Mataku menatap nanar ke arah dua orang siswa yang sedang
duduk berdua di balkon kelas. Seorang cewek, murid pindahan dari Denpasar,
namanya Angelica. Dia memang cantik dan baik seperti bidadari. Semua yang
melihatnya pasti akan terpesona. Aku harap kami tak berteman sehingga aku akan
tidak akan merasa begitu bersalah karena membencinya. Yang satu lagi Andhika,
seorang cowok yang sebenarnya keren tapi tidak begitu pandai bergaul. Selama
ini temannya hanya aku; hanya aku sebelum bidadari itu masuk ke kehidupan kami.
image courtesy of robertjsternberg |
Aku dan Andhika sudah berteman sejak kecil karena kebetulan rumah kami bersebelahan. Kami selalu berangkat ke sekolah bersama, pulangpun juga bersama. Banyak yang mengira kami berdua pacaran, tapi hubungan kami hanyalah sebatas teman. Aku pikir aku tidak punya perasaan spesial terhadap cowok itu, sampai Angelica merebutnya dari sisiku. Dulu kami hanya berdua, sekarang selalu ada Angelika diantara kami, bahkan tidak jarang aku merasa tersisihkan seperti saat ini; mereka asyik berdua, sementara aku hanya bisa mengintip dari jendela kelas.
Dada sebelah kiriku terasa sakit; aku tak tahu mengapa. Apakah aku cemburu?
Aku mendadak menjadi pendiam selama delapan jam di sekolah itu. Aku berusaha
menghindari bertatapan dengan mereka dan hanya menjawab singkat setiap kali mereka bertanya padaku.
Ironisnya, mreka sama sekali tidak menyadari itu. Mereka tetap sibuk
bercengkrama seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Sial! Aku memang
cemburu!
Begitu lonceng tanda pelajaran berakhir berbunyi, aku bergegas
ke tempat parkir dan mengayuh sepedaku dengan cepat. Biasanya aku selalu pulang bareng Andhika, tapi kali ini
aku terlalu sakit hati untuk melihat wajahnya.
“Ria…. ada Andhika.” Mamaku
berteriak dengan keras, teriakannya yang super kencang itu terdengar dengan jelas di kamarku di lantai dua. Aku
beranjak dari tempat tidurku dengan malas, sebenarnya aku berencana
menghabiskan sisa hari ini dengan berhibernasi; aku tidak mau menemui siapapun;
tapi ada sesuatu yang mendorongku menemuinya. Semoga saja dia tidak lupa hari
ini hari apa.
“Hei..” sapanya ceria begitu aku berdiri di depannya.
“Hei.” Balasku enggan.
“Ke taman yuk?”
“Ngapain?”
“Aku mau nembak cewek.”
Bagai mendengar petir di siang hari, aku begitu terkejut.
Nembak cewek? Siapa? Angelica? Kenapa dia? Kenapa hari ini?
“Nggak mau.” kataku sambil
berpaling, aku merasakan mataku perih dan basah.
“Kamu harus ikut.” dia menarik tanganku dan memaksaku
untuk ikut dengannya.
Hatiku terasa sangat sakit; dia lupa!
Kami memarkir sepeda di dekat sebuah pohon kamboja besar
lalu berjalan kira-kira dua puluh meter ke tengah taman. Taman itu terlihat
cukup ramai, ada beberapa orang yang lari sore dan segerombolan anak yang
bermain kasti.
Andhika duduk di sebuah bangku panjang dan aku duduk di
sampingnya.
“Bentar lagi akan ada seorang cewek yang lewat sini.”
Deg! Hatiku mencelos; aku tidak sanggup menerima
kenyataan ini. Ini adalah hari ulang tahunku yang ke-17. Aku dan Andhika pernah
mebuat janji saat ulang tahunku yang ke-8, kalau kami masih sama-sama single saat aku berumur tujuh belas
tahun, kami akan pacaran. Saat itu kami memang masih anak-anak belum mengerti
pasti apa yang kami bicarakan, dan sejujurnya aku tidak pernah menganggap
serius hal itu; tidak sampai si bidadari sekolah datang dan merebut Andhika
dariku.
“Itu dia.” Andhika menunjuk ke arah jalan. Benar saja,
begitu aku melihat ke arah yang ditunjuknya, aku melihat Angelica sedang lari
sore bersama anjing Maltese
kesayangannya, Brendy. Aku tahu nama anjing itu karena aku sering bermain ke
rumahnya. Ya, kami bersahabat, karena selain kedekatannya dengan Andhika, aku
tidak punya alasan lain untuk membencinya.
“Angel...” Andhika berteriak sambil melambaikan tangan ke
arahnya.
“Hei..” senyum mengembang di wajah cantiknya, lalu dia
belari menghampiri kami. Si Brendy kecil berusaha menyeimbangkan langkahnya.
“Lari sore ya?”
“Iya, udah lama nggak ngajak Brendy main ke sini. Kalian
berdua ngapain?”
“Jalan-jalan aja, hari ini si Ria ultah.” ya Tuhan! Dia
ingat ultahku! Apa dia sengaja melakukan ini di hari yang sangat spesial
untukku? Kenapa dia begitu kejam padaku?
“Wah, aku sahabat yang payah ya, aku nggak tau kalau kamu
ultah. Maklum belum sempet buka fb, hehe. Happy birthday ya.” tangan lembut
Angelica meremas tanganku.
Aku terlalu sedih hingga tak sempat mengucapkan terima kasih.
Anjing kecil berwarna putih yang duduk di dekat kaki
Angelica kini berdiri dan mengibas-ngibaskan ekornya, dia melompat-lompat dengan
lucu membuat tangan kiri Angelica yang memegang talinya menjadi
tertarik,”Kayaknya anjingku mau ngelanjutin lari nih, aku duluan ya.”
“Hati-hati.” Andhika melambai sekali lagi setelah
Angelica dan anjingnya pergi.
“Kok nggak jadi?” akhirnya pita suaraku berfungsi lagi.
“Nggak jadi apa?”
“Katanya mau nembak dia.”
“Siapa yang bilang?”
“Tadi..”
“Oh iya lupa. Tadi aku mau bilang kalau yang bakalan
lewat itu....”
“Orang yang kamu suka kan?” aku memotong ucapan Andhika
dengan tajam, “Kejar dong dia!”
Andhika tertawa kecil melihat raut kecemburuan yang
terlihat jelas di wajahku! Dammit Dhika!
Kamu pikir ini lucu?
“Aku mau bilang kalau yang bakalan lewat itu sahabat dari
cewek yang aku suka.”
Aku menatap tak berkedip ke arah cowok itu, “Maksudnya?”
Dia menggenggam kedua tanganku yang agak basah karena
gugup, “Maksudnya aku suka sama sahabatnya dia, masih kurang jelas? Aku
perjelas ya, aku suka sama kamu.”
Pipiku terasa panas seketika, apa aku sedang mimpi?
“Bukannya kamu suka sama Angelica?” aku berusaha menarik
tanganku, tapi dia malah menggenggamnya dengan lebih erat.
“Siapa yang bilang?”
“Kamu kan sering ngobrol bareng ma dia.”
“Terus, itu artinya suka? Aku nggak gampang suka sama cewek,
dan perlu bertahun-tahun untuk aku ngeyakinin diriku sendiri kalau aku emang
suka ma kamu. Kamu masih inget kan janji kita 9 tahun yang lalu? Kalau kita masih sama-sama single saat kamu ultah yang ke-17, kita akan pacaran? Ria, kamu mau kan
jadi pacarku?”
Seketika aku kehilangan kata-kata. Rasanya mengucapkan
kata dengan tiga huruf itu begitu sulit, jadi aku hanya tersenyum.
“Jadi?” Andhika mendesakku.
“Mau kalau kamu bisa nangkep aku.” aku berdiri dan berlari menjauhinya sambil tertawa.
Andhika juga tertawa sambil berusaha mengejarku, “Awas ya
kalau ketangkep aku bakalan meluk kamu sampai kamu nggak bisa bernafas.”
The
end.
No comments:
Post a Comment