Monday, July 13, 2020

Dia Milikku

“Tari, kamu kenapa? Ini aku Agus.” dia berjalan menghampiriku, secara otomatis makhluk yang menempel di punggungnya ikut mendektaiku, “DIA MILIKKU.. DIA MILIKKU.” ucapnya berulang-ulang.

image courtesy of cnalifestyle.channelnewsasia.com

Aku menggeretakkan gerahamku dan mengepalkan tangan kananku. Kedua mataku terasa perih, bahkan aku bisa merasakan cairan hangat yang mulai menggenang di sana. Sepertinya mereka berdua belum menyadari kehadiranku; apa yang harus aku lakukan sekarang? Pergi melabrak mereka atau kembali ke rumah dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa? Aku memang sudah lama tahu tentang hubungan mereka dari gossip yang beredar di kampus, tapi ini pertama kalinya aku melihat mereka bermesraan secara langsung. Rasanya lebih sakit dari yang kubayangkan. Kenapa hatiku terasa seperti ditusuk? Aku sudah menyiapkan diriku untuk menghadapinya. Agus bukanlah pria yang baik untukku dan Rianti bukanlah seorang sahabat. Aku sudah menyiapkan diri untuk mengakhiri hubungan dengan mereka berdua; aku sudah berusaha keras merelakan mereka bersama, namun kenapa hatiku masih sakit?

Tubuhku bergetar menahan rasa marah dan sedih yang bergejolak di dadaku. Di sana, hanya beberapa meter di depanku, kekasihku sedang makan malam dengan mesranya bersama seorang gadis yang sudah kuanggap saudara sendiri. Mereka tertawa bahagia, seakan mereka sepasang kekasih yang sesungguhnya, tidak pernahkah mereka menerka apa yang akan aku rasakan seandainya aku tahu?

Kuseret kakiku perlahan ke arah mereka, satu meter, dua meter, mereka belum menyadari kehadiranku juga. Aku mempercepat langkahku dan memasang senyum termanis yang bisa kubuat di wajahku, “Jadi, dia sepupumu yang ulang tahun?”

Mereka berdua terbelalak kaget melihatku, Agus langsung  menghampiriku, wajahnya terlihat pucat, “Tari, ini nggak seperti yang kamu bayangin, aku bisa jelasin.”

Aku kembali menarik kedua sudut bibirku membentuk seulas senyum manis walau air mata mulai berlinang di pipiku, “Semuanya sudah jelas. Aku sudah tahu dari dulu tentang hubungan kalian, dan aku ke sini hanya untuk berpamitan, aku akan pergi ke tempat yang jauh di mana aku tidak akan pernah bertemu wajah-wajah munafik kalian lagi. Terima kasih atas semua yang kalian lakukan padaku.” air mata semakin deras bercucuran dari mataku. Sebenarnya aku tidak rela melepaskan Agus karena aku begitu mencintainya, tapi tidak ada gunanya mempertahankan orang yang hatinya bercabang.

Pandangan mataku beralih ke arah Rianti, gadis itu duduk menyilangkan kakinya, wajahnya menyiratkan kepuasan, oh Tuhan, rasanya sakit membayangkan betapa aku begitu memercayainya, “Selamat ya.” ucapku lirih.

“Tari, please dengerin aku dulu. Aku sama Rianti nggak ada hubungan apa-apa. Kami hanya teman biasa. Aku sayang kamu, Tari. Aku mohon percaya padaku.”

 “Aku percaya kamu Gus, aku percaya saat kamu bilang kamu pergi menjemput ibumu di bandara, saat kamu bilang kamu sibuk ngerjain tugas kuliah, saat kamu bilang kamu ada mata kuliah tambahan, dan saat kamu bilang sepupumu ulang tahun. Aku percaya, tapi apa yang aku dapat? Kamu menyalahgunakan kepercayaan yang aku berikan.”

“Aku minta maaf. Aku khilaf. Aku sayang kamu, Tari, dan aku nggak mau hubungan yang sudah kita jalin selama lima tahun ini berakhir seperti ini.”

“Kamu pikir aku mau?” aku berteriak, beberapa orang yang jaraknya lumayan jauh dari tempat kami menoleh ke arah kami dan berbisik-bisik, tapi aku tidak peduli, “Aku sudah merelakan kamu sama dia. Aku akan pergi. Selamat tinggal.” aku berlari menjauh... Aku bohong Agus, aku belum rela melepaskanmu, tolong kejar aku, tolong yakinkan aku kalau kamu hanya mencintaiku dan hanya milikku.

Aku masuk ke dalam mobil dan mengemudikannya dengan cepat, aku sempat menoleh ke arah kaca spion, mobil Agus mengikutiku, ada rasa lega di hatiku, tapi rasa itu memudar ketika aku sadar kalau Rianti juga di sana.

Aku mempercepat laju mobilku, aku seperti kesetanan, menginjak gas tanpa memedulikan kondisi jalan yang sempit. Beberapa kali aku hampir menabrak pembatas jalan, tapi aku tidak juga mengurangi kecepatan mobilku. Agus masih mengikutiku, dia juga melajukan mobilnya dengan sangat cepat. Aku terus mengawasinya melalui kaca spion sehingga aku tidak menyadari kalau ada tikungan tajam di depanku. Aku menginjak rem dengan cepat, untung saja mobilku berhenti, namun beberapa detik kemudian aku merasakan hantaman keras dari arah belakang. Kepalaku membentur stir dan aku tak ingat apa-apa lagi.
****
Gelap, semuanya gelap. Aku tidak tahu aku berada di mana. Aku bahkan tak bisa merasakan tubuhku sendiri, aku tak bisa menggerakkan kaki dan tanganku. Apa aku sudah mati? Aku berusaha mengingat apa yang sudah terjadi, tapi otakku buntu.

Secercah cahaya nampak di kejauhan, cahaya itu semakin mendekat dan aku mulai bisa menguasai tubuhku lagi. Aku melihat sekeliling dan menemukan wajah-wajah yang sudah tak asing lagi bagiku; wajah kakek, nenek, dan ayahku yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Mereka tersenyum dan meraih tanganku, mereka mengatakan sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengar apapun. Mereka terus berusaha menggapai tanganku dan mengajakku pergi.

Tidak! Aku tidak mau mati! Aku menepis tangan mereka dengan keras dan wajah merekapun perlahan-lahan memudar, tergantikan dengan suara tangisan pelan yang terasa sangat jauh. Aku berjalan mencari arah suara itu.

“Ma, lihat, tangan kakak bergerak.”

“Tari, kamu sudah sadar, Sayang?”

Suara itu, suara adik dan ibuku. Aku mengumpulkan segenap kekuatan dan membuka mataku, seketika aku melihat wajah dua orang yang sangat kucintai, aku membuka mulutku, tapi tak ada suara yang keluar.

Beberapa saat kemudian dokter dan seorang perawat datang dan memeriksa keadaanku, mereka bilang kondisiku masih lemah karena baru saja bangun dari koma, jadi aku tidak boleh banyak bergerak ataupun bicara. Ibuku mengucapkan terima kasih, dan merekapun pergi.

“Mama seneng banget kamu akhirnya sadar, mama pikir mama akan kehilangan kamu selamanya.” ibuku menangis terisak-isak.

“Udahlah Ma, jangan nangis terus, kan kakak baik-baik aja.”

“Apa yang sebenarnya terjadi, Ma?” aku bertanya pelan.

Mama menceritakan kecelakaan yang aku alami tiga bulan yang lalu; mobilku ditabrak dari belakang oleh mobil Agus karena dia tidak sempat mengerem. Rianti meninggal di tempat sedangkan Agus masih dalam masa pemulihan. Mama bilang Agus sering bergantian dengan mama menungguiku di rumah sakit.

Aku merasa sedikit senang karena ternyata Agus memang mencintaiku, tapi ada rasa sedih juga karena Rianti meninggal, bagaimanapun juga akulah penyebab dia mengalami nasib tragis seperti itu.

“Ma, sebaiknya kita segera ngasi tau Kak Agus kalau kak Astari udah siuman.” adikku mengambil handphonenya dan segera menghubungi Agus.

Tak lebih dari setengah jam kemudian pintu kamarku terbuka dan Agus masuk dengan sebuah senyum di wajahnya, “Tari..”

Aku tak berkedip melihatnya, bukan karena aku sudah begitu merindukannya, bukan karena beberapa bekas luka yang ada di dahinya, bukan juga karena lehernya yang dipasangi sejenis gips, tapi karena aku melihat sesuatu yang menempel ketat di punggungnya, sesosok perempuan dengan wajah menyeramkan yang melingkarkan tangannya pada Agus dengan erat, dia menatap, lebih tepatnya melotot ke arahku. Aku pernah melihat tatapan mata itu sebelumnya, astaga, itu Rianti! Aku mengucek-ngucek kedua mataku, mungkin aku hanya berhalusinasi, tapi sosok itu masih di sana, bahkan dia mengatakan sesuatu, aku tidak bisa mendengar apa yang diucapkannya, tapi aku bisa membaca gerakan bibirnya, “DIA MILIKKU.”

Aku menjerit dengan keras dan melempar bantal ke arah Agus, “Pergi...... Pergi.......... Jangan pernah ke sini lagi, pergi..........”

“Tari, kamu kenapa? Ini aku Agus.” dia berjalan menghampiriku, secara otomatis makhluk yang menempel di punggungnya ikut mendektaiku, “DIA MILIKKU.. DIA MILIKKU.” ucapnya berulang-ulang.

Aku semakin menjerit ketakutan. Mama dan adikku berusaha menenangkanku, sementara Agus terlihat kebingungan, dan makhluk mengerikan itu tetap mengulang kalimat itu.

“Pergiii...” aku berteriak lebih keras dan dua orang perawat masuk, mereka langsung memberikan obat penenang dan menyuruh semua yang ada di ruangan itu keluar.

Aku masih shocked dengan apa yang baru saja aku saksikan. Rianti menempel erat di punggung Agus hingga Agus sedikit membungkuk, persis seperti apa yang pernah aku tonton di film Thailand, The Shutter. Aku memejamkan mataku, berusaha menghalau bayangan itu jauh-jauh sampai akhirnya aku terlelap karena obat penenang yang diberikan perawat mulai bereaksi.

Aku tidak pernah mau menemui Agus lagi sejak kejaidan itu, aku berusaha melupakan semua yang pernah terjadi di antara kami, tapi bayangan wajah Rianti masih terus menghantuiku, dan bukan hanya itu, aku sekarang memiliki kemampuan untuk melihat makhluk dari alam lain. Aku bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh orang kebanyakan, bahkan sekarang saat aku mengetik cerita ini, seorang perempuan sedang duduk di sampingku, menungguku selesai mengetik karena dia akan menceritakan kematiannya. Ya, aku sekarang berteman dengan mereka....


1 comment:

  1. Betting on soccer in India: Where to bet on football online in India
    The best place to bet on soccer online 진주 출장마사지 in India 대구광역 출장샵 is the home of online bookmaker Betway. Betway, with 서귀포 출장안마 its vast 충주 출장마사지 array of promotions 대구광역 출장마사지 and bonuses,

    ReplyDelete