image courtesy of cnalifestyle.channelnewsasia.com |
Aku menggeretakkan gerahamku dan mengepalkan tangan
kananku. Kedua mataku terasa perih, bahkan aku bisa merasakan cairan hangat
yang mulai menggenang di sana. Sepertinya mereka berdua belum menyadari
kehadiranku; apa yang harus aku lakukan sekarang? Pergi melabrak mereka atau
kembali ke rumah dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa? Aku memang sudah
lama tahu tentang hubungan mereka dari gossip
yang beredar di kampus, tapi ini pertama kalinya aku melihat mereka bermesraan
secara langsung. Rasanya lebih sakit dari yang kubayangkan. Kenapa hatiku
terasa seperti ditusuk? Aku sudah menyiapkan diriku untuk menghadapinya. Agus bukanlah
pria yang baik untukku dan Rianti bukanlah seorang sahabat. Aku sudah
menyiapkan diri untuk mengakhiri hubungan dengan mereka berdua; aku sudah
berusaha keras merelakan mereka bersama, namun kenapa hatiku masih sakit?
Tubuhku bergetar menahan rasa marah dan sedih yang
bergejolak di dadaku. Di sana, hanya beberapa meter di depanku, kekasihku
sedang makan malam dengan mesranya bersama seorang gadis yang sudah kuanggap
saudara sendiri. Mereka tertawa bahagia, seakan mereka sepasang kekasih yang
sesungguhnya, tidak pernahkah mereka menerka apa yang akan aku rasakan
seandainya aku tahu?
Kuseret kakiku perlahan ke arah mereka, satu meter, dua
meter, mereka belum menyadari kehadiranku juga. Aku mempercepat langkahku dan
memasang senyum termanis yang bisa kubuat di wajahku, “Jadi, dia sepupumu yang
ulang tahun?”
Mereka berdua terbelalak kaget melihatku, Agus
langsung menghampiriku, wajahnya
terlihat pucat, “Tari, ini nggak seperti yang kamu bayangin, aku bisa jelasin.”
Aku kembali menarik kedua sudut bibirku membentuk seulas
senyum manis walau air mata mulai berlinang di pipiku, “Semuanya sudah jelas.
Aku sudah tahu dari dulu tentang hubungan kalian, dan aku ke sini hanya untuk
berpamitan, aku akan pergi ke tempat yang jauh di mana aku tidak akan pernah
bertemu wajah-wajah munafik kalian lagi. Terima
kasih atas semua yang
kalian lakukan padaku.” air mata semakin deras bercucuran dari mataku. Sebenarnya
aku tidak rela melepaskan Agus karena aku begitu mencintainya, tapi tidak ada
gunanya mempertahankan orang yang hatinya bercabang.
Pandangan mataku beralih ke arah Rianti, gadis itu duduk
menyilangkan kakinya, wajahnya menyiratkan kepuasan, oh Tuhan, rasanya sakit
membayangkan betapa aku begitu memercayainya, “Selamat ya.” ucapku lirih.
“Tari, please
dengerin aku dulu. Aku sama Rianti nggak ada hubungan apa-apa. Kami hanya teman
biasa. Aku sayang kamu, Tari. Aku mohon percaya padaku.”
“Aku percaya kamu
Gus, aku percaya saat kamu bilang kamu pergi menjemput ibumu di bandara, saat
kamu bilang kamu sibuk ngerjain tugas kuliah, saat kamu bilang kamu ada mata
kuliah tambahan, dan saat kamu bilang sepupumu ulang tahun. Aku percaya, tapi
apa yang aku dapat? Kamu menyalahgunakan kepercayaan yang aku berikan.”
“Aku minta maaf. Aku khilaf. Aku sayang kamu, Tari, dan
aku nggak mau hubungan yang sudah kita jalin selama lima tahun ini berakhir
seperti ini.”
“Kamu pikir aku mau?” aku berteriak, beberapa orang yang
jaraknya lumayan jauh dari tempat kami menoleh ke arah kami dan berbisik-bisik,
tapi aku tidak peduli, “Aku sudah merelakan kamu sama dia. Aku akan pergi.
Selamat tinggal.” aku berlari menjauh... Aku
bohong Agus, aku belum rela melepaskanmu, tolong kejar aku, tolong yakinkan aku
kalau kamu hanya mencintaiku dan hanya milikku.
Aku masuk ke dalam mobil dan mengemudikannya dengan
cepat, aku sempat menoleh ke arah kaca spion, mobil Agus mengikutiku, ada rasa
lega di hatiku, tapi rasa itu memudar ketika aku sadar kalau Rianti juga di
sana.
Aku mempercepat laju mobilku, aku seperti kesetanan,
menginjak gas tanpa memedulikan kondisi jalan yang sempit. Beberapa kali aku
hampir menabrak pembatas jalan, tapi aku tidak juga mengurangi kecepatan
mobilku. Agus masih mengikutiku, dia juga melajukan mobilnya dengan sangat
cepat. Aku terus mengawasinya melalui kaca spion sehingga aku tidak menyadari
kalau ada tikungan tajam di depanku. Aku menginjak rem dengan cepat, untung
saja mobilku berhenti, namun beberapa detik kemudian aku merasakan hantaman
keras dari arah belakang. Kepalaku membentur stir dan aku tak ingat apa-apa
lagi.
****
Gelap, semuanya gelap. Aku tidak tahu aku berada di mana.
Aku bahkan tak bisa merasakan tubuhku sendiri, aku tak bisa menggerakkan kaki dan
tanganku. Apa aku sudah mati? Aku berusaha mengingat apa yang sudah terjadi,
tapi otakku buntu.
Secercah cahaya nampak di kejauhan, cahaya itu semakin
mendekat dan aku mulai bisa menguasai tubuhku lagi. Aku melihat sekeliling dan
menemukan wajah-wajah yang sudah tak asing lagi bagiku; wajah kakek, nenek, dan
ayahku yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Mereka tersenyum dan
meraih tanganku, mereka mengatakan sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengar
apapun. Mereka terus berusaha menggapai tanganku dan mengajakku pergi.
Tidak! Aku tidak mau mati! Aku menepis tangan mereka
dengan keras dan wajah merekapun perlahan-lahan memudar, tergantikan dengan
suara tangisan pelan yang terasa sangat jauh. Aku berjalan mencari arah suara
itu.
“Ma, lihat, tangan kakak bergerak.”
“Tari, kamu sudah sadar, Sayang?”
Suara itu, suara adik dan ibuku. Aku mengumpulkan segenap
kekuatan dan membuka mataku, seketika aku melihat wajah dua orang yang sangat
kucintai, aku membuka mulutku, tapi tak ada suara yang keluar.
Beberapa saat kemudian dokter dan seorang perawat datang
dan memeriksa keadaanku, mereka bilang kondisiku masih lemah karena baru saja
bangun dari koma, jadi aku tidak boleh banyak bergerak ataupun bicara. Ibuku
mengucapkan terima kasih, dan merekapun pergi.
“Mama seneng banget kamu akhirnya sadar, mama pikir mama
akan kehilangan kamu selamanya.” ibuku menangis terisak-isak.
“Udahlah Ma, jangan nangis terus, kan kakak baik-baik
aja.”
“Apa yang sebenarnya terjadi, Ma?” aku bertanya pelan.
Mama menceritakan kecelakaan yang aku alami tiga bulan
yang lalu; mobilku ditabrak dari belakang oleh mobil Agus karena dia tidak
sempat mengerem. Rianti meninggal di tempat sedangkan Agus masih dalam masa
pemulihan. Mama bilang Agus sering bergantian dengan mama menungguiku di rumah
sakit.
Aku merasa sedikit senang karena ternyata Agus memang
mencintaiku, tapi ada rasa sedih juga karena Rianti meninggal, bagaimanapun
juga akulah penyebab dia mengalami nasib tragis seperti itu.
“Ma, sebaiknya kita segera ngasi tau Kak Agus kalau kak
Astari udah siuman.” adikku mengambil handphonenya
dan segera menghubungi Agus.
Tak lebih dari setengah jam kemudian pintu kamarku
terbuka dan Agus masuk dengan sebuah senyum di wajahnya, “Tari..”
Aku tak berkedip melihatnya, bukan karena aku sudah
begitu merindukannya, bukan karena beberapa bekas luka yang ada di dahinya,
bukan juga karena lehernya yang dipasangi sejenis gips, tapi karena aku melihat
sesuatu yang menempel ketat di punggungnya, sesosok perempuan dengan wajah
menyeramkan yang melingkarkan tangannya pada Agus dengan erat, dia menatap,
lebih tepatnya melotot ke arahku. Aku pernah melihat tatapan mata itu
sebelumnya, astaga, itu Rianti! Aku mengucek-ngucek kedua mataku, mungkin aku
hanya berhalusinasi, tapi sosok itu masih di sana, bahkan dia mengatakan
sesuatu, aku tidak bisa mendengar apa yang diucapkannya, tapi aku bisa membaca
gerakan bibirnya, “DIA MILIKKU.”
Aku menjerit dengan keras dan melempar bantal ke arah
Agus, “Pergi...... Pergi.......... Jangan pernah ke sini lagi, pergi..........”
“Tari, kamu kenapa? Ini aku Agus.” dia berjalan
menghampiriku, secara otomatis makhluk yang menempel di punggungnya ikut mendektaiku,
“DIA MILIKKU.. DIA MILIKKU.” ucapnya berulang-ulang.
Aku semakin menjerit ketakutan. Mama dan adikku berusaha
menenangkanku, sementara Agus terlihat kebingungan, dan makhluk mengerikan itu
tetap mengulang kalimat itu.
“Pergiii...” aku berteriak lebih keras dan dua orang
perawat masuk, mereka langsung memberikan obat penenang dan menyuruh semua yang
ada di ruangan itu keluar.
Aku masih shocked
dengan apa yang baru saja aku saksikan. Rianti menempel erat di punggung Agus
hingga Agus sedikit membungkuk, persis seperti apa yang pernah aku tonton di
film Thailand, The Shutter. Aku
memejamkan mataku, berusaha menghalau bayangan itu jauh-jauh sampai akhirnya
aku terlelap karena obat penenang yang diberikan perawat mulai bereaksi.
Aku tidak pernah mau menemui Agus lagi sejak kejaidan
itu, aku berusaha melupakan semua yang pernah terjadi di antara kami, tapi
bayangan wajah Rianti masih terus menghantuiku, dan bukan hanya itu, aku
sekarang memiliki kemampuan untuk melihat makhluk dari alam lain. Aku bisa
melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh orang kebanyakan, bahkan sekarang saat
aku mengetik cerita ini, seorang perempuan sedang duduk di sampingku,
menungguku selesai mengetik karena dia akan menceritakan kematiannya. Ya, aku
sekarang berteman dengan mereka....
Betting on soccer in India: Where to bet on football online in India
ReplyDeleteThe best place to bet on soccer online 진주 출장마사지 in India 대구광역 출장샵 is the home of online bookmaker Betway. Betway, with 서귀포 출장안마 its vast 충주 출장마사지 array of promotions 대구광역 출장마사지 and bonuses,