Hujan lebat
yang mengguyur College State sejak
subuh tadi membuatku betah bermalas-malasan di tempat tidur hangatku. Aku
mengabaikan alarm yang sudah berkali-kali berbunyi menandakan waktunya untuk
bangun. Hujan, aku tidak begitu suka hujan karena hujan sering membawa
penyakit, tapi kali ini hujan bisa kujadikan alasan untuk tidak menghadiri
kuliah yang kubenci.
image courtesy of nrp.org
Aku mendesah
perlahan saat mengingat betapa kejamnya nasib menyeretku hingga aku bisa sampai
di sini. Aku lahir di sebuah keluarga kaya dengan orang tua diktator. Hidupku
tidak jauh bedanya dengan hidup sebuah robot. Aku diciptakan dengan masa depan
yang sudah dirancang sedemikian rupa. Sejak kecil, bahkan mungkin sejak bayi,
setiap gerakanku sudah ditentukan. Harus begini, harus begitu. Tidak boleh
begini, tidak boleh begitu. Sejak umur empat tahun aku sudah diikutkan berbagai
macam les, seperti les piano dan les renang. Setelah masuk
SD,
hari-hariku dipenuhi
dengan bimbingan belajar, khususnya pelajaran IPA. Aku memang sudah dididik
sejak kecil untuk menjadi seorang dokter. Dokter! Pekerjaan yang paling
kubenci! Dokter adalah orang-orang egois yang senang apabila ada orang sakit.
Tunggu, semua manusia juga egois. Kenapa kita harus berobat saat sakit? Kenapa
kita tidak pasrah saja dan langsung meninggal? Aku rasa itu lebih baik daripada
kita susah payah memperpanjang hidup kita yang penuh dengan kebusukan ini.
Seandainya aku
bisa bilang tidak walau hanya sekali. Aku tidak berbakat dalam bidang ini. Aku
ingat betapa kecewanya orang tuaku saat tahu hasil ujian nasionalku yang
menurutku sudah lumayan. Semua nilai di atas 85 dan dibawah 95. Sudah sangat
bagus kan? Sayangnya menurut mereka seorang calon dokter yang sudah ikut les,
bimbingan belajar, dan kursus di sana-sini harus mendapatkan nilai sempurna.
Aku harus menjadi seorang dokter yang sempurna. Fuck!
Saat sibuk
memaki-maki takdir bengisku, tiba-tiba handphoneku
berbunyi. Dengan sangat malas aku mengulurkan tanganku dari bawah naungan
selimut tebal dan mengambil handphoneku
dari atas meja. Mommy calling. Huh,
tolong jangan rusak pagi yang tenang ini ya Tuhan.
“Pagi, Ma.”
“Pagi, Sayang.
Gimana kuliahnya? Lancar-lancar aja kan? Kamu nggak ada masalah di kampus, kan?”
Bukannya
menanyakan kabarku, mama malah langsung menanyakan kuliahku.
“Lancar kok,
Ma, tapi hari ini Dika nggak bisa kuliah, hujan soalnya.”
“Apa? Kamu
nggak kuliah cuma karena hujan? Nggak boleh! Cepet kuliah! Mama nggak mau tau,
pokoknya kehadiran kamu di kampus harus seratus persen. Nanti mama akan
menghubungi dosen kamu. Udah dulu ya, mama ada arisan nih.” Click.
Seratus
persen? Dosenku saja memberi toleransi dengan kehadiran minimal 75 persen.
Ahhh.... aku muak hidup seperti ini. Jurusan ini bukan tempatku. Aku tidak suka
menjadi dokter dan kemampuan otakku juga di bawah standar. Aku satu-satunya mahasiswa
di kelasku yang sepertinya tidak punya harapan menjadi dokter, tapi bagaimana
aku harus mengatakannya pada orang tuaku? Mereka tidak akan mau mendengar, dan
sekalipun mereka mendengar, mereka tidak akan mengerti. Ini sudah takdirku
karena menjadi satu-satunya penerus ayahku yang juga seorang dokter, lebih
tepatnya kepala salah satu rumah sakit terbesar di Indonesia.
Aku menguap
beberapa kali dan melangkahkan kakiku ke kamar mandi dengan sangat malas.
Denting hujan dengan irama tak beraturan masih terdengar dengan jelas.
Sepertinya hujan masih akan terus turun sepanjang hari, tapi seorang robot
tidak takut hujan. Bahkan seklipun badai Sandy menyerang College State lagi,
aku akan tetap (diharuskan) untuk menerobosnya dan kuliah.
Tiga puluh
menit kemudian aku sudah berada di atas motor gedeku, melaju dengan kecepatan
sedang menuju University Park yang
terletak sekitar lima kilometer dari apartemenku. Jalanan begitu sepi, hanya
ada beberapa mobil dan sepeda yang berlalu lalang. Sepertinya hujan dan udara
dingin membuat orang-orang betah tinggal di rumah. Aku mempercepat laju motorku
hingga akhirnya aku sampai di tempat parkir. Akupun segera memarkirnya dan
bergegas menuju ruang kelasku. Ternyata aku salah, hujan sudah mulai reda
begitu aku menginjakkan kaki di kampus.
Sepanjang
perjalanan aku mengibas-ngibaskan rambutku yang setengah basah. Aku memang
sengaja tidak memotong pendek rambutku karena aku tidak akan mendapat
kesempatan ini jika aku ada di Indonesia. Aku bukan hanya sekedar robot, aku
juga tentara yang harus berpenampilan rapi.
Saat sampai di
kelas jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan, untung saja Prof. Hoofman belum menampakkan batang
hidungnya. Dengan santai aku masuk ruangan dan duduk di pojok belakang, tempat
yang paling aman untuk mendengarkan lagu atau mencoret-coret bukuku. Sebenarnya
aku bercita-cita menjadi seorang penulis karena aku sangat mencintai sastra,
tapi orang tuaku bilang penulis tidak punya masa depan. Penulis hanyalah kerja
sambilan apabila hasil dari pekerjaan tetap kita tidak mencukupi, sedangkan
gaji seorang dokter sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Uang uang uang....
menurut mereka uang adalah segalanya...
Aku mengambil
headset dari dalam tas dan segera mendengarkan lagu-lagu klasik kesukaanku. Aku
juga mengeluarkan sebuah kertas dan menuliskan keluh kesahku di sana.
Aku tidak begitu sering berkomunikasi dengan teman-teman sekelasku. Mereka
semua terlihat sama, calon-calon dokter hebat dengan iq super tinggi dan
tingkat disiplin yang tidak kalah tingginya. Walaupun belum ada dosen, mereka
semua sudah terlihat sibuk dengan buku super tebal di tangan mereka. Tidak ada
yang mengobrol atau mendengarkan musik. Semuanya serius membaca dan mencatat
poin-poin penting dari bacaan mereka. Orang tuaku pasti akan sangat bangga
kalau salah satu dari teman-teman sekelasku adalah anak mereka.
“Guys.” seseorang di deretan bangku paling depan berdiri, dia
adalah Bobby Richadson, ketua kelas, “Prof.
Hoofman said he couldn’t attend today’s lecture. He asked us to study in the library,
read a book and make a summary of one chapter, any chapter.” katanya.
Teman-temankupun
berdiri dan pergi ke perpustakaan. Aku mengikuti mereka dengan berjalan pelan.
Aku sama sekali belum pernah ke perpustakaan karena tempatnya yang lumayan jauh
dari gedung perkuliahan untuk anak-anak fakultas kedokteran. Saat melintasi
kolam dengan air mancur di tengahnya, mataku menangkap sebuah tulisan “Art and
Language Faculty” di depan sebuah gedung berlantai lima yang ada di seberang
kolam itu. Di sana, di sanalah seharusnya aku berada, menulis....
Aku menoleh ke
arah teman-teman sekelasku yang sudah berada agak jauh dari tempatku. Baiklah,
aku putuskan untuk berkunjung sebentar ke fakultas bahasa dan seni. Tidak ada
salahnya pergi sebentar, tugasnya hanya membuat ringkasan satu chapter, aku
bisa mengumpulkan salah satu catatan materi dari profesor lain. Aku tersenyum
lalu melangkahkan kakiku menuju gedung itu.
Tidak ada
orang yang kukenal di sana karena aku memang merupakan seseorang yang
anti-sosial, tapi itu tidak mengurungkan niatku untuk bermain sebentar di sana.
Beberapa mahasiswa terlihat sedang melukis di halaman samping gedung, beberapa
lainnya sedang memahat patung di dalam studio patung. Aku bisa melihat
wajah-wajah serius tapi santai mereka dari pintu besar yang terbuka dengan
lebar. Aku mulai memasuki gedung dan berjalan pelan di lobi sambil melihat-lihat berbagai macam lukisan yang
tertempel di dinding. Semuanya terlihat indah dan artistik. Selain lukisan, di
lobi luas itu juga terdapat dua buah patung singa yang menjadi lambang Pennsylvania State University, beberapa vas
bunga besar yang terbuat dari kayu dengan ukiran rumit nan indah di sisi
luarnya, dan juga sebuah mading berukuran raksasa yang ditempel di tembok. Aku
menghampiri mading yang agak sepi pengunjung itu dan melihat-lihat sisinya. Ada
banyak foto di sana, foto orang yang menari, melukis, memahat, membaca puisi,
menulis, dan lain sebagainya. Mereka semua terlihat bahagia dengan apa yang
mereka lakukan. Di samping foto juga ada sekumpulan puisi, cerita pendek,
karikatur, artikel, komik singkat, dan karya-karya lain yang memang biasa
ditempel di mading.
Aku begitu
menikmati isi mading itu hingga aku merasa kebelet. Akupun langsung menanyakan
seorang mahasiswa yang kebetulan lewat di depanku, “Excuse me,” sapaku, “could
you tell me where the toilet is?”
Mahasiswa itu
berambut pirang ikal yang agak panjang. Sebuah anting-anting kadal berwarna
perak menghiasi telinganya, “Yes, near the
staircase.” dia menunjuk tangga di belakangku.
“Thank you.”
“Welcome.”
Aku langsung
bergegas menuju tangga yang ditunjuk mahasiswa tadi dan aku langsung menemukan
tulisan “toilet” yang ditulis dengan indah. Tidak ada tulisan gentlemen dan ladies, tapi ada gambar wanita dan laki-laki. Gambar tersebut
dibuat setengah telanjang namun tidak menunjukkan kesan porno sedikitpun. Aku
segera masuk ke dalam toilet dengan gambar laki-laki. Toilet ini sungguh
berbeda dengan toilet di gedung perkuliahan fakultas kedokteran yang begitu
bersih, harum, dan sehat. Toilet ini memang tidak kotor, tapi ada beberapa
hiasan jejak sepatu di tembok dan banyak puntung rokok di tempat sampah.
Setelah
selesai, aku pun membasuh wajahku di depan sebuah cermin besar. Di cermin itu
aku melihat bayangan sebuah lukisan yang begitu menarik, akupun berbalik dan
kutemui lukisan itu di hadapanku.
Aku berdiri
mematung di depan lukisan itu. What a
masterpiece! Aku memang tidak begitu mengerti seni lukis, tapi sekali
melihat saja aku tahu kalau lukisan itu hidup, punya jiwa. Lukisan itu bisa
berkomunikasi. Aku tidak pandai menjelaskannya dengan kata-kata. Kalau kalian
melihat lukisan itu, kalian pasti akan mengerti maksudku.
Lukisan itu seakan menghipnotisku
untuk tidak mengalihkan pandangan darinya. Seorang gadis kecil berambut cokelat
keemasan dengan sepasang bola mata berwarna hijau menjadi objek utama lukisan
itu. Gadis kecil tersebut melihat keluar melalui jendela kecil. Dari sana dia
bisa melihat pemandangan abstrak yang indah. Matanya menunjukkan binar-binar
semangat, tapi raut wajahnya terlihat sedih. Sebuah senyum pahit menghiasi
wajah bulatnya. Dia dikelilingi aura gelap. Jari-jari berwarna hitam dengan
kuku tajam mencekik pinggangnya.
Aku tidak tahu apa yang
dibayangkan si pelukis saat membuat lukisan itu, tapi aku merasa begitu
tersentuh dan hanyut di dalamnya. Aku merasa gadis kecil itu seperti aku,
terkungkung di dalam penjara, hanya bisa melihat dunia luar yang indah tanpa
bisa menjadi bagian dari keindahan dan kebebasan itu. Aku terikat; tidak bisa
lepas.
Aku bergerak mendekat dan
menyentuh wajah si gadis kecil. Aku menggerakkan telapak tanganku dengan
perlahan seolah ingin mengusap air mata transparan yang menggenang di pipi
putihnya. Aku bisa merasakan kesedihan yang dirasakannya.
Tiba-tiba handphoneku bergetar, tanda ada panggilan atau sms masuk. Akupun
segera mengambilnya dari kantong celana jeansku. Mommy calling. Hufhhh
“Hallo Ma.”
“Udah di kampus?”
“Udah, dosennya lagi nggak ada.
Dika lagi buat tugas di perpustakaan.”
“Oh.. Belajar yang rajin ya,
Sayang. Cuma kamu harapan mama dan papa satu-satunya, jangan sampai
mengecewakan.”
“Iya, Ma. Dika mau ngelanjutin
buat tugas ya, Ma, bentar lagi dikumpul.”
“Ya udah. Kerjain tugasnya dengan
baik. Love you, dear.”
Aku mengakhiri panggilan tanpa
membalas ucapan ibuku. Lalu aku kembali memerhatikan lukisan berukuran sedang
yang sudah menarik perhatianku selama sekian menit. Beberapa mahasiswa yang
masuk ke toilet melihatku dengan tatapan aneh, seolah aku makhluk asing dari
planet lain.
Hari-hari berikutnya terasa lebih
menyenangkan. Aku selalu menyempatkan diri mampir ke Fakultas Bahasa dan Seni
setiap selesai kuliah atau saat tidak ada dosen. Banyak kegiatan yang bisa aku
lakukan di sana, misalnya melihat orang menari, membaca puisi, memahat,
melukis, dan memainkan alat musik. Selain itu aku juga bisa menulis beberapa
cerita pendek dan puisi karena tempat ini memang penuh dengan ispirasi. Yang
tidak kalah penting, aku juga bisa menghabiskan beberapa menit menikmati
keindahan lukisan yang tergantung di tembok kamar mandi itu. Aku tidak tahu
siapa yang membuat lukisan itu karena di sana memang tidak ada tanda tangan
ataupun nama pelukisnya.
Rasa penasaranku terjawab suatu
hari, tepatnya hari Kamis saat perayaan Thanksgiving.
Perkuliahan hari itu ditiadakan, secara otomatis University Park menjadi sepi. Aku yang memang tidak merayakan Thanksgiving dan tidak mendapatkan
undangan dari siapapun memanfaatkan moment itu untuk membuat sebuah cerita
pendek tentang lukisan si gadis kecil, begitu aku menamai lukisan di toilet
tersebut.
Saat masuk ke dalam toilet,
mataku menangkap sesosok makhluk yang berdiri di depan lukisan si gadis kecil
dan menatapnya dengan pandangan sedih. Aku sedikit terkesiap karena dia adalah
seorang wanita, sedangkan toilet ini adalah toilet khusus pria. Secara ragu-ragu,
aku menghampirinya. Menepuk pundak orang asing di Amerika merupakan perbuatan
yang sangat tidak sopan, jadi aku hanya berdiri mematung di belakangnya
berharap dia segera menyadari kehadiranku, tapi gadis itu tidak sedikitpun
mengalihkan pandangan dari lukisan di hadapannya.
“Hi.” Sebuah suara datar keluar
dari mulutku.
Gadis itu menoleh, tampak sangat
terkejut, menundukkan kepalanya lalu berjalan melewatiku dengan cepat.
“Hey, wait.” aku mengejarnya dan tanpa kusadari aku menarik tangannya. Ya Tuhan, tangan
putih pucat itu terasa sangat dingin. Begitu dingin hingga aku dengan segera
melepaskannya, “What are you doing here?”
aku memberanikan diri bertanya.
“Nothing.” Suaranya tidak kalah dingin dengan tangannya.
“Are you lost?” aku tidak tahu kenapa
aku berusaha memulai percakapan dengannya, padahal selama ini aku sangat enggan
berinteraksi dengan orang asing, “This is
men’s toilet.”
“I know.” dia berjalan menjauh, kali ini aku tidak mengejarnya.
“Gadis aneh.” Kataku dalam hati
lalu aku kembali ke kamar mandi. Aku duduk bersila di lantai menghadap lukisan
itu sambil menarikan penaku di atas kertas. Kata-kata mengalir dengan lancar
dari kepalaku, tapi aku merasa seperti sedang diawasi. Aku melihat sekeliling,
tidak ada siapa-siapa. Akupun kembali menekuni pekerjaanku, namun perasaan itu
muncul lagi, aku kembali melihat sekitarku dan entah darimana datangnya gadis
itu tiba-tiba saja sudah ada di sampingku.
“What are you doing?” tanyanya dengan nada datar.
“Writing a short story.”
“Why here?”
“I think I should ask the same question; why are you here?”
Gadis itu duduk di sampingku, “I asked first.”
“This painting gives me inspirations.” aku menunjuk lukisan si gadis kecil.
Dia menoleh tak percaya ke
arahku, “You see me, you see my painting.”
dia bergumam seolah berbicara kepada dirinya sendiri.
“Of course.” aku tertawa kecil, “Wait, did you say
‘my painting’?”
Dia mengangguk lemah, raut
kesedihan menghiasi mukanya. Kini aku memperhatikannya dengan seksama. Mata hijaunya,
rambut cokelat keemasannya, “This is your
painting?” aku bertanya dengan sedikit keras.
Dia
mengangguk lagi, lalu tiba-tiba menoleh ke arahku, “God’s not fair.” tatapannya berubah tajam dan sedikit menakutkan, “I hate my life. Why me? Why not other people? Why me? Why me? Why me?”
dia berteriak berulang-ulang dan teriakannya memenuhi ruangan kecil itu.
Aku berusaha menenangkannya
dengan memegang bahunya. Aku menahan rasa dingin yang menyusup di telapak
tanganku, “I know how it feels.” bisikku.
“You don’t!” dia menepis tanganku dengan kasar, “You don’t.” dia berkata lirih, suaranya hampir tidak terdengar, “You will never know how it feels to be me, to be someone whose life
won’t last long.”
“What do you mean?”
Dia tertawa sinis, “You said you knew how it felt.”
Sejenak aku berpikir gadis ini
adalah orang gila, tapi begitu aku ingat kalau dia adalah pelukis dari lukisan
berjiwa yang selama ini menjadi sumber inspirasiku, akupun menepis pikiran itu,
“You can share if you want.”
Gadis bertubuh agak pendek itu
berdiri dan menyentuh lukisannya dengan penuh kasih sayang, “I am suffering from a deadly disease. Doctor
has predicted that I won’t be able to blow twenty candles on my birthday cake.”
dia berhenti sejenak sambil menggerakan jari-jari lentiknya, “My family asked me to stay in hospital, but
I didn’t want to. I want to keep on painting. I want to be a great artist. I
want to make awesome paintings. I want to reach my dream.”
Aku tidak tahu harus mengatakan
apa. Persepsiku ternyata salah. Selama ini aku pikir dia dikekang oleh orang
tuanya seperti aku yang dikekang orang tuaku.
“God’s so unfair. Why did
He create diseases that have no cures? What did the doctors do? Nothing! They
let me suffer!” dia membenamkan wajahnya di
lukisannya, “I want to reach my dream.”
punggungnya bergetar; aku rasa dia menangis. Aku tidak biasa menghadapi
orang yang menangis, atau lebih tepatnya aku tidak biasa menghadapi orang. Aku
tidak tahu harus melakukan apa untuk membuatnya tenang. Ini pertama kalinya
dalam hidupku aku menyadari betapa pentingnya peran dokter.
“I wish they could find the cure.”
“What are you suffering from?” akhirnya pita suaraku mampu
memproduksi kata-kata.
Dia membalikkan wajahnya sambil
mengusap air mata yang meleleh di pipi pucatnya, “Leukimia.”
Leukimia? Kanker darah? Aku
sedikit terkesiap mendengar gadis ini menderita penyakit leukimia, penyakit
yang obatnya belum ditemukan, hanya bisa dihambat dengan melakukan kemoterapi
dan operasi pengangkatan sumsum tulang belakang.
Aku menyentuh tangannya dan
menggenggamnya, “I promise you I will
find the cure. I will make sure you can reach your dream.” sebuah senyum mengembang di wajahku.
“It’s too late.”
“What
do you mean?”
“Nothing. I have to go. Bye...”
Dia berlari keluar toilet dengan
sangat cepat. Aku mengejarnya tapi begitu sampai di luar kamar mandi, aku tidak
melihat siapapun di sana. Lobi dan koridor terlihat lengang, “Kenapa perginya
dia?”
Ketika sampai di apartemen aku
langsung menghidupkan laptop dan menjelajah di dunia maya. Aku membaca berbagai
macam tulisan tentang penyakit yang diderita gadis itu. Leukimia sampai
sekarang memang belum ditemukan obatnya. Sudah banyak dokter di rumah
sakit-rumah sakit besar di Jepang, Jerman, dan Amerika yang mengadakan
penelitian mendalam mengenai penyakit itu, tapi hasilnya tidak memuaskan.
Pertumbuhan penyakit itu hanya bisa dihambat dengan operasi dan kemoterapi,
itupun memiliki presentase keberhasilan yang tidak
begitu tinggi.
Aku bersumpah pada diriku sendiri
kalau aku akan melakukan yang terbaik untuk bisa menemukan obat yang bisa
menyembuhkan leukimia. Mulai sekarang aku akan bersungguh-sungguh menjalani
kewajibanku sebagai seorang calon dokter. Kenapa aku baru sadar sekarang kalau
dokter merupakan profesi yang sangat mulia? Dokter bukanlah orang-orang yang
egois.
Gadis bermata hijau, bertahanlah... aku pasti menemukan obatnya....
Teman-teman sekelasku sangat
heran melihat perubahanku yang begitu drastis. Aku yang sudah terbiasa duduk di
pojok belakang kini mendadak menjadi penghuni kursi deretan terdepan. Aku
mendengarkan penjelasan dosenku dengan penuh konsentrasi, aku sering mengangkat
tangan baik untuk bertanya tentang materi yang belum kumengerti ataupun
mengemukakan pendapatku.
Waktu senggang yang biasanya aku
habiskan di toilet Fakultas Bahasa dan Seni kini kumanfaatkan untuk mebaca
buku-buku tebal di perpustakaan. Kepalaku terasa hampir meledak menerima
materi-materi rumit yang penuh dengan bahasa kedokteran itu, tapi aku harus
tetap berjuang. Perjuanganku ini tidak seberapa dibandingkan perjuangan... hm,
aku lupa menanyakan nama gadis itu. Aku rasa aku harus menanyakannya saat aku
berkunjung ke Fakultas Bahasa dan Seni lagi.
Setelah selesai membaca beberapa
buku tentang leukimia, akupun keluar dari perpustakaan, melewati kolam air
mancur, dan terus melangkah menuju gedung perkuliahan Fakultas Bahasa dan Seni.
Beberapa mahasiswa jurusan seni rupa terlihat sedang melukis di halaman samping
gedung, aku melihat sebentar ke arah mereka, berusaha menemukan si gadis
bermata hijau, tapi dia tidak ada di sana. Aku menghembuskan napas kekecewaan lalu melanjutkan perjalananku ke toilet di samping tangga. Aku
begitu terkejut saat mengetahui lukisan itu sudah tidak ada di sana. Apa yang
terjadi? Siapa yang mengambil lukisan itu?
“Excuse me,” kataku pada seorang mahasiswa berambut gondrong yang
baru saja masuk toilet, “Do you know
where the painting is?” aku bertanya sambil menunjuk tembok tempat lukisan
itu digantung.
“What painting?” dia balik bertanya.
“The painting of a litlle girl, green-eyed girl.”
“I am sorry, I don’t know what you are talking about.”
“That painting!” aku menunjuk tembok itu lagi, “There was a painting hanging there!” kataku setengah berteriak, aku
panik.
“There wasn’t any painting.”
“You gotta be kidding me! There was a painting there!” aku berteriak
lebih keras.
“Crazy man!” mahasiswa itu menunjukkan tatapan jijik ke arahku lalu
berjalan cepat keluar kamar mandi padahal dia baru saja masuk.
“Wait...” aku mengejarnya tapi dia berjalan begitu cepat. Akupun
memutuskan untuk bertanya pada staff
front office.
“Good afternoon, Sir.”
“Good afternoon. What can I do to help you?”
“I want to ask about the painting on the toilet wall. Where is it moved?”
“Painting?” petugas front
office itu mengangkat alisnya.
“Yes, the painting of a little girl.”
“I never saw a painting there. Maybe you saw it somewhere else.”
“Sir, please! I am damn sure it was there.” aku beralih ke seorang ibu di sebelahnya, “Do you know where it is moved, Ma’am?”
Ibu itu menggelengkan kepala, “There is no painting there, there never was”
“Stop joking!” aku berteriak agak keras. Puluhan pasang mata
seketika menoleh ke arahku, “Tell me
where the painting is!”
“Did you say painting?” seseorang mendekatiku, aku menoleh ke arah
orang itu, seorang mahasiswi berambut cokelat kemerahan, “Do you mean the painting of a little girl?”
“Yes!” aku berteriak kegirangan lalu menoleh ke arah dua petugas front office tadi, “I told you, there was a painting there!”
“Ssshhh.....” mahasiswi itu menarik tanganku dan menyeretku keluar
gedung.
“What are you doing?” tanyaku.
“When did you see the painting?”
“Since a month ago. The last time I saw it was last week.”
“Did anything strange happen to you?”
“Strange? What do you mean?”
“Yeah, something strange. Did anything happen?”
“I have no idea what you mean by strange. Just tell me where the
painting is!”
“It’s burned.”
“What?”
“Thirteen years ago.”
“What?”
“By its painter.”
Ini adalah lelucon teraneh dan
tergaring yang pernah kudengar, bahkan aku sendiri tidak yakin ini bisa
dikatakan lelucon, ini terlalu tidak lucu. Baru minggu lalu aku melihat lukisan
itu dan mengobrol dengan pelukisnya. Aku memutuskan untuk segera pergi, tapi
gadis itu menarik tanganku, “I’ll tell
you the story if you want.”
“I don’t buy your bullshit! I met the girl last week.” ucapku, “We talked!”
Gadis itu mendadak pucat
mendengar kata-kataku, “You met her?”
Aku mengangguk cepat, “I did. So there is no way she burned that
painting thirteen years ago! I don’t have time to talk about rubbish.” aku menggerakkan kakiku, tapi gadis itu menarik tanganku lagi.
“She’s dead.”
“She’s dead and I am
Obama’s son.” aku tersenyum sinis ke arahnya.
“Trust me. My aunt studied here, she was her classmate. That girl’s name
was Tiffany, Tiffany Borton. She studied arts because she loved arts so much, but her disease prevented her from paiting again. The paiting of
a little girl that you saw was her last painting. She burned it before
commiting suicide.”
Kata-kata gadis asing ini
menggema di kepalaku. Aku berusaha mencernanya, tapi tak bisa. American joke, so ridiculous!
“She hung herself in men’s toilet, no one knew why. My aunt told me
since that time that toilet had been renovated several times because some
students heard strange sounds or saw Tiffany’s ghost.”
Aku masih belum bisa bereaksi.
Kenyataan ini terlalu sulit untuk kuterima. Gadis beramata hijau itu merupakan
orang pertama yang bisa membakar semangatku menjadi seorang dokter. Bagaimana
mungkin dia sudah meninggal? Tiga belas tahun yang lalu?
Tiba-tiba sesuatu menggerakkan
kakiku untuk kembali ke toilet. Aku tidak mempedulikan teriakan mahasiswi itu
yang menyuruhku berhenti. Aku terus berlari hingga sampai di depan tembok
tempat lukisan itu sebelumnya digantung. Tembok itu kosong, hanya ada hiasan
jejak sepatu yang menghiasi sepertiga tinggi tembok. Tidak ada lukisan si gadis
kecil, bahkan bekasnyapun tidak nampak.
Aku mengepalkan tinjuku dan
memukul tembok di hadapanku dengan sedikit keras. Ini seperti mimpi, sebuah
mimpi aneh yang membuatku gila. Beberapa mahasiswa yang kebetulan ada di kamar
mandi berbisik-bisik melihat tingkahku yang ganjil, tapi aku tidak memedulikan
mereka. Aku sangat terpukul mengetahui kenyataan mengerikan di balik lukisan
itu.
Tiffany Borton, green-eyed girl, I promise you that I will do my best to
find the medicine that can cure leukimia and any other diseases. I won’t let
anyone suffer like you did. I will make sure everyone can reach their dreams.
Thank you, thank you for inspiring me, thank you for motivating me... I
hope you will find peace no matter where you are now. Keep on smiling, keep on
dreaming, keep on painting, keep on doing what you believe in, good bye....
No comments:
Post a Comment