kecil sama sekali tidak mirip dengan wajah ibu di foto pernikahan.
Angin mendesir lagi,
terdengar bunyi “tek tek tek”. Aku melihat ke sekeliling kamar dan betapa
terkejutnya aku saat melihat cermin besar di tembok kamarku berguncang dengan
cepat. Semakin lama guncangannya semakin cepat. Hawa dingin menyusup ke tubuhku
sampai ke sumsum tulang. Aku seakan terpaku, tak bisa bergerak. Mulutku
menganga dan tubuhku bergetar hebat. Entah berapa lama aku berada dalam situasi
yang mencekam itu hingga cermin itu berhenti berguncang. Aku mengumpulkan
segenap keberanianku dan aku melangkah perlahan mendekati cermin.
Aku
tak melihat bayangan wajahku di cermin. Yang kulihat adalah sebuah ruangan
asing yang rasanya aku kenal. Kamarku! Ya kamarku, tapi dekorasinya sangat
berbeda dan hal yang lebih aneh lagi adalah warnanya hitam putih! Bukan warna
tembok! Tapi warna semuanya. Hitam dan putih! Aku melihat tanganku, warnanya
masih cokelat. Aku melihat baju dan rokku, warnanya putih dan abu-abu. Aku
masih berwarna, tapi yang lainnya hitam putih! Aku tak bisa memalingkan wajahku
dari cermin. Aku seakan terhipnotis, tersihir. Aku tak bisa bergerak. Oh
Tuhan.. Ini pasti mimpi. Rasanya sangat mengerikan. Aku ketakutan. Aku ingin
menjerit. Aku ingin berteriak. Oh nenek, tolong aku.
Aku berusaha memejamkan
mataku, tapi tak bisa. Seseorang, atau sesuatu ingin aku menyaksikan semua yang
terjadi melalui cermin besar ini. Apa yang kulihat benar-benar mengerikan.
Kamar yang sangat berantakan. Tak ada tempat tidur, hanya sehelai tikar pandan,
tanpa bantal, tanpa selimut.
“Ayah..” tiba-tiba aku
mendengar sebuah suara. Aku bergidik. Membayangkan ada orang di kamar pengap
itu. Aku menyesuaikan posisi badanku supaya bisa melihat ke sudut lain ruangan
itu. Ya Tuhan! Wanita itu! Wanita yang selalu muncul di mimpiku! Pakain sobek.
Wajah penuh memar dan luka. Kaki dan tangan terikat rantai.
“Ayah, lepaskan aku.” wanita
itu berteriak.
“Diam!” suara kakekku! Aku
berusaha sekuat tenaga untuk menoleh, tapi usahaku sia-sia. Tubuhku kaku.
Cermin itu memaksaku untuk tak mengalihkan pandangan darinya. Aku benar-benar
tersiksa.
“Ayah... Kenapa Ayah tega
melakukan ini padaku? Aku anakmu, Yah.”
Anak?
Anak kakek? Nenek bilang mereka cuma punya satu anak, ibuku, lalu siapa wanita
ini?
“Aku
yang seharusnya bertanya, kenapa kamu tega melakukan ini padaku. Kamu tahu
perbuatanmu itu sudah mencoreng nama baik keluarga!”
“Tapi
aku mencintainya, Yah.”
“Cinta?!
Tau apa kamu tentang cinta? Sekarang kamu liat sendiri kan. Ke mana laki-laki
jahanam itu? Kenapa dia tidak menolongmu hah? Kenapa dia tidak membebaskanmu
dari ikatanku? Kenapa dia kabur?” kakek meludah di samping wanita itu.
Wanita itu menangis. Air mata
tampak mengalir di pipinya yang kotor dan penuh memar bekas tamparan dan
pukulan, “Itu karena..” dia tersendat. Aku yakin dia akan mengusap pipinya yang
basah andai saja tangannya tak terikat, “Itu karena Ayah telah membunuhnya.” dia
bicara sambil menunduk.
Membunuh? Apa? Kakekku
pembunuh?
Kakek terdiam beberapa saat.
Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.
“Ayah.. Aku mohon lepaskan
aku. Tidakkah Ayah kasihan sama Sukreni? Dia tidak bisa terus-terusan dikurung
di sini.”
AKU??!! Ada apa sebenarnya
ini? Mimpi.. Ya, ini pasti mimpi. Aku menggerakkan kepalaku lagi, berusaha
menyingkir dari cermin sialan itu, tapi tidak bisa. Sial!
“Baiklah
kalau Ayah tidak mau melepaskanku, tapi setidaknya, tolong lepaskan Sukreni.
Dia tidak tau apa-apa. Dia tidak berdosa, Yah. Biar aku saja yang menanggung
semua yang telah kulakukan. Tolong bebaskan dan jaga dia, biar bagaimanapun,
dia itu cucu Ayah.”
Aku melihat kakek menjambak
rambut wanita itu, “Dia bukan cucuku, setan!” kakek lalu menghantamkan
kepalanya bertubi-tubi ke tembok. Darah muncrat mengenai baju dan celana kakek.
Wanita itu memejamkan matanya dan di saat yang bersamaan terdengar tangisan
bayi. AKU! Bayi itu aku!
“Asih...” kakek mengguncang
tubuh wanita malang itu, “Asih..” teriaknya lagi. Mata kakek tampak basah,
“Maafkan Ayah.” Kakek memeluknya, tapi tak lama. Kakek lalu keluar ruangan.
Aku
masih belum bisa bergerak. Peristiwa ini membuatku gila. Jadi wanita itu ibuku?
Bayi yang menangis itu aku? Berarti foto pernikahan orang tuaku foto palsu? Tidak,
tidak, ini pasti hanya mimpi.
Beberapa
saat kemudian pintu terbuka. Kakek datang dengan linggis, pasir, semen, ember,
dan alat pertukangan yang lain. Apa yang akan kakek lakukan?
Kakek
berjalan ke arahku berdiri. Aku kembali ketakutan. Apa dia mau membunuhku?
Tidak!
Kakek berjalan tepat melintasiku, menembusku! Lalu kakek menggunakan linggis
untuk membuat lubang di tembok di depanku. Cermin itu tidak ada di sana. Hanya
aku yang bisa melihat cermin itu. Hanya aku dan cermin itu yang ada tapi seakan
tak ada. Aku pusing. Aku ingin pingsan. Seandainya ini dunia nyata, pasti aku
sudah pingsan dari tadi, tapi ada sesuatu yang membuat mataku tetap terbuka
lebar.
Kakek
terus menggali tanpa kenal lelah. Lubang yang dibuatpun sudah cukup besar.
Kakek berjalan ke arah wanita itu,- aku tak akan memanggilnya Ibu, karena ini
hanya mimpi!-, menggendongnya, dan menaruhnya di lubang. Kemudian kakek menutup
mayat itu dengan balok kayu dan menguburnya dengan campuran semen.
Aku
melihat semua itu tanpa bisa melakukan apapun. Otakku buntu. Aku ingin segera
bangun dari mimpi mengerikan ini.
Kakek keluar ruangan lagi.
Beliau sama sekali tak mempedulikan si bayi yang terus-terusan menangis. Entah
karena haus atau karena tahu ibunya sudah meninggal. Betapa aku ingin
menenangkan bayi itu, seandainya aku bisa bergerak. Cermin terkutuk! Apa yang
kau lakukan padaku?
Aku melihat
kakek masuk ruangan dengan sebuah cermin besar di tangannya. Cermin itu! Cermin
berukuran 1 x 2 meter yang menempel di tembok kamarku. Kakek memang memiliki
badan yang kekar jadi beliau bisa dengan mudah membawa dan menempelkan cermin
itu di tembok. Menutupi bekas lubang kuburan seorang wanita.
Kakek
menembusku sekali lagi dan beranjak menuju bayi itu, “Diam! Atau aku akan membuatmu
menyusul ibumu yang jalang itu!”
Merekapun
keluar ruangan. Kakek menutup pintu kamar dengan keras, begitu kerasnya sampai
aku terlonjak.
Mimpi.... Ternyata itu memang
hanya mimpi. Aku merasakan seragam sekolahku basah karena keringat. Aku pasti
ketiduran saat melihat-lihat foto itu. Aku mimpi aneh seperti itu pasti karena
aku marah sama kakek yang telah menampar nenek. Kakekku tidak mungkin membunuh.
Aku mengusap keringat di
pelipis dan dahiku lalu akupun turun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya aku
saat melihat cermin besar yang ada di tembok pecah menjadi serpihan-serpihan
kecil yang berserakan di lantai. Apa yang selama ini ditutupi oleh cermin itu
terlihat dengan jelas. Bekas lubang! Itu bukan mimpi. Oh...
Tiba-tiba angin berdesir
lagi. Jendela yang kuyakin sudah kukunci terbuka lebar dan terantuk-antuk
karena angin. Ketakutan merasukiku lagi. Tubuhku lemas. Keringat membasahi
dahi, pelipis, dan sekujur tubuhku. Aku menatap bekas lubang itu dan sesuatu
muncul dari dalamnya. Seorang wanita cantik, kulitnya bersih, tak ada memar,
tak ada luka, ibuku.
“Sukreni...” dia berbisik
perlahan, suaranya merdu, tangannya melambai ke arahku.
Aku tanpa ragu mendekatinya.
Inilah ibuku, wanita yang selalu muncul di mimpiku.
“Ibu...” aku berusaha
memeluknya, tapi aku memeluk angin. Akupun mundur beberapa langkah dan
memperhatikan wajahnya yang menyiratkan kesedihan.
“Tolong bebaskan Ibu, Nak.”
“Membebaskan Ibu, bagaimana
caranya?”
“Ibu tidak akan pernah tenang
sebelum mayat ibu diupacarai dengan layak.”
“Ibu.... Aku masih bingung.
Apa yang sebenarnya terjadi?”
Ibuku tersenyum, senyum manis
itu menghiasi wajah pucatnya, “Apa yang baru saja kamu lihat adalah kenyataan,
anakku.” Tiba-tiba ibuku berubah. Pakaian putihnya berubah menjadi pakian
sobek-sobek, wajahnya menjadi penuh memar dan luka, tangan dan kakinya terikat,
“Cepat lepaskan Ibu, Nak. Tolong... Tolong.. Tolong ibu..”
“Ibu............” aku
menjerit. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih di tempat tidur. Aku baru saja
bangun dari tidur. Mimpi dalam mimpi. Aku bisa gila.
“Sukreni, kamu kenapa?” kata
nenek yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.
“Nenek..”
aku langsung turun dari tempat tidur dan mendekap nenekku dengan erat. Air mata
bercucuran dari kedua mataku, beradu dengan keringat.
“Kamu
mimpi buruk?” nenek membelai kepalaku dengan lembut, “Tenang, nenek di sini.
Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”
Aku
melepaskan pelukanku dan kea rah lemari dan mengambil tongkat kasti. Aku
kemudian melangkah menuju cermin besar itu.
“Kamu mau ngapain, Sukreni?”
nenek memegang tanganku, aku menepis tangannya.
Aku
tidak tahu dari mana datangnya kekuatan yang menggebu ini. Aku memukul cermin
itu dengan sekuat tenaga. Satu pukulan saja, cermin itu hancur
berkeping-keping.
“Sukreni!”
nenek menjerit, lalu menarik tubuhku menjauh dari serpihan kaca itu, “Apa yang
kamu lakukan?”
“Mengungkap
kebenaran.” Kataku sambil menunjuk tembok tempat cermin itu menempel
sebelumnya.
Nenekku
menangis, aku juga. Tak ada kata yang mampu melukiskan perasaan kami saat itu.
Aku benar-benar terpukul. Kakek telah membunuh kedua orang tuaku, tapi beliau
mengatakan aku yang menyebabkan mereka meninggal. Kakek sudah mebuatku hidup
dalam bayang-bayang penyesalan, dan nenek.. ah.. aku tak bisa menyalahkan
nenek. Nenek sudah begitu baik padaku dan beliau terpaksa berbohong demi
menyelamatkan jiwaku dari kakek.
“Maafkan
Nenek.” aku merasakan tangan nenek mendekap tubuhku.
“Di
mana pembunuh itu?” aku menepis kedua tangan nenek dan aku menatap wajahnya.
“Kakek
belum pulang dari tadi siang.”
“Kita
harus menghubungi polisi Nek, kita tidak bisa membiarkan pembunuh itu tinggal
bersama kita.”
“Tapi
nenek takut.”
“Apa
yang nenek takutkan?”
Nenek
diam tak menjawab.
“Kita
harus segera pergi dari sini Nek.” Aku menarik tangan nenekku lalu kami berlari
ke ruang keluarga. Aku langsung menelepon kantor polisi dan menceritakan
semuanya secara singkat. Setelah itu kami keluar.
“Kita
mau ke mana?”
“Ke
rumah tetangga. Kita harus bersembunyi sampai polisi datang. Kalau kakek bisa
membunuh ibu pasti kakek juga bisa membunuh kita.” aku berjalan tanpa menoleh
ke arah nenek yang mengikut di belakangku. Langkahku terhenti saat tiba-tiba
aku melihat kakek berjalan ke arah kami.
“Mau
ke mana kamu, Sri?”
Tubuhku
bergetar menahan gejolak kebencian dan kemarahan.
“Jawab!”
bentak kakek.
“Jangan
bentak nenekku lagi!” aku berteriak. Kebencian dan kemarahan itu bersatu
membentuk keberanian.
“Aku
tak bicara padamu.”
“Aku
juga sebenarnya tak sudi bicara dengan pembunuh sepertimu!”
“Apa
kamu bilang?”
“Aku
sudah tahu semuanya!”
Kakek
melotot ke arah nenekku, “Berani-beraninya kamu melanggar perintahku. Kakek
berjalan mendekati nenek.
Aku
merentangkan kedua tanganku, “Bukan nenek yang memberi tahuku, tapi ibu!”
“Apa?”
“Ibu
selalu datang ke mimpiku minta tolong. Kenapa kakek tega melakukan itu? Kenapa
kakek membunuh orang tuaku?”
“Kalau
tahu seperti ini, aku pasti juga membunuhmu dari dulu.”
“Bunuh
saja aku!” nenek berteriak. Aku menoleh tak percaya ke arah nenek, “Bunuh saja
aku! Aku sudah muak hidup denganmu! Kamu telah tega membunuh anak kita
satu-satunya. Kamu bukan manusia, Atmaja! Kamu setan!”
“Apa
kamu bilang?” Kakek terlihat sangat marah, kedua matanya melotot seakan mau
keluar dari tempatnya. Kakek berjalan mendekati nenek dan menghempaskan
tubuhku. Aku terjatuh ke bebatuan kering yang menggores kulitku. Rasanya sakit
sekali.
“Aku
seharusnya sudah membunuhmu dari dulu.” Aku mendengar kakek berteriak. Aku
segera menoleh. Kakek mencekik nenekku hingga tubuh nenek terangkat beberapa
senti dari tanah.
“Hentikan...”
aku berteriak, menahan sakit di siku dan telapak tanganku. Aku berlari ke arah
mereka dan kudorong kakek dengan sekuat tenaga. Kakek melepaskan nenek dan
berbalik ke arahku. Wajah kakek benar-benar menakutkan.
Aku mengatur
nafasku, hidungku bekerja ekstra untuk memasukkan banyak oksigen ke paru-paru.
Waktu terasa melambat. Kakek menyeringai, “Kamu akan segera menyusul orang
tuamu.” Katanya sambil berjalan mendekat.
Aku
melangkah mundur dan kakiku tersandung batu. Aku terjerembab.
“Akan
kukirim kau ke neraka.” Tangan kakek menggapai leherku. Aku menepis
tangan-tangan kokoh itu sekuat tenaga, tapi sia-sia.
“Jangan
bergerak!” seseorang berteriak. Aku menoleh, polisi.
Dua orang polisi langsung
membekuk kakekku dan memborgol tangannya. Aku dan nenekpun segera dilarikan ke
rumah sakit. Untung nyawa nenek bisa diselamatkan.
Esoknya
aku pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Aku menceritakan
semuanya. Polisi terlihat kurang percaya dengan ceritaku. Kamipun ke rumahku
untuk melihat lubang itu.
Seorang
petugas menggali tembok itu. Satu jam kemudiam linggisnya beradu dengan balok
kayu. Diapun menarik balok kayu tersebut dan terlihatlah kerangka manusia,
kerangka ibuku. Aku tak bisa menahan air mata yang meleleh di pipiku.
*****
Sehari kemudian nenek sudah
bisa dibawa pulang. Kami mendengar kabar kalau kakek terancam dipenjara seumur
hidup. Aku sungguh bersyukur.
“Nek,
kita bebaskan ibu ya.” Kataku saat kami berdua duduk di ruang keluarga.
Nenek
mengangguk perlahan. Akupun menghubungi keluarga jauh dan beberapa orang
tetangga.
Kami
mulai mempersiapkan upacara pengabenan untuk ibu.
“Selamat
jalan Ibu.. Semoga ibu tenang di sana.” kataku saat tulang belulang ibu
dikremasi. Nenek mendekap tubuhku dengan erat, akupun membalas dekapan nenek.
Mimpi
itu lagi. Mimpi yang sama datang berulang-ulang kali. Seorang wanita muda
dengan pakaian robek, badan penuh memar dan luka, kaki dan tangan terikat
rantai, berteriak minta tolong. Siapa wanita itu? Wajahnya asing, tapi ntah
kenapa aku merasa ada hubungan dengannya. Ya, pasti ada hubungan antara kami,
kalau tidak, bagaimana mungkin dia datang ke mimpiku hampir setiap malam? Aku
harus tahu siapa wanita itu sebenarnya, aku tidak bisa terus-terusan
membiarkannya mengganggu tidurku.
Aku
turun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju cermin besar yang
menempeldi tembok kamar. Wajah yang kulihat di cermin itu sangat sayu, keringat
menbanjiri kulit pucatnya. Ah.. tak seharusnya gadis 15 tahun berpenampilan
seperti ini.
“Sukreni, ayo sarapan.” terdengar
suara nenek memanggilku. Akupun bergegas mencuci muka lalu menghampiri nenekku
di dapur. Nenek adalah orang yang aneh. Kalau di rumah hanya ada kami berdua,
nenek bersikap sangat baik padaku, tapi kalau ada kakek, sikap nenek berubah
180°, nenek menjadi dingin kepadaku dan terlihat sangat ketakutan. Aku juga
takut pada kakek. Wajahnya galak dan beliau sama sekali tak pernah menganggapku
ada. Aku seakan makhluk tak terlihat yang tak berarti apa-apa. Kakek tdak
pernah berbicara sepatah katapun padaku. Aku rasa karena aku adalah peyebab
kematian kedua orang tuaku.
Nenek
bilang ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku dan ayah bunuh diri beberapa
hari kemudian. Aku anak pembawa sial, wajar saja kakek membenciku, tapi aku tak
pernah minta dilahirkan. Aku akan memilih tidak pernah lahir ke dunia ini andai
saja aku tahu kalau kelahiranku hanya akan menjadi malapetaka bagi keluarga
ini.
“Kenapa
bengong? Ayo makan, nenek masak makanan kesukaanmu.” nenek mengambil beberapa
sendok nasi goreng dan menaruhnya di piringku.
“Nek?”
“Ya?”
“Ibuku seperti apa?”
Nenek
tampak terkejut mendengar pertanyaanku, “Kamu kan punya fotonya.” ucapnya
setelah terdiam beberapa saat.
“Iya,
tapi maksudku ...”
“Sudah-sudah. Jangan banyak
nanya. Cepat makan!”
Begitulah, setiap kali aku
bertanya tentang ibu atau ayahku, nenek selalu menghindar. Tak banyak yang aku
tahu tentang orang tuaku, hanya foto dan nama. Foto mereka hanya ada satu, saat
pernikahan.
Aku
menatap wajah nenekku, kesedihan menyelimuti wajahnya yang mulai berkeriput
itu. Aku lalu menyendok nasi goreng dan memasukkannya ke mulutku, “Nasi
gorengnya enak, Nek.” aku memaksakan senyum di bibirku. Nenek juga ikut
tersenyum dan kamipun makan dengan lahap. Hm.. betapa damainya rumah ini tanpa
kakek.
Aku dan nenek duduk berdua di
ruang keluarga menonton acara musik. Aku tidak begitu menikmati acara itu
karena aku tidak suka musik. Hidupku gelap dan sunyi, tak ada warna, tak ada
musik, hanya kegelapan, hanya kesunyian. Tiba-tiba pikiranku kembali ke wanita
dalam mimpi itu. Siapa dia sebenarnya? Apa aku harus menanyakannya pada nenek?
“Sukreni.” suara nenek mengejutkanku.
“Iya Nek?”
“Akhir-akhir ini nenek lihat
kamu sering bengong. Ada apa? Ada masalah di sekolah?”
“Nggak
Nek, aku...” aku ragu, haruskah aku cerita?
“Kamu
kenapa? Cerita sama nenek.”
“Aku
takut Nek.” aku membenamkan wajahku di pangkuan nenek dan kupeluk pingganngnya
dengan erat. Air mata yang selama ini kutahan dengan sekuat tenaga berhamburan
keluar membasahi rok panjang nenekku. Aku benar-benar takut. Bayangan wajah
wanita itu berkelebat memenuhi kepalaku,”Tolong.... Tolong.. Tolong..”
jeritannya memekakkan gendang telingaku. Aku sudah tidak kuat. Aku harus
melakukan apa?
“Kamu
kenapa Sukreni? Ayo cerita.”
“Sri..”
sebuah suara menggelegar di dalam ruangan, suara kakekku. Aku langsung duduk tegak
kembali dan mengusap air mataku, “buatkan aku kopi, cepat!” perintahnya.
Keesokan harinya setelah
pulang sekolah, aku melihat nenek duduk di ruang keluarga sambil membuka
lembaran-lembaran sebuah buku yang sepertinya merupakan album foto usang,
“Nenek..” kataku sambil duduk di sampingnya. Nenek sangat terkejut melihatku
yang tiba-tiba sudah duduk di sana. Beliau langsung menyembunyikan album foto
itu.
“Apa
itu, Nek?”
“Bukan
apa-apa. Cepat ganti baju. Nenek sudah menyiapkan makan siang.”
Aku
menggelengkan kepalaku, “Apa yang nenek sembunyikan? Tolong Nek, aku ingin tau.
Apa yang sebenarnya nenek liat?”
“Ini
bukan urusanmu. Cepat ganti baju.”
“Ini
pasti urusanku Nek! Apa nenek tau hampir setiap malam aku nggak bisa tidur
karena terus dihantui mimpi buruk? Di mimpiku aku melihat seorang wanita yang
berteriak minta tolong. Apa nenek tau sesuatu tentang hal ini? Aku udah capek
Nek.” air mataku berhamburan keluar lagi seperti kemarin, tapi kali ini aku tak
memeluk nenekku.
“Apa
yang sebenarnya Nenek sembunyikan? Aku berhak tau Nek, aku udah dewasa.”
“Sukreni..” ucap nenekku
dengan pelan.
Hanya
tangisku yang menjawab ucapan nenek.
“Mungkin
sudah saatnya kamu tau kenyataannya. Sebenarnya ibumu...” nenek menyeka air
mata yang membasahi bagian bawah matanya, “Ibumu adalah seorang wanita yang
sangat baik. Dia adalah anak nenek satu-satunya. Nenek sangat menyayanginya
karena dia begitu ramah, penurut, rajin, manis, dan ceria, tapi suatu hari
terjadi malapetaka. Dia...” air mata nenek merembes lagi.
“Ibuku
kenapa Nek?” tanyaku tak sabar.
“Hentikan
Sri!” terdengar suara kakek di belakangku. Aku menoleh, benar saja, kakek
berdiri dengan tegapnya, wajahnya menunjukkan kebengisan, “Masuk ke kamar,
Sukreni!” teriaknya.
Kakek..
Kakek bicara padaku? Walaupun hanya empat kata yang diucapkan dengan kasar, tapi
dia bicara padauk!
“Cepat
masuk ke kamar!” bentaknya lagi, kali ini lebih keras.
Tanpa
berkata apa-apa, aku langsung berlari ke, tunggu dulu, aku harus mendengar apa
yang mereka bicarakan. Aku harus tahu apa yang mereka sembunyikan selama
ini. Akupun memutuskan untuk mengintip mereka melalui sebuah lubang di tembok
penyekat antara ruang keluarga dan dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Rumah
kami memang sangat luas dan kamarku terletak paling jauh di belakang.
Aku
melihat kakek berdiri sambil berkacak pinggang dan nenek sesenggukan di sofa.
Aku memasang kedua telingaku dengan baik. Aku tidak ingin kelewatan satu
katapun. Kakek melangkah ke dekat nenekku dan menarik rambutnya, “Apa kamu
sadar apa yang baru saja kamu hampir lakukan?”
Nenek
meringis kesakitan, tapi beliau tidak mengatakan apapun.
“Ini
peringatan pertama dan terakhir untuk kamu, Sri! Jangan sampai aku melihatmu
melakukan hal yang sama, atau kamu tidak akan pernah melihat anak itu lagi.”
Aku
terkesiap, apa yang kakek bicarakan? Anak itu? Maksudnya aku?
“Tapi
Yah, Sukreni sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Nenek menatap ke arah
kakek.
Sebuah
tamparan mendarat di pipi nenekku. Keras sekali. Darahku mendidih melihat semua
itu.
“Aku
tidak main-main Sri! Sekali lagi kamu lakukan itu, aku tidak akan ragu-ragu
untuk menyingkirkannya.” kakek menarik rambut nenekku sekali lagi, “Cam kan
itu!” beliau lalu keluar rumah dan menutup pintu depan dengan sangat keras.
Tubuhku lunglai. Rasa
penasaranku semakin besar.
Beberapa menit kemudian, aku
menghampiri nenekku, pura-pura baru keluar dari kamar.
“Nenek!
Nenek kenapa?”
“Tidak
apa-apa, Sayang. Cepat makan dan kembali ke kamar, sebelum kakek pulang.”
“Maafkan
aku ya, Nek.”
“Ini
bukan salahmu. Cepat makan.” kamipun beranjak ke dapur dan makan dalam diam.
Selesai
makan nenek langsung kembali ke kamarnya, aku juga ingin masuk ke kamarku, tapi
saat melintasi ruang keluarga, mataku tertuju pada album foto yang tergeletak
di sofa. Kurasa kakek tidak melihatnya dan nenek lupa kalau tadi beliau melihat-lihat
album foto itu. Akupun mengambilnya dan berlari ke kamar. Sampai di kamar aku
mengunci pintu.
Tiba-tiba
aku gemetaran. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pori-pori kulitku.
Angin mendesir perlahan, bagaimana bisa ada angin? Pintu dan jendela sudah
kututup semua! Aku bergidik ketakutan, tapi segera kutepis rasa takut tak
beralasan itu. Akupun langsung membuka halaman pertama album foto itu.
“Keluarga
Wijaya Kusuma 1975-1985” terlihat tulisan tangan yang sangat rapi, itu bukan
tulisan tangan nenekku, dan aku yakin itu bukan juga tulisan tangan kakekku.
Aku membuka halaman berikutnya. Ada dua buah foto. Yang satu terdiri dari tiga
orang, kakek, nenek, dan seorang bayi mungil. Foto yang satunya lagi seorang
gadis kecil yang sedang tersenyum. “Aku berumur 6 tahun” begitu bunyi tulisan
yang terdapat di bawah foto itu, foto ibuku.
Aku
membalik halaman demi halaman, semakin banyak foto lama yang kulihat. Hanya ada
wajah kakek, nenek, dan ibuku, tapi ada sesuatu yang janggal. Wajah Ibu waktu
kecil sama sekali tidak mirip dengan wajah ibu di foto pernikahan.
Angin mendesir lagi,
terdengar bunyi “tek tek tek”. Aku melihat ke sekeliling kamar dan betapa
terkejutnya aku saat melihat cermin besar di tembok kamarku berguncang dengan
cepat. Semakin lama guncangannya semakin cepat. Hawa dingin menyusup ke tubuhku
sampai ke sumsum tulang. Aku seakan terpaku, tak bisa bergerak. Mulutku
menganga dan tubuhku bergetar hebat. Entah berapa lama aku berada dalam situasi
yang mencekam itu hingga cermin itu berhenti berguncang. Aku mengumpulkan
segenap keberanianku dan aku melangkah perlahan mendekati cermin.
Aku
tak melihat bayangan wajahku di cermin. Yang kulihat adalah sebuah ruangan
asing yang rasanya aku kenal. Kamarku! Ya kamarku, tapi dekorasinya sangat
berbeda dan hal yang lebih aneh lagi adalah warnanya hitam putih! Bukan warna
tembok! Tapi warna semuanya. Hitam dan putih! Aku melihat tanganku, warnanya
masih cokelat. Aku melihat baju dan rokku, warnanya putih dan abu-abu. Aku
masih berwarna, tapi yang lainnya hitam putih! Aku tak bisa memalingkan wajahku
dari cermin. Aku seakan terhipnotis, tersihir. Aku tak bisa bergerak. Oh
Tuhan.. Ini pasti mimpi. Rasanya sangat mengerikan. Aku ketakutan. Aku ingin
menjerit. Aku ingin berteriak. Oh nenek, tolong aku.
Aku berusaha memejamkan
mataku, tapi tak bisa. Seseorang, atau sesuatu ingin aku menyaksikan semua yang
terjadi melalui cermin besar ini. Apa yang kulihat benar-benar mengerikan.
Kamar yang sangat berantakan. Tak ada tempat tidur, hanya sehelai tikar pandan,
tanpa bantal, tanpa selimut.
“Ayah..” tiba-tiba aku
mendengar sebuah suara. Aku bergidik. Membayangkan ada orang di kamar pengap
itu. Aku menyesuaikan posisi badanku supaya bisa melihat ke sudut lain ruangan
itu. Ya Tuhan! Wanita itu! Wanita yang selalu muncul di mimpiku! Pakain sobek.
Wajah penuh memar dan luka. Kaki dan tangan terikat rantai.
“Ayah, lepaskan aku.” wanita
itu berteriak.
“Diam!” suara kakekku! Aku
berusaha sekuat tenaga untuk menoleh, tapi usahaku sia-sia. Tubuhku kaku.
Cermin itu memaksaku untuk tak mengalihkan pandangan darinya. Aku benar-benar
tersiksa.
“Ayah... Kenapa Ayah tega
melakukan ini padaku? Aku anakmu, Yah.”
Anak?
Anak kakek? Nenek bilang mereka cuma punya satu anak, ibuku, lalu siapa wanita
ini?
“Aku
yang seharusnya bertanya, kenapa kamu tega melakukan ini padaku. Kamu tahu
perbuatanmu itu sudah mencoreng nama baik keluarga!”
“Tapi
aku mencintainya, Yah.”
“Cinta?!
Tau apa kamu tentang cinta? Sekarang kamu liat sendiri kan. Ke mana laki-laki
jahanam itu? Kenapa dia tidak menolongmu hah? Kenapa dia tidak membebaskanmu
dari ikatanku? Kenapa dia kabur?” kakek meludah di samping wanita itu.
Wanita itu menangis. Air mata
tampak mengalir di pipinya yang kotor dan penuh memar bekas tamparan dan
pukulan, “Itu karena..” dia tersendat. Aku yakin dia akan mengusap pipinya yang
basah andai saja tangannya tak terikat, “Itu karena Ayah telah membunuhnya.” dia
bicara sambil menunduk.
Membunuh? Apa? Kakekku
pembunuh?
Kakek terdiam beberapa saat.
Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.
“Ayah.. Aku mohon lepaskan
aku. Tidakkah Ayah kasihan sama Sukreni? Dia tidak bisa terus-terusan dikurung
di sini.”
AKU??!! Ada apa sebenarnya
ini? Mimpi.. Ya, ini pasti mimpi. Aku menggerakkan kepalaku lagi, berusaha
menyingkir dari cermin sialan itu, tapi tidak bisa. Sial!
“Baiklah
kalau Ayah tidak mau melepaskanku, tapi setidaknya, tolong lepaskan Sukreni.
Dia tidak tau apa-apa. Dia tidak berdosa, Yah. Biar aku saja yang menanggung
semua yang telah kulakukan. Tolong bebaskan dan jaga dia, biar bagaimanapun,
dia itu cucu Ayah.”
Aku melihat kakek menjambak
rambut wanita itu, “Dia bukan cucuku, setan!” kakek lalu menghantamkan
kepalanya bertubi-tubi ke tembok. Darah muncrat mengenai baju dan celana kakek.
Wanita itu memejamkan matanya dan di saat yang bersamaan terdengar tangisan
bayi. AKU! Bayi itu aku!
“Asih...” kakek mengguncang
tubuh wanita malang itu, “Asih..” teriaknya lagi. Mata kakek tampak basah,
“Maafkan Ayah.” Kakek memeluknya, tapi tak lama. Kakek lalu keluar ruangan.
Aku
masih belum bisa bergerak. Peristiwa ini membuatku gila. Jadi wanita itu ibuku?
Bayi yang menangis itu aku? Berarti foto pernikahan orang tuaku foto palsu? Tidak,
tidak, ini pasti hanya mimpi.
Beberapa
saat kemudian pintu terbuka. Kakek datang dengan linggis, pasir, semen, ember,
dan alat pertukangan yang lain. Apa yang akan kakek lakukan?
Kakek
berjalan ke arahku berdiri. Aku kembali ketakutan. Apa dia mau membunuhku?
Tidak!
Kakek berjalan tepat melintasiku, menembusku! Lalu kakek menggunakan linggis
untuk membuat lubang di tembok di depanku. Cermin itu tidak ada di sana. Hanya
aku yang bisa melihat cermin itu. Hanya aku dan cermin itu yang ada tapi seakan
tak ada. Aku pusing. Aku ingin pingsan. Seandainya ini dunia nyata, pasti aku
sudah pingsan dari tadi, tapi ada sesuatu yang membuat mataku tetap terbuka
lebar.
Kakek
terus menggali tanpa kenal lelah. Lubang yang dibuatpun sudah cukup besar.
Kakek berjalan ke arah wanita itu,- aku tak akan memanggilnya Ibu, karena ini
hanya mimpi!-, menggendongnya, dan menaruhnya di lubang. Kemudian kakek menutup
mayat itu dengan balok kayu dan menguburnya dengan campuran semen.
Aku
melihat semua itu tanpa bisa melakukan apapun. Otakku buntu. Aku ingin segera
bangun dari mimpi mengerikan ini.
Kakek keluar ruangan lagi.
Beliau sama sekali tak mempedulikan si bayi yang terus-terusan menangis. Entah
karena haus atau karena tahu ibunya sudah meninggal. Betapa aku ingin
menenangkan bayi itu, seandainya aku bisa bergerak. Cermin terkutuk! Apa yang
kau lakukan padaku?
Aku melihat
kakek masuk ruangan dengan sebuah cermin besar di tangannya. Cermin itu! Cermin
berukuran 1 x 2 meter yang menempel di tembok kamarku. Kakek memang memiliki
badan yang kekar jadi beliau bisa dengan mudah membawa dan menempelkan cermin
itu di tembok. Menutupi bekas lubang kuburan seorang wanita.
Kakek
menembusku sekali lagi dan beranjak menuju bayi itu, “Diam! Atau aku akan membuatmu
menyusul ibumu yang jalang itu!”
Merekapun
keluar ruangan. Kakek menutup pintu kamar dengan keras, begitu kerasnya sampai
aku terlonjak.
Mimpi.... Ternyata itu memang
hanya mimpi. Aku merasakan seragam sekolahku basah karena keringat. Aku pasti
ketiduran saat melihat-lihat foto itu. Aku mimpi aneh seperti itu pasti karena
aku marah sama kakek yang telah menampar nenek. Kakekku tidak mungkin membunuh.
Aku mengusap keringat di
pelipis dan dahiku lalu akupun turun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya aku
saat melihat cermin besar yang ada di tembok pecah menjadi serpihan-serpihan
kecil yang berserakan di lantai. Apa yang selama ini ditutupi oleh cermin itu
terlihat dengan jelas. Bekas lubang! Itu bukan mimpi. Oh...
Tiba-tiba angin berdesir
lagi. Jendela yang kuyakin sudah kukunci terbuka lebar dan terantuk-antuk
karena angin. Ketakutan merasukiku lagi. Tubuhku lemas. Keringat membasahi
dahi, pelipis, dan sekujur tubuhku. Aku menatap bekas lubang itu dan sesuatu
muncul dari dalamnya. Seorang wanita cantik, kulitnya bersih, tak ada memar,
tak ada luka, ibuku.
“Sukreni...” dia berbisik
perlahan, suaranya merdu, tangannya melambai ke arahku.
Aku tanpa ragu mendekatinya.
Inilah ibuku, wanita yang selalu muncul di mimpiku.
“Ibu...” aku berusaha
memeluknya, tapi aku memeluk angin. Akupun mundur beberapa langkah dan
memperhatikan wajahnya yang menyiratkan kesedihan.
“Tolong bebaskan Ibu, Nak.”
“Membebaskan Ibu, bagaimana
caranya?”
“Ibu tidak akan pernah tenang
sebelum mayat ibu diupacarai dengan layak.”
“Ibu.... Aku masih bingung.
Apa yang sebenarnya terjadi?”
Ibuku tersenyum, senyum manis
itu menghiasi wajah pucatnya, “Apa yang baru saja kamu lihat adalah kenyataan,
anakku.” Tiba-tiba ibuku berubah. Pakaian putihnya berubah menjadi pakian
sobek-sobek, wajahnya menjadi penuh memar dan luka, tangan dan kakinya terikat,
“Cepat lepaskan Ibu, Nak. Tolong... Tolong.. Tolong ibu..”
“Ibu............” aku
menjerit. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih di tempat tidur. Aku baru saja
bangun dari tidur. Mimpi dalam mimpi. Aku bisa gila.
“Sukreni, kamu kenapa?” kata
nenek yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.
“Nenek..”
aku langsung turun dari tempat tidur dan mendekap nenekku dengan erat. Air mata
bercucuran dari kedua mataku, beradu dengan keringat.
“Kamu
mimpi buruk?” nenek membelai kepalaku dengan lembut, “Tenang, nenek di sini.
Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”
Aku
melepaskan pelukanku dan kea rah lemari dan mengambil tongkat kasti. Aku
kemudian melangkah menuju cermin besar itu.
“Kamu mau ngapain, Sukreni?”
nenek memegang tanganku, aku menepis tangannya.
Aku
tidak tahu dari mana datangnya kekuatan yang menggebu ini. Aku memukul cermin
itu dengan sekuat tenaga. Satu pukulan saja, cermin itu hancur
berkeping-keping.
“Sukreni!”
nenek menjerit, lalu menarik tubuhku menjauh dari serpihan kaca itu, “Apa yang
kamu lakukan?”
“Mengungkap
kebenaran.” Kataku sambil menunjuk tembok tempat cermin itu menempel
sebelumnya.
Nenekku
menangis, aku juga. Tak ada kata yang mampu melukiskan perasaan kami saat itu.
Aku benar-benar terpukul. Kakek telah membunuh kedua orang tuaku, tapi beliau
mengatakan aku yang menyebabkan mereka meninggal. Kakek sudah mebuatku hidup
dalam bayang-bayang penyesalan, dan nenek.. ah.. aku tak bisa menyalahkan
nenek. Nenek sudah begitu baik padaku dan beliau terpaksa berbohong demi
menyelamatkan jiwaku dari kakek.
“Maafkan
Nenek.” aku merasakan tangan nenek mendekap tubuhku.
“Di
mana pembunuh itu?” aku menepis kedua tangan nenek dan aku menatap wajahnya.
“Kakek
belum pulang dari tadi siang.”
“Kita
harus menghubungi polisi Nek, kita tidak bisa membiarkan pembunuh itu tinggal
bersama kita.”
“Tapi
nenek takut.”
“Apa
yang nenek takutkan?”
Nenek
diam tak menjawab.
“Kita
harus segera pergi dari sini Nek.” Aku menarik tangan nenekku lalu kami berlari
ke ruang keluarga. Aku langsung menelepon kantor polisi dan menceritakan
semuanya secara singkat. Setelah itu kami keluar.
“Kita
mau ke mana?”
“Ke
rumah tetangga. Kita harus bersembunyi sampai polisi datang. Kalau kakek bisa
membunuh ibu pasti kakek juga bisa membunuh kita.” aku berjalan tanpa menoleh
ke arah nenek yang mengikut di belakangku. Langkahku terhenti saat tiba-tiba
aku melihat kakek berjalan ke arah kami.
“Mau
ke mana kamu, Sri?”
Tubuhku
bergetar menahan gejolak kebencian dan kemarahan.
“Jawab!”
bentak kakek.
“Jangan
bentak nenekku lagi!” aku berteriak. Kebencian dan kemarahan itu bersatu
membentuk keberanian.
“Aku
tak bicara padamu.”
“Aku
juga sebenarnya tak sudi bicara dengan pembunuh sepertimu!”
“Apa
kamu bilang?”
“Aku
sudah tahu semuanya!”
Kakek
melotot ke arah nenekku, “Berani-beraninya kamu melanggar perintahku. Kakek
berjalan mendekati nenek.
Aku
merentangkan kedua tanganku, “Bukan nenek yang memberi tahuku, tapi ibu!”
“Apa?”
“Ibu
selalu datang ke mimpiku minta tolong. Kenapa kakek tega melakukan itu? Kenapa
kakek membunuh orang tuaku?”
“Kalau
tahu seperti ini, aku pasti juga membunuhmu dari dulu.”
“Bunuh
saja aku!” nenek berteriak. Aku menoleh tak percaya ke arah nenek, “Bunuh saja
aku! Aku sudah muak hidup denganmu! Kamu telah tega membunuh anak kita
satu-satunya. Kamu bukan manusia, Atmaja! Kamu setan!”
“Apa
kamu bilang?” Kakek terlihat sangat marah, kedua matanya melotot seakan mau
keluar dari tempatnya. Kakek berjalan mendekati nenek dan menghempaskan
tubuhku. Aku terjatuh ke bebatuan kering yang menggores kulitku. Rasanya sakit
sekali.
“Aku
seharusnya sudah membunuhmu dari dulu.” Aku mendengar kakek berteriak. Aku
segera menoleh. Kakek mencekik nenekku hingga tubuh nenek terangkat beberapa
senti dari tanah.
“Hentikan...”
aku berteriak, menahan sakit di siku dan telapak tanganku. Aku berlari ke arah
mereka dan kudorong kakek dengan sekuat tenaga. Kakek melepaskan nenek dan
berbalik ke arahku. Wajah kakek benar-benar menakutkan.
Aku mengatur
nafasku, hidungku bekerja ekstra untuk memasukkan banyak oksigen ke paru-paru.
Waktu terasa melambat. Kakek menyeringai, “Kamu akan segera menyusul orang
tuamu.” katanya sambil berjalan mendekat.
Aku
melangkah mundur dan kakiku tersandung batu. Aku terjerembab.
“Akan
kukirim kau ke neraka.” tangan kakek menggapai leherku. Aku menepis
tangan-tangan kokoh itu sekuat tenaga, tapi sia-sia.
“Jangan
bergerak!” seseorang berteriak. Aku menoleh, polisi.
Dua orang polisi langsung
membekuk kakekku dan memborgol tangannya. Aku dan nenekpun segera dilarikan ke
rumah sakit. Untung nyawa nenek bisa diselamatkan.
Esoknya
aku pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Aku menceritakan
semuanya. Polisi terlihat kurang percaya dengan ceritaku. Kamipun ke rumahku
untuk melihat lubang itu.
Seorang petugas menggali tembok itu. Satu jam kemudiam linggisnya beradu dengan balok kayu. Diapun menarik balok kayu tersebut dan terlihatlah kerangka manusia, kerangka ibuku. Aku tak bisa menahan air mata yang meleleh di pipiku.
Sehari kemudian nenek sudah
bisa dibawa pulang. Kami mendengar kabar kalau kakek terancam dipenjara seumur
hidup. Aku sungguh bersyukur.
“Nek,
kita bebaskan ibu ya.” Kataku saat kami berdua duduk di ruang keluarga.
Nenek
mengangguk perlahan. Akupun menghubungi keluarga jauh dan beberapa orang
tetangga.
Kami
mulai mempersiapkan upacara pengabenan untuk ibu.
“Selamat
jalan Ibu.. Semoga ibu tenang di sana.” kataku saat tulang belulang ibu
dikremasi. Nenek mendekap tubuhku dengan erat, akupun membalas dekapan nenek.
No comments:
Post a Comment