Kehadiranmu di dalam rahimku adalah hal yang paling
kutunggu selama ini. Bukan karena aku tidak sayang pada ketiga kakak
perempuanmu, tapi karena kehadiran seorang anak lelaki akan menguatkan
posisiku.
image courtesy of Patrisyu at Freedigitalphotos |
Aku menikah pada usia
yang relatif muda, aku baru saja tamat sekolah kesehatan saat itu. Di hari
kelulusanku, seorang pria bersama orang tuanya datang melamarku. Aku tak
mengenalnya, melihatnyapun rasanya tidak pernah. Ibu berbisik padaku mengatakan
kalau orang itulah yang selama ini membayar biaya sekolahku, dan sebagai
imbalannya aku harus menikah dengannya.
Aku menatap pria yang
duduk di hadapanku dengan seksama, dia bertubuh sedikit tambun, wajahnya
lumayan, walaupun ada sedikit jerawat menhiasi pipi tembemnya. Melihat sekilas
saja aku tahu kalau usianya tak kurang dari empat puluh tahun, “Dia duda tanpa anak.” ibu berbisik lagi.
Selama proses lamaran
itu aku nyaris tak mengeluarkan sepatah katapun. Aku memang ingin protes, aku
berencana melanjutkan kuliah, tapi melihat kondisi keuangan keluargaku, aku
hanya bisa pasrah. Akupun menurut saja saat aku diminta tinggal di rumah calon
suamiku itu−namanya Mas Andre− supaya aku bisa menemaninya yang setelah
kematian istrinya, hidup menyendiri. Orang tua Mas Andre tinggal di luar kota.
Kurang lebih dua
bulan setelah lamaran itu, kami resmi menikah. Pesta pernikahan itu adalah
pesta pernikahan termewah yang pernah kuhadiri, apalagi aku adalah mempelai
wanitanya. Semua mata seakan memandang kagum padaku yang saat itu mengenakan
busana adat modern rancangan perancang terkenal. Terlebih lagi hampir sekujur
tubuhku dihiasi emas dan berlian−asli, bukan barang tiruan. Aku merasa menjadi
putri sejagat saat itu. Saudara – saudaraku terlihat iri melihat betapa
beruntungnya aku. Ya, aku sangat beruntung karena memiliki penampilan fisik
yang menarik dan aku bisa menikah dengan seorang milyarder walaupun aku yakin
aku tidak akan pernah bisa mencintainya. Persetan dengan cinta!
Mas Andre ternyata
berbeda dari pria – pria tua kaya yang sering aku lihat di TV. Dia meperlakukanku
dengan sangat baik. Dia bilang dia sudah jatuh cinta padaku sejak pertama kali
melihatku di sekolahku dulu,−dia merupakan pemilik sebuah rumah sakit besar
yang pernah mengadakan sosialisasi di sekolahku. Saat itu dia mencari informasi
tentangku dan langsung menemui orang tuaku.
Aku melayaninya
sebagai seorang istri sebaik yang aku bisa. Bahkan aku sampai membeli beberapa
buku tentang keharmonisan rumah tangga. Setelah membaca buku – buku itu, akupun
menyadari kalau Mas Andre pasti sangat menginginkan seorang anak. Akupun berusaha
keras supaya bisa hamil. Selang beberapa bulan, akupun mengandung anak pertama
kami.
Tak ada kata yang
bisa melukiskan betapa bahagianya kami saat mengetahui hasil tes kalau aku
positif hamil. Mas Andre langsung mencarikan pembantu untuk membantuku mengurus
rumah. Dia menghabiskan lebih banyak waktu bersamaku daripada bersama staffnya
di rumah sakit. Dia sering mengajakku keluar untuk makan ataupun hanya jalan –
jalan. Setelah usia kandunganku menginjak delapan bulan, Mas Andre tidak pernah
mengajakku keluar karena takut kalau aku kecapean.
Saat itu tanggal 7 Februari 2003, aku melahirkan seorang putri mungil secara
normal, “Dia cantik seperti kamu.” kata Mas Andre sambil
mencium keningku. Aku tersenyum dan membelai putri yang kami beri nama Sinta
Maharani.
Dua tahun kemudian,
aku hamil lagi. Walaupun Sinta masih terlalu kecil untuk mempunyai adik, tapi
dia terlihat sangat antusias saat aku mengatakan berita itu kepadanya−walaupun
aku tidak yakin dia tidak sepenuhnya mengerti maksud dari kata – kataku.
Lagi, anak keduakupun
seorang perempuan. Mas Andre terlihat senang, tapi entah kenapa aku merasa
mertuaku sedikit kecewa. Mereka cepat – cepat kembali ke rumah mereka saat
mengetahui aku melahirkan anak perempuan.
Ya, kami memang sengaja tidak mencari tahu jenis kelamin bayi kami setiap kali
periksa USG, karena bagi kami, setidaknya bagiku, lelaki atau perempuan sama
saja.
“Jangan dipikirin ya,
mereka lagi sibuk.” Mas Andre berusaha menghiburku.
“Iya, Mas.”
Anak keduaku bernama
Santi Marhaeni. Dia dan kakaknya tumbuh dengan akur, namun sepertinya mereka
akan segera mendapatkan teman bermain baru. Ya, tak
lama
kemudian aku hamil lagi. Saat usia kandunganku lima bulan, mertuaku mengantarku
ke dokter untuk USG. Mereka memaksa menanyakan jenis
kelamin bayi yang ada di kandunganku, “Janinnya sangat sehat, jenis kelaminnya
perempuan.” kata dokter itu.
Raut kekecewaan
terlihat jelas di wajah mereka, bahkan mereka terang – terangan mengatakan
padaku kalau aku tidak bisa memberi mereka cucu laki – laki, mereka akan
menikahkan Mas Andre dengan wanita lain, atau yang lebih parah, mereka akan
menyuruh Mas Andre menceraikanku.
Aku menangis
semalaman malam itu, “Kenapa harus perempuan lagi?” aku memukul perutku,
“Kenapa bukan laki – laki?”
Mas Andre berusaha
menenangkanku, dia bilang dia tidak akan pernah menikahi perempuan lain,
apalagi sampai meninggalkanku hanya karena aku tidak bisa memberikannya keturunan
laki – laki. Tapi aku tahu jauh di lubuk hatinya, Mas Andre kecewa padaku. Dia
adalah anak laki – laki satu – satunya, dan di adat kami, anak laki – laki
adalah penerus keluarga yang akan mewarisi seluruh harta keluarga. Anak – anak
perempuan akan menikah dan mereka tidak mendapatkan apapun.
Memikirkan
kemungkinan – kemungkinan yang bisa saja terjadi kalau aku tidak segera mendapatkan
anak laki – laki membuatku panik. Akupun rajin mecari di internet cara – cara
untuk mendapatkan anak laki – laki. Aku tidak mau
kehilangan Mas Andre, aku juga tidak mau kehilangan kehidupan mewahku di sini.
Karena saat hamil aku
tidak begitu mempedulikan kandunganku, aku melahirkan seorang bayi perempuan
yang lemah. Aku merasa bersalah padanya, jadi setelah melahirkan aku berusaha
untuk memberikan kasih sayang dan perhatian yang tidak sempat keberikan saat
dia masih di rahimku. Bayi perempuan itu kami namai Santa Marlina.
Setelah usia Santa
menginjak satu tahun, aku rajin menerapkan tips
yang aku baca di internet maupun di buku untuk mendapatkan anak laki – laki.
Beberapa bulan kemudian, aku hamil lagi, tapi aku merahasiakannya dari suami
maupun mertuaku. Aku akan melakukan USG
diam – diam, kalau janin ini perempuan lagi, maka aku terpaksa akan
menggugurkannya.
Untunglah aku
memiliki tubuh yang agak kurus dan walaupun aku mengandung empat bulan, aku
tidak terlihat seperti sedang hamil. Aku pergi ke dokter yang agak jauh dari
kotaku ditemani supir pribadiku. Saat dokter itu bilang janinku berjenis
kelamin perempuan, aku merasakan duniaku berhenti berputar. Aku harus
menggugurkannya.
“Maaf
Bu, saya tidak bisa melakukannya. Tidak ada alasan medis untuk Ibu menggugurkan
kandungan Ibu.”
Dokter itu menolak untuk
mengaborsi kandunganku, jadi aku terpaksa pergi ke klinik tidak resmi dan
membayar mahal untuk mengeluarkan janin itu dari tubuhku. Aku merasa sangat
takut dan berdosa, tapi itu adalah jalan satu –
satunya untuk menyelamatkan rumah tanggaku.
Sebelum berbaring di
ranjang mungil klinik itu, aku menelepon Mas Andre dan mengatakan kalau aku
akan menginap di rumah teman SMP ku dulu selama beberapa hari. Untunglah Mas
Andre percaya tanpa mengajukan banyak pertanyaan.
Aku menghabiskan dua
hari di hotel untuk memulihkan kondisiku. Aku termasuk orang yang beruntung
karena berhasil melakukan aborsi dengan aman. Sebagai seorang ibu tentu saja
aku merasa sangat bersalah, tapi aku rasa itu adalah pilihan terbaik. Maafkan ibu ya, Nak. Ibu terpaksa melakukan
ini.
Aku memang merupakan
wanita yang subur karena selang beberapa bulan aku hamil lagi. Seperti
sebelumnya, aku merahasiakannya dari Mas Andre dan mertuaku. Aku pergi ke
klinik bersama supir pribadiku−namanya Pak Arman, dia pria tua yang sangat
baik; dia mau menjaga rahasiaku, bahkan tanpa minta imbalan apa – apa.
“Selamat Bu, bayinya
sangat sehat.” kata dokter.
“Jenis kelaminnya
apa, Dok?”
“Laki – laki.”
Aku tak mampu
mengungkapkan betapa bahagianya aku saat itu. Aku langsung menemui suamiku di
rumah sakit. Saat aku menemui sekretarisnya, dia bilang kalau mertuaku juga ada
di sana. Aku semakin tak sabar untuk memberitahukan kabar bahagia ini. Akupun
berjalan agak cepat menuju pintu kayu yang berisi kaca di bagian atasnya.
Betapa terkejutnya
aku dari kaca itu aku melihat mertua dan suamiku sedang bersama seorang gadis
yang sepertinya baru berkepala dua. Aku yang langsung menyadari apa yang
terjadi, masuk tanpa mengetuk pintu.
“Indah?” Mas Andre
tampak sangat terkejut dengan kedatanganku yang tiba – tiba.
“Bagus sekali kamu
datang.” Ibu mertuaku tersenyum licik, “Ini adalah Sari, orang yang akan
kunikahkan dengan anakku.”
Aku juga mengeluarkan
senyumku, “Apa Mama masih akan menikahkan Mas Andre dengan perempuan itu kalau
sekarang aku sedang mangandung bayi laki – laki?”
Semua yang ada di
ruangan itu menunjukkan ekspresi terkejut, aku melihat wajah mereka satu –
persatu dan berkata, “Iya, aku sedang mengandung empat bulan. Tadi aku sudah ke
dokter untuk melakukan USG, dokter bilang bayiku laki – laki.”
Mas Andre langsung
berdiri dan mendekatiku, “Kamu tidak bercanda, kan?”
Aku menggeleng,
“Nggak Mas, aku beneran hamil dan bayi kita laki – laki.”
Mertuaku tidak begitu
saja percaya dengan kata – kataku. Merekapun langsung mengantarku untuk
melakukan USG lagi. Saat dokter mengkonfirmasi kalau janinku berjenis kelamin
laki – laki, mereka memelukku sambil menangis.
Ibu mertuaku pindah
ke rumah kami untuk merawatku. Dia rajin memberikanku jamu untuk menyehatkan
kandungan, dia juga menbantuku mengurus Sinta, Santi, dan Santa yang sangat
rewel kalau diasuh babysitter. Mas
Andre juga sangat jarang pergi ke rumah sakit, dia lebih sering menghabiskan
waktu di rumah bersamaku. Aku merasa hidupku sangat sempurna saat itu.
Semakin hari aku
semakin menyayangi janin di rahimku, hingga tanpa kusadari aku kurang memmerhatikan anak – anak perempuanku. Santa yang saat itu
berumur tiga tahun sangat manja. Dia tidak mau digendong babysitter maupun neneknya, dia ingin menempel padaku terus dan itu
membuatku kesal. Bahkan terkadang aku membiarkannya menangis
sendirian di kamarnya sementara aku di kamarku sibuk merajut baju mungil untuk calon bayiku nanti. Aku dan Mas Andre juga sudah menyiapkan sebuah
kamar penuh dengan pakaian dan mainan bayi untuk menyambut kehadiran bayi laki
– laki kami.
Malam itu aku sangat
gelisah. Usia kandunganku saat itu sudah hampir sembilan bulan, dokter bilang
aku akan melahirkan tanggal 19 Maret, sedangkan saat itu adalah tanggal 2. Apa
mungkin aku akan melahirkan lebih cepat dari seharusnya? Perutku terasa sangat
sakit, keringat dingin mengucur membasahi sekujur tubuhku. Akupun membangunkan
Mas Andre.
“Kamu kenapa, Ma?”
“Mas, sepertinya aku
mau melahirkan.”
Mas Andre langsung
membangunkan Pak Arman dan kami pergi ke rumah sakit.
Jam 3 dini hari...
Aku kehilangan bayiku...
Bayi yang bahkan
belum sempat kulihat wajahnya itu meninggal dalam kandungan. Dan rahimku,
rahimku yang subur itu terpaksa harus diangkat karena mengalami luka yang
sangat besar. Dokter tidak tahu apa yang menyebabkan, selama ini kandunganku
baik – baik saja, perkembangannya normal.
Dokter tidak tahu,
tapi aku.. aku tahu... ini adalah karma bagiku karena telah menggugurkan bayi
keempatku... ini adalah balasan dari Tuhan karena aku telah mengabaikan ketiga
bayi perempuanku. Ini adalah ganjaran atas nafsuku akan harta dan ketakutanku
akan kehilangan suamiku.
Dan kini aku harus
menanggung akibat dari perbuatanku. Aku harus rela menyaksikan Mas Andre
menikahi perempuan lain yang lebih muda dan cantik dariku. Sekarang dia memang
mengatakan kalau dia sama sekali tidak mencintai perempuan itu, dia terpaksa
menikahinya karena desakan mertuaku, tapi.... akankah
dia tetap berpikiran seperti itu apabila perempuan baru itu berhasil
memberikannya seorang bayi laki-laki?
No comments:
Post a Comment