Mengamati pria itu sudah menjadi suatu kebiasaan, atau mungkin lebih tepatnya suatu kebutuhan. Lima belas menit itu adalah lima belas menit terindah yang kuhabiskan di sekolah. Melihat senyumnya, menghitung langkahnya, memerhatikan punggung tegapnya yang menghilang di balik kantin, semua itu adalah ritual sehari – hariku yang tidak bisa kulewatkan. Aku kecanduan.
***
image courtesy of bibittanamanpohon |
Sudah
lima kali berturut – turut aku melihat pria itu berdiri menyandar pada pohon
kamboja tua yang tumbuh di halaman belakang sekolah. Seperti biasa, dia
memasukkan tangan kirinya ke saku celana panjangnya, sedangkan tangan kanannya
memegang sebuah ponsel yang dia rekatkan di telinganya. Bibirnya bergerak –
gerak, mengucapkan kata – kata yang tidak bisa kudengar dari tempatku berdiri.
Terkadang aku melihat dia tersenyum tipis, dan bahkan tertawa, memperlihatkan
deretan gigi putihnya.
Dia masih asyik berbicara
dengan seseorang di ujung telepon, entah siapa, mungkin temannya, saudaranya,
atau mungkin pacarnya. Aku tak tahu kenapa jantungku berdegup sedikit lebih
kencang saat berpikir dia sedang berbicara dengan pacarnya. Apa peduliku? Aku
bukan siapa – siapanya dia, tahu namanya saja tidak. Tapi tidak bisa kupungkiri
aku menikmati saat – saat mengamatinya dari kelasku di lantai dua gedung kelas
2. Ada perasaan senang setiap aku melihat dia tersenyum atau tertawa. Dan tanpa
begitu aku sadari aku selalu menantikan kehadirannya. Bel istirahat pertama,
jam 9.15, dia berjalan dari arah gedung kelas 1 menuju pohon kamboja di halaman
belakang sekolah, lalu dia bersandar di pohon itu dengan posisi yang sama
sambil berbicara dengan seseorang di telepon. Jam 9.30, dia menutup teleponnya
dan kembali ke gedung kelas 1. Setiap hari, sejak hari pertama sekolah, dia
selalu melakukan rutinitas itu, dan setiap hari pula aku memerhatikannya dari
jendela kelasku.
Halaman belakang sekolah
bukanlah tempat favorit siswa – siswa di sini, halaman itu tidak begitu terawat
karena petugas kebersihan sekolah terlalu malas membersihkannya. Sampah –
sampah plastik yang dibuang dari jendela – jendela kelas tampak berserakan di
sana. Pohon kamboja yang katanya sudah ada sebelum sekolah ini dibangun juga
turut menyumbangkan sampah daun dan bunga yang hanya disapu seminggu sekali
pada hari Jumat. Saat pertama melihat pria itu di sana, aku sempat berpikir
kalau dia adalah makhluk halus penghuni pohon kamboja karena tidak biasanya ada
orang yang pergi ke halaman belakang itu kecuali beberapa siswa berandal yang
merokok atau memanjat pagar untuk bolos.
Bel berdentang tiga kali,
menandakan waktu istirahat telah selesai. Pria itu memasukkan ponselnya ke saku
baju lalu berjalan santai menuju kelasnya. Aku menghitung langkahnya, satu,
dua, tiga, empat, …., dan dia lenyap dari pandanganku setelah membelok di dekat
kantin. Aku menarik nafas panjang lalu duduk kembali di kursiku.
Mengamati pria itu sudah menjadi
suatu kebiasaan, atau mungkin lebih tepatnya suatu kebutuhan. Lima belas menit
itu adalah lima belas menit terindah yang kuhabiskan di sekolah. Melihat senyumnya,
menghitung langkahnya, memerhatikan punggung tegapnya yang menghilang di balik
kantin, semua itu adalah ritual sehari – hariku yang tidak bisa kulewati. Aku
kecanduan.
Sebenarnya bisa saja aku
mendekatinya dan menyapanya, sudah bukan merupakan hal yang aneh kalau seorang
gadis mengajak seorang pria berkenalan, tapi aku tidak mau melakukan itu.
Entahlah... Aku merasa itu akan merusak kesenanganku. Hmm... rasanya seperti
makan hidangan enak yang disajikan di sebuah restoran. Makanan itu begitu enak
sehingga kau ingin memakannya lagi dan lagi, tapi kau tidak pernah merasa perlu
tahu apa saja bahan makanan itu atau bagaimana cara memasaknya. Ya, aku rasa
itu adalah sebuah analogi yang tepat untuk menggambarkan apa yang kurasakan
tentang pria itu. Melakukan ritual melihatnya menelepon di bawah phon kamboja
setiap hari sekolah sudah cukup, aku tidak perlu tahu siapa dia sebenarnya.
Tapi suatu hari, secara
tidak sengaja, aku berkenalan dengannya. Saat itu kami sama – sama dihukum
karena telat. Aku masih ingat pagi itu mendung dan gerimis turun perlahan
membasahi rambut siswa – siswa yang sedang menyabut rumput di halaman belakang
sekolah. Dia menyabut rumput di sebelahku, di dekat pohon kamboja tempat dia
biasa menelepon. Aku memerhatikan gerak – geriknya dengan ekor mataku. Ternyata
dia lebih manis daripada yang aku pikir. Wajah dan rambutnya yang agak basah
membuatnya terlihat lebih memesona.
Tiba – tiba tanganku
menyentuh sesuatu yang terasa panas; akupun menjerit seketika. Begitu aku
melihat ke arah jariku, ternyata aku menyentuh ulat bulu yang ada di
rerumputan. Jari telunjuk dan jempolku seketika bentol - bentol, warnanya merah
dan rasanya sangat gatal. Pria itu menoleh ke arahku, “Kenapa?” tanyanya.
Aku memperlihatkan
tanganku, “Kena ulat bulu.”
Dia melihat ulat bulu yang
tadi aku sentuh, lalu menoleh ke arahku, “Aku anter ke UKS ya.”
Kami berdua berjalan
beriringan menuju UKS yang ada di dekat gedung kelas 2. Petugas UKS yang
merupakan teman sekelasku mengoleskan cairan sejenis minyak angin ke jari –
jariku. Awalnya rasanya sangat perih, tapi lama kelamaan perih itu menghilang
dan tanganku secara perlahan kembali normal.
“Terima kasih ya.” Katanya
pada pria itu.
“Iya, sama – sama.”
Jawabnya, “Btw, kenalin, namaku Andhika.” Dia mengulurkan tangan kanannya ke
arahku.
“Inten.” Aku menyambut
uluran tangannya, “Kelas apa?” tanyaku.
“Kelas 1 A, kamu?”
“2 IPA 1.”
“Aku harus manggil kakak
dong.” Godanya. Dia tersenyum memperlihatkan lesung pipi di pipi kirinya.
“Panggil Inten aja. Aku
harusnya satu angkatan ma kamu, tapi dulu aku ikut kelas percepatan waktu SMP.”
“Wah, keren. Pasti kamu
pinter banget ya.”
Aku merasakan pipiku merona
mendengar pujiannya.
Sekarang, setelah aku tahu
bahan dan cara membuat makanan lezat itu, akupun ingin membuatnya sendiri. Kami
mulai sering bertemu, saling sms, dan dia beberapa kali meneleponku. Hubungan
kami semakin dekat dan suatu hari aku memberanikan diri bertanya siapa yang dia
telepon setiap hari saat istirahat pertama.
“Kamu tahu dari mana?”
“Aku pernah lihat dari
jendela kelasku.”
Andhika mendesah pelan,
terlihat kesedihan di wajahnya. Lama dia terdiam sebelum akhirnya dia berkata,
“Aku tidak menelepon siapapun.” Jawabnya.
Aku menatapnya dengan
pandangan tak percaya.
“Biasanya jam segitu ibuku
meneleponku dari Amerika. Beberapa bulan yang lalu, ibu didiagnosa mengidap
penyakit parah yang tidak bisa diobati di sini, jadi ayahku membawanya berobat
ke Amerika. Ibu selalu meneleponku sekitar jam 9 pagi, jam 9 malam di sana.”
Andhika berhenti sebentar, menunduk, “Ibu meninggal 5 bulan yang lalu. Sejak
saat itu hidupku sepi, aku kangen banget sama Ibu. Untuk mengenangnya aku
selalu pura – pura bicara di telepon dengannya. Aku pura – pura tersenyum. Aku
pura – pura tertawa. Aku Bener – bener aneh ya?” dia mengangkat wajahnya dan
menatapku.
Aku tak tahu harus berkata
apa, jadi aku hanya menepuk bahunya perlahan.
“Ini pertama kalinya aku
nyeritain ini sama seseorang.”
“Maaf ya.”
“Ibu satu – satunya teman
bicara yang aku miliki, tapi sekarang, ada kamu. Aku seneng banget bisa kenal
ma kamu.”
Aku tersenyum, “Aku juga.”
Hubungan kami semakin dekat
sejak kejadian itu. Aku merasa menemukan orang yang bisa melengkapiku, dan aku
rasa diapun merasakan hal yang sama.
9. 15, bel istirahat
pertama berbunyi, sosok itu berjalan mendekati pohon kamboja, dan seperti biasa
dia bersandar di sana dan mengeluarkan ponselnya.
Aku mengambil ponselku di
saku baju, menekan satu tombol, dan merekatkannya di telingaku, “Hallo.”
Kataku.
“Hallo.” Jawabnya.
Aku mendongak di jendela,
dia melihat ke arahku dan melambai. Aku membalas lambaiannya.
Sejak saat itu dia terus
datang ke bawah pohon kamboja, bukan untuk berpura – pura menelepon ibunya
lagi, tapi untuk meneleponku. Sebenarnya bisa saja dia mendatangiku ke kelasku,
atau aku mendatanginya ke kelasnya, atau kami bertemu di perpustakaan, kantin,
atau di mana saja, tapi itu akan merusak kesenangan kami. Aku lebih senang
seperti ini, mengamatinya menelepon di bawah pohon kamboja itu dari jendela
kelasku di lantai dua gedung kelas 2.
English Version
English Version
No comments:
Post a Comment