Thursday, May 7, 2020

CERMIN

Mimpi itu lagi. Mimpi yang sama datang berulang-ulang kali. Seorang wanita muda dengan pakaian robek, badan penuh memar dan luka, kaki dan tangan terikat rantai, berteriak minta tolong. Siapa wanita itu? Wajahnya asing, tapi ntah kenapa aku merasa ada hubungan dengannya. Ya, pasti ada hubungan antara kami, kalau tidak, bagaimana mungkin dia datang ke mimpiku hampir setiap malam? Aku harus tahu siapa wanita itu sebenarnya, aku tidak bisa terus-terusan membiarkannya mengganggu tidurku.



Image courtesy of bustle.com


 

Aku turun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju cermin besar yang menempel di tembok kamar. Wajah yang kulihat di cermin itu sangat sayu, keringat menbanjiri kulit pucatnya. Ah.. tak seharusnya gadis 15 tahun berpenampilan seperti ini.

 

“Sukreni, ayo sarapan.” terdengar suara nenek memanggilku. Akupun bergegas mencuci muka lalu menghampiri nenekku di dapur. Nenek adalah orang yang aneh. Kalau di rumah hanya ada kami berdua, nenek bersikap sangat baik padaku, tapi kalau ada kakek, sikap nenek berubah 180°, nenek menjadi dingin kepadaku dan terlihat sangat ketakutan. Aku juga takut pada kakek. Wajahnya galak dan beliau sama sekali tak pernah menganggapku ada. Aku seakan makhluk tak terlihat yang tak berarti apa-apa. Kakek tdak pernah berbicara sepatah katapun padaku. Aku rasa karena aku adalah peyebab kematian kedua orang tuaku.

 

Nenek bilang ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku dan ayah bunuh diri beberapa hari kemudian. Aku anak pembawa sial, wajar saja kakek membenciku, tapi aku tak pernah minta dilahirkan. Aku akan memilih tidak pernah lahir ke dunia ini andai saja aku tahu kalau kelahiranku hanya akan menjadi malapetaka bagi keluarga ini.

 

“Kenapa bengong? Ayo makan, nenek masak makanan kesukaanmu.” nenek mengambil beberapa sendok nasi goreng dan menaruhnya di piringku.

 

“Nek?”

 

 “Ya?”

 

“Ibuku seperti apa?”

 

Nenek tampak terkejut mendengar pertanyaanku, “Kamu kan punya fotonya.” ucapnya setelah terdiam beberapa saat.

 

 

“Iya, tapi maksudku ...”

 

“Sudah-sudah. Jangan banyak nanya. Cepat makan!”

 

Begitulah, setiap kali aku bertanya tentang ibu atau ayahku, nenek selalu menghindar. Tak banyak yang aku tahu tentang orang tuaku, hanya foto dan nama. Foto mereka hanya ada satu, saat pernikahan.

 

Aku menatap wajah nenekku, kesedihan menyelimuti wajahnya yang mulai berkeriput itu. Aku lalu menyendok nasi goreng dan memasukkannya ke mulutku, “Nasi gorengnya enak, Nek.” aku memaksakan senyum di bibirku. Nenek juga ikut tersenyum dan kamipun makan dengan lahap. Hm.. betapa damainya rumah ini tanpa kakek.

 

 

Aku dan nenek duduk berdua di ruang keluarga menonton acara musik. Aku tidak begitu menikmati acara itu karena aku tidak suka musik. Hidupku gelap dan sunyi, tak ada warna, tak ada musik, hanya kegelapan, hanya kesunyian. Tiba-tiba pikiranku kembali ke wanita dalam mimpi itu. Siapa dia sebenarnya? Apa aku harus menanyakannya pada nenek?

 

 “Sukreni.” suara nenek mengejutkanku.

 

“Iya Nek?”

 

“Akhir-akhir ini nenek lihat kamu sering bengong. Ada apa? Ada masalah di sekolah?”

 

“Nggak Nek, aku...” aku ragu, haruskah aku cerita?

 

“Kamu kenapa? Cerita sama nenek.”

 

“Aku takut Nek.” aku membenamkan wajahku di pangkuan nenek dan kupeluk pingganngnya dengan erat. Air mata yang selama ini kutahan dengan sekuat tenaga berhamburan keluar membasahi rok panjang nenekku. Aku benar-benar takut. Bayangan wajah wanita itu berkelebat memenuhi kepalaku,”Tolong.... Tolong.. Tolong..” jeritannya memekakkan gendang telingaku. Aku sudah tidak kuat. Aku harus melakukan apa?

 

“Kamu kenapa Sukreni? Ayo cerita.”

 

“Sri..” sebuah suara menggelegar di dalam ruangan, suara kakekku. Aku langsung duduk tegak kembali dan mengusap air mataku, “buatkan aku kopi, cepat!” perintahnya.

 

 

Keesokan harinya setelah pulang sekolah, aku melihat nenek duduk di ruang keluarga sambil membuka lembaran-lembaran sebuah buku yang sepertinya merupakan album foto usang, “Nenek..” kataku sambil duduk di sampingnya. Nenek sangat terkejut melihatku yang tiba-tiba sudah duduk di sana. Beliau langsung menyembunyikan album foto itu.

 

“Apa itu, Nek?”

 

“Bukan apa-apa. Cepat ganti baju. Nenek sudah menyiapkan makan siang.”

 

Aku menggelengkan kepalaku, “Apa yang nenek sembunyikan? Tolong Nek, aku ingin tau. Apa yang sebenarnya nenek liat?”

           

“Ini bukan urusanmu. Cepat ganti baju.”

           

“Ini pasti urusanku Nek! Apa nenek tau hampir setiap malam aku nggak bisa tidur karena terus dihantui mimpi buruk? Di mimpiku aku melihat seorang wanita yang berteriak minta tolong. Apa nenek tau sesuatu tentang hal ini? Aku udah capek Nek.” air mataku berhamburan keluar lagi seperti kemarin, tapi kali ini aku tak memeluk nenekku.

           

“Apa yang sebenarnya Nenek sembunyikan? Aku berhak tau Nek, aku udah dewasa.”

 

“Sukreni..” ucap nenekku dengan pelan.

 

           

Hanya tangisku yang menjawab ucapan nenek.

           

“Mungkin sudah saatnya kamu tau kenyataannya. Sebenarnya ibumu...” nenek menyeka air mata yang membasahi bagian bawah matanya, “Ibumu adalah seorang wanita yang sangat baik. Dia adalah anak nenek satu-satunya. Nenek sangat menyayanginya karena dia begitu ramah, penurut, rajin, manis, dan ceria, tapi suatu hari terjadi malapetaka. Dia...” air mata nenek merembes lagi.

           

“Ibuku kenapa Nek?” tanyaku tak sabar.

           

“Hentikan Sri!” terdengar suara kakek di belakangku. Aku menoleh, benar saja, kakek berdiri dengan tegapnya, wajahnya menunjukkan kebengisan, “Masuk ke kamar, Sukreni!” teriaknya.

           

Kakek.. Kakek bicara padaku? Walaupun hanya empat kata yang diucapkan dengan kasar, tapi dia bicara padauk!

           

“Cepat masuk ke kamar!” bentaknya lagi, kali ini lebih keras.

           

Tanpa berkata apa-apa, aku langsung berlari ke, tunggu dulu, aku harus mendengar apa yang mereka  bicarakan. Aku harus tahu apa yang mereka sembunyikan selama ini. Akupun memutuskan untuk mengintip mereka melalui sebuah lubang di tembok penyekat antara ruang keluarga dan dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Rumah kami memang sangat luas dan kamarku terletak paling jauh di belakang.

           

Aku melihat kakek berdiri sambil berkacak pinggang dan nenek sesenggukan di sofa. Aku memasang kedua telingaku dengan baik. Aku tidak ingin kelewatan satu katapun. Kakek melangkah ke dekat nenekku dan menarik rambutnya, “Apa kamu sadar apa yang baru saja kamu hampir lakukan?”

 

Nenek meringis kesakitan, tapi beliau tidak mengatakan apapun.

 

“Ini peringatan pertama dan terakhir untuk kamu, Sri! Jangan sampai aku melihatmu melakukan hal yang sama, atau kamu tidak akan pernah melihat anak itu lagi.”

           

Aku terkesiap, apa yang kakek bicarakan? Anak itu? Maksudnya aku?

           

“Tapi Yah, Sukreni sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Nenek menatap ke arah kakek.

           

Sebuah tamparan mendarat di pipi nenekku. Keras sekali. Darahku mendidih melihat semua itu.

           

“Aku tidak main-main Sri! Sekali lagi kamu lakukan itu, aku tidak akan ragu-ragu untuk menyingkirkannya.” kakek menarik rambut nenekku sekali lagi, “Cam kan itu!” beliau lalu keluar rumah dan menutup pintu depan dengan sangat keras.

 

Tubuhku lunglai. Rasa penasaranku semakin besar.

 

Beberapa menit kemudian, aku menghampiri nenekku, pura-pura baru keluar dari kamar.

           

“Nenek! Nenek kenapa?”

           

“Tidak apa-apa, Sayang. Cepat makan dan kembali ke kamar, sebelum kakek pulang.”

 

“Maafkan aku ya, Nek.”

           

“Ini bukan salahmu. Cepat makan.” kamipun beranjak ke dapur dan makan dalam diam.

           

Selesai makan nenek langsung kembali ke kamarnya, aku juga ingin masuk ke kamarku, tapi saat melintasi ruang keluarga, mataku tertuju pada album foto yang tergeletak di sofa. Kurasa kakek tidak melihatnya dan nenek lupa kalau tadi beliau melihat-lihat album foto itu. Akupun mengambilnya dan berlari ke kamar. Sampai di kamar aku mengunci pintu.

           

Tiba-tiba aku gemetaran. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pori-pori kulitku. Angin mendesir perlahan, bagaimana bisa ada angin? Pintu dan jendela sudah kututup semua! Aku bergidik ketakutan, tapi segera kutepis rasa takut tak beralasan itu. Akupun langsung membuka halaman pertama album foto itu.

           

“Keluarga Wijaya Kusuma 1975-1985” terlihat tulisan tangan yang sangat rapi, itu bukan tulisan tangan nenekku, dan aku yakin itu bukan juga tulisan tangan kakekku. Aku membuka halaman berikutnya. Ada dua buah foto. Yang satu terdiri dari tiga orang, kakek, nenek, dan seorang bayi mungil. Foto yang satunya lagi seorang gadis kecil yang sedang tersenyum. “Aku berumur 6 tahun” begitu bunyi tulisan yang terdapat di bawah foto itu, foto ibuku.

 

Aku membalik halaman demi halaman, semakin banyak foto lama yang kulihat. Hanya ada wajah kakek, nenek, dan ibuku, tapi ada sesuatu yang janggal. Wajah Ibu waktu kecil sama sekali tidak mirip dengan wajah ibu di foto pernikahan.

 

Angin mendesir lagi, terdengar bunyi “tek tek tek”. Aku melihat ke sekeliling kamar dan betapa terkejutnya aku saat melihat cermin besar di tembok kamarku berguncang dengan cepat. Semakin lama guncangannya semakin cepat. Hawa dingin menyusup ke tubuhku sampai ke sumsum tulang. Aku seakan terpaku, tak bisa bergerak. Mulutku menganga dan tubuhku bergetar hebat. Entah berapa lama aku berada dalam situasi yang mencekam itu hingga cermin itu berhenti berguncang. Aku mengumpulkan segenap keberanianku dan aku melangkah perlahan mendekati cermin.

 

Aku tak melihat bayangan wajahku di cermin. Yang kulihat adalah sebuah ruangan asing yang rasanya aku kenal. Kamarku! Ya kamarku, tapi dekorasinya sangat berbeda dan hal yang lebih aneh lagi adalah warnanya hitam putih! Bukan warna tembok! Tapi warna semuanya. Hitam dan putih! Aku melihat tanganku, warnanya masih cokelat. Aku melihat baju dan rokku, warnanya putih dan abu-abu. Aku masih berwarna, tapi yang lainnya hitam putih! Aku tak bisa memalingkan wajahku dari cermin. Aku seakan terhipnotis, tersihir. Aku tak bisa bergerak. Oh Tuhan.. Ini pasti mimpi. Rasanya sangat mengerikan. Aku ketakutan. Aku ingin menjerit. Aku ingin berteriak. Oh nenek, tolong aku.

 

Aku berusaha memejamkan mataku, tapi tak bisa. Seseorang, atau sesuatu ingin aku menyaksikan semua yang terjadi melalui cermin besar ini. Apa yang kulihat benar-benar mengerikan. Kamar yang sangat berantakan. Tak ada tempat tidur, hanya sehelai tikar pandan, tanpa bantal, tanpa selimut.

“Ayah..” tiba-tiba aku mendengar sebuah suara. Aku bergidik. Membayangkan ada orang di kamar pengap itu. Aku menyesuaikan posisi badanku supaya bisa melihat ke sudut lain ruangan itu. Ya Tuhan! Wanita itu! Wanita yang selalu muncul di mimpiku! Pakain sobek. Wajah penuh memar dan luka. Kaki dan tangan terikat rantai.

 

“Ayah, lepaskan aku.” wanita itu berteriak.    

                       

“Diam!” suara kakekku! Aku berusaha sekuat tenaga untuk menoleh, tapi usahaku sia-sia. Tubuhku kaku. Cermin itu memaksaku untuk tak mengalihkan pandangan darinya. Aku benar-benar tersiksa.

 

“Ayah... Kenapa Ayah tega melakukan ini padaku? Aku anakmu, Yah.”

 

Anak? Anak kakek? Nenek bilang mereka cuma punya satu anak, ibuku, lalu siapa wanita ini?

 

“Aku yang seharusnya bertanya, kenapa kamu tega melakukan ini padaku. Kamu tahu perbuatanmu itu sudah mencoreng nama baik keluarga!”

 

“Tapi aku mencintainya, Yah.”

 

“Cinta?! Tau apa kamu tentang cinta? Sekarang kamu liat sendiri kan. Ke mana laki-laki jahanam itu? Kenapa dia tidak menolongmu hah? Kenapa dia tidak membebaskanmu dari ikatanku? Kenapa dia kabur?” kakek meludah di samping wanita itu.

 

Wanita itu menangis. Air mata tampak mengalir di pipinya yang kotor dan penuh memar bekas tamparan dan pukulan, “Itu karena..” dia tersendat. Aku yakin dia akan mengusap pipinya yang basah andai saja tangannya tak terikat, “Itu karena Ayah telah membunuhnya.” dia bicara sambil menunduk.

Membunuh? Apa? Kakekku pembunuh?

 

Kakek terdiam beberapa saat. Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.

 

“Ayah.. Aku mohon lepaskan aku. Tidakkah Ayah kasihan sama Sukreni? Dia tidak bisa terus-terusan dikurung di sini.”

 

AKU??!! Ada apa sebenarnya ini? Mimpi.. Ya, ini pasti mimpi. Aku menggerakkan kepalaku lagi, berusaha menyingkir dari cermin sialan itu, tapi tidak bisa. Sial!

 

“Baiklah kalau Ayah tidak mau melepaskanku, tapi setidaknya, tolong lepaskan Sukreni. Dia tidak tau apa-apa. Dia tidak berdosa, Yah. Biar aku saja yang menanggung semua yang telah kulakukan. Tolong bebaskan dan jaga dia, biar bagaimanapun, dia itu cucu Ayah.”

 

Aku melihat kakek menjambak rambut wanita itu, “Dia bukan cucuku, setan!” kakek lalu menghantamkan kepalanya bertubi-tubi ke tembok. Darah muncrat mengenai baju dan celana kakek. Wanita itu memejamkan matanya dan di saat yang bersamaan terdengar tangisan bayi. AKU! Bayi itu aku!

 

“Asih...” kakek mengguncang tubuh wanita malang itu, “Asih..” teriaknya lagi. Mata kakek tampak basah, “Maafkan Ayah.” Kakek memeluknya, tapi tak lama. Kakek lalu keluar ruangan.

 

Aku masih belum bisa bergerak. Peristiwa ini membuatku gila. Jadi wanita itu ibuku? Bayi yang menangis itu aku? Berarti foto pernikahan orang tuaku foto palsu? Tidak, tidak, ini pasti hanya mimpi.

 

Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Kakek datang dengan linggis, pasir, semen, ember, dan alat pertukangan yang lain. Apa yang akan kakek lakukan?

 

Kakek berjalan ke arahku berdiri. Aku kembali ketakutan. Apa dia mau membunuhku?

 

Tidak! Kakek berjalan tepat melintasiku, menembusku! Lalu kakek menggunakan linggis untuk membuat lubang di tembok di depanku. Cermin itu tidak ada di sana. Hanya aku yang bisa melihat cermin itu. Hanya aku dan cermin itu yang ada tapi seakan tak ada. Aku pusing. Aku ingin pingsan. Seandainya ini dunia nyata, pasti aku sudah pingsan dari tadi, tapi ada sesuatu yang membuat mataku tetap terbuka lebar.

 

Kakek terus menggali tanpa kenal lelah. Lubang yang dibuatpun sudah cukup besar. Kakek berjalan ke arah wanita itu,- aku tak akan memanggilnya Ibu, karena ini hanya mimpi!-, menggendongnya, dan menaruhnya di lubang. Kemudian kakek menutup mayat itu dengan balok kayu dan menguburnya dengan campuran semen.

 

Aku melihat semua itu tanpa bisa melakukan apapun. Otakku buntu. Aku ingin segera bangun dari mimpi mengerikan ini.

Kakek keluar ruangan lagi. Beliau sama sekali tak mempedulikan si bayi yang terus-terusan menangis. Entah karena haus atau karena tahu ibunya sudah meninggal. Betapa aku ingin menenangkan bayi itu, seandainya aku bisa bergerak. Cermin terkutuk! Apa yang kau lakukan padaku?

 

Aku melihat kakek masuk ruangan dengan sebuah cermin besar di tangannya. Cermin itu! Cermin berukuran 1 x 2 meter yang menempel di tembok kamarku. Kakek memang memiliki badan yang kekar jadi beliau bisa dengan mudah membawa dan menempelkan cermin itu di tembok. Menutupi bekas lubang kuburan seorang wanita.

 

Kakek menembusku sekali lagi dan beranjak menuju bayi itu, “Diam! Atau aku akan membuatmu menyusul ibumu yang jalang itu!”

 

Merekapun keluar ruangan. Kakek menutup pintu kamar dengan keras, begitu kerasnya sampai aku terlonjak.

 

Mimpi.... Ternyata itu memang hanya mimpi. Aku merasakan seragam sekolahku basah karena keringat. Aku pasti ketiduran saat melihat-lihat foto itu. Aku mimpi aneh seperti itu pasti karena aku marah sama kakek yang telah menampar nenek. Kakekku tidak mungkin membunuh.

 

Aku mengusap keringat di pelipis dan dahiku lalu akupun turun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya aku saat melihat cermin besar yang ada di tembok pecah menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan di lantai. Apa yang selama ini ditutupi oleh cermin itu terlihat dengan jelas. Bekas lubang! Itu bukan mimpi. Oh...

 

Tiba-tiba angin berdesir lagi. Jendela yang kuyakin sudah kukunci terbuka lebar dan terantuk-antuk karena angin. Ketakutan merasukiku lagi. Tubuhku lemas. Keringat membasahi dahi, pelipis, dan sekujur tubuhku. Aku menatap bekas lubang itu dan sesuatu muncul dari dalamnya. Seorang wanita cantik, kulitnya bersih, tak ada memar, tak ada luka, ibuku.

 

“Sukreni...” dia berbisik perlahan, suaranya merdu, tangannya melambai ke arahku.

 

Aku tanpa ragu mendekatinya. Inilah ibuku, wanita yang selalu muncul di mimpiku.

 

“Ibu...” aku berusaha memeluknya, tapi aku memeluk angin. Akupun mundur beberapa langkah dan memperhatikan wajahnya yang menyiratkan kesedihan.

 

“Tolong bebaskan Ibu, Nak.”

 

“Membebaskan Ibu, bagaimana caranya?”

 

“Ibu tidak akan pernah tenang sebelum mayat ibu diupacarai dengan layak.”

 

“Ibu.... Aku masih bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?”

 

Ibuku tersenyum, senyum manis itu menghiasi wajah pucatnya, “Apa yang baru saja kamu lihat adalah kenyataan, anakku.” Tiba-tiba ibuku berubah. Pakaian putihnya berubah menjadi pakian sobek-sobek, wajahnya menjadi penuh memar dan luka, tangan dan kakinya terikat, “Cepat lepaskan Ibu, Nak. Tolong... Tolong.. Tolong ibu..”

 

“Ibu............” aku menjerit. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih di tempat tidur. Aku baru saja bangun dari tidur. Mimpi dalam mimpi. Aku bisa gila.

 

“Sukreni, kamu kenapa?” kata nenek yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.

 

“Nenek..” aku langsung turun dari tempat tidur dan mendekap nenekku dengan erat. Air mata bercucuran dari kedua mataku, beradu dengan keringat.

 

“Kamu mimpi buruk?” nenek membelai kepalaku dengan lembut, “Tenang, nenek di sini. Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”

 

Aku melepaskan pelukanku dan kea rah lemari dan mengambil tongkat kasti. Aku kemudian melangkah menuju cermin besar itu.

 

“Kamu mau ngapain, Sukreni?” nenek memegang tanganku, aku menepis tangannya.

 

Aku tidak tahu dari mana datangnya kekuatan yang menggebu ini. Aku memukul cermin itu dengan sekuat tenaga. Satu pukulan saja, cermin itu hancur berkeping-keping.

 

“Sukreni!” nenek menjerit, lalu menarik tubuhku menjauh dari serpihan kaca itu, “Apa yang kamu lakukan?”

 

“Mengungkap kebenaran.” Kataku sambil menunjuk tembok tempat cermin itu menempel sebelumnya.

 

Nenekku menangis, aku juga. Tak ada kata yang mampu melukiskan perasaan kami saat itu. Aku benar-benar terpukul. Kakek telah membunuh kedua orang tuaku, tapi beliau mengatakan aku yang menyebabkan mereka meninggal. Kakek sudah mebuatku hidup dalam bayang-bayang penyesalan, dan nenek.. ah.. aku tak bisa menyalahkan nenek. Nenek sudah begitu baik padaku dan beliau terpaksa berbohong demi menyelamatkan jiwaku dari kakek.

 

“Maafkan Nenek.” aku merasakan tangan nenek mendekap tubuhku.

 

“Di mana pembunuh itu?” aku menepis kedua tangan nenek dan aku menatap wajahnya.

 

“Kakek belum pulang dari tadi siang.”

 

“Kita harus menghubungi polisi Nek, kita tidak bisa membiarkan pembunuh itu tinggal bersama kita.”

 

“Tapi nenek takut.”

 

“Apa yang nenek takutkan?”

 

Nenek diam tak menjawab.

 

“Kita harus segera pergi dari sini Nek.” Aku menarik tangan nenekku lalu kami berlari ke ruang keluarga. Aku langsung menelepon kantor polisi dan menceritakan semuanya secara singkat. Setelah itu kami keluar.

 

“Kita mau ke mana?”

 

“Ke rumah tetangga. Kita harus bersembunyi sampai polisi datang. Kalau kakek bisa membunuh ibu pasti kakek juga bisa membunuh kita.” aku berjalan tanpa menoleh ke arah nenek yang mengikut di belakangku. Langkahku terhenti saat tiba-tiba aku melihat kakek berjalan ke arah kami.

 

“Mau ke mana kamu, Sri?”

 

Tubuhku bergetar menahan gejolak kebencian dan kemarahan.

 

“Jawab!” bentak kakek.

 

“Jangan bentak nenekku lagi!” aku berteriak. Kebencian dan kemarahan itu bersatu membentuk keberanian.

 

“Aku tak bicara padamu.”

 

“Aku juga sebenarnya tak sudi bicara dengan pembunuh sepertimu!”

 

“Apa kamu bilang?”

 

“Aku sudah tahu semuanya!”

 

Kakek melotot ke arah nenekku, “Berani-beraninya kamu melanggar perintahku. Kakek berjalan mendekati nenek.

 

Aku merentangkan kedua tanganku, “Bukan nenek yang memberi tahuku, tapi ibu!”

 

“Apa?”

 

“Ibu selalu datang ke mimpiku minta tolong. Kenapa kakek tega melakukan itu? Kenapa kakek membunuh orang tuaku?”

 

“Kalau tahu seperti ini, aku pasti juga membunuhmu dari dulu.”

 

“Bunuh saja aku!” nenek berteriak. Aku menoleh tak percaya ke arah nenek, “Bunuh saja aku! Aku sudah muak hidup denganmu! Kamu telah tega membunuh anak kita satu-satunya. Kamu bukan manusia, Atmaja! Kamu setan!”

 

“Apa kamu bilang?” Kakek terlihat sangat marah, kedua matanya melotot seakan mau keluar dari tempatnya. Kakek berjalan mendekati nenek dan menghempaskan tubuhku. Aku terjatuh ke bebatuan kering yang menggores kulitku. Rasanya sakit sekali.

 

“Aku seharusnya sudah membunuhmu dari dulu.” Aku mendengar kakek berteriak. Aku segera menoleh. Kakek mencekik nenekku hingga tubuh nenek terangkat beberapa senti dari tanah.

 

“Hentikan...” aku berteriak, menahan sakit di siku dan telapak tanganku. Aku berlari ke arah mereka dan kudorong kakek dengan sekuat tenaga. Kakek melepaskan nenek dan berbalik ke arahku. Wajah kakek benar-benar menakutkan.

 

Aku mengatur nafasku, hidungku bekerja ekstra untuk memasukkan banyak oksigen ke paru-paru. Waktu terasa melambat. Kakek menyeringai, “Kamu akan segera menyusul orang tuamu.” Katanya sambil berjalan mendekat.

 

Aku melangkah mundur dan kakiku tersandung batu. Aku terjerembab.

 

“Akan kukirim kau ke neraka.” Tangan kakek menggapai leherku. Aku menepis tangan-tangan kokoh itu sekuat tenaga, tapi sia-sia.

 

“Jangan bergerak!” seseorang berteriak. Aku menoleh, polisi.

Dua orang polisi langsung membekuk kakekku dan memborgol tangannya. Aku dan nenekpun segera dilarikan ke rumah sakit. Untung nyawa nenek bisa diselamatkan.

 

Esoknya aku pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Aku menceritakan semuanya. Polisi terlihat kurang percaya dengan ceritaku. Kamipun ke rumahku untuk melihat lubang itu.

 

Seorang petugas menggali tembok itu. Satu jam kemudiam linggisnya beradu dengan balok kayu. Diapun menarik balok kayu tersebut dan terlihatlah kerangka manusia, kerangka ibuku. Aku tak bisa menahan air mata yang meleleh di pipiku.

*****

Sehari kemudian nenek sudah bisa dibawa pulang. Kami mendengar kabar kalau kakek terancam dipenjara seumur hidup. Aku sungguh bersyukur.

 

“Nek, kita bebaskan ibu ya.” Kataku saat kami berdua duduk di ruang keluarga.

 

Nenek mengangguk perlahan. Akupun menghubungi keluarga jauh dan beberapa orang tetangga.

 

Kami mulai mempersiapkan upacara pengabenan untuk ibu.

 

“Selamat jalan Ibu.. Semoga ibu tenang di sana.” kataku saat tulang belulang ibu dikremasi. Nenek mendekap tubuhku dengan erat, akupun membalas dekapan nenek.

 

Mimpi itu lagi. Mimpi yang sama datang berulang-ulang kali. Seorang wanita muda dengan pakaian robek, badan penuh memar dan luka, kaki dan tangan terikat rantai, berteriak minta tolong. Siapa wanita itu? Wajahnya asing, tapi ntah kenapa aku merasa ada hubungan dengannya. Ya, pasti ada hubungan antara kami, kalau tidak, bagaimana mungkin dia datang ke mimpiku hampir setiap malam? Aku harus tahu siapa wanita itu sebenarnya, aku tidak bisa terus-terusan membiarkannya mengganggu tidurku.

 

Aku turun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju cermin besar yang menempeldi tembok kamar. Wajah yang kulihat di cermin itu sangat sayu, keringat menbanjiri kulit pucatnya. Ah.. tak seharusnya gadis 15 tahun berpenampilan seperti ini.

 

“Sukreni, ayo sarapan.” terdengar suara nenek memanggilku. Akupun bergegas mencuci muka lalu menghampiri nenekku di dapur. Nenek adalah orang yang aneh. Kalau di rumah hanya ada kami berdua, nenek bersikap sangat baik padaku, tapi kalau ada kakek, sikap nenek berubah 180°, nenek menjadi dingin kepadaku dan terlihat sangat ketakutan. Aku juga takut pada kakek. Wajahnya galak dan beliau sama sekali tak pernah menganggapku ada. Aku seakan makhluk tak terlihat yang tak berarti apa-apa. Kakek tdak pernah berbicara sepatah katapun padaku. Aku rasa karena aku adalah peyebab kematian kedua orang tuaku.

 

Nenek bilang ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku dan ayah bunuh diri beberapa hari kemudian. Aku anak pembawa sial, wajar saja kakek membenciku, tapi aku tak pernah minta dilahirkan. Aku akan memilih tidak pernah lahir ke dunia ini andai saja aku tahu kalau kelahiranku hanya akan menjadi malapetaka bagi keluarga ini.

 

“Kenapa bengong? Ayo makan, nenek masak makanan kesukaanmu.” nenek mengambil beberapa sendok nasi goreng dan menaruhnya di piringku.

 

“Nek?”

 

 “Ya?”

 

“Ibuku seperti apa?”

 

Nenek tampak terkejut mendengar pertanyaanku, “Kamu kan punya fotonya.” ucapnya setelah terdiam beberapa saat.

 

 

“Iya, tapi maksudku ...”

 

“Sudah-sudah. Jangan banyak nanya. Cepat makan!”

 

Begitulah, setiap kali aku bertanya tentang ibu atau ayahku, nenek selalu menghindar. Tak banyak yang aku tahu tentang orang tuaku, hanya foto dan nama. Foto mereka hanya ada satu, saat pernikahan.

 

Aku menatap wajah nenekku, kesedihan menyelimuti wajahnya yang mulai berkeriput itu. Aku lalu menyendok nasi goreng dan memasukkannya ke mulutku, “Nasi gorengnya enak, Nek.” aku memaksakan senyum di bibirku. Nenek juga ikut tersenyum dan kamipun makan dengan lahap. Hm.. betapa damainya rumah ini tanpa kakek.

 

 

Aku dan nenek duduk berdua di ruang keluarga menonton acara musik. Aku tidak begitu menikmati acara itu karena aku tidak suka musik. Hidupku gelap dan sunyi, tak ada warna, tak ada musik, hanya kegelapan, hanya kesunyian. Tiba-tiba pikiranku kembali ke wanita dalam mimpi itu. Siapa dia sebenarnya? Apa aku harus menanyakannya pada nenek?

 

 “Sukreni.” suara nenek mengejutkanku.

 

“Iya Nek?”

 

“Akhir-akhir ini nenek lihat kamu sering bengong. Ada apa? Ada masalah di sekolah?”

 

“Nggak Nek, aku...” aku ragu, haruskah aku cerita?

 

“Kamu kenapa? Cerita sama nenek.”

 

“Aku takut Nek.” aku membenamkan wajahku di pangkuan nenek dan kupeluk pingganngnya dengan erat. Air mata yang selama ini kutahan dengan sekuat tenaga berhamburan keluar membasahi rok panjang nenekku. Aku benar-benar takut. Bayangan wajah wanita itu berkelebat memenuhi kepalaku,”Tolong.... Tolong.. Tolong..” jeritannya memekakkan gendang telingaku. Aku sudah tidak kuat. Aku harus melakukan apa?

 

“Kamu kenapa Sukreni? Ayo cerita.”

 

“Sri..” sebuah suara menggelegar di dalam ruangan, suara kakekku. Aku langsung duduk tegak kembali dan mengusap air mataku, “buatkan aku kopi, cepat!” perintahnya.

 

 

Keesokan harinya setelah pulang sekolah, aku melihat nenek duduk di ruang keluarga sambil membuka lembaran-lembaran sebuah buku yang sepertinya merupakan album foto usang, “Nenek..” kataku sambil duduk di sampingnya. Nenek sangat terkejut melihatku yang tiba-tiba sudah duduk di sana. Beliau langsung menyembunyikan album foto itu.

 

“Apa itu, Nek?”

 

“Bukan apa-apa. Cepat ganti baju. Nenek sudah menyiapkan makan siang.”

 

Aku menggelengkan kepalaku, “Apa yang nenek sembunyikan? Tolong Nek, aku ingin tau. Apa yang sebenarnya nenek liat?”

           

“Ini bukan urusanmu. Cepat ganti baju.”

           

“Ini pasti urusanku Nek! Apa nenek tau hampir setiap malam aku nggak bisa tidur karena terus dihantui mimpi buruk? Di mimpiku aku melihat seorang wanita yang berteriak minta tolong. Apa nenek tau sesuatu tentang hal ini? Aku udah capek Nek.” air mataku berhamburan keluar lagi seperti kemarin, tapi kali ini aku tak memeluk nenekku.

           

“Apa yang sebenarnya Nenek sembunyikan? Aku berhak tau Nek, aku udah dewasa.”

 

“Sukreni..” ucap nenekku dengan pelan.

 

           

Hanya tangisku yang menjawab ucapan nenek.

           

“Mungkin sudah saatnya kamu tau kenyataannya. Sebenarnya ibumu...” nenek menyeka air mata yang membasahi bagian bawah matanya, “Ibumu adalah seorang wanita yang sangat baik. Dia adalah anak nenek satu-satunya. Nenek sangat menyayanginya karena dia begitu ramah, penurut, rajin, manis, dan ceria, tapi suatu hari terjadi malapetaka. Dia...” air mata nenek merembes lagi.

           

“Ibuku kenapa Nek?” tanyaku tak sabar.

           

“Hentikan Sri!” terdengar suara kakek di belakangku. Aku menoleh, benar saja, kakek berdiri dengan tegapnya, wajahnya menunjukkan kebengisan, “Masuk ke kamar, Sukreni!” teriaknya.

           

Kakek.. Kakek bicara padaku? Walaupun hanya empat kata yang diucapkan dengan kasar, tapi dia bicara padauk!

           

“Cepat masuk ke kamar!” bentaknya lagi, kali ini lebih keras.

           

Tanpa berkata apa-apa, aku langsung berlari ke, tunggu dulu, aku harus mendengar apa yang mereka  bicarakan. Aku harus tahu apa yang mereka sembunyikan selama ini. Akupun memutuskan untuk mengintip mereka melalui sebuah lubang di tembok penyekat antara ruang keluarga dan dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Rumah kami memang sangat luas dan kamarku terletak paling jauh di belakang.

           

Aku melihat kakek berdiri sambil berkacak pinggang dan nenek sesenggukan di sofa. Aku memasang kedua telingaku dengan baik. Aku tidak ingin kelewatan satu katapun. Kakek melangkah ke dekat nenekku dan menarik rambutnya, “Apa kamu sadar apa yang baru saja kamu hampir lakukan?”

 

Nenek meringis kesakitan, tapi beliau tidak mengatakan apapun.

 

“Ini peringatan pertama dan terakhir untuk kamu, Sri! Jangan sampai aku melihatmu melakukan hal yang sama, atau kamu tidak akan pernah melihat anak itu lagi.”

           

Aku terkesiap, apa yang kakek bicarakan? Anak itu? Maksudnya aku?

           

“Tapi Yah, Sukreni sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Nenek menatap ke arah kakek.

           

Sebuah tamparan mendarat di pipi nenekku. Keras sekali. Darahku mendidih melihat semua itu.

           

“Aku tidak main-main Sri! Sekali lagi kamu lakukan itu, aku tidak akan ragu-ragu untuk menyingkirkannya.” kakek menarik rambut nenekku sekali lagi, “Cam kan itu!” beliau lalu keluar rumah dan menutup pintu depan dengan sangat keras.

 

Tubuhku lunglai. Rasa penasaranku semakin besar.

 

Beberapa menit kemudian, aku menghampiri nenekku, pura-pura baru keluar dari kamar.

           

“Nenek! Nenek kenapa?”

           

“Tidak apa-apa, Sayang. Cepat makan dan kembali ke kamar, sebelum kakek pulang.”

 

“Maafkan aku ya, Nek.”

           

“Ini bukan salahmu. Cepat makan.” kamipun beranjak ke dapur dan makan dalam diam.

           

Selesai makan nenek langsung kembali ke kamarnya, aku juga ingin masuk ke kamarku, tapi saat melintasi ruang keluarga, mataku tertuju pada album foto yang tergeletak di sofa. Kurasa kakek tidak melihatnya dan nenek lupa kalau tadi beliau melihat-lihat album foto itu. Akupun mengambilnya dan berlari ke kamar. Sampai di kamar aku mengunci pintu.

           

Tiba-tiba aku gemetaran. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pori-pori kulitku. Angin mendesir perlahan, bagaimana bisa ada angin? Pintu dan jendela sudah kututup semua! Aku bergidik ketakutan, tapi segera kutepis rasa takut tak beralasan itu. Akupun langsung membuka halaman pertama album foto itu.

           

“Keluarga Wijaya Kusuma 1975-1985” terlihat tulisan tangan yang sangat rapi, itu bukan tulisan tangan nenekku, dan aku yakin itu bukan juga tulisan tangan kakekku. Aku membuka halaman berikutnya. Ada dua buah foto. Yang satu terdiri dari tiga orang, kakek, nenek, dan seorang bayi mungil. Foto yang satunya lagi seorang gadis kecil yang sedang tersenyum. “Aku berumur 6 tahun” begitu bunyi tulisan yang terdapat di bawah foto itu, foto ibuku.

 

Aku membalik halaman demi halaman, semakin banyak foto lama yang kulihat. Hanya ada wajah kakek, nenek, dan ibuku, tapi ada sesuatu yang janggal. Wajah Ibu waktu kecil sama sekali tidak mirip dengan wajah ibu di foto pernikahan.

 

Angin mendesir lagi, terdengar bunyi “tek tek tek”. Aku melihat ke sekeliling kamar dan betapa terkejutnya aku saat melihat cermin besar di tembok kamarku berguncang dengan cepat. Semakin lama guncangannya semakin cepat. Hawa dingin menyusup ke tubuhku sampai ke sumsum tulang. Aku seakan terpaku, tak bisa bergerak. Mulutku menganga dan tubuhku bergetar hebat. Entah berapa lama aku berada dalam situasi yang mencekam itu hingga cermin itu berhenti berguncang. Aku mengumpulkan segenap keberanianku dan aku melangkah perlahan mendekati cermin.

 

Aku tak melihat bayangan wajahku di cermin. Yang kulihat adalah sebuah ruangan asing yang rasanya aku kenal. Kamarku! Ya kamarku, tapi dekorasinya sangat berbeda dan hal yang lebih aneh lagi adalah warnanya hitam putih! Bukan warna tembok! Tapi warna semuanya. Hitam dan putih! Aku melihat tanganku, warnanya masih cokelat. Aku melihat baju dan rokku, warnanya putih dan abu-abu. Aku masih berwarna, tapi yang lainnya hitam putih! Aku tak bisa memalingkan wajahku dari cermin. Aku seakan terhipnotis, tersihir. Aku tak bisa bergerak. Oh Tuhan.. Ini pasti mimpi. Rasanya sangat mengerikan. Aku ketakutan. Aku ingin menjerit. Aku ingin berteriak. Oh nenek, tolong aku.

 

Aku berusaha memejamkan mataku, tapi tak bisa. Seseorang, atau sesuatu ingin aku menyaksikan semua yang terjadi melalui cermin besar ini. Apa yang kulihat benar-benar mengerikan. Kamar yang sangat berantakan. Tak ada tempat tidur, hanya sehelai tikar pandan, tanpa bantal, tanpa selimut.

“Ayah..” tiba-tiba aku mendengar sebuah suara. Aku bergidik. Membayangkan ada orang di kamar pengap itu. Aku menyesuaikan posisi badanku supaya bisa melihat ke sudut lain ruangan itu. Ya Tuhan! Wanita itu! Wanita yang selalu muncul di mimpiku! Pakain sobek. Wajah penuh memar dan luka. Kaki dan tangan terikat rantai.

 

“Ayah, lepaskan aku.” wanita itu berteriak.    

                       

“Diam!” suara kakekku! Aku berusaha sekuat tenaga untuk menoleh, tapi usahaku sia-sia. Tubuhku kaku. Cermin itu memaksaku untuk tak mengalihkan pandangan darinya. Aku benar-benar tersiksa.

 

“Ayah... Kenapa Ayah tega melakukan ini padaku? Aku anakmu, Yah.”

 

Anak? Anak kakek? Nenek bilang mereka cuma punya satu anak, ibuku, lalu siapa wanita ini?

 

“Aku yang seharusnya bertanya, kenapa kamu tega melakukan ini padaku. Kamu tahu perbuatanmu itu sudah mencoreng nama baik keluarga!”

 

“Tapi aku mencintainya, Yah.”

 

“Cinta?! Tau apa kamu tentang cinta? Sekarang kamu liat sendiri kan. Ke mana laki-laki jahanam itu? Kenapa dia tidak menolongmu hah? Kenapa dia tidak membebaskanmu dari ikatanku? Kenapa dia kabur?” kakek meludah di samping wanita itu.

 

Wanita itu menangis. Air mata tampak mengalir di pipinya yang kotor dan penuh memar bekas tamparan dan pukulan, “Itu karena..” dia tersendat. Aku yakin dia akan mengusap pipinya yang basah andai saja tangannya tak terikat, “Itu karena Ayah telah membunuhnya.” dia bicara sambil menunduk.

Membunuh? Apa? Kakekku pembunuh?

 

Kakek terdiam beberapa saat. Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.

 

“Ayah.. Aku mohon lepaskan aku. Tidakkah Ayah kasihan sama Sukreni? Dia tidak bisa terus-terusan dikurung di sini.”

 

AKU??!! Ada apa sebenarnya ini? Mimpi.. Ya, ini pasti mimpi. Aku menggerakkan kepalaku lagi, berusaha menyingkir dari cermin sialan itu, tapi tidak bisa. Sial!

 

“Baiklah kalau Ayah tidak mau melepaskanku, tapi setidaknya, tolong lepaskan Sukreni. Dia tidak tau apa-apa. Dia tidak berdosa, Yah. Biar aku saja yang menanggung semua yang telah kulakukan. Tolong bebaskan dan jaga dia, biar bagaimanapun, dia itu cucu Ayah.”

 

Aku melihat kakek menjambak rambut wanita itu, “Dia bukan cucuku, setan!” kakek lalu menghantamkan kepalanya bertubi-tubi ke tembok. Darah muncrat mengenai baju dan celana kakek. Wanita itu memejamkan matanya dan di saat yang bersamaan terdengar tangisan bayi. AKU! Bayi itu aku!

 

“Asih...” kakek mengguncang tubuh wanita malang itu, “Asih..” teriaknya lagi. Mata kakek tampak basah, “Maafkan Ayah.” Kakek memeluknya, tapi tak lama. Kakek lalu keluar ruangan.

 

Aku masih belum bisa bergerak. Peristiwa ini membuatku gila. Jadi wanita itu ibuku? Bayi yang menangis itu aku? Berarti foto pernikahan orang tuaku foto palsu? Tidak, tidak, ini pasti hanya mimpi.

 

Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Kakek datang dengan linggis, pasir, semen, ember, dan alat pertukangan yang lain. Apa yang akan kakek lakukan?

 

Kakek berjalan ke arahku berdiri. Aku kembali ketakutan. Apa dia mau membunuhku?

 

Tidak! Kakek berjalan tepat melintasiku, menembusku! Lalu kakek menggunakan linggis untuk membuat lubang di tembok di depanku. Cermin itu tidak ada di sana. Hanya aku yang bisa melihat cermin itu. Hanya aku dan cermin itu yang ada tapi seakan tak ada. Aku pusing. Aku ingin pingsan. Seandainya ini dunia nyata, pasti aku sudah pingsan dari tadi, tapi ada sesuatu yang membuat mataku tetap terbuka lebar.

 

Kakek terus menggali tanpa kenal lelah. Lubang yang dibuatpun sudah cukup besar. Kakek berjalan ke arah wanita itu,- aku tak akan memanggilnya Ibu, karena ini hanya mimpi!-, menggendongnya, dan menaruhnya di lubang. Kemudian kakek menutup mayat itu dengan balok kayu dan menguburnya dengan campuran semen.

 

Aku melihat semua itu tanpa bisa melakukan apapun. Otakku buntu. Aku ingin segera bangun dari mimpi mengerikan ini.

Kakek keluar ruangan lagi. Beliau sama sekali tak mempedulikan si bayi yang terus-terusan menangis. Entah karena haus atau karena tahu ibunya sudah meninggal. Betapa aku ingin menenangkan bayi itu, seandainya aku bisa bergerak. Cermin terkutuk! Apa yang kau lakukan padaku?

 

Aku melihat kakek masuk ruangan dengan sebuah cermin besar di tangannya. Cermin itu! Cermin berukuran 1 x 2 meter yang menempel di tembok kamarku. Kakek memang memiliki badan yang kekar jadi beliau bisa dengan mudah membawa dan menempelkan cermin itu di tembok. Menutupi bekas lubang kuburan seorang wanita.

 

Kakek menembusku sekali lagi dan beranjak menuju bayi itu, “Diam! Atau aku akan membuatmu menyusul ibumu yang jalang itu!”

 

Merekapun keluar ruangan. Kakek menutup pintu kamar dengan keras, begitu kerasnya sampai aku terlonjak.

 

Mimpi.... Ternyata itu memang hanya mimpi. Aku merasakan seragam sekolahku basah karena keringat. Aku pasti ketiduran saat melihat-lihat foto itu. Aku mimpi aneh seperti itu pasti karena aku marah sama kakek yang telah menampar nenek. Kakekku tidak mungkin membunuh.

 

Aku mengusap keringat di pelipis dan dahiku lalu akupun turun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya aku saat melihat cermin besar yang ada di tembok pecah menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan di lantai. Apa yang selama ini ditutupi oleh cermin itu terlihat dengan jelas. Bekas lubang! Itu bukan mimpi. Oh...

 

Tiba-tiba angin berdesir lagi. Jendela yang kuyakin sudah kukunci terbuka lebar dan terantuk-antuk karena angin. Ketakutan merasukiku lagi. Tubuhku lemas. Keringat membasahi dahi, pelipis, dan sekujur tubuhku. Aku menatap bekas lubang itu dan sesuatu muncul dari dalamnya. Seorang wanita cantik, kulitnya bersih, tak ada memar, tak ada luka, ibuku.

 

“Sukreni...” dia berbisik perlahan, suaranya merdu, tangannya melambai ke arahku.

 

Aku tanpa ragu mendekatinya. Inilah ibuku, wanita yang selalu muncul di mimpiku.

 

“Ibu...” aku berusaha memeluknya, tapi aku memeluk angin. Akupun mundur beberapa langkah dan memperhatikan wajahnya yang menyiratkan kesedihan.

 

“Tolong bebaskan Ibu, Nak.”

 

“Membebaskan Ibu, bagaimana caranya?”

 

“Ibu tidak akan pernah tenang sebelum mayat ibu diupacarai dengan layak.”

 

“Ibu.... Aku masih bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?”

 

Ibuku tersenyum, senyum manis itu menghiasi wajah pucatnya, “Apa yang baru saja kamu lihat adalah kenyataan, anakku.” Tiba-tiba ibuku berubah. Pakaian putihnya berubah menjadi pakian sobek-sobek, wajahnya menjadi penuh memar dan luka, tangan dan kakinya terikat, “Cepat lepaskan Ibu, Nak. Tolong... Tolong.. Tolong ibu..”

 

“Ibu............” aku menjerit. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih di tempat tidur. Aku baru saja bangun dari tidur. Mimpi dalam mimpi. Aku bisa gila.

 

“Sukreni, kamu kenapa?” kata nenek yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.

 

“Nenek..” aku langsung turun dari tempat tidur dan mendekap nenekku dengan erat. Air mata bercucuran dari kedua mataku, beradu dengan keringat.

 

“Kamu mimpi buruk?” nenek membelai kepalaku dengan lembut, “Tenang, nenek di sini. Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”

 

Aku melepaskan pelukanku dan kea rah lemari dan mengambil tongkat kasti. Aku kemudian melangkah menuju cermin besar itu.

 

“Kamu mau ngapain, Sukreni?” nenek memegang tanganku, aku menepis tangannya.

 

Aku tidak tahu dari mana datangnya kekuatan yang menggebu ini. Aku memukul cermin itu dengan sekuat tenaga. Satu pukulan saja, cermin itu hancur berkeping-keping.

 

“Sukreni!” nenek menjerit, lalu menarik tubuhku menjauh dari serpihan kaca itu, “Apa yang kamu lakukan?”

 

“Mengungkap kebenaran.” Kataku sambil menunjuk tembok tempat cermin itu menempel sebelumnya.

 

Nenekku menangis, aku juga. Tak ada kata yang mampu melukiskan perasaan kami saat itu. Aku benar-benar terpukul. Kakek telah membunuh kedua orang tuaku, tapi beliau mengatakan aku yang menyebabkan mereka meninggal. Kakek sudah mebuatku hidup dalam bayang-bayang penyesalan, dan nenek.. ah.. aku tak bisa menyalahkan nenek. Nenek sudah begitu baik padaku dan beliau terpaksa berbohong demi menyelamatkan jiwaku dari kakek.

 

“Maafkan Nenek.” aku merasakan tangan nenek mendekap tubuhku.

 

“Di mana pembunuh itu?” aku menepis kedua tangan nenek dan aku menatap wajahnya.

 

“Kakek belum pulang dari tadi siang.”

 

“Kita harus menghubungi polisi Nek, kita tidak bisa membiarkan pembunuh itu tinggal bersama kita.”

 

“Tapi nenek takut.”

 

“Apa yang nenek takutkan?”

 

Nenek diam tak menjawab.

 

“Kita harus segera pergi dari sini Nek.” Aku menarik tangan nenekku lalu kami berlari ke ruang keluarga. Aku langsung menelepon kantor polisi dan menceritakan semuanya secara singkat. Setelah itu kami keluar.

 

“Kita mau ke mana?”

 

“Ke rumah tetangga. Kita harus bersembunyi sampai polisi datang. Kalau kakek bisa membunuh ibu pasti kakek juga bisa membunuh kita.” aku berjalan tanpa menoleh ke arah nenek yang mengikut di belakangku. Langkahku terhenti saat tiba-tiba aku melihat kakek berjalan ke arah kami.

 

“Mau ke mana kamu, Sri?”

 

Tubuhku bergetar menahan gejolak kebencian dan kemarahan.

 

“Jawab!” bentak kakek.

 

“Jangan bentak nenekku lagi!” aku berteriak. Kebencian dan kemarahan itu bersatu membentuk keberanian.

 

“Aku tak bicara padamu.”

 

“Aku juga sebenarnya tak sudi bicara dengan pembunuh sepertimu!”

 

“Apa kamu bilang?”

 

“Aku sudah tahu semuanya!”

 

Kakek melotot ke arah nenekku, “Berani-beraninya kamu melanggar perintahku. Kakek berjalan mendekati nenek.

 

Aku merentangkan kedua tanganku, “Bukan nenek yang memberi tahuku, tapi ibu!”

 

“Apa?”

 

“Ibu selalu datang ke mimpiku minta tolong. Kenapa kakek tega melakukan itu? Kenapa kakek membunuh orang tuaku?”

 

“Kalau tahu seperti ini, aku pasti juga membunuhmu dari dulu.”

 

“Bunuh saja aku!” nenek berteriak. Aku menoleh tak percaya ke arah nenek, “Bunuh saja aku! Aku sudah muak hidup denganmu! Kamu telah tega membunuh anak kita satu-satunya. Kamu bukan manusia, Atmaja! Kamu setan!”

 

“Apa kamu bilang?” Kakek terlihat sangat marah, kedua matanya melotot seakan mau keluar dari tempatnya. Kakek berjalan mendekati nenek dan menghempaskan tubuhku. Aku terjatuh ke bebatuan kering yang menggores kulitku. Rasanya sakit sekali.

 

“Aku seharusnya sudah membunuhmu dari dulu.” Aku mendengar kakek berteriak. Aku segera menoleh. Kakek mencekik nenekku hingga tubuh nenek terangkat beberapa senti dari tanah.

 

“Hentikan...” aku berteriak, menahan sakit di siku dan telapak tanganku. Aku berlari ke arah mereka dan kudorong kakek dengan sekuat tenaga. Kakek melepaskan nenek dan berbalik ke arahku. Wajah kakek benar-benar menakutkan.

 

Aku mengatur nafasku, hidungku bekerja ekstra untuk memasukkan banyak oksigen ke paru-paru. Waktu terasa melambat. Kakek menyeringai, “Kamu akan segera menyusul orang tuamu.” Katanya sambil berjalan mendekat.

 

Aku melangkah mundur dan kakiku tersandung batu. Aku terjerembab.

 

“Akan kukirim kau ke neraka.” Tangan kakek menggapai leherku. Aku menepis tangan-tangan kokoh itu sekuat tenaga, tapi sia-sia.

 

“Jangan bergerak!” seseorang berteriak. Aku menoleh, polisi.

Dua orang polisi langsung membekuk kakekku dan memborgol tangannya. Aku dan nenekpun segera dilarikan ke rumah sakit. Untung nyawa nenek bisa diselamatkan.

 

Esoknya aku pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Aku menceritakan semuanya. Polisi terlihat kurang percaya dengan ceritaku. Kamipun ke rumahku untuk melihat lubang itu.

 

Seorang petugas menggali tembok itu. Satu jam kemudiam linggisnya beradu dengan balok kayu. Diapun menarik balok kayu tersebut dan terlihatlah kerangka manusia, kerangka ibuku. Aku tak bisa menahan air mata yang meleleh di pipiku.

*****

Sehari kemudian nenek sudah bisa dibawa pulang. Kami mendengar kabar kalau kakek terancam dipenjara seumur hidup. Aku sungguh bersyukur.

 

“Nek, kita bebaskan ibu ya.” Kataku saat kami berdua duduk di ruang keluarga.

 

Nenek mengangguk perlahan. Akupun menghubungi keluarga jauh dan beberapa orang tetangga.

 

Kami mulai mempersiapkan upacara pengabenan untuk ibu.

 

“Selamat jalan Ibu.. Semoga ibu tenang di sana.” kataku saat tulang belulang ibu dikremasi. Nenek mendekap tubuhku dengan erat, akupun membalas dekapan nenek.

 

Mimpi itu lagi. Mimpi yang sama datang berulang-ulang kali. Seorang wanita muda dengan pakaian robek, badan penuh memar dan luka, kaki dan tangan terikat rantai, berteriak minta tolong. Siapa wanita itu? Wajahnya asing, tapi ntah kenapa aku merasa ada hubungan dengannya. Ya, pasti ada hubungan antara kami, kalau tidak, bagaimana mungkin dia datang ke mimpiku hampir setiap malam? Aku harus tahu siapa wanita itu sebenarnya, aku tidak bisa terus-terusan membiarkannya mengganggu tidurku.

 

Aku turun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju cermin besar yang menempeldi tembok kamar. Wajah yang kulihat di cermin itu sangat sayu, keringat menbanjiri kulit pucatnya. Ah.. tak seharusnya gadis 15 tahun berpenampilan seperti ini.

 

“Sukreni, ayo sarapan.” terdengar suara nenek memanggilku. Akupun bergegas mencuci muka lalu menghampiri nenekku di dapur. Nenek adalah orang yang aneh. Kalau di rumah hanya ada kami berdua, nenek bersikap sangat baik padaku, tapi kalau ada kakek, sikap nenek berubah 180°, nenek menjadi dingin kepadaku dan terlihat sangat ketakutan. Aku juga takut pada kakek. Wajahnya galak dan beliau sama sekali tak pernah menganggapku ada. Aku seakan makhluk tak terlihat yang tak berarti apa-apa. Kakek tdak pernah berbicara sepatah katapun padaku. Aku rasa karena aku adalah peyebab kematian kedua orang tuaku.

 

Nenek bilang ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku dan ayah bunuh diri beberapa hari kemudian. Aku anak pembawa sial, wajar saja kakek membenciku, tapi aku tak pernah minta dilahirkan. Aku akan memilih tidak pernah lahir ke dunia ini andai saja aku tahu kalau kelahiranku hanya akan menjadi malapetaka bagi keluarga ini.

 

“Kenapa bengong? Ayo makan, nenek masak makanan kesukaanmu.” nenek mengambil beberapa sendok nasi goreng dan menaruhnya di piringku.

 

“Nek?”

 

 “Ya?”

 

“Ibuku seperti apa?”

 

Nenek tampak terkejut mendengar pertanyaanku, “Kamu kan punya fotonya.” ucapnya setelah terdiam beberapa saat.

 

 

“Iya, tapi maksudku ...”

 

“Sudah-sudah. Jangan banyak nanya. Cepat makan!”

 

Begitulah, setiap kali aku bertanya tentang ibu atau ayahku, nenek selalu menghindar. Tak banyak yang aku tahu tentang orang tuaku, hanya foto dan nama. Foto mereka hanya ada satu, saat pernikahan.

 

Aku menatap wajah nenekku, kesedihan menyelimuti wajahnya yang mulai berkeriput itu. Aku lalu menyendok nasi goreng dan memasukkannya ke mulutku, “Nasi gorengnya enak, Nek.” aku memaksakan senyum di bibirku. Nenek juga ikut tersenyum dan kamipun makan dengan lahap. Hm.. betapa damainya rumah ini tanpa kakek.

 

 

Aku dan nenek duduk berdua di ruang keluarga menonton acara musik. Aku tidak begitu menikmati acara itu karena aku tidak suka musik. Hidupku gelap dan sunyi, tak ada warna, tak ada musik, hanya kegelapan, hanya kesunyian. Tiba-tiba pikiranku kembali ke wanita dalam mimpi itu. Siapa dia sebenarnya? Apa aku harus menanyakannya pada nenek?

 

 “Sukreni.” suara nenek mengejutkanku.

 

“Iya Nek?”

 

“Akhir-akhir ini nenek lihat kamu sering bengong. Ada apa? Ada masalah di sekolah?”

 

“Nggak Nek, aku...” aku ragu, haruskah aku cerita?

 

“Kamu kenapa? Cerita sama nenek.”

 

“Aku takut Nek.” aku membenamkan wajahku di pangkuan nenek dan kupeluk pingganngnya dengan erat. Air mata yang selama ini kutahan dengan sekuat tenaga berhamburan keluar membasahi rok panjang nenekku. Aku benar-benar takut. Bayangan wajah wanita itu berkelebat memenuhi kepalaku,”Tolong.... Tolong.. Tolong..” jeritannya memekakkan gendang telingaku. Aku sudah tidak kuat. Aku harus melakukan apa?

 

“Kamu kenapa Sukreni? Ayo cerita.”

 

“Sri..” sebuah suara menggelegar di dalam ruangan, suara kakekku. Aku langsung duduk tegak kembali dan mengusap air mataku, “buatkan aku kopi, cepat!” perintahnya.

 

 

Keesokan harinya setelah pulang sekolah, aku melihat nenek duduk di ruang keluarga sambil membuka lembaran-lembaran sebuah buku yang sepertinya merupakan album foto usang, “Nenek..” kataku sambil duduk di sampingnya. Nenek sangat terkejut melihatku yang tiba-tiba sudah duduk di sana. Beliau langsung menyembunyikan album foto itu.

 

“Apa itu, Nek?”

 

“Bukan apa-apa. Cepat ganti baju. Nenek sudah menyiapkan makan siang.”

 

Aku menggelengkan kepalaku, “Apa yang nenek sembunyikan? Tolong Nek, aku ingin tau. Apa yang sebenarnya nenek liat?”

           

“Ini bukan urusanmu. Cepat ganti baju.”

           

“Ini pasti urusanku Nek! Apa nenek tau hampir setiap malam aku nggak bisa tidur karena terus dihantui mimpi buruk? Di mimpiku aku melihat seorang wanita yang berteriak minta tolong. Apa nenek tau sesuatu tentang hal ini? Aku udah capek Nek.” air mataku berhamburan keluar lagi seperti kemarin, tapi kali ini aku tak memeluk nenekku.

           

“Apa yang sebenarnya Nenek sembunyikan? Aku berhak tau Nek, aku udah dewasa.”

 

“Sukreni..” ucap nenekku dengan pelan.

 

           

Hanya tangisku yang menjawab ucapan nenek.

           

“Mungkin sudah saatnya kamu tau kenyataannya. Sebenarnya ibumu...” nenek menyeka air mata yang membasahi bagian bawah matanya, “Ibumu adalah seorang wanita yang sangat baik. Dia adalah anak nenek satu-satunya. Nenek sangat menyayanginya karena dia begitu ramah, penurut, rajin, manis, dan ceria, tapi suatu hari terjadi malapetaka. Dia...” air mata nenek merembes lagi.

           

“Ibuku kenapa Nek?” tanyaku tak sabar.

           

“Hentikan Sri!” terdengar suara kakek di belakangku. Aku menoleh, benar saja, kakek berdiri dengan tegapnya, wajahnya menunjukkan kebengisan, “Masuk ke kamar, Sukreni!” teriaknya.

           

Kakek.. Kakek bicara padaku? Walaupun hanya empat kata yang diucapkan dengan kasar, tapi dia bicara padauk!

           

“Cepat masuk ke kamar!” bentaknya lagi, kali ini lebih keras.

           

Tanpa berkata apa-apa, aku langsung berlari ke, tunggu dulu, aku harus mendengar apa yang mereka  bicarakan. Aku harus tahu apa yang mereka sembunyikan selama ini. Akupun memutuskan untuk mengintip mereka melalui sebuah lubang di tembok penyekat antara ruang keluarga dan dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Rumah kami memang sangat luas dan kamarku terletak paling jauh di belakang.

           

Aku melihat kakek berdiri sambil berkacak pinggang dan nenek sesenggukan di sofa. Aku memasang kedua telingaku dengan baik. Aku tidak ingin kelewatan satu katapun. Kakek melangkah ke dekat nenekku dan menarik rambutnya, “Apa kamu sadar apa yang baru saja kamu hampir lakukan?”

 

Nenek meringis kesakitan, tapi beliau tidak mengatakan apapun.

 

“Ini peringatan pertama dan terakhir untuk kamu, Sri! Jangan sampai aku melihatmu melakukan hal yang sama, atau kamu tidak akan pernah melihat anak itu lagi.”

           

Aku terkesiap, apa yang kakek bicarakan? Anak itu? Maksudnya aku?

           

“Tapi Yah, Sukreni sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Nenek menatap ke arah kakek.

           

Sebuah tamparan mendarat di pipi nenekku. Keras sekali. Darahku mendidih melihat semua itu.

           

“Aku tidak main-main Sri! Sekali lagi kamu lakukan itu, aku tidak akan ragu-ragu untuk menyingkirkannya.” kakek menarik rambut nenekku sekali lagi, “Cam kan itu!” beliau lalu keluar rumah dan menutup pintu depan dengan sangat keras.

 

Tubuhku lunglai. Rasa penasaranku semakin besar.

 

Beberapa menit kemudian, aku menghampiri nenekku, pura-pura baru keluar dari kamar.

           

“Nenek! Nenek kenapa?”

           

“Tidak apa-apa, Sayang. Cepat makan dan kembali ke kamar, sebelum kakek pulang.”

 

“Maafkan aku ya, Nek.”

           

“Ini bukan salahmu. Cepat makan.” kamipun beranjak ke dapur dan makan dalam diam.

           

Selesai makan nenek langsung kembali ke kamarnya, aku juga ingin masuk ke kamarku, tapi saat melintasi ruang keluarga, mataku tertuju pada album foto yang tergeletak di sofa. Kurasa kakek tidak melihatnya dan nenek lupa kalau tadi beliau melihat-lihat album foto itu. Akupun mengambilnya dan berlari ke kamar. Sampai di kamar aku mengunci pintu.

           

Tiba-tiba aku gemetaran. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pori-pori kulitku. Angin mendesir perlahan, bagaimana bisa ada angin? Pintu dan jendela sudah kututup semua! Aku bergidik ketakutan, tapi segera kutepis rasa takut tak beralasan itu. Akupun langsung membuka halaman pertama album foto itu.

           

“Keluarga Wijaya Kusuma 1975-1985” terlihat tulisan tangan yang sangat rapi, itu bukan tulisan tangan nenekku, dan aku yakin itu bukan juga tulisan tangan kakekku. Aku membuka halaman berikutnya. Ada dua buah foto. Yang satu terdiri dari tiga orang, kakek, nenek, dan seorang bayi mungil. Foto yang satunya lagi seorang gadis kecil yang sedang tersenyum. “Aku berumur 6 tahun” begitu bunyi tulisan yang terdapat di bawah foto itu, foto ibuku.

 

Aku membalik halaman demi halaman, semakin banyak foto lama yang kulihat. Hanya ada wajah kakek, nenek, dan ibuku, tapi ada sesuatu yang janggal. Wajah Ibu waktu kecil sama sekali tidak mirip dengan wajah ibu di foto pernikahan.

 

Angin mendesir lagi, terdengar bunyi “tek tek tek”. Aku melihat ke sekeliling kamar dan betapa terkejutnya aku saat melihat cermin besar di tembok kamarku berguncang dengan cepat. Semakin lama guncangannya semakin cepat. Hawa dingin menyusup ke tubuhku sampai ke sumsum tulang. Aku seakan terpaku, tak bisa bergerak. Mulutku menganga dan tubuhku bergetar hebat. Entah berapa lama aku berada dalam situasi yang mencekam itu hingga cermin itu berhenti berguncang. Aku mengumpulkan segenap keberanianku dan aku melangkah perlahan mendekati cermin.

 

Aku tak melihat bayangan wajahku di cermin. Yang kulihat adalah sebuah ruangan asing yang rasanya aku kenal. Kamarku! Ya kamarku, tapi dekorasinya sangat berbeda dan hal yang lebih aneh lagi adalah warnanya hitam putih! Bukan warna tembok! Tapi warna semuanya. Hitam dan putih! Aku melihat tanganku, warnanya masih cokelat. Aku melihat baju dan rokku, warnanya putih dan abu-abu. Aku masih berwarna, tapi yang lainnya hitam putih! Aku tak bisa memalingkan wajahku dari cermin. Aku seakan terhipnotis, tersihir. Aku tak bisa bergerak. Oh Tuhan.. Ini pasti mimpi. Rasanya sangat mengerikan. Aku ketakutan. Aku ingin menjerit. Aku ingin berteriak. Oh nenek, tolong aku.

 

Aku berusaha memejamkan mataku, tapi tak bisa. Seseorang, atau sesuatu ingin aku menyaksikan semua yang terjadi melalui cermin besar ini. Apa yang kulihat benar-benar mengerikan. Kamar yang sangat berantakan. Tak ada tempat tidur, hanya sehelai tikar pandan, tanpa bantal, tanpa selimut.

“Ayah..” tiba-tiba aku mendengar sebuah suara. Aku bergidik. Membayangkan ada orang di kamar pengap itu. Aku menyesuaikan posisi badanku supaya bisa melihat ke sudut lain ruangan itu. Ya Tuhan! Wanita itu! Wanita yang selalu muncul di mimpiku! Pakain sobek. Wajah penuh memar dan luka. Kaki dan tangan terikat rantai.

 

“Ayah, lepaskan aku.” wanita itu berteriak.    

                       

“Diam!” suara kakekku! Aku berusaha sekuat tenaga untuk menoleh, tapi usahaku sia-sia. Tubuhku kaku. Cermin itu memaksaku untuk tak mengalihkan pandangan darinya. Aku benar-benar tersiksa.

 

“Ayah... Kenapa Ayah tega melakukan ini padaku? Aku anakmu, Yah.”

 

Anak? Anak kakek? Nenek bilang mereka cuma punya satu anak, ibuku, lalu siapa wanita ini?

 

“Aku yang seharusnya bertanya, kenapa kamu tega melakukan ini padaku. Kamu tahu perbuatanmu itu sudah mencoreng nama baik keluarga!”

 

“Tapi aku mencintainya, Yah.”

 

“Cinta?! Tau apa kamu tentang cinta? Sekarang kamu liat sendiri kan. Ke mana laki-laki jahanam itu? Kenapa dia tidak menolongmu hah? Kenapa dia tidak membebaskanmu dari ikatanku? Kenapa dia kabur?” kakek meludah di samping wanita itu.

 

Wanita itu menangis. Air mata tampak mengalir di pipinya yang kotor dan penuh memar bekas tamparan dan pukulan, “Itu karena..” dia tersendat. Aku yakin dia akan mengusap pipinya yang basah andai saja tangannya tak terikat, “Itu karena Ayah telah membunuhnya.” dia bicara sambil menunduk.

Membunuh? Apa? Kakekku pembunuh?

 

Kakek terdiam beberapa saat. Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.

 

“Ayah.. Aku mohon lepaskan aku. Tidakkah Ayah kasihan sama Sukreni? Dia tidak bisa terus-terusan dikurung di sini.”

 

AKU??!! Ada apa sebenarnya ini? Mimpi.. Ya, ini pasti mimpi. Aku menggerakkan kepalaku lagi, berusaha menyingkir dari cermin sialan itu, tapi tidak bisa. Sial!

 

“Baiklah kalau Ayah tidak mau melepaskanku, tapi setidaknya, tolong lepaskan Sukreni. Dia tidak tau apa-apa. Dia tidak berdosa, Yah. Biar aku saja yang menanggung semua yang telah kulakukan. Tolong bebaskan dan jaga dia, biar bagaimanapun, dia itu cucu Ayah.”

 

Aku melihat kakek menjambak rambut wanita itu, “Dia bukan cucuku, setan!” kakek lalu menghantamkan kepalanya bertubi-tubi ke tembok. Darah muncrat mengenai baju dan celana kakek. Wanita itu memejamkan matanya dan di saat yang bersamaan terdengar tangisan bayi. AKU! Bayi itu aku!

 

“Asih...” kakek mengguncang tubuh wanita malang itu, “Asih..” teriaknya lagi. Mata kakek tampak basah, “Maafkan Ayah.” Kakek memeluknya, tapi tak lama. Kakek lalu keluar ruangan.

 

Aku masih belum bisa bergerak. Peristiwa ini membuatku gila. Jadi wanita itu ibuku? Bayi yang menangis itu aku? Berarti foto pernikahan orang tuaku foto palsu? Tidak, tidak, ini pasti hanya mimpi.

 

Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Kakek datang dengan linggis, pasir, semen, ember, dan alat pertukangan yang lain. Apa yang akan kakek lakukan?

 

Kakek berjalan ke arahku berdiri. Aku kembali ketakutan. Apa dia mau membunuhku?

 

Tidak! Kakek berjalan tepat melintasiku, menembusku! Lalu kakek menggunakan linggis untuk membuat lubang di tembok di depanku. Cermin itu tidak ada di sana. Hanya aku yang bisa melihat cermin itu. Hanya aku dan cermin itu yang ada tapi seakan tak ada. Aku pusing. Aku ingin pingsan. Seandainya ini dunia nyata, pasti aku sudah pingsan dari tadi, tapi ada sesuatu yang membuat mataku tetap terbuka lebar.

 

Kakek terus menggali tanpa kenal lelah. Lubang yang dibuatpun sudah cukup besar. Kakek berjalan ke arah wanita itu,- aku tak akan memanggilnya Ibu, karena ini hanya mimpi!-, menggendongnya, dan menaruhnya di lubang. Kemudian kakek menutup mayat itu dengan balok kayu dan menguburnya dengan campuran semen.

 

Aku melihat semua itu tanpa bisa melakukan apapun. Otakku buntu. Aku ingin segera bangun dari mimpi mengerikan ini.

Kakek keluar ruangan lagi. Beliau sama sekali tak mempedulikan si bayi yang terus-terusan menangis. Entah karena haus atau karena tahu ibunya sudah meninggal. Betapa aku ingin menenangkan bayi itu, seandainya aku bisa bergerak. Cermin terkutuk! Apa yang kau lakukan padaku?

 

Aku melihat kakek masuk ruangan dengan sebuah cermin besar di tangannya. Cermin itu! Cermin berukuran 1 x 2 meter yang menempel di tembok kamarku. Kakek memang memiliki badan yang kekar jadi beliau bisa dengan mudah membawa dan menempelkan cermin itu di tembok. Menutupi bekas lubang kuburan seorang wanita.

 

Kakek menembusku sekali lagi dan beranjak menuju bayi itu, “Diam! Atau aku akan membuatmu menyusul ibumu yang jalang itu!”

 

Merekapun keluar ruangan. Kakek menutup pintu kamar dengan keras, begitu kerasnya sampai aku terlonjak.

 

Mimpi.... Ternyata itu memang hanya mimpi. Aku merasakan seragam sekolahku basah karena keringat. Aku pasti ketiduran saat melihat-lihat foto itu. Aku mimpi aneh seperti itu pasti karena aku marah sama kakek yang telah menampar nenek. Kakekku tidak mungkin membunuh.

 

Aku mengusap keringat di pelipis dan dahiku lalu akupun turun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya aku saat melihat cermin besar yang ada di tembok pecah menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan di lantai. Apa yang selama ini ditutupi oleh cermin itu terlihat dengan jelas. Bekas lubang! Itu bukan mimpi. Oh...

 

Tiba-tiba angin berdesir lagi. Jendela yang kuyakin sudah kukunci terbuka lebar dan terantuk-antuk karena angin. Ketakutan merasukiku lagi. Tubuhku lemas. Keringat membasahi dahi, pelipis, dan sekujur tubuhku. Aku menatap bekas lubang itu dan sesuatu muncul dari dalamnya. Seorang wanita cantik, kulitnya bersih, tak ada memar, tak ada luka, ibuku.

 

“Sukreni...” dia berbisik perlahan, suaranya merdu, tangannya melambai ke arahku.

 

Aku tanpa ragu mendekatinya. Inilah ibuku, wanita yang selalu muncul di mimpiku.

 

“Ibu...” aku berusaha memeluknya, tapi aku memeluk angin. Akupun mundur beberapa langkah dan memperhatikan wajahnya yang menyiratkan kesedihan.

 

“Tolong bebaskan Ibu, Nak.”

 

“Membebaskan Ibu, bagaimana caranya?”

 

“Ibu tidak akan pernah tenang sebelum mayat ibu diupacarai dengan layak.”

 

“Ibu.... Aku masih bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?”

 

Ibuku tersenyum, senyum manis itu menghiasi wajah pucatnya, “Apa yang baru saja kamu lihat adalah kenyataan, anakku.” Tiba-tiba ibuku berubah. Pakaian putihnya berubah menjadi pakian sobek-sobek, wajahnya menjadi penuh memar dan luka, tangan dan kakinya terikat, “Cepat lepaskan Ibu, Nak. Tolong... Tolong.. Tolong ibu..”

 

“Ibu............” aku menjerit. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih di tempat tidur. Aku baru saja bangun dari tidur. Mimpi dalam mimpi. Aku bisa gila.

 

“Sukreni, kamu kenapa?” kata nenek yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.

 

“Nenek..” aku langsung turun dari tempat tidur dan mendekap nenekku dengan erat. Air mata bercucuran dari kedua mataku, beradu dengan keringat.

 

“Kamu mimpi buruk?” nenek membelai kepalaku dengan lembut, “Tenang, nenek di sini. Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”

 

Aku melepaskan pelukanku dan kea rah lemari dan mengambil tongkat kasti. Aku kemudian melangkah menuju cermin besar itu.

 

“Kamu mau ngapain, Sukreni?” nenek memegang tanganku, aku menepis tangannya.

 

Aku tidak tahu dari mana datangnya kekuatan yang menggebu ini. Aku memukul cermin itu dengan sekuat tenaga. Satu pukulan saja, cermin itu hancur berkeping-keping.

 

“Sukreni!” nenek menjerit, lalu menarik tubuhku menjauh dari serpihan kaca itu, “Apa yang kamu lakukan?”

 

“Mengungkap kebenaran.” Kataku sambil menunjuk tembok tempat cermin itu menempel sebelumnya.

 

Nenekku menangis, aku juga. Tak ada kata yang mampu melukiskan perasaan kami saat itu. Aku benar-benar terpukul. Kakek telah membunuh kedua orang tuaku, tapi beliau mengatakan aku yang menyebabkan mereka meninggal. Kakek sudah mebuatku hidup dalam bayang-bayang penyesalan, dan nenek.. ah.. aku tak bisa menyalahkan nenek. Nenek sudah begitu baik padaku dan beliau terpaksa berbohong demi menyelamatkan jiwaku dari kakek.

 

“Maafkan Nenek.” aku merasakan tangan nenek mendekap tubuhku.

 

“Di mana pembunuh itu?” aku menepis kedua tangan nenek dan aku menatap wajahnya.

 

“Kakek belum pulang dari tadi siang.”

 

“Kita harus menghubungi polisi Nek, kita tidak bisa membiarkan pembunuh itu tinggal bersama kita.”

 

“Tapi nenek takut.”

 

“Apa yang nenek takutkan?”

 

Nenek diam tak menjawab.

 

“Kita harus segera pergi dari sini Nek.” Aku menarik tangan nenekku lalu kami berlari ke ruang keluarga. Aku langsung menelepon kantor polisi dan menceritakan semuanya secara singkat. Setelah itu kami keluar.

 

“Kita mau ke mana?”

 

“Ke rumah tetangga. Kita harus bersembunyi sampai polisi datang. Kalau kakek bisa membunuh ibu pasti kakek juga bisa membunuh kita.” aku berjalan tanpa menoleh ke arah nenek yang mengikut di belakangku. Langkahku terhenti saat tiba-tiba aku melihat kakek berjalan ke arah kami.

 

“Mau ke mana kamu, Sri?”

 

Tubuhku bergetar menahan gejolak kebencian dan kemarahan.

 

“Jawab!” bentak kakek.

 

“Jangan bentak nenekku lagi!” aku berteriak. Kebencian dan kemarahan itu bersatu membentuk keberanian.

 

“Aku tak bicara padamu.”

 

“Aku juga sebenarnya tak sudi bicara dengan pembunuh sepertimu!”

 

“Apa kamu bilang?”

 

“Aku sudah tahu semuanya!”

 

Kakek melotot ke arah nenekku, “Berani-beraninya kamu melanggar perintahku. Kakek berjalan mendekati nenek.

 

Aku merentangkan kedua tanganku, “Bukan nenek yang memberi tahuku, tapi ibu!”

 

“Apa?”

 

“Ibu selalu datang ke mimpiku minta tolong. Kenapa kakek tega melakukan itu? Kenapa kakek membunuh orang tuaku?”

 

“Kalau tahu seperti ini, aku pasti juga membunuhmu dari dulu.”

 

“Bunuh saja aku!” nenek berteriak. Aku menoleh tak percaya ke arah nenek, “Bunuh saja aku! Aku sudah muak hidup denganmu! Kamu telah tega membunuh anak kita satu-satunya. Kamu bukan manusia, Atmaja! Kamu setan!”

 

“Apa kamu bilang?” Kakek terlihat sangat marah, kedua matanya melotot seakan mau keluar dari tempatnya. Kakek berjalan mendekati nenek dan menghempaskan tubuhku. Aku terjatuh ke bebatuan kering yang menggores kulitku. Rasanya sakit sekali.

 

“Aku seharusnya sudah membunuhmu dari dulu.” Aku mendengar kakek berteriak. Aku segera menoleh. Kakek mencekik nenekku hingga tubuh nenek terangkat beberapa senti dari tanah.

 

“Hentikan...” aku berteriak, menahan sakit di siku dan telapak tanganku. Aku berlari ke arah mereka dan kudorong kakek dengan sekuat tenaga. Kakek melepaskan nenek dan berbalik ke arahku. Wajah kakek benar-benar menakutkan.

 

Aku mengatur nafasku, hidungku bekerja ekstra untuk memasukkan banyak oksigen ke paru-paru. Waktu terasa melambat. Kakek menyeringai, “Kamu akan segera menyusul orang tuamu.” Katanya sambil berjalan mendekat.

 

Aku melangkah mundur dan kakiku tersandung batu. Aku terjerembab.

 

“Akan kukirim kau ke neraka.” Tangan kakek menggapai leherku. Aku menepis tangan-tangan kokoh itu sekuat tenaga, tapi sia-sia.

 

“Jangan bergerak!” seseorang berteriak. Aku menoleh, polisi.

Dua orang polisi langsung membekuk kakekku dan memborgol tangannya. Aku dan nenekpun segera dilarikan ke rumah sakit. Untung nyawa nenek bisa diselamatkan.

 

Esoknya aku pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Aku menceritakan semuanya. Polisi terlihat kurang percaya dengan ceritaku. Kamipun ke rumahku untuk melihat lubang itu.

 

Seorang petugas menggali tembok itu. Satu jam kemudiam linggisnya beradu dengan balok kayu. Diapun menarik balok kayu tersebut dan terlihatlah kerangka manusia, kerangka ibuku. Aku tak bisa menahan air mata yang meleleh di pipiku.

*****

Sehari kemudian nenek sudah bisa dibawa pulang. Kami mendengar kabar kalau kakek terancam dipenjara seumur hidup. Aku sungguh bersyukur.

 

“Nek, kita bebaskan ibu ya.” Kataku saat kami berdua duduk di ruang keluarga.

 

Nenek mengangguk perlahan. Akupun menghubungi keluarga jauh dan beberapa orang tetangga.

 

Kami mulai mempersiapkan upacara pengabenan untuk ibu.

 

“Selamat jalan Ibu.. Semoga ibu tenang di sana.” kataku saat tulang belulang ibu dikremasi. Nenek mendekap tubuhku dengan erat, akupun membalas dekapan nenek.

 

Mimpi itu lagi. Mimpi yang sama datang berulang-ulang kali. Seorang wanita muda dengan pakaian robek, badan penuh memar dan luka, kaki dan tangan terikat rantai, berteriak minta tolong. Siapa wanita itu? Wajahnya asing, tapi ntah kenapa aku merasa ada hubungan dengannya. Ya, pasti ada hubungan antara kami, kalau tidak, bagaimana mungkin dia datang ke mimpiku hampir setiap malam? Aku harus tahu siapa wanita itu sebenarnya, aku tidak bisa terus-terusan membiarkannya mengganggu tidurku.

 

Aku turun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju cermin besar yang menempeldi tembok kamar. Wajah yang kulihat di cermin itu sangat sayu, keringat menbanjiri kulit pucatnya. Ah.. tak seharusnya gadis 15 tahun berpenampilan seperti ini.

 

“Sukreni, ayo sarapan.” terdengar suara nenek memanggilku. Akupun bergegas mencuci muka lalu menghampiri nenekku di dapur. Nenek adalah orang yang aneh. Kalau di rumah hanya ada kami berdua, nenek bersikap sangat baik padaku, tapi kalau ada kakek, sikap nenek berubah 180°, nenek menjadi dingin kepadaku dan terlihat sangat ketakutan. Aku juga takut pada kakek. Wajahnya galak dan beliau sama sekali tak pernah menganggapku ada. Aku seakan makhluk tak terlihat yang tak berarti apa-apa. Kakek tdak pernah berbicara sepatah katapun padaku. Aku rasa karena aku adalah peyebab kematian kedua orang tuaku.

 

Nenek bilang ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku dan ayah bunuh diri beberapa hari kemudian. Aku anak pembawa sial, wajar saja kakek membenciku, tapi aku tak pernah minta dilahirkan. Aku akan memilih tidak pernah lahir ke dunia ini andai saja aku tahu kalau kelahiranku hanya akan menjadi malapetaka bagi keluarga ini.

 

“Kenapa bengong? Ayo makan, nenek masak makanan kesukaanmu.” nenek mengambil beberapa sendok nasi goreng dan menaruhnya di piringku.

 

“Nek?”

 

 “Ya?”

 

“Ibuku seperti apa?”

 

Nenek tampak terkejut mendengar pertanyaanku, “Kamu kan punya fotonya.” ucapnya setelah terdiam beberapa saat.

 

 

“Iya, tapi maksudku ...”

 

“Sudah-sudah. Jangan banyak nanya. Cepat makan!”

 

Begitulah, setiap kali aku bertanya tentang ibu atau ayahku, nenek selalu menghindar. Tak banyak yang aku tahu tentang orang tuaku, hanya foto dan nama. Foto mereka hanya ada satu, saat pernikahan.

 

Aku menatap wajah nenekku, kesedihan menyelimuti wajahnya yang mulai berkeriput itu. Aku lalu menyendok nasi goreng dan memasukkannya ke mulutku, “Nasi gorengnya enak, Nek.” aku memaksakan senyum di bibirku. Nenek juga ikut tersenyum dan kamipun makan dengan lahap. Hm.. betapa damainya rumah ini tanpa kakek.

 

 

Aku dan nenek duduk berdua di ruang keluarga menonton acara musik. Aku tidak begitu menikmati acara itu karena aku tidak suka musik. Hidupku gelap dan sunyi, tak ada warna, tak ada musik, hanya kegelapan, hanya kesunyian. Tiba-tiba pikiranku kembali ke wanita dalam mimpi itu. Siapa dia sebenarnya? Apa aku harus menanyakannya pada nenek?

 

 “Sukreni.” suara nenek mengejutkanku.

 

“Iya Nek?”

 

“Akhir-akhir ini nenek lihat kamu sering bengong. Ada apa? Ada masalah di sekolah?”

 

“Nggak Nek, aku...” aku ragu, haruskah aku cerita?

 

“Kamu kenapa? Cerita sama nenek.”

 

“Aku takut Nek.” aku membenamkan wajahku di pangkuan nenek dan kupeluk pingganngnya dengan erat. Air mata yang selama ini kutahan dengan sekuat tenaga berhamburan keluar membasahi rok panjang nenekku. Aku benar-benar takut. Bayangan wajah wanita itu berkelebat memenuhi kepalaku,”Tolong.... Tolong.. Tolong..” jeritannya memekakkan gendang telingaku. Aku sudah tidak kuat. Aku harus melakukan apa?

 

“Kamu kenapa Sukreni? Ayo cerita.”

 

“Sri..” sebuah suara menggelegar di dalam ruangan, suara kakekku. Aku langsung duduk tegak kembali dan mengusap air mataku, “buatkan aku kopi, cepat!” perintahnya.

 

 

Keesokan harinya setelah pulang sekolah, aku melihat nenek duduk di ruang keluarga sambil membuka lembaran-lembaran sebuah buku yang sepertinya merupakan album foto usang, “Nenek..” kataku sambil duduk di sampingnya. Nenek sangat terkejut melihatku yang tiba-tiba sudah duduk di sana. Beliau langsung menyembunyikan album foto itu.

 

“Apa itu, Nek?”

 

“Bukan apa-apa. Cepat ganti baju. Nenek sudah menyiapkan makan siang.”

 

Aku menggelengkan kepalaku, “Apa yang nenek sembunyikan? Tolong Nek, aku ingin tau. Apa yang sebenarnya nenek liat?”

           

“Ini bukan urusanmu. Cepat ganti baju.”

           

“Ini pasti urusanku Nek! Apa nenek tau hampir setiap malam aku nggak bisa tidur karena terus dihantui mimpi buruk? Di mimpiku aku melihat seorang wanita yang berteriak minta tolong. Apa nenek tau sesuatu tentang hal ini? Aku udah capek Nek.” air mataku berhamburan keluar lagi seperti kemarin, tapi kali ini aku tak memeluk nenekku.

           

“Apa yang sebenarnya Nenek sembunyikan? Aku berhak tau Nek, aku udah dewasa.”

 

“Sukreni..” ucap nenekku dengan pelan.

 

           

Hanya tangisku yang menjawab ucapan nenek.

           

“Mungkin sudah saatnya kamu tau kenyataannya. Sebenarnya ibumu...” nenek menyeka air mata yang membasahi bagian bawah matanya, “Ibumu adalah seorang wanita yang sangat baik. Dia adalah anak nenek satu-satunya. Nenek sangat menyayanginya karena dia begitu ramah, penurut, rajin, manis, dan ceria, tapi suatu hari terjadi malapetaka. Dia...” air mata nenek merembes lagi.

           

“Ibuku kenapa Nek?” tanyaku tak sabar.

           

“Hentikan Sri!” terdengar suara kakek di belakangku. Aku menoleh, benar saja, kakek berdiri dengan tegapnya, wajahnya menunjukkan kebengisan, “Masuk ke kamar, Sukreni!” teriaknya.

           

Kakek.. Kakek bicara padaku? Walaupun hanya empat kata yang diucapkan dengan kasar, tapi dia bicara padauk!

           

“Cepat masuk ke kamar!” bentaknya lagi, kali ini lebih keras.

           

Tanpa berkata apa-apa, aku langsung berlari ke, tunggu dulu, aku harus mendengar apa yang mereka  bicarakan. Aku harus tahu apa yang mereka sembunyikan selama ini. Akupun memutuskan untuk mengintip mereka melalui sebuah lubang di tembok penyekat antara ruang keluarga dan dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Rumah kami memang sangat luas dan kamarku terletak paling jauh di belakang.

           

Aku melihat kakek berdiri sambil berkacak pinggang dan nenek sesenggukan di sofa. Aku memasang kedua telingaku dengan baik. Aku tidak ingin kelewatan satu katapun. Kakek melangkah ke dekat nenekku dan menarik rambutnya, “Apa kamu sadar apa yang baru saja kamu hampir lakukan?”

 

Nenek meringis kesakitan, tapi beliau tidak mengatakan apapun.

 

“Ini peringatan pertama dan terakhir untuk kamu, Sri! Jangan sampai aku melihatmu melakukan hal yang sama, atau kamu tidak akan pernah melihat anak itu lagi.”

           

Aku terkesiap, apa yang kakek bicarakan? Anak itu? Maksudnya aku?

           

“Tapi Yah, Sukreni sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Nenek menatap ke arah kakek.

           

Sebuah tamparan mendarat di pipi nenekku. Keras sekali. Darahku mendidih melihat semua itu.

           

“Aku tidak main-main Sri! Sekali lagi kamu lakukan itu, aku tidak akan ragu-ragu untuk menyingkirkannya.” kakek menarik rambut nenekku sekali lagi, “Cam kan itu!” beliau lalu keluar rumah dan menutup pintu depan dengan sangat keras.

 

Tubuhku lunglai. Rasa penasaranku semakin besar.

 

Beberapa menit kemudian, aku menghampiri nenekku, pura-pura baru keluar dari kamar.

           

“Nenek! Nenek kenapa?”

           

“Tidak apa-apa, Sayang. Cepat makan dan kembali ke kamar, sebelum kakek pulang.”

 

“Maafkan aku ya, Nek.”

           

“Ini bukan salahmu. Cepat makan.” kamipun beranjak ke dapur dan makan dalam diam.

           

Selesai makan nenek langsung kembali ke kamarnya, aku juga ingin masuk ke kamarku, tapi saat melintasi ruang keluarga, mataku tertuju pada album foto yang tergeletak di sofa. Kurasa kakek tidak melihatnya dan nenek lupa kalau tadi beliau melihat-lihat album foto itu. Akupun mengambilnya dan berlari ke kamar. Sampai di kamar aku mengunci pintu.

           

Tiba-tiba aku gemetaran. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pori-pori kulitku. Angin mendesir perlahan, bagaimana bisa ada angin? Pintu dan jendela sudah kututup semua! Aku bergidik ketakutan, tapi segera kutepis rasa takut tak beralasan itu. Akupun langsung membuka halaman pertama album foto itu.

           

“Keluarga Wijaya Kusuma 1975-1985” terlihat tulisan tangan yang sangat rapi, itu bukan tulisan tangan nenekku, dan aku yakin itu bukan juga tulisan tangan kakekku. Aku membuka halaman berikutnya. Ada dua buah foto. Yang satu terdiri dari tiga orang, kakek, nenek, dan seorang bayi mungil. Foto yang satunya lagi seorang gadis kecil yang sedang tersenyum. “Aku berumur 6 tahun” begitu bunyi tulisan yang terdapat di bawah foto itu, foto ibuku.

 

Aku membalik halaman demi halaman, semakin banyak foto lama yang kulihat. Hanya ada wajah kakek, nenek, dan ibuku, tapi ada sesuatu yang janggal. Wajah Ibu waktu kecil sama sekali tidak mirip dengan wajah ibu di foto pernikahan.

 

Angin mendesir lagi, terdengar bunyi “tek tek tek”. Aku melihat ke sekeliling kamar dan betapa terkejutnya aku saat melihat cermin besar di tembok kamarku berguncang dengan cepat. Semakin lama guncangannya semakin cepat. Hawa dingin menyusup ke tubuhku sampai ke sumsum tulang. Aku seakan terpaku, tak bisa bergerak. Mulutku menganga dan tubuhku bergetar hebat. Entah berapa lama aku berada dalam situasi yang mencekam itu hingga cermin itu berhenti berguncang. Aku mengumpulkan segenap keberanianku dan aku melangkah perlahan mendekati cermin.

 

Aku tak melihat bayangan wajahku di cermin. Yang kulihat adalah sebuah ruangan asing yang rasanya aku kenal. Kamarku! Ya kamarku, tapi dekorasinya sangat berbeda dan hal yang lebih aneh lagi adalah warnanya hitam putih! Bukan warna tembok! Tapi warna semuanya. Hitam dan putih! Aku melihat tanganku, warnanya masih cokelat. Aku melihat baju dan rokku, warnanya putih dan abu-abu. Aku masih berwarna, tapi yang lainnya hitam putih! Aku tak bisa memalingkan wajahku dari cermin. Aku seakan terhipnotis, tersihir. Aku tak bisa bergerak. Oh Tuhan.. Ini pasti mimpi. Rasanya sangat mengerikan. Aku ketakutan. Aku ingin menjerit. Aku ingin berteriak. Oh nenek, tolong aku.

 

Aku berusaha memejamkan mataku, tapi tak bisa. Seseorang, atau sesuatu ingin aku menyaksikan semua yang terjadi melalui cermin besar ini. Apa yang kulihat benar-benar mengerikan. Kamar yang sangat berantakan. Tak ada tempat tidur, hanya sehelai tikar pandan, tanpa bantal, tanpa selimut.

“Ayah..” tiba-tiba aku mendengar sebuah suara. Aku bergidik. Membayangkan ada orang di kamar pengap itu. Aku menyesuaikan posisi badanku supaya bisa melihat ke sudut lain ruangan itu. Ya Tuhan! Wanita itu! Wanita yang selalu muncul di mimpiku! Pakain sobek. Wajah penuh memar dan luka. Kaki dan tangan terikat rantai.

 

“Ayah, lepaskan aku.” wanita itu berteriak.    

                       

“Diam!” suara kakekku! Aku berusaha sekuat tenaga untuk menoleh, tapi usahaku sia-sia. Tubuhku kaku. Cermin itu memaksaku untuk tak mengalihkan pandangan darinya. Aku benar-benar tersiksa.

 

“Ayah... Kenapa Ayah tega melakukan ini padaku? Aku anakmu, Yah.”

 

Anak? Anak kakek? Nenek bilang mereka cuma punya satu anak, ibuku, lalu siapa wanita ini?

 

“Aku yang seharusnya bertanya, kenapa kamu tega melakukan ini padaku. Kamu tahu perbuatanmu itu sudah mencoreng nama baik keluarga!”

 

“Tapi aku mencintainya, Yah.”

 

“Cinta?! Tau apa kamu tentang cinta? Sekarang kamu liat sendiri kan. Ke mana laki-laki jahanam itu? Kenapa dia tidak menolongmu hah? Kenapa dia tidak membebaskanmu dari ikatanku? Kenapa dia kabur?” kakek meludah di samping wanita itu.

 

Wanita itu menangis. Air mata tampak mengalir di pipinya yang kotor dan penuh memar bekas tamparan dan pukulan, “Itu karena..” dia tersendat. Aku yakin dia akan mengusap pipinya yang basah andai saja tangannya tak terikat, “Itu karena Ayah telah membunuhnya.” dia bicara sambil menunduk.

Membunuh? Apa? Kakekku pembunuh?

 

Kakek terdiam beberapa saat. Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.

 

“Ayah.. Aku mohon lepaskan aku. Tidakkah Ayah kasihan sama Sukreni? Dia tidak bisa terus-terusan dikurung di sini.”

 

AKU??!! Ada apa sebenarnya ini? Mimpi.. Ya, ini pasti mimpi. Aku menggerakkan kepalaku lagi, berusaha menyingkir dari cermin sialan itu, tapi tidak bisa. Sial!

 

“Baiklah kalau Ayah tidak mau melepaskanku, tapi setidaknya, tolong lepaskan Sukreni. Dia tidak tau apa-apa. Dia tidak berdosa, Yah. Biar aku saja yang menanggung semua yang telah kulakukan. Tolong bebaskan dan jaga dia, biar bagaimanapun, dia itu cucu Ayah.”

 

Aku melihat kakek menjambak rambut wanita itu, “Dia bukan cucuku, setan!” kakek lalu menghantamkan kepalanya bertubi-tubi ke tembok. Darah muncrat mengenai baju dan celana kakek. Wanita itu memejamkan matanya dan di saat yang bersamaan terdengar tangisan bayi. AKU! Bayi itu aku!

 

“Asih...” kakek mengguncang tubuh wanita malang itu, “Asih..” teriaknya lagi. Mata kakek tampak basah, “Maafkan Ayah.” Kakek memeluknya, tapi tak lama. Kakek lalu keluar ruangan.

 

Aku masih belum bisa bergerak. Peristiwa ini membuatku gila. Jadi wanita itu ibuku? Bayi yang menangis itu aku? Berarti foto pernikahan orang tuaku foto palsu? Tidak, tidak, ini pasti hanya mimpi.

 

Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Kakek datang dengan linggis, pasir, semen, ember, dan alat pertukangan yang lain. Apa yang akan kakek lakukan?

 

Kakek berjalan ke arahku berdiri. Aku kembali ketakutan. Apa dia mau membunuhku?

 

Tidak! Kakek berjalan tepat melintasiku, menembusku! Lalu kakek menggunakan linggis untuk membuat lubang di tembok di depanku. Cermin itu tidak ada di sana. Hanya aku yang bisa melihat cermin itu. Hanya aku dan cermin itu yang ada tapi seakan tak ada. Aku pusing. Aku ingin pingsan. Seandainya ini dunia nyata, pasti aku sudah pingsan dari tadi, tapi ada sesuatu yang membuat mataku tetap terbuka lebar.

 

Kakek terus menggali tanpa kenal lelah. Lubang yang dibuatpun sudah cukup besar. Kakek berjalan ke arah wanita itu,- aku tak akan memanggilnya Ibu, karena ini hanya mimpi!-, menggendongnya, dan menaruhnya di lubang. Kemudian kakek menutup mayat itu dengan balok kayu dan menguburnya dengan campuran semen.

 

Aku melihat semua itu tanpa bisa melakukan apapun. Otakku buntu. Aku ingin segera bangun dari mimpi mengerikan ini.

Kakek keluar ruangan lagi. Beliau sama sekali tak mempedulikan si bayi yang terus-terusan menangis. Entah karena haus atau karena tahu ibunya sudah meninggal. Betapa aku ingin menenangkan bayi itu, seandainya aku bisa bergerak. Cermin terkutuk! Apa yang kau lakukan padaku?

 

Aku melihat kakek masuk ruangan dengan sebuah cermin besar di tangannya. Cermin itu! Cermin berukuran 1 x 2 meter yang menempel di tembok kamarku. Kakek memang memiliki badan yang kekar jadi beliau bisa dengan mudah membawa dan menempelkan cermin itu di tembok. Menutupi bekas lubang kuburan seorang wanita.

 

Kakek menembusku sekali lagi dan beranjak menuju bayi itu, “Diam! Atau aku akan membuatmu menyusul ibumu yang jalang itu!”

 

Merekapun keluar ruangan. Kakek menutup pintu kamar dengan keras, begitu kerasnya sampai aku terlonjak.

 

Mimpi.... Ternyata itu memang hanya mimpi. Aku merasakan seragam sekolahku basah karena keringat. Aku pasti ketiduran saat melihat-lihat foto itu. Aku mimpi aneh seperti itu pasti karena aku marah sama kakek yang telah menampar nenek. Kakekku tidak mungkin membunuh.

 

Aku mengusap keringat di pelipis dan dahiku lalu akupun turun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya aku saat melihat cermin besar yang ada di tembok pecah menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan di lantai. Apa yang selama ini ditutupi oleh cermin itu terlihat dengan jelas. Bekas lubang! Itu bukan mimpi. Oh...

 

Tiba-tiba angin berdesir lagi. Jendela yang kuyakin sudah kukunci terbuka lebar dan terantuk-antuk karena angin. Ketakutan merasukiku lagi. Tubuhku lemas. Keringat membasahi dahi, pelipis, dan sekujur tubuhku. Aku menatap bekas lubang itu dan sesuatu muncul dari dalamnya. Seorang wanita cantik, kulitnya bersih, tak ada memar, tak ada luka, ibuku.

 

“Sukreni...” dia berbisik perlahan, suaranya merdu, tangannya melambai ke arahku.

 

Aku tanpa ragu mendekatinya. Inilah ibuku, wanita yang selalu muncul di mimpiku.

 

“Ibu...” aku berusaha memeluknya, tapi aku memeluk angin. Akupun mundur beberapa langkah dan memperhatikan wajahnya yang menyiratkan kesedihan.

 

“Tolong bebaskan Ibu, Nak.”

 

“Membebaskan Ibu, bagaimana caranya?”

 

“Ibu tidak akan pernah tenang sebelum mayat ibu diupacarai dengan layak.”

 

“Ibu.... Aku masih bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?”

 

Ibuku tersenyum, senyum manis itu menghiasi wajah pucatnya, “Apa yang baru saja kamu lihat adalah kenyataan, anakku.” Tiba-tiba ibuku berubah. Pakaian putihnya berubah menjadi pakian sobek-sobek, wajahnya menjadi penuh memar dan luka, tangan dan kakinya terikat, “Cepat lepaskan Ibu, Nak. Tolong... Tolong.. Tolong ibu..”

 

“Ibu............” aku menjerit. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih di tempat tidur. Aku baru saja bangun dari tidur. Mimpi dalam mimpi. Aku bisa gila.

 

“Sukreni, kamu kenapa?” kata nenek yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.

 

“Nenek..” aku langsung turun dari tempat tidur dan mendekap nenekku dengan erat. Air mata bercucuran dari kedua mataku, beradu dengan keringat.

 

“Kamu mimpi buruk?” nenek membelai kepalaku dengan lembut, “Tenang, nenek di sini. Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”

 

Aku melepaskan pelukanku dan kea rah lemari dan mengambil tongkat kasti. Aku kemudian melangkah menuju cermin besar itu.

 

“Kamu mau ngapain, Sukreni?” nenek memegang tanganku, aku menepis tangannya.

 

Aku tidak tahu dari mana datangnya kekuatan yang menggebu ini. Aku memukul cermin itu dengan sekuat tenaga. Satu pukulan saja, cermin itu hancur berkeping-keping.

 

“Sukreni!” nenek menjerit, lalu menarik tubuhku menjauh dari serpihan kaca itu, “Apa yang kamu lakukan?”

 

“Mengungkap kebenaran.” Kataku sambil menunjuk tembok tempat cermin itu menempel sebelumnya.

 

Nenekku menangis, aku juga. Tak ada kata yang mampu melukiskan perasaan kami saat itu. Aku benar-benar terpukul. Kakek telah membunuh kedua orang tuaku, tapi beliau mengatakan aku yang menyebabkan mereka meninggal. Kakek sudah mebuatku hidup dalam bayang-bayang penyesalan, dan nenek.. ah.. aku tak bisa menyalahkan nenek. Nenek sudah begitu baik padaku dan beliau terpaksa berbohong demi menyelamatkan jiwaku dari kakek.

 

“Maafkan Nenek.” aku merasakan tangan nenek mendekap tubuhku.

 

“Di mana pembunuh itu?” aku menepis kedua tangan nenek dan aku menatap wajahnya.

 

“Kakek belum pulang dari tadi siang.”

 

“Kita harus menghubungi polisi Nek, kita tidak bisa membiarkan pembunuh itu tinggal bersama kita.”

 

“Tapi nenek takut.”

 

“Apa yang nenek takutkan?”

 

Nenek diam tak menjawab.

 

“Kita harus segera pergi dari sini Nek.” Aku menarik tangan nenekku lalu kami berlari ke ruang keluarga. Aku langsung menelepon kantor polisi dan menceritakan semuanya secara singkat. Setelah itu kami keluar.

 

“Kita mau ke mana?”

 

“Ke rumah tetangga. Kita harus bersembunyi sampai polisi datang. Kalau kakek bisa membunuh ibu pasti kakek juga bisa membunuh kita.” aku berjalan tanpa menoleh ke arah nenek yang mengikut di belakangku. Langkahku terhenti saat tiba-tiba aku melihat kakek berjalan ke arah kami.

 

“Mau ke mana kamu, Sri?”

 

Tubuhku bergetar menahan gejolak kebencian dan kemarahan.

 

“Jawab!” bentak kakek.

 

“Jangan bentak nenekku lagi!” aku berteriak. Kebencian dan kemarahan itu bersatu membentuk keberanian.

 

“Aku tak bicara padamu.”

 

“Aku juga sebenarnya tak sudi bicara dengan pembunuh sepertimu!”

 

“Apa kamu bilang?”

 

“Aku sudah tahu semuanya!”

 

Kakek melotot ke arah nenekku, “Berani-beraninya kamu melanggar perintahku. Kakek berjalan mendekati nenek.

 

Aku merentangkan kedua tanganku, “Bukan nenek yang memberi tahuku, tapi ibu!”

 

“Apa?”

 

“Ibu selalu datang ke mimpiku minta tolong. Kenapa kakek tega melakukan itu? Kenapa kakek membunuh orang tuaku?”

 

“Kalau tahu seperti ini, aku pasti juga membunuhmu dari dulu.”

 

“Bunuh saja aku!” nenek berteriak. Aku menoleh tak percaya ke arah nenek, “Bunuh saja aku! Aku sudah muak hidup denganmu! Kamu telah tega membunuh anak kita satu-satunya. Kamu bukan manusia, Atmaja! Kamu setan!”

 

“Apa kamu bilang?” Kakek terlihat sangat marah, kedua matanya melotot seakan mau keluar dari tempatnya. Kakek berjalan mendekati nenek dan menghempaskan tubuhku. Aku terjatuh ke bebatuan kering yang menggores kulitku. Rasanya sakit sekali.

 

“Aku seharusnya sudah membunuhmu dari dulu.” Aku mendengar kakek berteriak. Aku segera menoleh. Kakek mencekik nenekku hingga tubuh nenek terangkat beberapa senti dari tanah.

 

“Hentikan...” aku berteriak, menahan sakit di siku dan telapak tanganku. Aku berlari ke arah mereka dan kudorong kakek dengan sekuat tenaga. Kakek melepaskan nenek dan berbalik ke arahku. Wajah kakek benar-benar menakutkan.

 

Aku mengatur nafasku, hidungku bekerja ekstra untuk memasukkan banyak oksigen ke paru-paru. Waktu terasa melambat. Kakek menyeringai, “Kamu akan segera menyusul orang tuamu.” Katanya sambil berjalan mendekat.

 

Aku melangkah mundur dan kakiku tersandung batu. Aku terjerembab.

 

“Akan kukirim kau ke neraka.” Tangan kakek menggapai leherku. Aku menepis tangan-tangan kokoh itu sekuat tenaga, tapi sia-sia.

 

“Jangan bergerak!” seseorang berteriak. Aku menoleh, polisi.

Dua orang polisi langsung membekuk kakekku dan memborgol tangannya. Aku dan nenekpun segera dilarikan ke rumah sakit. Untung nyawa nenek bisa diselamatkan.

 

Esoknya aku pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Aku menceritakan semuanya. Polisi terlihat kurang percaya dengan ceritaku. Kamipun ke rumahku untuk melihat lubang itu.

 

Seorang petugas menggali tembok itu. Satu jam kemudiam linggisnya beradu dengan balok kayu. Diapun menarik balok kayu tersebut dan terlihatlah kerangka manusia, kerangka ibuku. Aku tak bisa menahan air mata yang meleleh di pipiku.

*****

Sehari kemudian nenek sudah bisa dibawa pulang. Kami mendengar kabar kalau kakek terancam dipenjara seumur hidup. Aku sungguh bersyukur.

 

“Nek, kita bebaskan ibu ya.” Kataku saat kami berdua duduk di ruang keluarga.

 

Nenek mengangguk perlahan. Akupun menghubungi keluarga jauh dan beberapa orang tetangga.

 

Kami mulai mempersiapkan upacara pengabenan untuk ibu.

 

“Selamat jalan Ibu.. Semoga ibu tenang di sana.” kataku saat tulang belulang ibu dikremasi. Nenek mendekap tubuhku dengan erat, akupun membalas dekapan nenek.

 

Mimpi itu lagi. Mimpi yang sama datang berulang-ulang kali. Seorang wanita muda dengan pakaian robek, badan penuh memar dan luka, kaki dan tangan terikat rantai, berteriak minta tolong. Siapa wanita itu? Wajahnya asing, tapi ntah kenapa aku merasa ada hubungan dengannya. Ya, pasti ada hubungan antara kami, kalau tidak, bagaimana mungkin dia datang ke mimpiku hampir setiap malam? Aku harus tahu siapa wanita itu sebenarnya, aku tidak bisa terus-terusan membiarkannya mengganggu tidurku.

 

Aku turun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju cermin besar yang menempeldi tembok kamar. Wajah yang kulihat di cermin itu sangat sayu, keringat menbanjiri kulit pucatnya. Ah.. tak seharusnya gadis 15 tahun berpenampilan seperti ini.

 

“Sukreni, ayo sarapan.” terdengar suara nenek memanggilku. Akupun bergegas mencuci muka lalu menghampiri nenekku di dapur. Nenek adalah orang yang aneh. Kalau di rumah hanya ada kami berdua, nenek bersikap sangat baik padaku, tapi kalau ada kakek, sikap nenek berubah 180°, nenek menjadi dingin kepadaku dan terlihat sangat ketakutan. Aku juga takut pada kakek. Wajahnya galak dan beliau sama sekali tak pernah menganggapku ada. Aku seakan makhluk tak terlihat yang tak berarti apa-apa. Kakek tdak pernah berbicara sepatah katapun padaku. Aku rasa karena aku adalah peyebab kematian kedua orang tuaku.

 

Nenek bilang ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku dan ayah bunuh diri beberapa hari kemudian. Aku anak pembawa sial, wajar saja kakek membenciku, tapi aku tak pernah minta dilahirkan. Aku akan memilih tidak pernah lahir ke dunia ini andai saja aku tahu kalau kelahiranku hanya akan menjadi malapetaka bagi keluarga ini.

 

“Kenapa bengong? Ayo makan, nenek masak makanan kesukaanmu.” nenek mengambil beberapa sendok nasi goreng dan menaruhnya di piringku.

 

“Nek?”

 

 “Ya?”

 

“Ibuku seperti apa?”

 

Nenek tampak terkejut mendengar pertanyaanku, “Kamu kan punya fotonya.” ucapnya setelah terdiam beberapa saat.

 

 

“Iya, tapi maksudku ...”

 

“Sudah-sudah. Jangan banyak nanya. Cepat makan!”

 

Begitulah, setiap kali aku bertanya tentang ibu atau ayahku, nenek selalu menghindar. Tak banyak yang aku tahu tentang orang tuaku, hanya foto dan nama. Foto mereka hanya ada satu, saat pernikahan.

 

Aku menatap wajah nenekku, kesedihan menyelimuti wajahnya yang mulai berkeriput itu. Aku lalu menyendok nasi goreng dan memasukkannya ke mulutku, “Nasi gorengnya enak, Nek.” aku memaksakan senyum di bibirku. Nenek juga ikut tersenyum dan kamipun makan dengan lahap. Hm.. betapa damainya rumah ini tanpa kakek.

 

 

Aku dan nenek duduk berdua di ruang keluarga menonton acara musik. Aku tidak begitu menikmati acara itu karena aku tidak suka musik. Hidupku gelap dan sunyi, tak ada warna, tak ada musik, hanya kegelapan, hanya kesunyian. Tiba-tiba pikiranku kembali ke wanita dalam mimpi itu. Siapa dia sebenarnya? Apa aku harus menanyakannya pada nenek?

 

 “Sukreni.” suara nenek mengejutkanku.

 

“Iya Nek?”

 

“Akhir-akhir ini nenek lihat kamu sering bengong. Ada apa? Ada masalah di sekolah?”

 

“Nggak Nek, aku...” aku ragu, haruskah aku cerita?

 

“Kamu kenapa? Cerita sama nenek.”

 

“Aku takut Nek.” aku membenamkan wajahku di pangkuan nenek dan kupeluk pingganngnya dengan erat. Air mata yang selama ini kutahan dengan sekuat tenaga berhamburan keluar membasahi rok panjang nenekku. Aku benar-benar takut. Bayangan wajah wanita itu berkelebat memenuhi kepalaku,”Tolong.... Tolong.. Tolong..” jeritannya memekakkan gendang telingaku. Aku sudah tidak kuat. Aku harus melakukan apa?

 

“Kamu kenapa Sukreni? Ayo cerita.”

 

“Sri..” sebuah suara menggelegar di dalam ruangan, suara kakekku. Aku langsung duduk tegak kembali dan mengusap air mataku, “buatkan aku kopi, cepat!” perintahnya.

 

 

Keesokan harinya setelah pulang sekolah, aku melihat nenek duduk di ruang keluarga sambil membuka lembaran-lembaran sebuah buku yang sepertinya merupakan album foto usang, “Nenek..” kataku sambil duduk di sampingnya. Nenek sangat terkejut melihatku yang tiba-tiba sudah duduk di sana. Beliau langsung menyembunyikan album foto itu.

 

“Apa itu, Nek?”

 

“Bukan apa-apa. Cepat ganti baju. Nenek sudah menyiapkan makan siang.”

 

Aku menggelengkan kepalaku, “Apa yang nenek sembunyikan? Tolong Nek, aku ingin tau. Apa yang sebenarnya nenek liat?”

           

“Ini bukan urusanmu. Cepat ganti baju.”

           

“Ini pasti urusanku Nek! Apa nenek tau hampir setiap malam aku nggak bisa tidur karena terus dihantui mimpi buruk? Di mimpiku aku melihat seorang wanita yang berteriak minta tolong. Apa nenek tau sesuatu tentang hal ini? Aku udah capek Nek.” air mataku berhamburan keluar lagi seperti kemarin, tapi kali ini aku tak memeluk nenekku.

           

“Apa yang sebenarnya Nenek sembunyikan? Aku berhak tau Nek, aku udah dewasa.”

 

“Sukreni..” ucap nenekku dengan pelan.

 

           

Hanya tangisku yang menjawab ucapan nenek.

           

“Mungkin sudah saatnya kamu tau kenyataannya. Sebenarnya ibumu...” nenek menyeka air mata yang membasahi bagian bawah matanya, “Ibumu adalah seorang wanita yang sangat baik. Dia adalah anak nenek satu-satunya. Nenek sangat menyayanginya karena dia begitu ramah, penurut, rajin, manis, dan ceria, tapi suatu hari terjadi malapetaka. Dia...” air mata nenek merembes lagi.

           

“Ibuku kenapa Nek?” tanyaku tak sabar.

           

“Hentikan Sri!” terdengar suara kakek di belakangku. Aku menoleh, benar saja, kakek berdiri dengan tegapnya, wajahnya menunjukkan kebengisan, “Masuk ke kamar, Sukreni!” teriaknya.

           

Kakek.. Kakek bicara padaku? Walaupun hanya empat kata yang diucapkan dengan kasar, tapi dia bicara padauk!

           

“Cepat masuk ke kamar!” bentaknya lagi, kali ini lebih keras.

           

Tanpa berkata apa-apa, aku langsung berlari ke, tunggu dulu, aku harus mendengar apa yang mereka  bicarakan. Aku harus tahu apa yang mereka sembunyikan selama ini. Akupun memutuskan untuk mengintip mereka melalui sebuah lubang di tembok penyekat antara ruang keluarga dan dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Rumah kami memang sangat luas dan kamarku terletak paling jauh di belakang.

           

Aku melihat kakek berdiri sambil berkacak pinggang dan nenek sesenggukan di sofa. Aku memasang kedua telingaku dengan baik. Aku tidak ingin kelewatan satu katapun. Kakek melangkah ke dekat nenekku dan menarik rambutnya, “Apa kamu sadar apa yang baru saja kamu hampir lakukan?”

 

Nenek meringis kesakitan, tapi beliau tidak mengatakan apapun.

 

“Ini peringatan pertama dan terakhir untuk kamu, Sri! Jangan sampai aku melihatmu melakukan hal yang sama, atau kamu tidak akan pernah melihat anak itu lagi.”

           

Aku terkesiap, apa yang kakek bicarakan? Anak itu? Maksudnya aku?

           

“Tapi Yah, Sukreni sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Nenek menatap ke arah kakek.

           

Sebuah tamparan mendarat di pipi nenekku. Keras sekali. Darahku mendidih melihat semua itu.

           

“Aku tidak main-main Sri! Sekali lagi kamu lakukan itu, aku tidak akan ragu-ragu untuk menyingkirkannya.” kakek menarik rambut nenekku sekali lagi, “Cam kan itu!” beliau lalu keluar rumah dan menutup pintu depan dengan sangat keras.

 

Tubuhku lunglai. Rasa penasaranku semakin besar.

 

Beberapa menit kemudian, aku menghampiri nenekku, pura-pura baru keluar dari kamar.

           

“Nenek! Nenek kenapa?”

           

“Tidak apa-apa, Sayang. Cepat makan dan kembali ke kamar, sebelum kakek pulang.”

 

“Maafkan aku ya, Nek.”

           

“Ini bukan salahmu. Cepat makan.” kamipun beranjak ke dapur dan makan dalam diam.

           

Selesai makan nenek langsung kembali ke kamarnya, aku juga ingin masuk ke kamarku, tapi saat melintasi ruang keluarga, mataku tertuju pada album foto yang tergeletak di sofa. Kurasa kakek tidak melihatnya dan nenek lupa kalau tadi beliau melihat-lihat album foto itu. Akupun mengambilnya dan berlari ke kamar. Sampai di kamar aku mengunci pintu.

           

Tiba-tiba aku gemetaran. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pori-pori kulitku. Angin mendesir perlahan, bagaimana bisa ada angin? Pintu dan jendela sudah kututup semua! Aku bergidik ketakutan, tapi segera kutepis rasa takut tak beralasan itu. Akupun langsung membuka halaman pertama album foto itu.

           

“Keluarga Wijaya Kusuma 1975-1985” terlihat tulisan tangan yang sangat rapi, itu bukan tulisan tangan nenekku, dan aku yakin itu bukan juga tulisan tangan kakekku. Aku membuka halaman berikutnya. Ada dua buah foto. Yang satu terdiri dari tiga orang, kakek, nenek, dan seorang bayi mungil. Foto yang satunya lagi seorang gadis kecil yang sedang tersenyum. “Aku berumur 6 tahun” begitu bunyi tulisan yang terdapat di bawah foto itu, foto ibuku.

 

Aku membalik halaman demi halaman, semakin banyak foto lama yang kulihat. Hanya ada wajah kakek, nenek, dan ibuku, tapi ada sesuatu yang janggal. Wajah Ibu waktu kecil sama sekali tidak mirip dengan wajah ibu di foto pernikahan.

 

Angin mendesir lagi, terdengar bunyi “tek tek tek”. Aku melihat ke sekeliling kamar dan betapa terkejutnya aku saat melihat cermin besar di tembok kamarku berguncang dengan cepat. Semakin lama guncangannya semakin cepat. Hawa dingin menyusup ke tubuhku sampai ke sumsum tulang. Aku seakan terpaku, tak bisa bergerak. Mulutku menganga dan tubuhku bergetar hebat. Entah berapa lama aku berada dalam situasi yang mencekam itu hingga cermin itu berhenti berguncang. Aku mengumpulkan segenap keberanianku dan aku melangkah perlahan mendekati cermin.

 

Aku tak melihat bayangan wajahku di cermin. Yang kulihat adalah sebuah ruangan asing yang rasanya aku kenal. Kamarku! Ya kamarku, tapi dekorasinya sangat berbeda dan hal yang lebih aneh lagi adalah warnanya hitam putih! Bukan warna tembok! Tapi warna semuanya. Hitam dan putih! Aku melihat tanganku, warnanya masih cokelat. Aku melihat baju dan rokku, warnanya putih dan abu-abu. Aku masih berwarna, tapi yang lainnya hitam putih! Aku tak bisa memalingkan wajahku dari cermin. Aku seakan terhipnotis, tersihir. Aku tak bisa bergerak. Oh Tuhan.. Ini pasti mimpi. Rasanya sangat mengerikan. Aku ketakutan. Aku ingin menjerit. Aku ingin berteriak. Oh nenek, tolong aku.

 

Aku berusaha memejamkan mataku, tapi tak bisa. Seseorang, atau sesuatu ingin aku menyaksikan semua yang terjadi melalui cermin besar ini. Apa yang kulihat benar-benar mengerikan. Kamar yang sangat berantakan. Tak ada tempat tidur, hanya sehelai tikar pandan, tanpa bantal, tanpa selimut.

“Ayah..” tiba-tiba aku mendengar sebuah suara. Aku bergidik. Membayangkan ada orang di kamar pengap itu. Aku menyesuaikan posisi badanku supaya bisa melihat ke sudut lain ruangan itu. Ya Tuhan! Wanita itu! Wanita yang selalu muncul di mimpiku! Pakain sobek. Wajah penuh memar dan luka. Kaki dan tangan terikat rantai.

 

“Ayah, lepaskan aku.” wanita itu berteriak.    

                       

“Diam!” suara kakekku! Aku berusaha sekuat tenaga untuk menoleh, tapi usahaku sia-sia. Tubuhku kaku. Cermin itu memaksaku untuk tak mengalihkan pandangan darinya. Aku benar-benar tersiksa.

 

“Ayah... Kenapa Ayah tega melakukan ini padaku? Aku anakmu, Yah.”

 

Anak? Anak kakek? Nenek bilang mereka cuma punya satu anak, ibuku, lalu siapa wanita ini?

 

“Aku yang seharusnya bertanya, kenapa kamu tega melakukan ini padaku. Kamu tahu perbuatanmu itu sudah mencoreng nama baik keluarga!”

 

“Tapi aku mencintainya, Yah.”

 

“Cinta?! Tau apa kamu tentang cinta? Sekarang kamu liat sendiri kan. Ke mana laki-laki jahanam itu? Kenapa dia tidak menolongmu hah? Kenapa dia tidak membebaskanmu dari ikatanku? Kenapa dia kabur?” kakek meludah di samping wanita itu.

 

Wanita itu menangis. Air mata tampak mengalir di pipinya yang kotor dan penuh memar bekas tamparan dan pukulan, “Itu karena..” dia tersendat. Aku yakin dia akan mengusap pipinya yang basah andai saja tangannya tak terikat, “Itu karena Ayah telah membunuhnya.” dia bicara sambil menunduk.

Membunuh? Apa? Kakekku pembunuh?

 

Kakek terdiam beberapa saat. Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.

 

“Ayah.. Aku mohon lepaskan aku. Tidakkah Ayah kasihan sama Sukreni? Dia tidak bisa terus-terusan dikurung di sini.”

 

AKU??!! Ada apa sebenarnya ini? Mimpi.. Ya, ini pasti mimpi. Aku menggerakkan kepalaku lagi, berusaha menyingkir dari cermin sialan itu, tapi tidak bisa. Sial!

 

“Baiklah kalau Ayah tidak mau melepaskanku, tapi setidaknya, tolong lepaskan Sukreni. Dia tidak tau apa-apa. Dia tidak berdosa, Yah. Biar aku saja yang menanggung semua yang telah kulakukan. Tolong bebaskan dan jaga dia, biar bagaimanapun, dia itu cucu Ayah.”

 

Aku melihat kakek menjambak rambut wanita itu, “Dia bukan cucuku, setan!” kakek lalu menghantamkan kepalanya bertubi-tubi ke tembok. Darah muncrat mengenai baju dan celana kakek. Wanita itu memejamkan matanya dan di saat yang bersamaan terdengar tangisan bayi. AKU! Bayi itu aku!

 

“Asih...” kakek mengguncang tubuh wanita malang itu, “Asih..” teriaknya lagi. Mata kakek tampak basah, “Maafkan Ayah.” Kakek memeluknya, tapi tak lama. Kakek lalu keluar ruangan.

 

Aku masih belum bisa bergerak. Peristiwa ini membuatku gila. Jadi wanita itu ibuku? Bayi yang menangis itu aku? Berarti foto pernikahan orang tuaku foto palsu? Tidak, tidak, ini pasti hanya mimpi.

 

Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Kakek datang dengan linggis, pasir, semen, ember, dan alat pertukangan yang lain. Apa yang akan kakek lakukan?

 

Kakek berjalan ke arahku berdiri. Aku kembali ketakutan. Apa dia mau membunuhku?

 

Tidak! Kakek berjalan tepat melintasiku, menembusku! Lalu kakek menggunakan linggis untuk membuat lubang di tembok di depanku. Cermin itu tidak ada di sana. Hanya aku yang bisa melihat cermin itu. Hanya aku dan cermin itu yang ada tapi seakan tak ada. Aku pusing. Aku ingin pingsan. Seandainya ini dunia nyata, pasti aku sudah pingsan dari tadi, tapi ada sesuatu yang membuat mataku tetap terbuka lebar.

 

Kakek terus menggali tanpa kenal lelah. Lubang yang dibuatpun sudah cukup besar. Kakek berjalan ke arah wanita itu,- aku tak akan memanggilnya Ibu, karena ini hanya mimpi!-, menggendongnya, dan menaruhnya di lubang. Kemudian kakek menutup mayat itu dengan balok kayu dan menguburnya dengan campuran semen.

 

Aku melihat semua itu tanpa bisa melakukan apapun. Otakku buntu. Aku ingin segera bangun dari mimpi mengerikan ini.

Kakek keluar ruangan lagi. Beliau sama sekali tak mempedulikan si bayi yang terus-terusan menangis. Entah karena haus atau karena tahu ibunya sudah meninggal. Betapa aku ingin menenangkan bayi itu, seandainya aku bisa bergerak. Cermin terkutuk! Apa yang kau lakukan padaku?

 

Aku melihat kakek masuk ruangan dengan sebuah cermin besar di tangannya. Cermin itu! Cermin berukuran 1 x 2 meter yang menempel di tembok kamarku. Kakek memang memiliki badan yang kekar jadi beliau bisa dengan mudah membawa dan menempelkan cermin itu di tembok. Menutupi bekas lubang kuburan seorang wanita.

 

Kakek menembusku sekali lagi dan beranjak menuju bayi itu, “Diam! Atau aku akan membuatmu menyusul ibumu yang jalang itu!”

 

Merekapun keluar ruangan. Kakek menutup pintu kamar dengan keras, begitu kerasnya sampai aku terlonjak.

 

Mimpi.... Ternyata itu memang hanya mimpi. Aku merasakan seragam sekolahku basah karena keringat. Aku pasti ketiduran saat melihat-lihat foto itu. Aku mimpi aneh seperti itu pasti karena aku marah sama kakek yang telah menampar nenek. Kakekku tidak mungkin membunuh.

 

Aku mengusap keringat di pelipis dan dahiku lalu akupun turun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya aku saat melihat cermin besar yang ada di tembok pecah menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan di lantai. Apa yang selama ini ditutupi oleh cermin itu terlihat dengan jelas. Bekas lubang! Itu bukan mimpi. Oh...

 

Tiba-tiba angin berdesir lagi. Jendela yang kuyakin sudah kukunci terbuka lebar dan terantuk-antuk karena angin. Ketakutan merasukiku lagi. Tubuhku lemas. Keringat membasahi dahi, pelipis, dan sekujur tubuhku. Aku menatap bekas lubang itu dan sesuatu muncul dari dalamnya. Seorang wanita cantik, kulitnya bersih, tak ada memar, tak ada luka, ibuku.

 

“Sukreni...” dia berbisik perlahan, suaranya merdu, tangannya melambai ke arahku.

 

Aku tanpa ragu mendekatinya. Inilah ibuku, wanita yang selalu muncul di mimpiku.

 

“Ibu...” aku berusaha memeluknya, tapi aku memeluk angin. Akupun mundur beberapa langkah dan memperhatikan wajahnya yang menyiratkan kesedihan.

 

“Tolong bebaskan Ibu, Nak.”

 

“Membebaskan Ibu, bagaimana caranya?”

 

“Ibu tidak akan pernah tenang sebelum mayat ibu diupacarai dengan layak.”

 

“Ibu.... Aku masih bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?”

 

Ibuku tersenyum, senyum manis itu menghiasi wajah pucatnya, “Apa yang baru saja kamu lihat adalah kenyataan, anakku.” Tiba-tiba ibuku berubah. Pakaian putihnya berubah menjadi pakian sobek-sobek, wajahnya menjadi penuh memar dan luka, tangan dan kakinya terikat, “Cepat lepaskan Ibu, Nak. Tolong... Tolong.. Tolong ibu..”

 

“Ibu............” aku menjerit. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih di tempat tidur. Aku baru saja bangun dari tidur. Mimpi dalam mimpi. Aku bisa gila.

 

“Sukreni, kamu kenapa?” kata nenek yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.

 

“Nenek..” aku langsung turun dari tempat tidur dan mendekap nenekku dengan erat. Air mata bercucuran dari kedua mataku, beradu dengan keringat.

 

“Kamu mimpi buruk?” nenek membelai kepalaku dengan lembut, “Tenang, nenek di sini. Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”

 

Aku melepaskan pelukanku dan kea rah lemari dan mengambil tongkat kasti. Aku kemudian melangkah menuju cermin besar itu.

 

“Kamu mau ngapain, Sukreni?” nenek memegang tanganku, aku menepis tangannya.

 

Aku tidak tahu dari mana datangnya kekuatan yang menggebu ini. Aku memukul cermin itu dengan sekuat tenaga. Satu pukulan saja, cermin itu hancur berkeping-keping.

 

“Sukreni!” nenek menjerit, lalu menarik tubuhku menjauh dari serpihan kaca itu, “Apa yang kamu lakukan?”

 

“Mengungkap kebenaran.” Kataku sambil menunjuk tembok tempat cermin itu menempel sebelumnya.

 

Nenekku menangis, aku juga. Tak ada kata yang mampu melukiskan perasaan kami saat itu. Aku benar-benar terpukul. Kakek telah membunuh kedua orang tuaku, tapi beliau mengatakan aku yang menyebabkan mereka meninggal. Kakek sudah mebuatku hidup dalam bayang-bayang penyesalan, dan nenek.. ah.. aku tak bisa menyalahkan nenek. Nenek sudah begitu baik padaku dan beliau terpaksa berbohong demi menyelamatkan jiwaku dari kakek.

 

“Maafkan Nenek.” aku merasakan tangan nenek mendekap tubuhku.

 

“Di mana pembunuh itu?” aku menepis kedua tangan nenek dan aku menatap wajahnya.

 

“Kakek belum pulang dari tadi siang.”

 

“Kita harus menghubungi polisi Nek, kita tidak bisa membiarkan pembunuh itu tinggal bersama kita.”

 

“Tapi nenek takut.”

 

“Apa yang nenek takutkan?”

 

Nenek diam tak menjawab.

 

“Kita harus segera pergi dari sini Nek.” Aku menarik tangan nenekku lalu kami berlari ke ruang keluarga. Aku langsung menelepon kantor polisi dan menceritakan semuanya secara singkat. Setelah itu kami keluar.

 

“Kita mau ke mana?”

 

“Ke rumah tetangga. Kita harus bersembunyi sampai polisi datang. Kalau kakek bisa membunuh ibu pasti kakek juga bisa membunuh kita.” aku berjalan tanpa menoleh ke arah nenek yang mengikut di belakangku. Langkahku terhenti saat tiba-tiba aku melihat kakek berjalan ke arah kami.

 

“Mau ke mana kamu, Sri?”

 

Tubuhku bergetar menahan gejolak kebencian dan kemarahan.

 

“Jawab!” bentak kakek.

 

“Jangan bentak nenekku lagi!” aku berteriak. Kebencian dan kemarahan itu bersatu membentuk keberanian.

 

“Aku tak bicara padamu.”

 

“Aku juga sebenarnya tak sudi bicara dengan pembunuh sepertimu!”

 

“Apa kamu bilang?”

 

“Aku sudah tahu semuanya!”

 

Kakek melotot ke arah nenekku, “Berani-beraninya kamu melanggar perintahku. Kakek berjalan mendekati nenek.

 

Aku merentangkan kedua tanganku, “Bukan nenek yang memberi tahuku, tapi ibu!”

 

“Apa?”

 

“Ibu selalu datang ke mimpiku minta tolong. Kenapa kakek tega melakukan itu? Kenapa kakek membunuh orang tuaku?”

 

“Kalau tahu seperti ini, aku pasti juga membunuhmu dari dulu.”

 

“Bunuh saja aku!” nenek berteriak. Aku menoleh tak percaya ke arah nenek, “Bunuh saja aku! Aku sudah muak hidup denganmu! Kamu telah tega membunuh anak kita satu-satunya. Kamu bukan manusia, Atmaja! Kamu setan!”

 

“Apa kamu bilang?” Kakek terlihat sangat marah, kedua matanya melotot seakan mau keluar dari tempatnya. Kakek berjalan mendekati nenek dan menghempaskan tubuhku. Aku terjatuh ke bebatuan kering yang menggores kulitku. Rasanya sakit sekali.

 

“Aku seharusnya sudah membunuhmu dari dulu.” Aku mendengar kakek berteriak. Aku segera menoleh. Kakek mencekik nenekku hingga tubuh nenek terangkat beberapa senti dari tanah.

 

“Hentikan...” aku berteriak, menahan sakit di siku dan telapak tanganku. Aku berlari ke arah mereka dan kudorong kakek dengan sekuat tenaga. Kakek melepaskan nenek dan berbalik ke arahku. Wajah kakek benar-benar menakutkan.

 

Aku mengatur nafasku, hidungku bekerja ekstra untuk memasukkan banyak oksigen ke paru-paru. Waktu terasa melambat. Kakek menyeringai, “Kamu akan segera menyusul orang tuamu.” Katanya sambil berjalan mendekat.

 

Aku melangkah mundur dan kakiku tersandung batu. Aku terjerembab.

 

“Akan kukirim kau ke neraka.” Tangan kakek menggapai leherku. Aku menepis tangan-tangan kokoh itu sekuat tenaga, tapi sia-sia.

 

“Jangan bergerak!” seseorang berteriak. Aku menoleh, polisi.

Dua orang polisi langsung membekuk kakekku dan memborgol tangannya. Aku dan nenekpun segera dilarikan ke rumah sakit. Untung nyawa nenek bisa diselamatkan.

 

Esoknya aku pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Aku menceritakan semuanya. Polisi terlihat kurang percaya dengan ceritaku. Kamipun ke rumahku untuk melihat lubang itu.

 

Seorang petugas menggali tembok itu. Satu jam kemudiam linggisnya beradu dengan balok kayu. Diapun menarik balok kayu tersebut dan terlihatlah kerangka manusia, kerangka ibuku. Aku tak bisa menahan air mata yang meleleh di pipiku.

*****

Sehari kemudian nenek sudah bisa dibawa pulang. Kami mendengar kabar kalau kakek terancam dipenjara seumur hidup. Aku sungguh bersyukur.

 

“Nek, kita bebaskan ibu ya.” Kataku saat kami berdua duduk di ruang keluarga.

 

Nenek mengangguk perlahan. Akupun menghubungi keluarga jauh dan beberapa orang tetangga.

 

Kami mulai mempersiapkan upacara pengabenan untuk ibu.

 

“Selamat jalan Ibu.. Semoga ibu tenang di sana.” kataku saat tulang belulang ibu dikremasi. Nenek mendekap tubuhku dengan erat, akupun membalas dekapan nenek.

 

Mimpi itu lagi. Mimpi yang sama datang berulang-ulang kali. Seorang wanita muda dengan pakaian robek, badan penuh memar dan luka, kaki dan tangan terikat rantai, berteriak minta tolong. Siapa wanita itu? Wajahnya asing, tapi ntah kenapa aku merasa ada hubungan dengannya. Ya, pasti ada hubungan antara kami, kalau tidak, bagaimana mungkin dia datang ke mimpiku hampir setiap malam? Aku harus tahu siapa wanita itu sebenarnya, aku tidak bisa terus-terusan membiarkannya mengganggu tidurku.

 

Aku turun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju cermin besar yang menempeldi tembok kamar. Wajah yang kulihat di cermin itu sangat sayu, keringat menbanjiri kulit pucatnya. Ah.. tak seharusnya gadis 15 tahun berpenampilan seperti ini.

 

“Sukreni, ayo sarapan.” terdengar suara nenek memanggilku. Akupun bergegas mencuci muka lalu menghampiri nenekku di dapur. Nenek adalah orang yang aneh. Kalau di rumah hanya ada kami berdua, nenek bersikap sangat baik padaku, tapi kalau ada kakek, sikap nenek berubah 180°, nenek menjadi dingin kepadaku dan terlihat sangat ketakutan. Aku juga takut pada kakek. Wajahnya galak dan beliau sama sekali tak pernah menganggapku ada. Aku seakan makhluk tak terlihat yang tak berarti apa-apa. Kakek tdak pernah berbicara sepatah katapun padaku. Aku rasa karena aku adalah peyebab kematian kedua orang tuaku.

 

Nenek bilang ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku dan ayah bunuh diri beberapa hari kemudian. Aku anak pembawa sial, wajar saja kakek membenciku, tapi aku tak pernah minta dilahirkan. Aku akan memilih tidak pernah lahir ke dunia ini andai saja aku tahu kalau kelahiranku hanya akan menjadi malapetaka bagi keluarga ini.

 

“Kenapa bengong? Ayo makan, nenek masak makanan kesukaanmu.” nenek mengambil beberapa sendok nasi goreng dan menaruhnya di piringku.

 

“Nek?”

 

 “Ya?”

 

“Ibuku seperti apa?”

 

Nenek tampak terkejut mendengar pertanyaanku, “Kamu kan punya fotonya.” ucapnya setelah terdiam beberapa saat.

 

 

“Iya, tapi maksudku ...”

 

“Sudah-sudah. Jangan banyak nanya. Cepat makan!”

 

Begitulah, setiap kali aku bertanya tentang ibu atau ayahku, nenek selalu menghindar. Tak banyak yang aku tahu tentang orang tuaku, hanya foto dan nama. Foto mereka hanya ada satu, saat pernikahan.

 

Aku menatap wajah nenekku, kesedihan menyelimuti wajahnya yang mulai berkeriput itu. Aku lalu menyendok nasi goreng dan memasukkannya ke mulutku, “Nasi gorengnya enak, Nek.” aku memaksakan senyum di bibirku. Nenek juga ikut tersenyum dan kamipun makan dengan lahap. Hm.. betapa damainya rumah ini tanpa kakek.

 

 

Aku dan nenek duduk berdua di ruang keluarga menonton acara musik. Aku tidak begitu menikmati acara itu karena aku tidak suka musik. Hidupku gelap dan sunyi, tak ada warna, tak ada musik, hanya kegelapan, hanya kesunyian. Tiba-tiba pikiranku kembali ke wanita dalam mimpi itu. Siapa dia sebenarnya? Apa aku harus menanyakannya pada nenek?

 

 “Sukreni.” suara nenek mengejutkanku.

 

“Iya Nek?”

 

“Akhir-akhir ini nenek lihat kamu sering bengong. Ada apa? Ada masalah di sekolah?”

 

“Nggak Nek, aku...” aku ragu, haruskah aku cerita?

 

“Kamu kenapa? Cerita sama nenek.”

 

“Aku takut Nek.” aku membenamkan wajahku di pangkuan nenek dan kupeluk pingganngnya dengan erat. Air mata yang selama ini kutahan dengan sekuat tenaga berhamburan keluar membasahi rok panjang nenekku. Aku benar-benar takut. Bayangan wajah wanita itu berkelebat memenuhi kepalaku,”Tolong.... Tolong.. Tolong..” jeritannya memekakkan gendang telingaku. Aku sudah tidak kuat. Aku harus melakukan apa?

 

“Kamu kenapa Sukreni? Ayo cerita.”

 

“Sri..” sebuah suara menggelegar di dalam ruangan, suara kakekku. Aku langsung duduk tegak kembali dan mengusap air mataku, “buatkan aku kopi, cepat!” perintahnya.

 

 

Keesokan harinya setelah pulang sekolah, aku melihat nenek duduk di ruang keluarga sambil membuka lembaran-lembaran sebuah buku yang sepertinya merupakan album foto usang, “Nenek..” kataku sambil duduk di sampingnya. Nenek sangat terkejut melihatku yang tiba-tiba sudah duduk di sana. Beliau langsung menyembunyikan album foto itu.

 

“Apa itu, Nek?”

 

“Bukan apa-apa. Cepat ganti baju. Nenek sudah menyiapkan makan siang.”

 

Aku menggelengkan kepalaku, “Apa yang nenek sembunyikan? Tolong Nek, aku ingin tau. Apa yang sebenarnya nenek liat?”

           

“Ini bukan urusanmu. Cepat ganti baju.”

           

“Ini pasti urusanku Nek! Apa nenek tau hampir setiap malam aku nggak bisa tidur karena terus dihantui mimpi buruk? Di mimpiku aku melihat seorang wanita yang berteriak minta tolong. Apa nenek tau sesuatu tentang hal ini? Aku udah capek Nek.” air mataku berhamburan keluar lagi seperti kemarin, tapi kali ini aku tak memeluk nenekku.

           

“Apa yang sebenarnya Nenek sembunyikan? Aku berhak tau Nek, aku udah dewasa.”

 

“Sukreni..” ucap nenekku dengan pelan.

 

           

Hanya tangisku yang menjawab ucapan nenek.

           

“Mungkin sudah saatnya kamu tau kenyataannya. Sebenarnya ibumu...” nenek menyeka air mata yang membasahi bagian bawah matanya, “Ibumu adalah seorang wanita yang sangat baik. Dia adalah anak nenek satu-satunya. Nenek sangat menyayanginya karena dia begitu ramah, penurut, rajin, manis, dan ceria, tapi suatu hari terjadi malapetaka. Dia...” air mata nenek merembes lagi.

           

“Ibuku kenapa Nek?” tanyaku tak sabar.

           

“Hentikan Sri!” terdengar suara kakek di belakangku. Aku menoleh, benar saja, kakek berdiri dengan tegapnya, wajahnya menunjukkan kebengisan, “Masuk ke kamar, Sukreni!” teriaknya.

           

Kakek.. Kakek bicara padaku? Walaupun hanya empat kata yang diucapkan dengan kasar, tapi dia bicara padauk!

           

“Cepat masuk ke kamar!” bentaknya lagi, kali ini lebih keras.

           

Tanpa berkata apa-apa, aku langsung berlari ke, tunggu dulu, aku harus mendengar apa yang mereka  bicarakan. Aku harus tahu apa yang mereka sembunyikan selama ini. Akupun memutuskan untuk mengintip mereka melalui sebuah lubang di tembok penyekat antara ruang keluarga dan dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Rumah kami memang sangat luas dan kamarku terletak paling jauh di belakang.

           

Aku melihat kakek berdiri sambil berkacak pinggang dan nenek sesenggukan di sofa. Aku memasang kedua telingaku dengan baik. Aku tidak ingin kelewatan satu katapun. Kakek melangkah ke dekat nenekku dan menarik rambutnya, “Apa kamu sadar apa yang baru saja kamu hampir lakukan?”

 

Nenek meringis kesakitan, tapi beliau tidak mengatakan apapun.

 

“Ini peringatan pertama dan terakhir untuk kamu, Sri! Jangan sampai aku melihatmu melakukan hal yang sama, atau kamu tidak akan pernah melihat anak itu lagi.”

           

Aku terkesiap, apa yang kakek bicarakan? Anak itu? Maksudnya aku?

           

“Tapi Yah, Sukreni sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Nenek menatap ke arah kakek.

           

Sebuah tamparan mendarat di pipi nenekku. Keras sekali. Darahku mendidih melihat semua itu.

           

“Aku tidak main-main Sri! Sekali lagi kamu lakukan itu, aku tidak akan ragu-ragu untuk menyingkirkannya.” kakek menarik rambut nenekku sekali lagi, “Cam kan itu!” beliau lalu keluar rumah dan menutup pintu depan dengan sangat keras.

 

Tubuhku lunglai. Rasa penasaranku semakin besar.

 

Beberapa menit kemudian, aku menghampiri nenekku, pura-pura baru keluar dari kamar.

           

“Nenek! Nenek kenapa?”

           

“Tidak apa-apa, Sayang. Cepat makan dan kembali ke kamar, sebelum kakek pulang.”

 

“Maafkan aku ya, Nek.”

           

“Ini bukan salahmu. Cepat makan.” kamipun beranjak ke dapur dan makan dalam diam.

           

Selesai makan nenek langsung kembali ke kamarnya, aku juga ingin masuk ke kamarku, tapi saat melintasi ruang keluarga, mataku tertuju pada album foto yang tergeletak di sofa. Kurasa kakek tidak melihatnya dan nenek lupa kalau tadi beliau melihat-lihat album foto itu. Akupun mengambilnya dan berlari ke kamar. Sampai di kamar aku mengunci pintu.

           

Tiba-tiba aku gemetaran. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pori-pori kulitku. Angin mendesir perlahan, bagaimana bisa ada angin? Pintu dan jendela sudah kututup semua! Aku bergidik ketakutan, tapi segera kutepis rasa takut tak beralasan itu. Akupun langsung membuka halaman pertama album foto itu.

           

“Keluarga Wijaya Kusuma 1975-1985” terlihat tulisan tangan yang sangat rapi, itu bukan tulisan tangan nenekku, dan aku yakin itu bukan juga tulisan tangan kakekku. Aku membuka halaman berikutnya. Ada dua buah foto. Yang satu terdiri dari tiga orang, kakek, nenek, dan seorang bayi mungil. Foto yang satunya lagi seorang gadis kecil yang sedang tersenyum. “Aku berumur 6 tahun” begitu bunyi tulisan yang terdapat di bawah foto itu, foto ibuku.

 

Aku membalik halaman demi halaman, semakin banyak foto lama yang kulihat. Hanya ada wajah kakek, nenek, dan ibuku, tapi ada sesuatu yang janggal. Wajah Ibu waktu kecil sama sekali tidak mirip dengan wajah ibu di foto pernikahan.

 

Angin mendesir lagi, terdengar bunyi “tek tek tek”. Aku melihat ke sekeliling kamar dan betapa terkejutnya aku saat melihat cermin besar di tembok kamarku berguncang dengan cepat. Semakin lama guncangannya semakin cepat. Hawa dingin menyusup ke tubuhku sampai ke sumsum tulang. Aku seakan terpaku, tak bisa bergerak. Mulutku menganga dan tubuhku bergetar hebat. Entah berapa lama aku berada dalam situasi yang mencekam itu hingga cermin itu berhenti berguncang. Aku mengumpulkan segenap keberanianku dan aku melangkah perlahan mendekati cermin.

 

Aku tak melihat bayangan wajahku di cermin. Yang kulihat adalah sebuah ruangan asing yang rasanya aku kenal. Kamarku! Ya kamarku, tapi dekorasinya sangat berbeda dan hal yang lebih aneh lagi adalah warnanya hitam putih! Bukan warna tembok! Tapi warna semuanya. Hitam dan putih! Aku melihat tanganku, warnanya masih cokelat. Aku melihat baju dan rokku, warnanya putih dan abu-abu. Aku masih berwarna, tapi yang lainnya hitam putih! Aku tak bisa memalingkan wajahku dari cermin. Aku seakan terhipnotis, tersihir. Aku tak bisa bergerak. Oh Tuhan.. Ini pasti mimpi. Rasanya sangat mengerikan. Aku ketakutan. Aku ingin menjerit. Aku ingin berteriak. Oh nenek, tolong aku.

 

Aku berusaha memejamkan mataku, tapi tak bisa. Seseorang, atau sesuatu ingin aku menyaksikan semua yang terjadi melalui cermin besar ini. Apa yang kulihat benar-benar mengerikan. Kamar yang sangat berantakan. Tak ada tempat tidur, hanya sehelai tikar pandan, tanpa bantal, tanpa selimut.

“Ayah..” tiba-tiba aku mendengar sebuah suara. Aku bergidik. Membayangkan ada orang di kamar pengap itu. Aku menyesuaikan posisi badanku supaya bisa melihat ke sudut lain ruangan itu. Ya Tuhan! Wanita itu! Wanita yang selalu muncul di mimpiku! Pakain sobek. Wajah penuh memar dan luka. Kaki dan tangan terikat rantai.

 

“Ayah, lepaskan aku.” wanita itu berteriak.    

                       

“Diam!” suara kakekku! Aku berusaha sekuat tenaga untuk menoleh, tapi usahaku sia-sia. Tubuhku kaku. Cermin itu memaksaku untuk tak mengalihkan pandangan darinya. Aku benar-benar tersiksa.

 

“Ayah... Kenapa Ayah tega melakukan ini padaku? Aku anakmu, Yah.”

 

Anak? Anak kakek? Nenek bilang mereka cuma punya satu anak, ibuku, lalu siapa wanita ini?

 

“Aku yang seharusnya bertanya, kenapa kamu tega melakukan ini padaku. Kamu tahu perbuatanmu itu sudah mencoreng nama baik keluarga!”

 

“Tapi aku mencintainya, Yah.”

 

“Cinta?! Tau apa kamu tentang cinta? Sekarang kamu liat sendiri kan. Ke mana laki-laki jahanam itu? Kenapa dia tidak menolongmu hah? Kenapa dia tidak membebaskanmu dari ikatanku? Kenapa dia kabur?” kakek meludah di samping wanita itu.

 

Wanita itu menangis. Air mata tampak mengalir di pipinya yang kotor dan penuh memar bekas tamparan dan pukulan, “Itu karena..” dia tersendat. Aku yakin dia akan mengusap pipinya yang basah andai saja tangannya tak terikat, “Itu karena Ayah telah membunuhnya.” dia bicara sambil menunduk.

Membunuh? Apa? Kakekku pembunuh?

 

Kakek terdiam beberapa saat. Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.

 

“Ayah.. Aku mohon lepaskan aku. Tidakkah Ayah kasihan sama Sukreni? Dia tidak bisa terus-terusan dikurung di sini.”

 

AKU??!! Ada apa sebenarnya ini? Mimpi.. Ya, ini pasti mimpi. Aku menggerakkan kepalaku lagi, berusaha menyingkir dari cermin sialan itu, tapi tidak bisa. Sial!

 

“Baiklah kalau Ayah tidak mau melepaskanku, tapi setidaknya, tolong lepaskan Sukreni. Dia tidak tau apa-apa. Dia tidak berdosa, Yah. Biar aku saja yang menanggung semua yang telah kulakukan. Tolong bebaskan dan jaga dia, biar bagaimanapun, dia itu cucu Ayah.”

 

Aku melihat kakek menjambak rambut wanita itu, “Dia bukan cucuku, setan!” kakek lalu menghantamkan kepalanya bertubi-tubi ke tembok. Darah muncrat mengenai baju dan celana kakek. Wanita itu memejamkan matanya dan di saat yang bersamaan terdengar tangisan bayi. AKU! Bayi itu aku!

 

“Asih...” kakek mengguncang tubuh wanita malang itu, “Asih..” teriaknya lagi. Mata kakek tampak basah, “Maafkan Ayah.” Kakek memeluknya, tapi tak lama. Kakek lalu keluar ruangan.

 

Aku masih belum bisa bergerak. Peristiwa ini membuatku gila. Jadi wanita itu ibuku? Bayi yang menangis itu aku? Berarti foto pernikahan orang tuaku foto palsu? Tidak, tidak, ini pasti hanya mimpi.

 

Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Kakek datang dengan linggis, pasir, semen, ember, dan alat pertukangan yang lain. Apa yang akan kakek lakukan?

 

Kakek berjalan ke arahku berdiri. Aku kembali ketakutan. Apa dia mau membunuhku?

 

Tidak! Kakek berjalan tepat melintasiku, menembusku! Lalu kakek menggunakan linggis untuk membuat lubang di tembok di depanku. Cermin itu tidak ada di sana. Hanya aku yang bisa melihat cermin itu. Hanya aku dan cermin itu yang ada tapi seakan tak ada. Aku pusing. Aku ingin pingsan. Seandainya ini dunia nyata, pasti aku sudah pingsan dari tadi, tapi ada sesuatu yang membuat mataku tetap terbuka lebar.

 

Kakek terus menggali tanpa kenal lelah. Lubang yang dibuatpun sudah cukup besar. Kakek berjalan ke arah wanita itu,- aku tak akan memanggilnya Ibu, karena ini hanya mimpi!-, menggendongnya, dan menaruhnya di lubang. Kemudian kakek menutup mayat itu dengan balok kayu dan menguburnya dengan campuran semen.

 

Aku melihat semua itu tanpa bisa melakukan apapun. Otakku buntu. Aku ingin segera bangun dari mimpi mengerikan ini.

Kakek keluar ruangan lagi. Beliau sama sekali tak mempedulikan si bayi yang terus-terusan menangis. Entah karena haus atau karena tahu ibunya sudah meninggal. Betapa aku ingin menenangkan bayi itu, seandainya aku bisa bergerak. Cermin terkutuk! Apa yang kau lakukan padaku?

 

Aku melihat kakek masuk ruangan dengan sebuah cermin besar di tangannya. Cermin itu! Cermin berukuran 1 x 2 meter yang menempel di tembok kamarku. Kakek memang memiliki badan yang kekar jadi beliau bisa dengan mudah membawa dan menempelkan cermin itu di tembok. Menutupi bekas lubang kuburan seorang wanita.

 

Kakek menembusku sekali lagi dan beranjak menuju bayi itu, “Diam! Atau aku akan membuatmu menyusul ibumu yang jalang itu!”

 

Merekapun keluar ruangan. Kakek menutup pintu kamar dengan keras, begitu kerasnya sampai aku terlonjak.

 

Mimpi.... Ternyata itu memang hanya mimpi. Aku merasakan seragam sekolahku basah karena keringat. Aku pasti ketiduran saat melihat-lihat foto itu. Aku mimpi aneh seperti itu pasti karena aku marah sama kakek yang telah menampar nenek. Kakekku tidak mungkin membunuh.

 

Aku mengusap keringat di pelipis dan dahiku lalu akupun turun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya aku saat melihat cermin besar yang ada di tembok pecah menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan di lantai. Apa yang selama ini ditutupi oleh cermin itu terlihat dengan jelas. Bekas lubang! Itu bukan mimpi. Oh...

 

Tiba-tiba angin berdesir lagi. Jendela yang kuyakin sudah kukunci terbuka lebar dan terantuk-antuk karena angin. Ketakutan merasukiku lagi. Tubuhku lemas. Keringat membasahi dahi, pelipis, dan sekujur tubuhku. Aku menatap bekas lubang itu dan sesuatu muncul dari dalamnya. Seorang wanita cantik, kulitnya bersih, tak ada memar, tak ada luka, ibuku.

 

“Sukreni...” dia berbisik perlahan, suaranya merdu, tangannya melambai ke arahku.

 

Aku tanpa ragu mendekatinya. Inilah ibuku, wanita yang selalu muncul di mimpiku.

 

“Ibu...” aku berusaha memeluknya, tapi aku memeluk angin. Akupun mundur beberapa langkah dan memperhatikan wajahnya yang menyiratkan kesedihan.

 

“Tolong bebaskan Ibu, Nak.”

 

“Membebaskan Ibu, bagaimana caranya?”

 

“Ibu tidak akan pernah tenang sebelum mayat ibu diupacarai dengan layak.”

 

“Ibu.... Aku masih bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?”

 

Ibuku tersenyum, senyum manis itu menghiasi wajah pucatnya, “Apa yang baru saja kamu lihat adalah kenyataan, anakku.” Tiba-tiba ibuku berubah. Pakaian putihnya berubah menjadi pakian sobek-sobek, wajahnya menjadi penuh memar dan luka, tangan dan kakinya terikat, “Cepat lepaskan Ibu, Nak. Tolong... Tolong.. Tolong ibu..”

 

“Ibu............” aku menjerit. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih di tempat tidur. Aku baru saja bangun dari tidur. Mimpi dalam mimpi. Aku bisa gila.

 

“Sukreni, kamu kenapa?” kata nenek yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.

 

“Nenek..” aku langsung turun dari tempat tidur dan mendekap nenekku dengan erat. Air mata bercucuran dari kedua mataku, beradu dengan keringat.

 

“Kamu mimpi buruk?” nenek membelai kepalaku dengan lembut, “Tenang, nenek di sini. Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”

 

Aku melepaskan pelukanku dan kea rah lemari dan mengambil tongkat kasti. Aku kemudian melangkah menuju cermin besar itu.

 

“Kamu mau ngapain, Sukreni?” nenek memegang tanganku, aku menepis tangannya.

 

Aku tidak tahu dari mana datangnya kekuatan yang menggebu ini. Aku memukul cermin itu dengan sekuat tenaga. Satu pukulan saja, cermin itu hancur berkeping-keping.

 

“Sukreni!” nenek menjerit, lalu menarik tubuhku menjauh dari serpihan kaca itu, “Apa yang kamu lakukan?”

 

“Mengungkap kebenaran.” Kataku sambil menunjuk tembok tempat cermin itu menempel sebelumnya.

 

Nenekku menangis, aku juga. Tak ada kata yang mampu melukiskan perasaan kami saat itu. Aku benar-benar terpukul. Kakek telah membunuh kedua orang tuaku, tapi beliau mengatakan aku yang menyebabkan mereka meninggal. Kakek sudah mebuatku hidup dalam bayang-bayang penyesalan, dan nenek.. ah.. aku tak bisa menyalahkan nenek. Nenek sudah begitu baik padaku dan beliau terpaksa berbohong demi menyelamatkan jiwaku dari kakek.

 

“Maafkan Nenek.” aku merasakan tangan nenek mendekap tubuhku.

 

“Di mana pembunuh itu?” aku menepis kedua tangan nenek dan aku menatap wajahnya.

 

“Kakek belum pulang dari tadi siang.”

 

“Kita harus menghubungi polisi Nek, kita tidak bisa membiarkan pembunuh itu tinggal bersama kita.”

 

“Tapi nenek takut.”

 

“Apa yang nenek takutkan?”

 

Nenek diam tak menjawab.

 

“Kita harus segera pergi dari sini Nek.” Aku menarik tangan nenekku lalu kami berlari ke ruang keluarga. Aku langsung menelepon kantor polisi dan menceritakan semuanya secara singkat. Setelah itu kami keluar.

 

“Kita mau ke mana?”

 

“Ke rumah tetangga. Kita harus bersembunyi sampai polisi datang. Kalau kakek bisa membunuh ibu pasti kakek juga bisa membunuh kita.” aku berjalan tanpa menoleh ke arah nenek yang mengikut di belakangku. Langkahku terhenti saat tiba-tiba aku melihat kakek berjalan ke arah kami.

 

“Mau ke mana kamu, Sri?”

 

Tubuhku bergetar menahan gejolak kebencian dan kemarahan.

 

“Jawab!” bentak kakek.

 

“Jangan bentak nenekku lagi!” aku berteriak. Kebencian dan kemarahan itu bersatu membentuk keberanian.

 

“Aku tak bicara padamu.”

 

“Aku juga sebenarnya tak sudi bicara dengan pembunuh sepertimu!”

 

“Apa kamu bilang?”

 

“Aku sudah tahu semuanya!”

 

Kakek melotot ke arah nenekku, “Berani-beraninya kamu melanggar perintahku. Kakek berjalan mendekati nenek.

 

Aku merentangkan kedua tanganku, “Bukan nenek yang memberi tahuku, tapi ibu!”

 

“Apa?”

 

“Ibu selalu datang ke mimpiku minta tolong. Kenapa kakek tega melakukan itu? Kenapa kakek membunuh orang tuaku?”

 

“Kalau tahu seperti ini, aku pasti juga membunuhmu dari dulu.”

 

“Bunuh saja aku!” nenek berteriak. Aku menoleh tak percaya ke arah nenek, “Bunuh saja aku! Aku sudah muak hidup denganmu! Kamu telah tega membunuh anak kita satu-satunya. Kamu bukan manusia, Atmaja! Kamu setan!”

 

“Apa kamu bilang?” Kakek terlihat sangat marah, kedua matanya melotot seakan mau keluar dari tempatnya. Kakek berjalan mendekati nenek dan menghempaskan tubuhku. Aku terjatuh ke bebatuan kering yang menggores kulitku. Rasanya sakit sekali.

 

“Aku seharusnya sudah membunuhmu dari dulu.” Aku mendengar kakek berteriak. Aku segera menoleh. Kakek mencekik nenekku hingga tubuh nenek terangkat beberapa senti dari tanah.

 

“Hentikan...” aku berteriak, menahan sakit di siku dan telapak tanganku. Aku berlari ke arah mereka dan kudorong kakek dengan sekuat tenaga. Kakek melepaskan nenek dan berbalik ke arahku. Wajah kakek benar-benar menakutkan.

 

Aku mengatur nafasku, hidungku bekerja ekstra untuk memasukkan banyak oksigen ke paru-paru. Waktu terasa melambat. Kakek menyeringai, “Kamu akan segera menyusul orang tuamu.” Katanya sambil berjalan mendekat.

 

Aku melangkah mundur dan kakiku tersandung batu. Aku terjerembab.

 

“Akan kukirim kau ke neraka.” Tangan kakek menggapai leherku. Aku menepis tangan-tangan kokoh itu sekuat tenaga, tapi sia-sia.

 

“Jangan bergerak!” seseorang berteriak. Aku menoleh, polisi.

Dua orang polisi langsung membekuk kakekku dan memborgol tangannya. Aku dan nenekpun segera dilarikan ke rumah sakit. Untung nyawa nenek bisa diselamatkan.

 

Esoknya aku pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Aku menceritakan semuanya. Polisi terlihat kurang percaya dengan ceritaku. Kamipun ke rumahku untuk melihat lubang itu.

 

Seorang petugas menggali tembok itu. Satu jam kemudiam linggisnya beradu dengan balok kayu. Diapun menarik balok kayu tersebut dan terlihatlah kerangka manusia, kerangka ibuku. Aku tak bisa menahan air mata yang meleleh di pipiku.

*****

Sehari kemudian nenek sudah bisa dibawa pulang. Kami mendengar kabar kalau kakek terancam dipenjara seumur hidup. Aku sungguh bersyukur.

 

“Nek, kita bebaskan ibu ya.” Kataku saat kami berdua duduk di ruang keluarga.

 

Nenek mengangguk perlahan. Akupun menghubungi keluarga jauh dan beberapa orang tetangga.

 

Kami mulai mempersiapkan upacara pengabenan untuk ibu.

 

“Selamat jalan Ibu.. Semoga ibu tenang di sana.” kataku saat tulang belulang ibu dikremasi. Nenek mendekap tubuhku dengan erat, akupun membalas dekapan nenek.

 

Mimpi itu lagi. Mimpi yang sama datang berulang-ulang kali. Seorang wanita muda dengan pakaian robek, badan penuh memar dan luka, kaki dan tangan terikat rantai, berteriak minta tolong. Siapa wanita itu? Wajahnya asing, tapi ntah kenapa aku merasa ada hubungan dengannya. Ya, pasti ada hubungan antara kami, kalau tidak, bagaimana mungkin dia datang ke mimpiku hampir setiap malam? Aku harus tahu siapa wanita itu sebenarnya, aku tidak bisa terus-terusan membiarkannya mengganggu tidurku.

 

Aku turun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju cermin besar yang menempeldi tembok kamar. Wajah yang kulihat di cermin itu sangat sayu, keringat menbanjiri kulit pucatnya. Ah.. tak seharusnya gadis 15 tahun berpenampilan seperti ini.

 

“Sukreni, ayo sarapan.” terdengar suara nenek memanggilku. Akupun bergegas mencuci muka lalu menghampiri nenekku di dapur. Nenek adalah orang yang aneh. Kalau di rumah hanya ada kami berdua, nenek bersikap sangat baik padaku, tapi kalau ada kakek, sikap nenek berubah 180°, nenek menjadi dingin kepadaku dan terlihat sangat ketakutan. Aku juga takut pada kakek. Wajahnya galak dan beliau sama sekali tak pernah menganggapku ada. Aku seakan makhluk tak terlihat yang tak berarti apa-apa. Kakek tdak pernah berbicara sepatah katapun padaku. Aku rasa karena aku adalah peyebab kematian kedua orang tuaku.

 

Nenek bilang ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku dan ayah bunuh diri beberapa hari kemudian. Aku anak pembawa sial, wajar saja kakek membenciku, tapi aku tak pernah minta dilahirkan. Aku akan memilih tidak pernah lahir ke dunia ini andai saja aku tahu kalau kelahiranku hanya akan menjadi malapetaka bagi keluarga ini.

 

“Kenapa bengong? Ayo makan, nenek masak makanan kesukaanmu.” nenek mengambil beberapa sendok nasi goreng dan menaruhnya di piringku.

 

“Nek?”

 

 “Ya?”

 

“Ibuku seperti apa?”

 

Nenek tampak terkejut mendengar pertanyaanku, “Kamu kan punya fotonya.” ucapnya setelah terdiam beberapa saat.

 

 

“Iya, tapi maksudku ...”

 

“Sudah-sudah. Jangan banyak nanya. Cepat makan!”

 

Begitulah, setiap kali aku bertanya tentang ibu atau ayahku, nenek selalu menghindar. Tak banyak yang aku tahu tentang orang tuaku, hanya foto dan nama. Foto mereka hanya ada satu, saat pernikahan.

 

Aku menatap wajah nenekku, kesedihan menyelimuti wajahnya yang mulai berkeriput itu. Aku lalu menyendok nasi goreng dan memasukkannya ke mulutku, “Nasi gorengnya enak, Nek.” aku memaksakan senyum di bibirku. Nenek juga ikut tersenyum dan kamipun makan dengan lahap. Hm.. betapa damainya rumah ini tanpa kakek.

 

 

Aku dan nenek duduk berdua di ruang keluarga menonton acara musik. Aku tidak begitu menikmati acara itu karena aku tidak suka musik. Hidupku gelap dan sunyi, tak ada warna, tak ada musik, hanya kegelapan, hanya kesunyian. Tiba-tiba pikiranku kembali ke wanita dalam mimpi itu. Siapa dia sebenarnya? Apa aku harus menanyakannya pada nenek?

 

 “Sukreni.” suara nenek mengejutkanku.

 

“Iya Nek?”

 

“Akhir-akhir ini nenek lihat kamu sering bengong. Ada apa? Ada masalah di sekolah?”

 

“Nggak Nek, aku...” aku ragu, haruskah aku cerita?

 

“Kamu kenapa? Cerita sama nenek.”

 

“Aku takut Nek.” aku membenamkan wajahku di pangkuan nenek dan kupeluk pingganngnya dengan erat. Air mata yang selama ini kutahan dengan sekuat tenaga berhamburan keluar membasahi rok panjang nenekku. Aku benar-benar takut. Bayangan wajah wanita itu berkelebat memenuhi kepalaku,”Tolong.... Tolong.. Tolong..” jeritannya memekakkan gendang telingaku. Aku sudah tidak kuat. Aku harus melakukan apa?

 

“Kamu kenapa Sukreni? Ayo cerita.”

 

“Sri..” sebuah suara menggelegar di dalam ruangan, suara kakekku. Aku langsung duduk tegak kembali dan mengusap air mataku, “buatkan aku kopi, cepat!” perintahnya.

 

 

Keesokan harinya setelah pulang sekolah, aku melihat nenek duduk di ruang keluarga sambil membuka lembaran-lembaran sebuah buku yang sepertinya merupakan album foto usang, “Nenek..” kataku sambil duduk di sampingnya. Nenek sangat terkejut melihatku yang tiba-tiba sudah duduk di sana. Beliau langsung menyembunyikan album foto itu.

 

“Apa itu, Nek?”

 

“Bukan apa-apa. Cepat ganti baju. Nenek sudah menyiapkan makan siang.”

 

Aku menggelengkan kepalaku, “Apa yang nenek sembunyikan? Tolong Nek, aku ingin tau. Apa yang sebenarnya nenek liat?”

           

“Ini bukan urusanmu. Cepat ganti baju.”

           

“Ini pasti urusanku Nek! Apa nenek tau hampir setiap malam aku nggak bisa tidur karena terus dihantui mimpi buruk? Di mimpiku aku melihat seorang wanita yang berteriak minta tolong. Apa nenek tau sesuatu tentang hal ini? Aku udah capek Nek.” air mataku berhamburan keluar lagi seperti kemarin, tapi kali ini aku tak memeluk nenekku.

           

“Apa yang sebenarnya Nenek sembunyikan? Aku berhak tau Nek, aku udah dewasa.”

 

“Sukreni..” ucap nenekku dengan pelan.

 

           

Hanya tangisku yang menjawab ucapan nenek.

           

“Mungkin sudah saatnya kamu tau kenyataannya. Sebenarnya ibumu...” nenek menyeka air mata yang membasahi bagian bawah matanya, “Ibumu adalah seorang wanita yang sangat baik. Dia adalah anak nenek satu-satunya. Nenek sangat menyayanginya karena dia begitu ramah, penurut, rajin, manis, dan ceria, tapi suatu hari terjadi malapetaka. Dia...” air mata nenek merembes lagi.

           

“Ibuku kenapa Nek?” tanyaku tak sabar.

           

“Hentikan Sri!” terdengar suara kakek di belakangku. Aku menoleh, benar saja, kakek berdiri dengan tegapnya, wajahnya menunjukkan kebengisan, “Masuk ke kamar, Sukreni!” teriaknya.

           

Kakek.. Kakek bicara padaku? Walaupun hanya empat kata yang diucapkan dengan kasar, tapi dia bicara padauk!

           

“Cepat masuk ke kamar!” bentaknya lagi, kali ini lebih keras.

           

Tanpa berkata apa-apa, aku langsung berlari ke, tunggu dulu, aku harus mendengar apa yang mereka  bicarakan. Aku harus tahu apa yang mereka sembunyikan selama ini. Akupun memutuskan untuk mengintip mereka melalui sebuah lubang di tembok penyekat antara ruang keluarga dan dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Rumah kami memang sangat luas dan kamarku terletak paling jauh di belakang.

           

Aku melihat kakek berdiri sambil berkacak pinggang dan nenek sesenggukan di sofa. Aku memasang kedua telingaku dengan baik. Aku tidak ingin kelewatan satu katapun. Kakek melangkah ke dekat nenekku dan menarik rambutnya, “Apa kamu sadar apa yang baru saja kamu hampir lakukan?”

 

Nenek meringis kesakitan, tapi beliau tidak mengatakan apapun.

 

“Ini peringatan pertama dan terakhir untuk kamu, Sri! Jangan sampai aku melihatmu melakukan hal yang sama, atau kamu tidak akan pernah melihat anak itu lagi.”

           

Aku terkesiap, apa yang kakek bicarakan? Anak itu? Maksudnya aku?

           

“Tapi Yah, Sukreni sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Nenek menatap ke arah kakek.

           

Sebuah tamparan mendarat di pipi nenekku. Keras sekali. Darahku mendidih melihat semua itu.

           

“Aku tidak main-main Sri! Sekali lagi kamu lakukan itu, aku tidak akan ragu-ragu untuk menyingkirkannya.” kakek menarik rambut nenekku sekali lagi, “Cam kan itu!” beliau lalu keluar rumah dan menutup pintu depan dengan sangat keras.

 

Tubuhku lunglai. Rasa penasaranku semakin besar.

 

Beberapa menit kemudian, aku menghampiri nenekku, pura-pura baru keluar dari kamar.

           

“Nenek! Nenek kenapa?”

           

“Tidak apa-apa, Sayang. Cepat makan dan kembali ke kamar, sebelum kakek pulang.”

 

“Maafkan aku ya, Nek.”

           

“Ini bukan salahmu. Cepat makan.” kamipun beranjak ke dapur dan makan dalam diam.

           

Selesai makan nenek langsung kembali ke kamarnya, aku juga ingin masuk ke kamarku, tapi saat melintasi ruang keluarga, mataku tertuju pada album foto yang tergeletak di sofa. Kurasa kakek tidak melihatnya dan nenek lupa kalau tadi beliau melihat-lihat album foto itu. Akupun mengambilnya dan berlari ke kamar. Sampai di kamar aku mengunci pintu.

           

Tiba-tiba aku gemetaran. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pori-pori kulitku. Angin mendesir perlahan, bagaimana bisa ada angin? Pintu dan jendela sudah kututup semua! Aku bergidik ketakutan, tapi segera kutepis rasa takut tak beralasan itu. Akupun langsung membuka halaman pertama album foto itu.

           

“Keluarga Wijaya Kusuma 1975-1985” terlihat tulisan tangan yang sangat rapi, itu bukan tulisan tangan nenekku, dan aku yakin itu bukan juga tulisan tangan kakekku. Aku membuka halaman berikutnya. Ada dua buah foto. Yang satu terdiri dari tiga orang, kakek, nenek, dan seorang bayi mungil. Foto yang satunya lagi seorang gadis kecil yang sedang tersenyum. “Aku berumur 6 tahun” begitu bunyi tulisan yang terdapat di bawah foto itu, foto ibuku.

 

Aku membalik halaman demi halaman, semakin banyak foto lama yang kulihat. Hanya ada wajah kakek, nenek, dan ibuku, tapi ada sesuatu yang janggal. Wajah Ibu waktu kecil sama sekali tidak mirip dengan wajah ibu di foto pernikahan.

 

Angin mendesir lagi, terdengar bunyi “tek tek tek”. Aku melihat ke sekeliling kamar dan betapa terkejutnya aku saat melihat cermin besar di tembok kamarku berguncang dengan cepat. Semakin lama guncangannya semakin cepat. Hawa dingin menyusup ke tubuhku sampai ke sumsum tulang. Aku seakan terpaku, tak bisa bergerak. Mulutku menganga dan tubuhku bergetar hebat. Entah berapa lama aku berada dalam situasi yang mencekam itu hingga cermin itu berhenti berguncang. Aku mengumpulkan segenap keberanianku dan aku melangkah perlahan mendekati cermin.

 

Aku tak melihat bayangan wajahku di cermin. Yang kulihat adalah sebuah ruangan asing yang rasanya aku kenal. Kamarku! Ya kamarku, tapi dekorasinya sangat berbeda dan hal yang lebih aneh lagi adalah warnanya hitam putih! Bukan warna tembok! Tapi warna semuanya. Hitam dan putih! Aku melihat tanganku, warnanya masih cokelat. Aku melihat baju dan rokku, warnanya putih dan abu-abu. Aku masih berwarna, tapi yang lainnya hitam putih! Aku tak bisa memalingkan wajahku dari cermin. Aku seakan terhipnotis, tersihir. Aku tak bisa bergerak. Oh Tuhan.. Ini pasti mimpi. Rasanya sangat mengerikan. Aku ketakutan. Aku ingin menjerit. Aku ingin berteriak. Oh nenek, tolong aku.

 

Aku berusaha memejamkan mataku, tapi tak bisa. Seseorang, atau sesuatu ingin aku menyaksikan semua yang terjadi melalui cermin besar ini. Apa yang kulihat benar-benar mengerikan. Kamar yang sangat berantakan. Tak ada tempat tidur, hanya sehelai tikar pandan, tanpa bantal, tanpa selimut.

“Ayah..” tiba-tiba aku mendengar sebuah suara. Aku bergidik. Membayangkan ada orang di kamar pengap itu. Aku menyesuaikan posisi badanku supaya bisa melihat ke sudut lain ruangan itu. Ya Tuhan! Wanita itu! Wanita yang selalu muncul di mimpiku! Pakain sobek. Wajah penuh memar dan luka. Kaki dan tangan terikat rantai.

 

“Ayah, lepaskan aku.” wanita itu berteriak.    

                       

“Diam!” suara kakekku! Aku berusaha sekuat tenaga untuk menoleh, tapi usahaku sia-sia. Tubuhku kaku. Cermin itu memaksaku untuk tak mengalihkan pandangan darinya. Aku benar-benar tersiksa.

 

“Ayah... Kenapa Ayah tega melakukan ini padaku? Aku anakmu, Yah.”

 

Anak? Anak kakek? Nenek bilang mereka cuma punya satu anak, ibuku, lalu siapa wanita ini?

 

“Aku yang seharusnya bertanya, kenapa kamu tega melakukan ini padaku. Kamu tahu perbuatanmu itu sudah mencoreng nama baik keluarga!”

 

“Tapi aku mencintainya, Yah.”

 

“Cinta?! Tau apa kamu tentang cinta? Sekarang kamu liat sendiri kan. Ke mana laki-laki jahanam itu? Kenapa dia tidak menolongmu hah? Kenapa dia tidak membebaskanmu dari ikatanku? Kenapa dia kabur?” kakek meludah di samping wanita itu.

 

Wanita itu menangis. Air mata tampak mengalir di pipinya yang kotor dan penuh memar bekas tamparan dan pukulan, “Itu karena..” dia tersendat. Aku yakin dia akan mengusap pipinya yang basah andai saja tangannya tak terikat, “Itu karena Ayah telah membunuhnya.” dia bicara sambil menunduk.

Membunuh? Apa? Kakekku pembunuh?

 

Kakek terdiam beberapa saat. Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.

 

“Ayah.. Aku mohon lepaskan aku. Tidakkah Ayah kasihan sama Sukreni? Dia tidak bisa terus-terusan dikurung di sini.”

 

AKU??!! Ada apa sebenarnya ini? Mimpi.. Ya, ini pasti mimpi. Aku menggerakkan kepalaku lagi, berusaha menyingkir dari cermin sialan itu, tapi tidak bisa. Sial!

 

“Baiklah kalau Ayah tidak mau melepaskanku, tapi setidaknya, tolong lepaskan Sukreni. Dia tidak tau apa-apa. Dia tidak berdosa, Yah. Biar aku saja yang menanggung semua yang telah kulakukan. Tolong bebaskan dan jaga dia, biar bagaimanapun, dia itu cucu Ayah.”

 

Aku melihat kakek menjambak rambut wanita itu, “Dia bukan cucuku, setan!” kakek lalu menghantamkan kepalanya bertubi-tubi ke tembok. Darah muncrat mengenai baju dan celana kakek. Wanita itu memejamkan matanya dan di saat yang bersamaan terdengar tangisan bayi. AKU! Bayi itu aku!

 

“Asih...” kakek mengguncang tubuh wanita malang itu, “Asih..” teriaknya lagi. Mata kakek tampak basah, “Maafkan Ayah.” Kakek memeluknya, tapi tak lama. Kakek lalu keluar ruangan.

 

Aku masih belum bisa bergerak. Peristiwa ini membuatku gila. Jadi wanita itu ibuku? Bayi yang menangis itu aku? Berarti foto pernikahan orang tuaku foto palsu? Tidak, tidak, ini pasti hanya mimpi.

 

Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Kakek datang dengan linggis, pasir, semen, ember, dan alat pertukangan yang lain. Apa yang akan kakek lakukan?

 

Kakek berjalan ke arahku berdiri. Aku kembali ketakutan. Apa dia mau membunuhku?

 

Tidak! Kakek berjalan tepat melintasiku, menembusku! Lalu kakek menggunakan linggis untuk membuat lubang di tembok di depanku. Cermin itu tidak ada di sana. Hanya aku yang bisa melihat cermin itu. Hanya aku dan cermin itu yang ada tapi seakan tak ada. Aku pusing. Aku ingin pingsan. Seandainya ini dunia nyata, pasti aku sudah pingsan dari tadi, tapi ada sesuatu yang membuat mataku tetap terbuka lebar.

 

Kakek terus menggali tanpa kenal lelah. Lubang yang dibuatpun sudah cukup besar. Kakek berjalan ke arah wanita itu,- aku tak akan memanggilnya Ibu, karena ini hanya mimpi!-, menggendongnya, dan menaruhnya di lubang. Kemudian kakek menutup mayat itu dengan balok kayu dan menguburnya dengan campuran semen.

 

Aku melihat semua itu tanpa bisa melakukan apapun. Otakku buntu. Aku ingin segera bangun dari mimpi mengerikan ini.

Kakek keluar ruangan lagi. Beliau sama sekali tak mempedulikan si bayi yang terus-terusan menangis. Entah karena haus atau karena tahu ibunya sudah meninggal. Betapa aku ingin menenangkan bayi itu, seandainya aku bisa bergerak. Cermin terkutuk! Apa yang kau lakukan padaku?

 

Aku melihat kakek masuk ruangan dengan sebuah cermin besar di tangannya. Cermin itu! Cermin berukuran 1 x 2 meter yang menempel di tembok kamarku. Kakek memang memiliki badan yang kekar jadi beliau bisa dengan mudah membawa dan menempelkan cermin itu di tembok. Menutupi bekas lubang kuburan seorang wanita.

 

Kakek menembusku sekali lagi dan beranjak menuju bayi itu, “Diam! Atau aku akan membuatmu menyusul ibumu yang jalang itu!”

 

Merekapun keluar ruangan. Kakek menutup pintu kamar dengan keras, begitu kerasnya sampai aku terlonjak.

 

Mimpi.... Ternyata itu memang hanya mimpi. Aku merasakan seragam sekolahku basah karena keringat. Aku pasti ketiduran saat melihat-lihat foto itu. Aku mimpi aneh seperti itu pasti karena aku marah sama kakek yang telah menampar nenek. Kakekku tidak mungkin membunuh.

 

Aku mengusap keringat di pelipis dan dahiku lalu akupun turun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya aku saat melihat cermin besar yang ada di tembok pecah menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan di lantai. Apa yang selama ini ditutupi oleh cermin itu terlihat dengan jelas. Bekas lubang! Itu bukan mimpi. Oh...

 

Tiba-tiba angin berdesir lagi. Jendela yang kuyakin sudah kukunci terbuka lebar dan terantuk-antuk karena angin. Ketakutan merasukiku lagi. Tubuhku lemas. Keringat membasahi dahi, pelipis, dan sekujur tubuhku. Aku menatap bekas lubang itu dan sesuatu muncul dari dalamnya. Seorang wanita cantik, kulitnya bersih, tak ada memar, tak ada luka, ibuku.

 

“Sukreni...” dia berbisik perlahan, suaranya merdu, tangannya melambai ke arahku.

 

Aku tanpa ragu mendekatinya. Inilah ibuku, wanita yang selalu muncul di mimpiku.

 

“Ibu...” aku berusaha memeluknya, tapi aku memeluk angin. Akupun mundur beberapa langkah dan memperhatikan wajahnya yang menyiratkan kesedihan.

 

“Tolong bebaskan Ibu, Nak.”

 

“Membebaskan Ibu, bagaimana caranya?”

 

“Ibu tidak akan pernah tenang sebelum mayat ibu diupacarai dengan layak.”

 

“Ibu.... Aku masih bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?”

 

Ibuku tersenyum, senyum manis itu menghiasi wajah pucatnya, “Apa yang baru saja kamu lihat adalah kenyataan, anakku.” Tiba-tiba ibuku berubah. Pakaian putihnya berubah menjadi pakian sobek-sobek, wajahnya menjadi penuh memar dan luka, tangan dan kakinya terikat, “Cepat lepaskan Ibu, Nak. Tolong... Tolong.. Tolong ibu..”

 

“Ibu............” aku menjerit. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih di tempat tidur. Aku baru saja bangun dari tidur. Mimpi dalam mimpi. Aku bisa gila.

 

“Sukreni, kamu kenapa?” kata nenek yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.

 

“Nenek..” aku langsung turun dari tempat tidur dan mendekap nenekku dengan erat. Air mata bercucuran dari kedua mataku, beradu dengan keringat.

 

“Kamu mimpi buruk?” nenek membelai kepalaku dengan lembut, “Tenang, nenek di sini. Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”

 

Aku melepaskan pelukanku dan kea rah lemari dan mengambil tongkat kasti. Aku kemudian melangkah menuju cermin besar itu.

 

“Kamu mau ngapain, Sukreni?” nenek memegang tanganku, aku menepis tangannya.

 

Aku tidak tahu dari mana datangnya kekuatan yang menggebu ini. Aku memukul cermin itu dengan sekuat tenaga. Satu pukulan saja, cermin itu hancur berkeping-keping.

 

“Sukreni!” nenek menjerit, lalu menarik tubuhku menjauh dari serpihan kaca itu, “Apa yang kamu lakukan?”

 

“Mengungkap kebenaran.” Kataku sambil menunjuk tembok tempat cermin itu menempel sebelumnya.

 

Nenekku menangis, aku juga. Tak ada kata yang mampu melukiskan perasaan kami saat itu. Aku benar-benar terpukul. Kakek telah membunuh kedua orang tuaku, tapi beliau mengatakan aku yang menyebabkan mereka meninggal. Kakek sudah mebuatku hidup dalam bayang-bayang penyesalan, dan nenek.. ah.. aku tak bisa menyalahkan nenek. Nenek sudah begitu baik padaku dan beliau terpaksa berbohong demi menyelamatkan jiwaku dari kakek.

 

“Maafkan Nenek.” aku merasakan tangan nenek mendekap tubuhku.

 

“Di mana pembunuh itu?” aku menepis kedua tangan nenek dan aku menatap wajahnya.

 

“Kakek belum pulang dari tadi siang.”

 

“Kita harus menghubungi polisi Nek, kita tidak bisa membiarkan pembunuh itu tinggal bersama kita.”

 

“Tapi nenek takut.”

 

“Apa yang nenek takutkan?”

 

Nenek diam tak menjawab.

 

“Kita harus segera pergi dari sini Nek.” Aku menarik tangan nenekku lalu kami berlari ke ruang keluarga. Aku langsung menelepon kantor polisi dan menceritakan semuanya secara singkat. Setelah itu kami keluar.

 

“Kita mau ke mana?”

 

“Ke rumah tetangga. Kita harus bersembunyi sampai polisi datang. Kalau kakek bisa membunuh ibu pasti kakek juga bisa membunuh kita.” aku berjalan tanpa menoleh ke arah nenek yang mengikut di belakangku. Langkahku terhenti saat tiba-tiba aku melihat kakek berjalan ke arah kami.

 

“Mau ke mana kamu, Sri?”

 

Tubuhku bergetar menahan gejolak kebencian dan kemarahan.

 

“Jawab!” bentak kakek.

 

“Jangan bentak nenekku lagi!” aku berteriak. Kebencian dan kemarahan itu bersatu membentuk keberanian.

 

“Aku tak bicara padamu.”

 

“Aku juga sebenarnya tak sudi bicara dengan pembunuh sepertimu!”

 

“Apa kamu bilang?”

 

“Aku sudah tahu semuanya!”

 

Kakek melotot ke arah nenekku, “Berani-beraninya kamu melanggar perintahku. Kakek berjalan mendekati nenek.

 

Aku merentangkan kedua tanganku, “Bukan nenek yang memberi tahuku, tapi ibu!”

 

“Apa?”

 

“Ibu selalu datang ke mimpiku minta tolong. Kenapa kakek tega melakukan itu? Kenapa kakek membunuh orang tuaku?”

 

“Kalau tahu seperti ini, aku pasti juga membunuhmu dari dulu.”

 

“Bunuh saja aku!” nenek berteriak. Aku menoleh tak percaya ke arah nenek, “Bunuh saja aku! Aku sudah muak hidup denganmu! Kamu telah tega membunuh anak kita satu-satunya. Kamu bukan manusia, Atmaja! Kamu setan!”

 

“Apa kamu bilang?” Kakek terlihat sangat marah, kedua matanya melotot seakan mau keluar dari tempatnya. Kakek berjalan mendekati nenek dan menghempaskan tubuhku. Aku terjatuh ke bebatuan kering yang menggores kulitku. Rasanya sakit sekali.

 

“Aku seharusnya sudah membunuhmu dari dulu.” Aku mendengar kakek berteriak. Aku segera menoleh. Kakek mencekik nenekku hingga tubuh nenek terangkat beberapa senti dari tanah.

 

“Hentikan...” aku berteriak, menahan sakit di siku dan telapak tanganku. Aku berlari ke arah mereka dan kudorong kakek dengan sekuat tenaga. Kakek melepaskan nenek dan berbalik ke arahku. Wajah kakek benar-benar menakutkan.

 

Aku mengatur nafasku, hidungku bekerja ekstra untuk memasukkan banyak oksigen ke paru-paru. Waktu terasa melambat. Kakek menyeringai, “Kamu akan segera menyusul orang tuamu.” katanya sambil berjalan mendekat.

 

Aku melangkah mundur dan kakiku tersandung batu. Aku terjerembab.

 

“Akan kukirim kau ke neraka.” tangan kakek menggapai leherku. Aku menepis tangan-tangan kokoh itu sekuat tenaga, tapi sia-sia.

 

“Jangan bergerak!” seseorang berteriak. Aku menoleh, polisi.

Dua orang polisi langsung membekuk kakekku dan memborgol tangannya. Aku dan nenekpun segera dilarikan ke rumah sakit. Untung nyawa nenek bisa diselamatkan.

 

Esoknya aku pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Aku menceritakan semuanya. Polisi terlihat kurang percaya dengan ceritaku. Kamipun ke rumahku untuk melihat lubang itu.

 

Seorang petugas menggali tembok itu. Satu jam kemudiam linggisnya beradu dengan balok kayu. Diapun menarik balok kayu tersebut dan terlihatlah kerangka manusia, kerangka ibuku. Aku tak bisa menahan air mata yang meleleh di pipiku.


Sehari kemudian nenek sudah bisa dibawa pulang. Kami mendengar kabar kalau kakek terancam dipenjara seumur hidup. Aku sungguh bersyukur.

 

“Nek, kita bebaskan ibu ya.” Kataku saat kami berdua duduk di ruang keluarga.

 

Nenek mengangguk perlahan. Akupun menghubungi keluarga jauh dan beberapa orang tetangga.

 

Kami mulai mempersiapkan upacara pengabenan untuk ibu.

 

“Selamat jalan Ibu.. Semoga ibu tenang di sana.” kataku saat tulang belulang ibu dikremasi. Nenek mendekap tubuhku dengan erat, akupun membalas dekapan nenek.

 


No comments:

Post a Comment