Saturday, June 27, 2020

Happy Ending


Mataku menatap nanar ke arah dua orang siswa yang sedang duduk berdua di balkon kelas. Seorang cewek, murid pindahan dari Denpasar, namanya Angelica. Dia memang cantik dan baik seperti bidadari. Semua yang melihatnya pasti akan terpesona. Aku harap kami tak berteman sehingga aku akan tidak akan merasa begitu bersalah karena membencinya. Yang satu lagi Andhika, seorang cowok yang sebenarnya keren tapi tidak begitu pandai bergaul. Selama ini temannya hanya aku; hanya aku sebelum bidadari itu masuk ke kehidupan kami.
image courtesy of robertjsternberg

Aku dan Andhika sudah berteman sejak kecil karena kebetulan rumah kami bersebelahan. Kami selalu berangkat ke sekolah bersama, pulangpun juga bersama. Banyak yang mengira kami berdua p
acaran, tapi hubungan kami hanyalah sebatas teman. Aku pikir aku tidak punya perasaan spesial terhadap cowok itu, sampai Angelica merebutnya dari sisiku. Dulu kami hanya berdua, sekarang selalu ada Angelika diantara kami, bahkan tidak jarang aku merasa tersisihkan seperti saat ini; mereka asyik berdua, sementara aku hanya bisa mengintip dari jendela kelas.

Dada sebelah kiriku terasa sakit; aku tak tahu  mengapa. Apakah aku cemburu?

Aku mendadak menjadi pendiam selama  delapan jam di sekolah itu. Aku berusaha menghindari bertatapan dengan mereka dan hanya menjawab singkat  setiap kali mereka bertanya padaku. Ironisnya, mreka sama sekali tidak menyadari itu. Mereka tetap sibuk bercengkrama seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Sial! Aku memang cemburu!

Begitu lonceng tanda pelajaran berakhir berbunyi, aku bergegas ke tempat parkir dan mengayuh sepedaku dengan cepat. Biasanya aku selalu pulang bareng Andhika, tapi kali ini aku terlalu sakit hati untuk melihat wajahnya.

“Ria…. ada Andhika.” Mamaku berteriak dengan keras, teriakannya yang super kencang itu terdengar dengan jelas di kamarku di lantai dua. Aku beranjak dari tempat tidurku dengan malas, sebenarnya aku berencana menghabiskan sisa hari ini dengan berhibernasi; aku tidak mau menemui siapapun; tapi ada sesuatu yang mendorongku menemuinya. Semoga saja dia tidak lupa hari ini hari apa.

“Hei..” sapanya ceria begitu aku berdiri di depannya.

“Hei.” Balasku enggan.

“Ke taman yuk?”

“Ngapain?”

“Aku mau nembak cewek.”

Bagai mendengar petir di siang hari, aku begitu terkejut. Nembak cewek? Siapa? Angelica? Kenapa dia? Kenapa hari ini?

“Nggak mau.” kataku sambil berpaling, aku merasakan mataku perih dan basah.

“Kamu harus ikut.” dia menarik tanganku dan memaksaku untuk ikut dengannya.

Hatiku terasa sangat sakit; dia lupa!

Kami memarkir sepeda di dekat sebuah pohon kamboja besar lalu berjalan kira-kira dua puluh meter ke tengah taman. Taman itu terlihat cukup ramai, ada beberapa orang yang lari sore dan segerombolan anak yang bermain kasti.

Andhika duduk di sebuah bangku panjang dan aku duduk di sampingnya.

“Bentar lagi akan ada seorang cewek yang lewat sini.”

Deg! Hatiku mencelos; aku tidak sanggup menerima kenyataan ini. Ini adalah hari ulang tahunku yang ke-17. Aku dan Andhika pernah mebuat janji saat ulang tahunku yang ke-8, kalau kami masih sama-sama single saat aku berumur tujuh belas tahun, kami akan pacaran. Saat itu kami memang masih anak-anak belum mengerti pasti apa yang kami bicarakan, dan sejujurnya aku tidak pernah menganggap serius hal itu; tidak sampai si bidadari sekolah datang dan merebut Andhika dariku.

“Itu dia.” Andhika menunjuk ke arah jalan. Benar saja, begitu aku melihat ke arah yang ditunjuknya, aku melihat Angelica sedang lari sore bersama anjing Maltese kesayangannya, Brendy. Aku tahu nama anjing itu karena aku sering bermain ke rumahnya. Ya, kami bersahabat, karena selain kedekatannya dengan Andhika, aku tidak punya alasan lain untuk membencinya.

“Angel...” Andhika berteriak sambil melambaikan tangan ke arahnya.

“Hei..” senyum mengembang di wajah cantiknya, lalu dia belari menghampiri kami. Si Brendy kecil berusaha menyeimbangkan langkahnya.

“Lari sore ya?”

“Iya, udah lama nggak ngajak Brendy main ke sini. Kalian berdua ngapain?”

“Jalan-jalan aja, hari ini si Ria ultah.” ya Tuhan! Dia ingat ultahku! Apa dia sengaja melakukan ini di hari yang sangat spesial untukku? Kenapa dia begitu kejam padaku?

“Wah, aku sahabat yang payah ya, aku nggak tau kalau kamu ultah. Maklum belum sempet buka fb, hehe. Happy birthday ya.” tangan lembut Angelica meremas tanganku.

Aku terlalu sedih hingga tak sempat mengucapkan terima kasih.

Anjing kecil berwarna putih yang duduk di dekat kaki Angelica kini berdiri dan mengibas-ngibaskan ekornya, dia melompat-lompat dengan lucu membuat tangan kiri Angelica yang memegang talinya menjadi tertarik,”Kayaknya anjingku mau ngelanjutin lari nih, aku duluan ya.”

“Hati-hati.” Andhika melambai sekali lagi setelah Angelica dan anjingnya pergi.


“Kok nggak jadi?” akhirnya  pita suaraku berfungsi lagi.

“Nggak jadi apa?”

“Katanya mau nembak dia.”

“Siapa yang bilang?”

“Tadi..”

“Oh iya lupa. Tadi aku mau bilang kalau yang bakalan lewat itu....”

“Orang yang kamu suka kan?” aku memotong ucapan Andhika dengan tajam,Kejar dong dia!”

Andhika tertawa kecil melihat raut kecemburuan yang terlihat jelas di wajahku! Dammit Dhika! Kamu pikir ini lucu?

“Aku mau bilang kalau yang bakalan lewat itu sahabat dari cewek yang aku suka.”

Aku menatap tak berkedip ke arah cowok itu, “Maksudnya?”

Dia menggenggam kedua tanganku yang agak basah karena gugup, “Maksudnya aku suka sama sahabatnya dia, masih kurang jelas? Aku perjelas ya, aku suka sama kamu.”

Pipiku terasa panas seketika, apa aku sedang mimpi?

“Bukannya kamu suka sama Angelica?” aku berusaha menarik tanganku, tapi dia malah menggenggamnya dengan lebih erat.

“Siapa yang bilang?”

“Kamu kan sering ngobrol bareng ma dia.”

“Terus, itu artinya suka? Aku nggak gampang suka sama cewek, dan perlu bertahun-tahun untuk aku ngeyakinin diriku sendiri kalau aku emang suka ma kamu. Kamu masih inget kan janji kita 9 tahun yang lalu? Kalau kita masih sama-sama single saat kamu ultah yang ke-17, kita akan pacaran? Ria, kamu mau kan jadi pacarku?”

Seketika aku kehilangan kata-kata. Rasanya mengucapkan kata dengan tiga huruf itu begitu sulit, jadi aku hanya tersenyum.

“Jadi?” Andhika mendesakku.

“Mau kalau kamu bisa nangkep aku.” aku berdiri dan berlari menjauhinya sambil tertawa.

Andhika juga tertawa sambil berusaha mengejarku, “Awas ya kalau ketangkep aku bakalan meluk kamu sampai kamu nggak bisa bernafas.”

The end.         

No comments:

Post a Comment