“Selamat hari jadi ke-5 Sayang, aku mencintaimu.” Aku membaca kalimat pertama surat
yang ditulis oleh kekasihku.
“Aku nggak pinter mengucapkan kata-kata, kamu tahu kan
aku hanya pinter main game, hehe.”
Bodoh...
“Ini adalah iPad
kesayanganku, di dalemnya ada satu game
yang sangat keren. Aku mau kamu main game
itu, pasti kamu akan suka.”
Benar – benar bodoh.
image courtesy of appagg.com |
“Kalau kamu sudah selesai main game itu, lihat Top Ten
nya ya, aku yakin kamu akan terkejut melihat skor ku. Hehe....”
Aku melipat surat berwarna merah muda yang sudah kubaca
puluhan kali itu dan menaruhnya di atas meja. Tanganku yang gemetaran mengambil
iPad di pangkuanku. Game... Hanya itu
yang ada di pikirannya. Aku menghidupkan iPad
itu dan membuka aplikasi game yang
dia maksud. Mystery Case Files: Return to
Raven Hearst. Aku memainkannya dengan air mata yang tidak bisa berhenti
mengalir. Aku sama sekali tidak suka main game,
namun kali ini aku harus memainkannya.
Butuh waktu 4 jam bagiku untuk menyelesaikan game itu. Air mataku sudah mengering dan
aku yakin mata dan wajahku pasti bengkak karena terlalu lama menangis, namun
aku tidak peduli. Seperti yang disuruh kekasihku, usai memainkan game itu, akupun melihat Top Ten nya. Mataku terpaku menatap tak
percaya ke layar iPad. Air mata yang
sebelumnya sudah kering kini merembes lagi.
*****
Punya pacar seorang gamer
tidaklah menyenangkan. Yang ada di kepalanya hanyalah game, tidak ada yang lain. Kalau dia sedang sibuk di depan laptop atau play station-nya, aku sama
sekali tidak diperhatikan. Kalau dia sedang sibuk beraksi menyelesaikan misi
dalam sebuah game, dia akan lupa
segalanya; lupa mandi, lupa makan, lupa tidur, dan lupa padaku.
Aku mencintainya; aku sangat mencintainya, namun aku
sudah tidak tahan dengan sikapnya. Mungkin aku bisa menerimanya kalau usianya
masih belasan tahun, tapi dia sudah berumur 28 tahun! Kami sudah berpacaran
selama lima tahun, namun tidak ada tanda – tanda yang menunjukkan keseriusan
hubungan kami. Tidak ada tanda – tanda yang menunjukkan kalau dia akan segera
melamarku.
Orang tuaku sudah mendesakku agar segera menikah.
Maklumlah aku anak satu – satunya dan mereka sudah tidak sabar untuk segera
menimang cucu. Aku ingin menikah, aku sudah menunjukkan sinyal – sinyal itu
kepada Ardi, pacarku, tapi dia sepertinya tidak mengerti, atau pura-pura tidak mengerti?
Besok adalah hari jadi kami yang ke-lima, dan aku sudah
memutuskan akan mengakhiri hubungan kami kalau dia tidak melamarku juga. Aku
pikir tidak ada gunanya melanjutkan hubungan tanpa masa depan, tapi kalau dia
melamarku, tentu ceritanya akan berbeda.
Jam dinding kecil di kamarku sudah menunjukkan pukul 8
malam kurang sedikit, aku sudah selesai berdandan satu jam yang lalu, namun
Ardi belum menjemputku juga. Apa dia lupa lagi? Dia sering lupa menjemputku
kalau sudah asyik bermain game. Huh, kali
ini aku tidak akan memaafkannya dengan mudah!
Jarum detik dan menit terus berdetak, sementara yang
kutunggu tak kunjung datang, membuat kesabaranku semakin menipis, “Cukup
sudah!” Aku mengambil handphone dan
menghubunginya.
Backsound sebuah game yang menjadi ring back tone nya memekakkan telingaku. Aku sudah berulang kali
menyuruhnya mengganti RBT itu, tapi dia tidak pernah mau mendengarkan
kata-kataku.
“Hallo.” Suara pacarku terdengar di ujung telepon.
“Jam berapa ni?”
“Sebentar
lagi aku sampai kok! Tunggu ya, aku perlu nyelesaiin satu kali lagi biar top ten-nya pas.”
“Don’t even bother. Lanjut dah main game
nya, aku mau tidur.”
“Aduh jangan
marah dong, dikit lagi. Tunggu, ya!
Aku
memutus panggilan. Aku terlalu kesal untuk bicara dengannya.
Ring tone ku, lagu Avenged Sevenfold yang So Far Away, berbunyi, lagu yang
biasanya membuatku tentram kini malah terdengar sangat menyebalkan.
“Apa lagi?”
“30 menit lagi aku sampai sana.”
“Nggak usah, aku mau tidur!” handphone ku kulempar ke atas kasur lalu kutekan dengan bantal dan kutenggelamkan
kepalaku di atasnya. Aku benar – benar kesal...
Bunyi ketukan pintu
membangunkanku dari tidur, dengan mata yang masih sedikit mengantuk, aku
berjalan menuju pintu dan membukanya. Wajah Ardi yang kekanak – kanakan
terlihat begitu pintu berwarna cokelat itu terbuka.
“Maaf,” katanya.
Aku menatapnya dengan ekspresi kesal, tak akan kumaafkan
dengan mudah!
“Tadi itu
bener-bener urgent, maaf ya!”
“Aku mau tidur.”
“Jangan ngambek dong. Ini
ada hadiah untuk kamu!”
Mendengar kata ‘hadiah’, rasa kesalku berkurang sedikit.
Timbul harapan kalau Ardi akan memberikanku cincin dan memintaku menjadi
pendamping hidupnya. Ah, walaupun ini sama sekali tidak romantis seperti yang
kuharapkan, aku akan sangat senang kalau dia benar – benar melamarku.
Tapi, aku tidak akan memaafkannya dengan mudah! Aku masih
memasang tampang jutekku, berusaha menahan senyum yang seketika ingin
mengembang membayangkan masa depan kami.
“Ini...” Dia memberikanku sebuah kotak terbungkus kertas kado merah
muda. Kotak itu terlalu besar dan berat untuk ukuran
sebuah kotak cincin, tapi siapa tahu saja di dalam kotak itu ada kotak lagi,
terus di dalamnya ada lagi, sampai ada sebuah kotak kecil berisi cincin. Kali
ini aku sudah tidak bisa menahan senyumku.
“Buka dong.”
Aku membuka kotak itu, berusaha sepelan mungkin agar rasa
senangku yang berlebihan tidak begitu kelihatan. Waktu seakan melambat, namun
detak jantungku semakin cepat.
Aku menatap Ardi dengan tatapan tak percaya dan penuh
tanya begitu isi kotak itu terlihat.
“Baca suratnya,” katanya, seakan tak melihat raut kekecewaan di wajahku.
Surat! Ardi memang tidak pernah mengatakan kata – kata
romantis secara langsung kepadaku, siapa tahu dia mengatakannya di surat ini. Tenang Ratni, masih ada harapan.
Aku membuka lipatan kertas yang ada di dalam kotak itu,
harapanku yang tadi masih menyala, walaupun redup, kini padam sudah.
“Aku yakin kamu bakalan suka game itu.”
Aku berusaha membendung air mataku agar tidak tumpah.
Dengan wajah yang kutegarkan, aku menatapnya.
“Kamu kenapa, Sayang?”
Aku menahan gejolak yang menggebu di dadaku, meluap –
luap, menimbulkan rasa sakit yang perih, “Pergi,” ucapku dengan pelan.
“Kamu ikuti
dulu instruksi suratnya.”
“Tolong pergi, aku nggak mau liat wajah kamu lagi. Kita
putus.” Aku menutup pintu dan menguncinya dari dalam, isi dari kotak itu masih
ada di tanganku; aku ingin mengembalikannya, tapi aku enggan meliaht wajah Ardi lagi.
“Ratni, kamu kenapa sih?”
Aku tak membalas panggilannya.
“Tolong dong jangan kayak anak kecil gini!” Ardi
menggedor pintu kosku dengan
keras.
Aku terjatuh ke lantai; menyandarkan tubuhku di pintu dan
memeluk lututku. Hatiku sangat sakit. Penantianku selama lima tahun ini
berakhir sia – sia. Cinta yang kuperjuangkan sekuat tenaga kini sudah kandas,
rasanya benar - benar sakit...
Aku terbangun keesokan harinya dengan mata yang perih
akibat menangis semalaman. Kepalaku masih terasa berat, namun kupaksakan tubuhku
berdiri. Aku sangat haus. Aku mengambil segelas air dari dispenser dan langsung
menghabiskannya. Setelah menenangkan diri sejenak, aku mengambil handphone-ku yang
kemarin malam aku taruh di bawah bantal. 25
missed calls, 5 new messages!
Aku membuka inbox
ku dan menemukan 5 pesan baru, semuanya dari Ardi. Aku membacanya dari bawah,
dari sms pertama yang masuk.
“Sayang, kamu kenapa
sih? Kamu marah ya karena aku telat? Maaf, tadi tu aku bener-bener harus nyelesaiin game-nya.”
“Angkat teleponku dong, Sayang.”
“Sayang, kamu nggak
beneran mutusin aku, kan? Aku
janji nggak akan kayak gitu lagi.”
“Ratni, Ardi lagi mabuk berat. Dateng ke Omnia ya! dia minum
terus, nggak mau pulang. Ngurah.”
Dasar, pura – pura jadi temennya. Huh.. so childish!
Aku membaca sms terakhir yang baru masuk tadi pagi, “Ratni,
ini kak Arlien. Semalam Ardi kecelakaan, kondisinya kritis. Tolong dateng ke
rumah sakit Siloam sekarang,
kakak tunggu ya.”
Parah... setelah berpura – pura jadi temannya, sekarang berpura
– pura jadi kakaknya. Aku menaruh handphone
ku di atas kasur, namun belum sedetik aku taruh, benda mungil itu berdering. “Mine’s calling.”
Aku mengangkatnya dengan enggan, “Ada apa lagi, sih?”
“Ratni, kamu di mana?” suara seorang wanita, kak Arlien.
“Kak Arlien?”
“Cepetan ke rumah sakit.”
“Maaf Kak, aku udah capek. Bilang ke dia, nggak usah
kayak anak kecil gitu pake pura – pura kecelakaan. Aku nggak suka.”
“Pura – pura? Kamu pikir kakak mau repot – repot nelpon
kamu kalau ini cuma pura – pura? Nyawa adik kakak satu – satunya sekarang dalam
keadaan bahaya, dan kamu bilang ini pura – pura?” Suara Kak Arlien terdengar serak, sepertinya dia sedang
menangis, “Kakak nggak nyangka kamu seperti ini Rat, terserah kamu mau dateng
atau nggak.” Sambungan terputus.
Apa Kak Arlien serius? Ardi.. Ardi kecelakaan?
Tubuhnya terbujur lemah di atas ranjang putih rumah
sakit. Bau obat yang menusuk hidung tidak membuatku beranjak sedikit pun dari sisi ranjangnya. Ardi.. tolong buka matamu....
Aku meremas tangan dinginnya, berusaha menyalurkan
sedikit kehangatan. Tolong, aku mohon
buka matamu...
Air mata jatuh menitik tepat di atas punggung tangannya,
tapi tangan itu tak bergerak sama sekali. Aku
mohon Ardi, tolong.. tolong buka matamu dan katakan kalau kamu sedang acting. Katakan kalau ini hanya pura – pura.
Aku merasakan sebuah tepukan di pundakku lalu aku menoleh
ke belakang.
“Dokter bilang harapan hidupnya sangat tipis.” Suara
lembut Kak Arlien membuat air mataku semakin deras mengalir.
“Ini salahku, Kak.” Aku
berkata di sela isak tangisku.
Kak Arlien membelai rambutku, berusaha menenangkanku,
“Sekarang kita hanya bisa menunggu keajaiban,” ucapnya.
Keajaiban.... kami menunggunya, namun keajaiban itu tidak
pernah datang. Ardi menghembuskan napas terakhirnya
sebelum dia sempat membuka matanya. Dia pergi untuk selamanya sebelum dia
sempat memaafkanku.
Air yang menggenang di mataku membuat pandanganku sedikit
kabur, namun aku masih bisa membaca tulisan di layar iPad itu dengan jelas. Kenapa? Kenapa baru sekarang aku membacanya?
Kenapa waktu itu aku tidak mau mendengarkannya dan malah mengusirnya dari
hidupku; dari dunia ini?
Andai saja aku bisa memutar waktu kembali, tentu ini
tidak akan terjadi, andai saja aku membaca skor Top Ten ini lebih awal....
AGENT TIME
I 02:20:00
LOVE 02:34:00
YOU 02:41:00
SO 02:50:00
MUCH 02:57:00
RATNI 03:07:00
WILL 03:11:00
YOU 03:24:00
MARRY 03:37:00
ME 03:52:00
The end...
ini sangat menyedihkan,,, bagaimana kabarnya kekasihmu
ReplyDeleteapakah keadaamu sekarang baik2 saja?
Delete