Monday, June 1, 2020

Bayi Laki-Laki


Kehadiranmu di dalam rahimku adalah hal yang paling kutunggu selama ini. Bukan karena aku tidak sayang pada ketiga kakak perempuanmu, tapi karena kehadiran seorang anak lelaki akan menguatkan posisiku.
image courtesy of Patrisyu at Freedigitalphotos

Aku menikah pada usia yang relatif muda, aku baru saja tamat sekolah kesehatan saat itu. Di hari kelulusanku, seorang pria bersama orang tuanya datang melamarku. Aku tak mengenalnya, melihatnyapun rasanya tidak pernah. Ibu berbisik padaku mengatakan kalau orang itulah yang selama ini membayar biaya sekolahku, dan sebagai imbalannya aku harus menikah dengannya.

Aku menatap pria yang duduk di hadapanku dengan seksama, dia bertubuh sedikit tambun, wajahnya lumayan, walaupun ada sedikit jerawat menhiasi pipi tembemnya. Melihat sekilas saja aku tahu kalau usianya tak kurang dari empat puluh tahun, “Dia duda tanpa anak.” ibu berbisik lagi.

Selama proses lamaran itu aku nyaris tak mengeluarkan sepatah katapun. Aku memang ingin protes, aku berencana melanjutkan kuliah, tapi melihat kondisi keuangan keluargaku, aku hanya bisa pasrah. Akupun menurut saja saat aku diminta tinggal di rumah calon suamiku itu−namanya Mas Andre− supaya aku bisa menemaninya yang setelah kematian istrinya, hidup menyendiri. Orang tua Mas Andre tinggal di luar kota.

Kurang lebih dua bulan setelah lamaran itu, kami resmi menikah. Pesta pernikahan itu adalah pesta pernikahan termewah yang pernah kuhadiri, apalagi aku adalah mempelai wanitanya. Semua mata seakan memandang kagum padaku yang saat itu mengenakan busana adat modern rancangan perancang terkenal. Terlebih lagi hampir sekujur tubuhku dihiasi emas dan berlian−asli, bukan barang tiruan. Aku merasa menjadi putri sejagat saat itu. Saudara – saudaraku terlihat iri melihat betapa beruntungnya aku. Ya, aku sangat beruntung karena memiliki penampilan fisik yang menarik dan aku bisa menikah dengan seorang milyarder walaupun aku yakin aku tidak akan pernah bisa mencintainya. Persetan dengan cinta!

Mas Andre ternyata berbeda dari pria – pria tua kaya yang sering aku lihat di TV. Dia meperlakukanku dengan sangat baik. Dia bilang dia sudah jatuh cinta padaku sejak pertama kali melihatku di sekolahku dulu,−dia merupakan pemilik sebuah rumah sakit besar yang pernah mengadakan sosialisasi di sekolahku. Saat itu dia mencari informasi tentangku dan langsung menemui orang tuaku.

Aku melayaninya sebagai seorang istri sebaik yang aku bisa. Bahkan aku sampai membeli beberapa buku tentang keharmonisan rumah tangga. Setelah membaca buku – buku itu, akupun menyadari kalau Mas Andre pasti sangat menginginkan seorang anak. Akupun berusaha keras supaya bisa hamil. Selang beberapa bulan, akupun mengandung anak pertama kami.

Tak ada kata yang bisa melukiskan betapa bahagianya kami saat mengetahui hasil tes kalau aku positif hamil. Mas Andre langsung mencarikan pembantu untuk membantuku mengurus rumah. Dia menghabiskan lebih banyak waktu bersamaku daripada bersama staffnya di rumah sakit. Dia sering mengajakku keluar untuk makan ataupun hanya jalan – jalan. Setelah usia kandunganku menginjak delapan bulan, Mas Andre tidak pernah mengajakku keluar karena takut kalau aku kecapean.

Saat itu tanggal 7 Februari 2003, aku melahirkan seorang putri mungil secara normal, “Dia cantik seperti kamu.” kata Mas Andre sambil mencium keningku. Aku tersenyum dan membelai putri yang kami beri nama Sinta Maharani.

Dua tahun kemudian, aku hamil lagi. Walaupun Sinta masih terlalu kecil untuk mempunyai adik, tapi dia terlihat sangat antusias saat aku mengatakan berita itu kepadanya−walaupun aku tidak yakin dia tidak sepenuhnya mengerti maksud dari kata – kataku.
Lagi, anak keduakupun seorang perempuan. Mas Andre terlihat senang, tapi entah kenapa aku merasa mertuaku sedikit kecewa. Mereka cepat – cepat kembali ke rumah mereka saat mengetahui aku melahirkan anak perempuan. Ya, kami memang sengaja tidak mencari tahu jenis kelamin bayi kami setiap kali periksa USG, karena bagi kami, setidaknya bagiku, lelaki atau perempuan sama saja.

“Jangan dipikirin ya, mereka lagi sibuk.” Mas Andre berusaha menghiburku.

“Iya, Mas.”

Anak keduaku bernama Santi Marhaeni. Dia dan kakaknya tumbuh dengan akur, namun sepertinya mereka akan segera mendapatkan teman bermain baru. Ya, tak lama kemudian aku hamil lagi. Saat usia kandunganku lima bulan, mertuaku mengantarku ke dokter untuk USG. Mereka memaksa menanyakan jenis kelamin bayi yang ada di kandunganku, “Janinnya sangat sehat, jenis kelaminnya perempuan.” kata dokter itu.

Raut kekecewaan terlihat jelas di wajah mereka, bahkan mereka terang – terangan mengatakan padaku kalau aku tidak bisa memberi mereka cucu laki – laki, mereka akan menikahkan Mas Andre dengan wanita lain, atau yang lebih parah, mereka akan menyuruh Mas Andre menceraikanku.

Aku menangis semalaman malam itu, “Kenapa harus perempuan lagi?” aku memukul perutku, “Kenapa bukan laki – laki?”

Mas Andre berusaha menenangkanku, dia bilang dia tidak akan pernah menikahi perempuan lain, apalagi sampai meninggalkanku hanya karena aku tidak bisa memberikannya keturunan laki – laki. Tapi aku tahu jauh di lubuk hatinya, Mas Andre kecewa padaku. Dia adalah anak laki – laki satu – satunya, dan di adat kami, anak laki – laki adalah penerus keluarga yang akan mewarisi seluruh harta keluarga. Anak – anak perempuan akan menikah dan mereka tidak mendapatkan apapun.

Memikirkan kemungkinan – kemungkinan yang bisa saja terjadi kalau aku tidak segera mendapatkan anak laki – laki membuatku panik. Akupun rajin mecari di internet cara – cara untuk mendapatkan anak laki – laki. Aku tidak mau kehilangan Mas Andre, aku juga tidak mau kehilangan kehidupan mewahku di sini.

Karena saat hamil aku tidak begitu mempedulikan kandunganku, aku melahirkan seorang bayi perempuan yang lemah. Aku merasa bersalah padanya, jadi setelah melahirkan aku berusaha untuk memberikan kasih sayang dan perhatian yang tidak sempat keberikan saat dia masih di rahimku. Bayi perempuan itu kami namai Santa Marlina.

Setelah usia Santa menginjak satu tahun, aku rajin menerapkan tips yang aku baca di internet maupun di buku untuk mendapatkan anak laki – laki. Beberapa bulan kemudian, aku hamil lagi, tapi aku merahasiakannya dari suami maupun mertuaku. Aku akan melakukan USG diam – diam, kalau janin ini perempuan lagi, maka aku terpaksa akan menggugurkannya.

Untunglah aku memiliki tubuh yang agak kurus dan walaupun aku mengandung empat bulan, aku tidak terlihat seperti sedang hamil. Aku pergi ke dokter yang agak jauh dari kotaku ditemani supir pribadiku. Saat dokter itu bilang janinku berjenis kelamin perempuan, aku merasakan duniaku berhenti berputar. Aku harus menggugurkannya.

 Maaf Bu, saya tidak bisa melakukannya. Tidak ada alasan medis untuk Ibu menggugurkan kandungan Ibu.”

Dokter itu menolak untuk mengaborsi kandunganku, jadi aku terpaksa pergi ke klinik tidak resmi dan membayar mahal untuk mengeluarkan janin itu dari tubuhku. Aku merasa sangat takut dan berdosa, tapi itu adalah jalan satu – satunya untuk menyelamatkan rumah tanggaku.

Sebelum berbaring di ranjang mungil klinik itu, aku menelepon Mas Andre dan mengatakan kalau aku akan menginap di rumah teman SMP ku dulu selama beberapa hari. Untunglah Mas Andre percaya tanpa mengajukan banyak pertanyaan.

Aku menghabiskan dua hari di hotel untuk memulihkan kondisiku. Aku termasuk orang yang beruntung karena berhasil melakukan aborsi dengan aman. Sebagai seorang ibu tentu saja aku merasa sangat bersalah, tapi aku rasa itu adalah pilihan terbaik. Maafkan ibu ya, Nak. Ibu terpaksa melakukan ini.

Aku memang merupakan wanita yang subur karena selang beberapa bulan aku hamil lagi. Seperti sebelumnya, aku merahasiakannya dari Mas Andre dan mertuaku. Aku pergi ke klinik bersama supir pribadiku−namanya Pak Arman, dia pria tua yang sangat baik; dia mau menjaga rahasiaku, bahkan tanpa minta imbalan apa – apa.

“Selamat Bu, bayinya sangat sehat.” kata dokter.

“Jenis kelaminnya apa, Dok?”

“Laki – laki.”

Aku tak mampu mengungkapkan betapa bahagianya aku saat itu. Aku langsung menemui suamiku di rumah sakit. Saat aku menemui sekretarisnya, dia bilang kalau mertuaku juga ada di sana. Aku semakin tak sabar untuk memberitahukan kabar bahagia ini. Akupun berjalan agak cepat menuju pintu kayu yang berisi kaca di bagian atasnya.

Betapa terkejutnya aku dari kaca itu aku melihat mertua dan suamiku sedang bersama seorang gadis yang sepertinya baru berkepala dua. Aku yang langsung menyadari apa yang terjadi, masuk tanpa mengetuk pintu.

“Indah?” Mas Andre tampak sangat terkejut dengan kedatanganku yang tiba – tiba.

“Bagus sekali kamu datang.” Ibu mertuaku tersenyum licik, “Ini adalah Sari, orang yang akan kunikahkan dengan anakku.”

Aku juga mengeluarkan senyumku, “Apa Mama masih akan menikahkan Mas Andre dengan perempuan itu kalau sekarang aku sedang mangandung bayi laki – laki?”

Semua yang ada di ruangan itu menunjukkan ekspresi terkejut, aku melihat wajah mereka satu – persatu dan berkata, “Iya, aku sedang mengandung empat bulan. Tadi aku sudah ke dokter untuk melakukan USG, dokter bilang bayiku laki – laki.”

Mas Andre langsung berdiri dan mendekatiku, “Kamu tidak bercanda, kan?”

Aku menggeleng, “Nggak Mas, aku beneran hamil dan bayi kita laki – laki.”

Mertuaku tidak begitu saja percaya dengan kata – kataku. Merekapun langsung mengantarku untuk melakukan USG lagi. Saat dokter mengkonfirmasi kalau janinku berjenis kelamin laki – laki, mereka memelukku sambil menangis.

Ibu mertuaku pindah ke rumah kami untuk merawatku. Dia rajin memberikanku jamu untuk menyehatkan kandungan, dia juga menbantuku mengurus Sinta, Santi, dan Santa yang sangat rewel kalau diasuh babysitter. Mas Andre juga sangat jarang pergi ke rumah sakit, dia lebih sering menghabiskan waktu di rumah bersamaku. Aku merasa hidupku sangat sempurna saat itu.

Semakin hari aku semakin menyayangi janin di rahimku, hingga tanpa kusadari aku kurang memmerhatikan anak – anak perempuanku. Santa yang saat itu berumur tiga tahun sangat manja. Dia tidak mau digendong babysitter maupun neneknya, dia ingin menempel padaku terus dan itu membuatku kesal. Bahkan terkadang aku membiarkannya menangis sendirian di kamarnya sementara aku di kamarku sibuk merajut baju mungil untuk calon bayiku nanti. Aku dan Mas Andre juga sudah menyiapkan sebuah kamar penuh dengan pakaian dan mainan bayi untuk menyambut kehadiran bayi laki – laki kami.

Malam itu aku sangat gelisah. Usia kandunganku saat itu sudah hampir sembilan bulan, dokter bilang aku akan melahirkan tanggal 19 Maret, sedangkan saat itu adalah tanggal 2. Apa mungkin aku akan melahirkan lebih cepat dari seharusnya? Perutku terasa sangat sakit, keringat dingin mengucur membasahi sekujur tubuhku. Akupun membangunkan Mas Andre.

“Kamu kenapa, Ma?”

“Mas, sepertinya aku mau melahirkan.”

Mas Andre langsung membangunkan Pak Arman dan kami pergi ke rumah sakit.

Jam 3 dini hari... Aku kehilangan bayiku...

Bayi yang bahkan belum sempat kulihat wajahnya itu meninggal dalam kandungan. Dan rahimku, rahimku yang subur itu terpaksa harus diangkat karena mengalami luka yang sangat besar. Dokter tidak tahu apa yang menyebabkan, selama ini kandunganku baik – baik saja, perkembangannya normal.

Dokter tidak tahu, tapi aku.. aku tahu... ini adalah karma bagiku karena telah menggugurkan bayi keempatku... ini adalah balasan dari Tuhan karena aku telah mengabaikan ketiga bayi perempuanku. Ini adalah ganjaran atas nafsuku akan harta dan ketakutanku akan kehilangan suamiku.

Dan kini aku harus menanggung akibat dari perbuatanku. Aku harus rela menyaksikan Mas Andre menikahi perempuan lain yang lebih muda dan cantik dariku. Sekarang dia memang mengatakan kalau dia sama sekali tidak mencintai perempuan itu, dia terpaksa menikahinya karena desakan mertuaku, tapi.... akankah dia tetap berpikiran seperti itu apabila perempuan baru itu berhasil memberikannya seorang bayi laki-laki?


No comments:

Post a Comment