Monday, January 20, 2020

Di Bawah Pohon Kamboja



Mengamati pria itu sudah menjadi suatu kebiasaan, atau mungkin lebih tepatnya suatu kebutuhan. Lima belas menit itu adalah lima belas menit terindah yang kuhabiskan di sekolah. Melihat senyumnya, menghitung langkahnya, memerhatikan punggung tegapnya yang menghilang di balik kantin, semua itu adalah ritual sehari – hariku yang tidak bisa kulewatkan. Aku kecanduan.
***
image courtesy of bibittanamanpohon


Sudah lima kali berturut – turut aku melihat pria itu berdiri menyandar pada pohon kamboja tua yang tumbuh di halaman belakang sekolah. Seperti biasa, dia memasukkan tangan kirinya ke saku celana panjangnya, sedangkan tangan kanannya memegang sebuah ponsel yang dia rekatkan di telinganya. Bibirnya bergerak – gerak, mengucapkan kata – kata yang tidak bisa kudengar dari tempatku berdiri. Terkadang aku melihat dia tersenyum tipis, dan bahkan tertawa, memperlihatkan deretan gigi putihnya.

Dia masih asyik berbicara dengan seseorang di ujung telepon, entah siapa, mungkin temannya, saudaranya, atau mungkin pacarnya. Aku tak tahu kenapa jantungku berdegup sedikit lebih kencang saat berpikir dia sedang berbicara dengan pacarnya. Apa peduliku? Aku bukan siapa – siapanya dia, tahu namanya saja tidak. Tapi tidak bisa kupungkiri aku menikmati saat – saat mengamatinya dari kelasku di lantai dua gedung kelas 2. Ada perasaan senang setiap aku melihat dia tersenyum atau tertawa. Dan tanpa begitu aku sadari aku selalu menantikan kehadirannya. Bel istirahat pertama, jam 9.15, dia berjalan dari arah gedung kelas 1 menuju pohon kamboja di halaman belakang sekolah, lalu dia bersandar di pohon itu dengan posisi yang sama sambil berbicara dengan seseorang di telepon. Jam 9.30, dia menutup teleponnya dan kembali ke gedung kelas 1. Setiap hari, sejak hari pertama sekolah, dia selalu melakukan rutinitas itu, dan setiap hari pula aku memerhatikannya dari jendela kelasku.

Halaman belakang sekolah bukanlah tempat favorit siswa – siswa di sini, halaman itu tidak begitu terawat karena petugas kebersihan sekolah terlalu malas membersihkannya. Sampah – sampah plastik yang dibuang dari jendela – jendela kelas tampak berserakan di sana. Pohon kamboja yang katanya sudah ada sebelum sekolah ini dibangun juga turut menyumbangkan sampah daun dan bunga yang hanya disapu seminggu sekali pada hari Jumat. Saat pertama melihat pria itu di sana, aku sempat berpikir kalau dia adalah makhluk halus penghuni pohon kamboja karena tidak biasanya ada orang yang pergi ke halaman belakang itu kecuali beberapa siswa berandal yang merokok atau memanjat pagar untuk bolos.

Bel berdentang tiga kali, menandakan waktu istirahat telah selesai. Pria itu memasukkan ponselnya ke saku baju lalu berjalan santai menuju kelasnya. Aku menghitung langkahnya, satu, dua, tiga, empat, …., dan dia lenyap dari pandanganku setelah membelok di dekat kantin. Aku menarik nafas panjang lalu duduk kembali di kursiku.

Mengamati pria itu sudah menjadi suatu kebiasaan, atau mungkin lebih tepatnya suatu kebutuhan. Lima belas menit itu adalah lima belas menit terindah yang kuhabiskan di sekolah. Melihat senyumnya, menghitung langkahnya, memerhatikan punggung tegapnya yang menghilang di balik kantin, semua itu adalah ritual sehari – hariku yang tidak bisa kulewati. Aku kecanduan.

Sebenarnya bisa saja aku mendekatinya dan menyapanya, sudah bukan merupakan hal yang aneh kalau seorang gadis mengajak seorang pria berkenalan, tapi aku tidak mau melakukan itu. Entahlah... Aku merasa itu akan merusak kesenanganku. Hmm... rasanya seperti makan hidangan enak yang disajikan di sebuah restoran. Makanan itu begitu enak sehingga kau ingin memakannya lagi dan lagi, tapi kau tidak pernah merasa perlu tahu apa saja bahan makanan itu atau bagaimana cara memasaknya. Ya, aku rasa itu adalah sebuah analogi yang tepat untuk menggambarkan apa yang kurasakan tentang pria itu. Melakukan ritual melihatnya menelepon di bawah phon kamboja setiap hari sekolah sudah cukup, aku tidak perlu tahu siapa dia sebenarnya.

Tapi suatu hari, secara tidak sengaja, aku berkenalan dengannya. Saat itu kami sama – sama dihukum karena telat. Aku masih ingat pagi itu mendung dan gerimis turun perlahan membasahi rambut siswa – siswa yang sedang menyabut rumput di halaman belakang sekolah. Dia menyabut rumput di sebelahku, di dekat pohon kamboja tempat dia biasa menelepon. Aku memerhatikan gerak – geriknya dengan ekor mataku. Ternyata dia lebih manis daripada yang aku pikir. Wajah dan rambutnya yang agak basah membuatnya terlihat lebih memesona.

Tiba – tiba tanganku menyentuh sesuatu yang terasa panas; akupun menjerit seketika. Begitu aku melihat ke arah jariku, ternyata aku menyentuh ulat bulu yang ada di rerumputan. Jari telunjuk dan jempolku seketika bentol - bentol, warnanya merah dan rasanya sangat gatal. Pria itu menoleh ke arahku, “Kenapa?” tanyanya.

Aku memperlihatkan tanganku, “Kena ulat bulu.”

Dia melihat ulat bulu yang tadi aku sentuh, lalu menoleh ke arahku, “Aku anter ke UKS ya.”

Kami berdua berjalan beriringan menuju UKS yang ada di dekat gedung kelas 2. Petugas UKS yang merupakan teman sekelasku mengoleskan cairan sejenis minyak angin ke jari – jariku. Awalnya rasanya sangat perih, tapi lama kelamaan perih itu menghilang dan tanganku secara perlahan kembali normal.

“Terima kasih ya.” Katanya pada pria itu.

“Iya, sama – sama.” Jawabnya, “Btw, kenalin, namaku Andhika.” Dia mengulurkan tangan kanannya ke arahku.

“Inten.” Aku menyambut uluran tangannya, “Kelas apa?” tanyaku.

“Kelas 1 A, kamu?”

“2 IPA 1.”

“Aku harus manggil kakak dong.” Godanya. Dia tersenyum memperlihatkan lesung pipi di pipi kirinya.

“Panggil Inten aja. Aku harusnya satu angkatan ma kamu, tapi dulu aku ikut kelas percepatan waktu SMP.”

“Wah, keren. Pasti kamu pinter banget ya.”

Aku merasakan pipiku merona mendengar pujiannya.

Sekarang, setelah aku tahu bahan dan cara membuat makanan lezat itu, akupun ingin membuatnya sendiri. Kami mulai sering bertemu, saling sms, dan dia beberapa kali meneleponku. Hubungan kami semakin dekat dan suatu hari aku memberanikan diri bertanya siapa yang dia telepon setiap hari saat istirahat pertama.

“Kamu tahu dari mana?”

“Aku pernah lihat dari jendela kelasku.”

Andhika mendesah pelan, terlihat kesedihan di wajahnya. Lama dia terdiam sebelum akhirnya dia berkata, “Aku tidak menelepon siapapun.” Jawabnya.

Aku menatapnya dengan pandangan tak percaya.

“Biasanya jam segitu ibuku meneleponku dari Amerika. Beberapa bulan yang lalu, ibu didiagnosa mengidap penyakit parah yang tidak bisa diobati di sini, jadi ayahku membawanya berobat ke Amerika. Ibu selalu meneleponku sekitar jam 9 pagi, jam 9 malam di sana.” Andhika berhenti sebentar, menunduk, “Ibu meninggal 5 bulan yang lalu. Sejak saat itu hidupku sepi, aku kangen banget sama Ibu. Untuk mengenangnya aku selalu pura – pura bicara di telepon dengannya. Aku pura – pura tersenyum. Aku pura – pura tertawa. Aku Bener – bener aneh ya?” dia mengangkat wajahnya dan menatapku.

Aku tak tahu harus berkata apa, jadi aku hanya menepuk bahunya perlahan.

“Ini pertama kalinya aku nyeritain ini sama seseorang.”

“Maaf ya.”

“Ibu satu – satunya teman bicara yang aku miliki, tapi sekarang, ada kamu. Aku seneng banget bisa kenal ma kamu.”

Aku tersenyum, “Aku juga.”

Hubungan kami semakin dekat sejak kejadian itu. Aku merasa menemukan orang yang bisa melengkapiku, dan aku rasa diapun merasakan hal yang sama.

9. 15, bel istirahat pertama berbunyi, sosok itu berjalan mendekati pohon kamboja, dan seperti biasa dia bersandar di sana dan mengeluarkan ponselnya.

Aku mengambil ponselku di saku baju, menekan satu tombol, dan merekatkannya di telingaku, “Hallo.” Kataku.

“Hallo.” Jawabnya.

Aku mendongak di jendela, dia melihat ke arahku dan melambai. Aku membalas lambaiannya.

Sejak saat itu dia terus datang ke bawah pohon kamboja, bukan untuk berpura – pura menelepon ibunya lagi, tapi untuk meneleponku. Sebenarnya bisa saja dia mendatangiku ke kelasku, atau aku mendatanginya ke kelasnya, atau kami bertemu di perpustakaan, kantin, atau di mana saja, tapi itu akan merusak kesenangan kami. Aku lebih senang seperti ini, mengamatinya menelepon di bawah pohon kamboja itu dari jendela kelasku di lantai dua gedung kelas 2.


English Version


No comments:

Post a Comment